masing.  Dengan  demikian,  dukungan  sosial  dari  keluarga terhadap  salah  satu  anggotanya  yang  menderita  skizofrenia
sebagai  fokus penelitian inipun beragam.  Hal  ini  tergantung dari nilai  atau  tindakan  yang  dilakukan  dan  diterapkan  oleh  masing-
masing  partisipan  dan  keluarganya  terhadap  anggota  keluarga mereka  yang  menderita  skizofrenia.  Berikut  akan  dijelaskan
masing-masing  mengenai  ketersediaan  dukungan  serta  jenis dukungan  yang  diberikan  oleh  partisipan  terhadap  anggota
keluarga penderita skizofrenia pasca perawatan. Namun, sebelum membahas  mengenai  dukungan  sosial,  akan  lebih  baik  untuk
melihat  latar  belakang  dari  masing-masing  partisipan  serta beberapa  pergumulan  mereka  dalam  merawat  anggota  keluarga
yang menderita skizofrenia tersebut.
1. Latar Belakang Keluarga
Ketiga  partisipan  dalam  penelitian  ini  sama-sama memiliki  anggota  keluarga  yang  menderita  skizofrenia  dan  saat
ini  sedang  menjalani  masa  pasca  perawatan  RSJ  maupun  Panti rehabilitasi.  Perbedaan  pada  ketiga  partisipan  ini  adalah  posisi
anggota  keluarga  penderita  skizofrenia  tersebut  dalam  relasi hubungan mereka. P1 memiliki anak yang menderita skizofrenia,
P2  memiliki  ibu  yang  menderita  skizofrenia,  sedangkan  P3 memiliki seorang kakak perempuan yang menderita skizofrenia.
Adapun  beberapa  penyebab  anggota  keluarga  mereka  menderita skizofrenia,  menurut  pandangan  masing-masing  partisipan
adalah:
a.  Partisipan 1 DJ Menurut  P1  dan  istrinya,  anak  mereka  menderita
skizofrenia sejak berusia kurang lebih 20 tahun. Pada saat itu  anak  mereka  sedang  menempuh  pendidikan  di  salah
satu  universitas  swasta  jurusan  teknik  kimia.  Menurut  P penyebab  anaknya  menderita  skizofrenia  adalah  karena
ketidakmampuan anaknya
dalam menjalani
masa pendidikannya  saat  itu  yang  dirasa  terlalu  berat  dan
menekan.  Adapun  gejala  yang  ditunjukkan  selama  masa- masa  tersebut  adalah  penurunan  daya  ingat,  pola
pemikiran  yang  tidak  terorganisasi  seperti  dalam memberikan  respons  yang  tidak  tepat  terhadap  stimulus
yang  diberikan,  berbicara  sendiri,  menunjukkan  reaksi emosi  marah  yang  berlebihan,  serta  kehilangan  minat
dalam  melakukan  berbagai  macam  kegiatan  yang disarankan.
P1  dan  istri  juga  mengaku  bahwa  penderita merupakan  sosok  pemuda  yang  tidak  banyak  memiliki
relasi dengan teman sebayanya pada masa mudanya. Pada tahap  perkembangan  di  usia  20  tahun,  penderita  lebih
sering  menghindari  relasi  dengan  teman  sebayanya  dan memilih  untuk  tidak  terlibat  dalam  kegiatan-kegiatan
ekstrakurikuler yang ditawarkan sekolah ataupun kegiatan di  sekitar  lingkungan  rumahnya.  P1  melihat  hal  ini
sebagai salah
satu faktor
penyebab penderita
menunjukkan  perilaku
avolition
menurunnya  minat  dan
dorongan  pada  saat  ini.  Sementara  itu,  Erikson  dalam Boeree,
2008 menegaskan
bahwa pada
tahap perkembangan  di  usia  dewasa  awal,
yaitu  usia  18-30 tahun,
seharusnya individu
melaksanakan tugas
perkembangan  dengan  membangun  relasi  atau  kedekatan dengan  orang  lain
intimacy
dan  menghindari  sikap menyendiri
isolation
.  Dilihat  dari  ciri  penderita skizofrenia,  diketahui  juga  bahwa  penderita  telah
menunjukkan  kepribadian  skizoid,  sebagai  gejala  awal pada beberapa penderita skizofrenia, yang ditandai dengan
sikap pendiam, pasif serta introvert. Mengacu  pada  gejala  yang  ditunjukkan  oleh
penderita,  maka  upaya  pertama  kali  yang  dilakukan  oleh keluarga  adalah  membawa  penderita  untuk  berobat  ke
RSJ  Solo.  Setelah  pasca  perawatan  RSJ  Solo,  penderita mulai  menunjukkan  perubahan  sikap  dan  perilaku  yang
lebih  baik.  Kemudian,  mengacu  pada  persepsi  awal mengenai penyebab penyakit  yang diderita oleh anaknya,
P  dan  keluarga  akhirnya  berusaha  untuk  memberikan pilihan  universitas  dan  jurusan  lain  kepada  penderita,
dengan  maksud  agar  penderita  tetap  menjalani  masa pendidikannya  dengan  beban  yang  lebih  ringan  dari
sebelumnya.  Namun  usaha  ini  kembali  gagal,  karena dalam  menjalani  masa  perkuliahan  penderita  kembali
mengalami  kekambuhan  dengan  menunjukkan  gejala yang sama pada awal menderita skizofrenia tersebut.
Sementara  itu,  dari  hasil  triangulasi  yang
dilakukan  terhadap  istri  P,  diketahui  bahwa  beberapa saudara  dari  P1  juga  memiliki  riwayat  penyakit  yang
sama.  Oleh  karena  itu,  istri  P  menduga  bahwa  adanya faktor  keturunan  yang  menjadi  salah  satu  penyebab  sakit
dari anak mereka. b.  Partisipan 2 A
P2  berusia  sekitar  7  atau  8  tahun  ketika  ibunya didiagnosa  menderita  skizofrenia.  Memiliki  seorang  ibu
yang menderita skizofrenia, membuat  P2 menjalani  masa kecilnya  dengan  perasaan  malu  terhadap  lingkungannya,
khususnya  lingkungan  tempat  ia  menempuh  pendidikan. Namun  setelah  memasuki  usia  dewasa,  dengan  berbagai
macam pengertian yang diberikan oleh ayah dan psikiater yang  menangani  ibunya,  akhirnya  P2  memutuskan  untuk
lebih  berfokus  pada  usaha  penyembuhan  penderita dibandingkan perasaan malu yang pernah dialaminya.
Pandangan  P2  mengenai  penyebab  ibunya menderita  skizofrenia  adalah  karena  banyaknya  beban
pemikiran  yang  tidak  dapat  dibagikan  sehingga  penderita terbiasa  menghadapi  beban  tersebut  seorang  diri.  Namun
demikian,  berdasarkan  informasi  dari  kerabat  penderita, juga  cerita  penderita  kepada  P2,  P2  akhirnya  berasumsi
bahwa  beban  pikiran  yang  ditanggung  oleh  penderita adalah  terkait  kesibukan  suami  di  luar  rumah,  serta
tekanan-tekanan yang diberikan suami kepada penderita. Selain  itu,  dengan  melihat  adanya  beberapa
anggota keluarga dari pihak ibu yang mempunyai riwayat
penyakit  dan  pernah  dirawat  di  RSJ,  maka  P2  berasumsi bahwa  adanya  faktor  keturunan  yang  menjadi  salah  satu
penyebab  sakit  ibunya  tersebut.  Adapun  gejala  yang ditunjukkan  oleh  penderita  adalah  perilaku  berbicara
sendiri,  menunjukkan  emosi  marah  yang  berlebihan terhadap  suaminya,  mendengar  bisikan-bisikan  serta
kehilangan  minat  untuk  mementingkan  kebersihan pribadinya sendiri.
c.  Partisipan 3 YU Menurut  P3,  penderita  merupakan  sosok  pribadi
yang  jarang  membangun  relasi  sebelum  menderita skizofrenia. Masa kecil penderita hingga usia kurang lebih
14  tahun,  penderita    memiliki  kecenderungan  untuk menarik diri dari ajakan teman sebayanya untuk pergi dan
melakukan aktivitas bersama dan memilih untuk berada di rumah.  Namun  pada  saat  menderita  skizofrenia  dan
menjalani pengobatan hingga saat ini, penderita kemudian menunjukkan  perubahan  dari  yang  menghindari  relasi
menjadi  pribadi  yang  mau  membangun  relasi  dengan orang lain.
Adapun  beberapa  gejala  lain  yang  ditunjukkan oleh  penderita  adalah  perubahan  emosi  yang  secara  tiba-
tiba, seperti menangis, tertawa, dan melamun secara tiba- tiba.  Selain  itu,  gejala  lain  yang  terlihat  adalah
kecenderungan  penderita  dalam  membahas  tema-tema religius  dan  berbicara  sendiri.  Menurut  P,  kebiasaan
penderita  yang  berbicara  sendiri  seolah-olah  ada  lawan
bicara  menjadi  salah  satu  gejala  yang  menonjol.  Namun hal  ini  tidak  diakui  oleh  penderita  ketika  ditanya  oleh  P
mengenai siapa yang menjadi lawan bicaranya. Pandangan
P3 sendiri
terhadap penyebab
skizofrenia  yang  dialami  oleh  penderita  pada  awalnya adalah  karena  pengaruh  roh  jahat  yang  memasuki  tubuh
penderita.  Berangkat  dari  asumsi  tersebut,  maka  upaya yang coba dilakukan adalah membawa penderita ke dukun
atau  orang  pintar  untuk  mendapatkan  pengobatan  serta didoakan oleh orang yang mampu mengeluarkan roh jahat
tersebut.  Namun  setelah  beberapa  waktu  lamanya, penderita  tidak  menunjukkan  perubahan  perilaku  yang
lebih baik. Akhirnya, melalui saran dan nasehat beberapa pihak,  P3  dan  keluarga  memutuskan  untuk  mencoba
pengobatan  medis  terhadap  penderita.  Setelah  menjalani perawatan  dan  pengobatan  secara  intensif  oleh  pihak
medis,  maka  asumsi  P3  dan  keluarga  mengenai  kondisi penderita  juga  ikut  berubah.  Menurut  mereka,  ada  beban
yang  dipikiran  dan  pada  akhirnya  menimbulkan  stres berkepanjangan.  Stres  tersebut  tidak  dapat  di  atasi  oleh
kakaknya  seorang  diri  sehingga  menjadi  penyebab  sakit tersebut.  Namun  P  mengaku  bahwa  ia  dan  seluruh
anggota  keluarganya  tidak  mengetahui  dengan  pasti  apa yang menjadi beban pikiran dari penderita.
Dari  keseluruhan  latar  belakang  dari  masing-masing partisipan,  maka  dapat  dilihat  beberapa  kesamaan  dalam  hal
penyebab  skizofrenia  yang  diderita  oleh  anggota  keluarganya
serta gejala yang ditunjukkan oleh masing-masing penderita. Hal tersebut dapat ditunjukkan secara singkat melalui tabel berikut.
Tabel  4.1.  Beberapa  persamaan  latar  belakang  partisipan  yang memiliki  anggota  penderita  skizofrenia  dalam  hal  penyebab  penyakit
dan gejala yang ditunjukkan penderita.
Penyebab anggota keluarga menderita skizofrenia
menurut pandangan partisipan
Gejala yang ditunjukkan oleh anggota keluarga yang menderita skizofrenia
Genetik Neuro-
biologis Psikologis-
sosial Halusi -
nasi Avolisi
Reaksi emosi
Pem- bicaraan
yang kacau
P 1
Saudara P1
tidak diketahui
Ada tekanan karena beban
perkuliahan yang berat
Tidak diketahui
secara pasti
Kehila- ngan
minat melaku-
kan kegiatan
 
Marah
Terlihat pada saat penderita
berbicara sendiri
P 2
Saudara kandung
penderita
tidak diketahui
Ada tekanan yang
diberikan oleh suami
penderita
Halusinasi audiotoris
Tidak memen-
tingkan kesehatan
pribadi
Marah
Terlihat pada saat penderita
berbicara sendiri
P 3
Tidak diketahui
tidak diketahui
Ada beban pikiran
penderita
Halusinasi audiotoris
Malas
Marah
Terlihat pada saat penderita
berbicara sendiri
2. Permasalahan Yang Dihadapi Dalam Merawat Salah Satu Anggota Penderita Skizofrenia Pasca Perawatan