Berdasarkan kategori-kategori yang telah ada, maka langkah berikutnya adalah merekonstruksi kategori-
kategori tersebut ke dalam sebuah narasi.
4. Analisis partisipan 1
Bapak DJ adalah ayah dari BB yang telah menderita skizofrenia semenjak tahun 1991. Artinya, kurang lebih
20 tahun lamanya BB telah menderita penyakit tersebut. BB merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Sebelum
menderita skizofrenia, penderita tergolong orang yang tidak begitu termotivasi dalam mengikuti kegiatan di luar
rumah. Dari pernyataan partisipan, diketahui bahwa pada tahap perkembangan penderita di usia sekitar 19 tahun, ia
memilih untuk mengisolasi diri dan tidak membangun relasi dengan lingkungan sekitarnya. Kegagalan dalam
tahap perkembangan ini menjadi salah satu penyebab munculnya gejala penyakit, menurut pandangan partisipan
sendiri. Partisipan bersama istrinya merupakan dua sosok
pribadi yang sangat penting bagi penderita dalam menjalani masa-masa perawatan baik di RSJ maupun di
rumah. Hal ini terlihat jelas dari kesediaan partisipan dan istri yang selalu menemani penderita baik pada masa
rawat inap di RSJ hingga rawat jalan yang sampai saat ini masih rutin dilakukannya.
Adapun beberapa ciri yang ditunjukkan penderita pada awal didiagnosa menderita skizofrenia dapat dilihat
dari segi kognitif, afeksi dan konatif. Dari segi kognitif terlihat jelas adanya penurunan daya ingat. Hal ini
ditunjukkan dari mudahnya penderita untuk melupakan informasi dan saran yang diberikan kepadanya. Pola
pemikiran yang sering tidak terorganisasi juga terlihat dari ketidakmampuan penderita dalam memberikan respons
yang tepat terhadap pertanyaan atau pembicaraan dengan orang lain. Selain itu, penderita memiliki kecenderungan
untuk berbicara sendiri. Ciri lain dalam segi afektif ditunjukkan dengan
reaksi emosi marah oleh penderita yang sangat menonjol. Tidak jarang penderita melampiaskan amarahnya terhadap
orang-orang dekatnya. Selain itu, adanya kecenderungan untuk tidak dapat merasakan pentingnya berbagai macam
kegiatan yang ditawarkan oleh keluarga bagi diri penderita.
Sementara itu, dari segi konatif, penderita kurang menunjukkan perilaku yang inisiatif untuk melakukan
suatu kegiatan. Dalam hal ini, penderita hanya akan melakukan suatu kegiatan jika disuruh. Sehingga,
penderita terlihat jarang memiliki minat terhadap berbagai macam kegiatan.
Dari semua ciri yang ditunjukkan oleh penderita, ada beberapa ciri yang akan menonjol ketika penderita
mulai kambuh. Beberapa di antaranya adalah ekspresi emosi marah yang ditunjukkan penderita, juga perasaan
sedih dan terlihat lebih sering mengalami kebingungan
pada saat berinteraksi dengan orang lain. Sementara itu, dalam kondisi sehat, penderita terlihat lebih sering
mengekspresikan perasaan senang, mampu melakukan pekerjaan yang disarankan oleh partisipan dan memiliki
nafsu makan yang bertambah. Partisipan yang adalah ayah penderita menduga
bahwa gejala yang ditunjukkan oleh penderita juga merupakan akibat dari ketidakmampuan penderita sendiri
dalam menjalani masa pendidikannya, pada salah satu perguruan tinggi yang dirasa terlalu berat dan menekan.
Hal ini juga menjadi latar belakang awal munculnya penyakit yang diderita oleh penderita. Oleh karena kondisi
penderita yang demikian, partisipan bersama dengan istri memutuskan agar penderita menjalani perawatan yang
lebih intensif, baik yang dilakukan oleh pihak medis ataupun pendampingan oleh keluarga sendiri.
Selama merawat penderita dengan berbagai usaha yang coba diupayakan, keluarga juga tidak terlepas dari
beberapa masalah dan hambatan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain adalah dalam hal biaya pengobatan
yang dirasa mahal. Menurut partisipan biaya pemeriksaan untuk sekali datang adalah kurang lebih Rp. 300.000,-,
belum termasuk obat-obatan. Hal ini membuat partisipan bersama istri berupaya mencari tempat perawatan yang
lebih murah. Pada akhirnya, Panti rehabilitasi di daerah Boyolali menjadi alternatif pilihan tempat perawatan anak
mereka. Di Panti tersebut, biaya perawatan tergolong
murah. Untuk sekali pemeriksaan, pasien dikenakan biaya sebesar Rp. 50.000,- dan untuk obat-obatan biasanya
partisipan harus membayar kurang lebih Rp. 150.000,-. Selain masalah biaya perawatan, masalah lain yang
dijumpai oleh partisipan dan istri adalah merasa kerepotan dalam menghadapi anaknya yang terbatas dalam
mengingat dan memaknai setiap informasi yang diterimanya. Adanya kesulitan berkomunikasi dengan
penderita, karena
pemikiran yang
kacau serta
ketidakmampuan merespons pembicaraan dengan baik, juga merupakan salah satu permasalahan yang menjadi
pergumulan dalam keluarga partisipan. Hambatan lainnya adalah
kesulitan partisipan
bersama istri
dalam menasehati penderita untuk melakukan suatu kegiatan,
dengan maksud melatih penderita menjadi pribadi yang mandiri.
Dengan menyadari adanya gejala-gejala yang menjadi hambatan keluarga dalam merawat penderita,
maka partisipan dan keluarga mencoba berbagai cara sebagai suatu dukungan untuk membantu penderita
sembuh dari sakit yang dideritanya tersebut. Salah satu upaya yang paling utama dilakukan adalah dengan cara
membawa partisipan untuk berobat di salah satu Rumah Sakit Jiwa di daerah Solo. Tetapi karena pertimbangan
biaya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka partisipan memutuskan untuk mengalihkan pengobatan
penderita ke salah satu panti rehabilitasi yang berada di dekat rumahnya.
Selain itu beberapa dukungan isntrumental yang secara nyata coba diberikan oleh partisipan dan keluarga
adalah dengan cara melayani kebutuhan penderita,
mengontrol konsumsi obat penderita, memberikan
reward
, dukungan secara finansial bagi keinginan penderita, dan mengajari penderita untuk terlibat dalam
suatu pekerjaan serta melibatkan penderita dalam suatu aktivitas atau kegiatan di sekitar lingkungan rumah.
Pekerjaan yang dimaksud adalah mengajari penderita untuk berbelanja barang dagangan yang akan dijual
kembali di warung milik keluarganya. Sementara itu, kegiatan yang coba ditawarkan adalah kegiatan rutin
lingkungan masyarakat seperti mengikuti ronda malam dan kegiatan kerohanian di mesjid. Namun demikian,
penderita memiliki kecenderungan untuk menolak tawaran-tawaran yang diberikan oleh keluarga tersebut.
Penderita lebih memilih untuk menghabiskan waktu di dalam kamar, hanya untuk sekedar tidur atau melakukan
aktivitas yang dikehendakinya. Selain dukungan nyata dalam berupa materi
tersebut, adapun dukungan yang diberikan kepada penderita berupa informasi, nasehat serta saran yang
diharapkan membantu penderita untuk menjadi lebih baik. Beberapa di antaranya adalah usaha keluarga untuk
menasehati dengan cara merayu penderita agar penderita
memiliki keingingan untuk berobat ke Rumah Sakit Jiwa, pemberian nasehat dan saran kepada penderita untuk lebih
banyak melakukan aktivitas daripada menghabiskan waktu dengan tidur dan mengurung diri dalam kamar.
Nasehat dan saran lain diberikan pada saat penderita ingin kembali melanjutkan pendidikan setelah pasca perawatan
Rumah Sakit Jiwa pertama kali, adalah terkait pemilihan jurusan yang memiliki tuntutan pencapaian nilai akademik
yang tidak terlalu berat, sehingga dapat diikuti oleh penderita.
Dukungan secara emosional dan penghargaan yang diberikan kepada penderita juga diberikan oleh keluarga,
namun dalam intensitas dan frekuensi yang lebih rendah. Dukungan emosional dalam hal ini adalah kepedulian
keluarga kepada penderita dengan cara memarahi bahkan pernah memukul penderita agar penderita mengonsumsi
obat secara teratur serta mau melakukan aktivitas. Namun cara demikian tidak membuat penderita menjadi lebih
mandiri dan memiliki keinginan untuk beraktivitas, melainkan sebaliknya, tidak ada perubahan berarti seperti
yang diharapkan oleh partisipan dan keluarga. Akhirnya, melalui konsultasi dengan psikiater, partisipan mengubah
caranya tersebut dengan lebih bersikap empati kepada penderita dan memberikan umpan balik dengan cara yang
lebih baik tanpa memukul atau memarahi penderita. Dukungan dalam bentuk penghargaan diberikan
kepada penderita dengan mendorong penderita untuk
melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya dengan menjanjikan akan memberikan
reward
berupa permen atau uang. Selain itu, keluarga juga memberikan
kesempatan kepada penderita untuk mengaktualisasikan dirinya setelah pasca perawatan RSJ. Hal ini ditunjukkan
dengan mengijinkan
penderita untuk
melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Namun sekali lagi,
penderita gagal dalam menyelesaikan pendidikannya karena dalam masa pendidikan yang dijalaninya tersebut,
penderita mengalami kekambuhan dan harus kembali dirawat di RSJ.
Dengan melihat beberapa jenis dukungan yang diberikan tersebut, terlihat jelas bahwa pemberian
dukungan dari keluarga setelah pasca perawatan pertama kali, difokuskan kepada masa depan penderita. Dalam hal
ini, keluarga mencoba untuk tetap mendukung penderita yang ingin melanjutkan studinya di universitas. Namun,
hal tersebut gagal dijalani oleh penderita setelah beberapa bulan
berkuliah. Penderita
kembali mengalami
kekambuhan dan harus keluar dari universitas untuk menjalani perawatan intensif di RSJ.
Oleh karena itu, setelah pasca perawatan yang kedua, keluarga memutuskan untuk tidak memaksakan
penderita menyelesaikan studinya. Pemberian dukungan kali ini lebih difokuskan kepada pemberian tanggung
jawab dalam melibatkan penderita melakukan suatu pekerjaan, yakni dalam hal ini bertanggung jawab
terhadap warung yang dimiliki oleh orang tuanya. Namun, sekali lagi, penderita tidak menunjukkan perilaku yang
konsisten dalam bertanggung jawab untuk mengelola warung tersebut. Hal ini dilihat dari kebiasaan penderita
yang bertindak mengikuti keinginannya sendiri. Ada kalanya penderita rajin mengelola warungnya, tetapi ada
masa di mana penderita tidak peduli dengan warung yang dipercayakan kepadanya.
Selain dukungan secara langsung yang diberikan partisipan dan keluarga kepada penderita, adapun
dukungan yang secara tidak langsung ditujukan kepada penderita, namun tetap tersedia dan diupayakan untuk
mendukung kesembuhan penderita. Dukungan tersebut berupa penyediaan waktu untuk mencari alternatif-
alternatif pengobatan bagi penderita dan berkonsultasi dengan psikiater terkait hal-hal yang harus dilakukan oleh
keluarga selama merawat penderita pasca perawatan. Selain itu, partisipan juga berperan dalam menasehati
anggota keluarga yang lain untuk terlibat dalam mendukung penderita selama menjalani masa pasca
perawatan. Nasehat dari partisipan tersebut diterima baik oleh salah satu anggota keluarga yang mencoba
memberikan tanggung jawab pekerjaan kepada penderita. Walaupun penderita terlihat tidak konsisten dalam
menjalankan tanggung jawab tersebut bahkan pada akhirnya penderita berhenti, tidak membuat anggota
keluarga tersebut memarahi penderita. Perubahan reaksi
keluarga ini dipengaruhi oleh pemahaman mereka mengenai kondisi penderita.
Adapun dukungan dari pihak lain di luar keluarga yang turut mengupayakan kesembuhan penderita, dalam
hal ini psikiater. Menurut partisipan, psikiater memiliki peran yang sangat membantu dalam mengarahkan
keluarga pada saat merawat penderita. Misalnya mengenai aturan pemberian obat, sikap dan perilaku yang tidak
memarahi penderita
ketika penderita
melakukan kesalahan, melainkan mengarahkan dengan memberikan
saran yang baik kepada penderita serta melibatkan penderita melakukan pekerjaan di rumah. Dalam hal ini,
partisipan mengaku bahwa pengaruh nasehat serta saran yang diberikan oleh psikiater yang menangani masalah
anaknya tersebut, telah mengubah perilaku anaknya ke arah yang lebih baik.
Dalam semua
keterbatasan penderita
dan kekambuhan penderita selama menderita skizofrenia ini,
partisipan mengaku tetap memberikan dukungan dengan cara menasehati serta pemberian obat yang teratur seperti
telah dijelaskan
sebelumnya. Berdasarkan
hasil wawancara dengan partisipan tersebut terlihat jelas bahwa
motivasi dibalik pemberian dukungan tersebut adalah menjaga ketentraman di dalam keluarga mereka sendiri.
Menurut partisipan, pemberian obat adalah alternatif pilihan yang sering diambil. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari konflik yang terjadi karena nasehat yang
sering diberikan oleh partisipan tidak diterima oleh penderita.
Setiap upaya dan permasalahan yang terjadi dalam keluarga partisipan, mengajarkan partisipan dan anggota
keluarganya yang lain untuk bersabar dan terus pasrah kepada Tuhan dalam doa yang tidak pernah berhenti.
Namun dalam kondisi ini, partisipan mengaku tidak jarang ia merasa jenuh dan marah ketika menghadapi
anaknya yang terbatas dalam beberapa hal tersebut. Pada saat ini, penderita mulai menunjukkan
perkembangan yang lebih baik dari segi kognitif, afektif dan konatif setelah menjalani masa perawatan. Hal ini
ditunjukkan dengan berkurangnya reaksi emosi marah, serta meningkatnya kemampuan untuk dapat melakukan
beberapa pekerjaan
rumah yang
ringan, seperti
membersihkan rumah dan membantu menjaga warung yang dimiliki keluarganya.
2. Partisipan 2