4.3.2. Etnis Cina Kota Medan
Dewasa ini kota Medan yang terdiri dari berbagai etnis yang berbeda terkadang memilih tempat-tempat tertentu seperti sekolah, tempat perbelanjaan
sebahgai suatu ciri khas yang menggambarakan tingkat sosial dan ekonominya. Sehingga tidak jarang dalam suatu sekolah ataupun tempat perbelanjaan didominasi
oleh suatu etnis tertentu. Dimana dalam sistem pergaualan dan interaksi kehidupannya sehari-hari menggambarkan suatu ciri khas yang tertentu pula.
Sikap dan prilaku antara mereka jelas menunjukkan identitas etnisnya, sehingga hubungan antara mereka tersebut berlangsung mesra karena telah
memahami pola-pola interaksi sesamanaya. Pada umumnya etnis Cina kota Medan bertempat tinggal di pusat-pusat kota yang menjadi daerah pertokoan, dimana harga
rumah sangat mahal. Kemudian saat ini mereka cenderung untuk tinggal di komplek- komplek perumahan elite dengan fasilitas mewah dan keamanan yang terjamin.
Golongan etnis Cina melihat pemerintah dan masyarakat pribumi mempunyai prasangka terhadap mereka. Misalnya kurang percaya bahwa golongan etnis Cina
sungguh-sungguh ingin berintegrasi dan berpartisipasi dalam pembangunan. Golongan Cina juga menganggap mereka selalu diperlakukan secara diskriminatif,
hampir di semua bidang. Misalnya tetap diperlakukan sebagai golongan asing walaupun sudah WNI. Mereka merasa banyak “dipakai” daripada dibina dan
dihargai. Sebaliknya kesalahan dan kecurangan yang dibuat golongan Cina selalu ditonjol-tonjolkan. Akibatnya golongan Cina selalu merasa selalu takut berinisiatif
dan aktif dalam usaha-usaha pembangunan dan perbaikan lingkungan bersama karena takut dicurigai pasti ada apa-apanya. Sebaliknya kalangan pribumi juga mempunyai
Universitas Sumatera Utara
pandangan tertentu pada golongan cina. hal pertama adalah adanya ajaran agama dan kepercayaan yang sangat berbeda dengan masyarakat pribumi. Mereka Melihat
golongan Cina selalu berorientasi pada negeri leluhur, dan selalu mengarahkan pikiran, perasaan dan perbuatannya untuk negeri leluhur ini. Masyarakat pribumi juga
melihat, golongan cina merasa lebih super dan menilai golongan pribumi rendah, malas dan sukar dipercaya.
Golongan Cina juga dianggap menguasai sektor perekonomian. Golongan pribumi beranggapan sejak zaman penjajahan belanda sampai setelah kemerdekaan,
golongan Cina merupakan “alat” yang baik untuk mengeksploitasi kekayaan kekayaan Indonesia sambil memperkaya diri. Golongan Cina juga dianggap pasif
untuk diajak dalam usaha pembangunan. Mereka lebih suka mengupah atau membayar dengan uang daripada berpartisipasi secara langsung. Hal ini kemudian
menimbulkan berbagai asumsi misalnya tentang berkembangnya modal Cina, sedangkan jauh sampai melampaui modal pemerintahan sendiri atau dikaitkan
dengan mitos bahwa etnis Cina memang lebih mampu untuk bergerak di bidang ekonomi.
Merupakan suatu kenyataan bahwa perbedaan kekuatan di bidang ekonomi antara kalangan pribumi dan non pribumi merupakan suatu aspek yang penting.
Dunia perdagangan di kota Medan didominasi oleh penguasa Cina. dengan demikian masyarakat dari suku apapun akan lebih banyak berbelanja kepada mereka. Hasil
penelitian dari Irchamni Sulaiman menunjukkan bahwa Data yang berhasi dikumpulkan dari para responden yang secara khusus akan diuraikan di dalam
analisa, ternyata memang memperkuat pendapat ini. Atas pertanayaan ke mana para
Universitas Sumatera Utara
responden berbelanja, diperoleh hasil bahwa “berbelanja tanpa memperdulikan suku memperoleh angka yang tertinggi, baik bagi responden pribumi maupuN responden
Cina. kedua kelompok responden kelihatannya juga menyepakati untuk memilih pedagang Cina sebagai alternatif kedua.keadaan sedemikian akan membuat posisi
ketergantungan kepada pedagang atau pengusaha Cina. Irchamni Sulaiman mengemukakan beberapa kasus yang akhirnya masing-masing dapat disimpulkan
sebagai berikut : 1.
Pengusaha Cina Aceh mendapat harga yang lebih murah dari para pedaganag Aceh dalam hal memperoleh stock barang dagangan kepada pengusaha Cina
Medan. 2.
Pengusaha Cina Aceh mendapatkan prioritas jatah dalam jenis dan jumlah yang lebih banyak dari pada pengusaha Aceh, terutama pada masa barang-
barang tertentu yang dibutuhkan langka di pasaran. 3.
Pengusaha Cina Medan dan Aceh berusaha menominasi bahakan nyaris memonopoli usaha angkutan barang. Dalam situasi sedemikian pengusaha
Aceh tidak mampu lagi menyainginya. 4.
Pertanggung jawaban atas kiriman barang oleh penguasa Cina kurang baik. 5.
Komunikasi informasi tentang komoditi-komoditi tertentu yang mengalami perubahan harga drastic, hanya diketahui oleh pengusaha Cina Aceh dan tidak
diketahui oleh pengusaha Aceh. 6.
Kecurangan-kecurangan dalam hal timbangan, pemalsuan merek, penggantian komponen elektronik dan berbagai bentuk manipulasi lain banyak dilakukan.
Subanindyo : 1994 : 186
Universitas Sumatera Utara
Keadaan ini menjadi begitu besar karena ditopang oleh kondisi ekonomi mereka dengan masyarakat non pribumi yang begitu lebar sehingga kesenjangan
sosial semakin nyata. Dimana suatu sisi masyarakat pribumi tidak mengikhlaskan atau merasa suatu ketidakadilan di dalam perolehan status ekonomi sosial mereka
sebagai keturunan pendatang yang jumlahnya sedikit namun berpengaruh besar dalam sektor ekonomi yang diperlukan oleh orang banyak.
Selain itu perbedaan tersebut dipertajam lagi dengan perbedaan tingkat sosial yang menyolok akibat penguasaan di bidang ekonomibusiness seperti perdagangan,
industri, perbankan dan pengangkutan oleh non pribumi, khususnya WNI keturunan. Diperkirakan lebih dari 80 ekonomi nasional kita masih dikuasai golongan etnis
Cina meskipun jumlah mereka kira-kira hanya 3 dari seluruh bangsa Indonesia, tetapi genggamannya terhadap ekonomi sangat besar.
Tabel 4.3.2.1 Persentase Pedagang Pribumi dan Pedaganag Etnis Cina
Pribumi Non Pribumi
Pedagang Besar
12,474 58,3
8,923 41,7
Pedagang Menengah
49,136 49,8
49,541 50,2
Pedagang Kecil
100,811 55,8
79,731 44,2
Universitas Sumatera Utara
Jumlah 162,421
54 138,203
46
Sumber : Subanindyo, 1994 : 341 Golongan non pribumi hanya 5 persen, tapi jumlah pedagang yang terdaftar
resmi pada pemerintah mencapai 46 persen ini berarti dominasi yang luar biasa. Tapi golongan ini seperti yang dikatakan Hrry Tjan Silalahi, SH memang secara praktis
dipojokokkan dan dibatasi karirnya di bidang non ekonomi dan non bisnis. Mereka semua berjubel membuka kios dan menjadi pedagang karena tidak bisa melanjutkan
kuliah atau mendapatkan kesempatan menjadi pegawai negeri, ABRI dan jabatan non bisnis lainnya. Akibatnya, satu-satunya lapangan yang terbuka adalah menjual barang
dan jasa, melayani kebutuhan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
4.3.3. Perilaku Berbelanja Etnis Cina di Pasar Tradisional Ramai