Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Anggota Penderita Skizofrenia dalam Menjalani Masa Pasca Perawatan T1 802008112 BAB IV

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi penyajian data penelitian dan triangulasi data dari sumber lain mengenai dukungan sosial keluarga yang diberikan kepada penderita skizofrenia pasca perawatan.

A. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN 1. Persiapan penelitian

Pada tahap persiapan penelitian ini, peneliti mengacu pada konsep pra penelitian menurut Bogdan (dalam Moleong, 2006) yaitu meliputi:

a) Penyusunan rancangan penelitian.

Tahap ini meliputi, penyusunan bab 1 hingga bab 3 yang mencakup latar belakang, landasan teori, metode penelitian, kemudian mempersiapkan alat pengumpul data berupa penuntun wawancara (interview guide).

b) Pemilihan lokasi

Pada tahap pemilihan lokasi, awalnya peneliti beberapa kali melakukan survey ke beberapa rumah sakit jiwa di daerah Solo dan Semarang, serta beberapa panti rehabilitasi di daerah Boyolali dan Salatiga. Dari hasil survey tersebut, peneliti memperoleh nama calon partisipan dari panti rehabilitasi yang ada di kabupaten Boyolali. Keterbatasan peneliti dalam memenuhi persyaratan


(2)

berkas serta tidak ada pemberitahuan selanjutnya dari pihak rumah sakit jiwa, maka peneliti tidak mendapatkan calon partisipan dari pihak rumah sakit. Selain itu, dari panti rehabilitasi yang berada di kota Salatiga, peneliti memperoleh nama calon partisipan, namun setelah dihubungi, partisipan tidak bersedia untuk diwawancarai. Dengan demikian peneliti mencari nama calon partisipan berikut dari beberapa kerabat partisipan sendiri dan pada akhirnya peneliti menemui calon partisipan berikut di daerah Bandung.

Dengan demikian, pemilihan lokasi telah ditetapkan oleh peneliti dengan pertimbangan-pertimbangan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga pengambilan data yang dimaksud dilaksanakan di Kabupaten Boyolali dan Kota Bandung sesuai dengan tempat tinggal partisipan penelitian. Dengan demikian, peneliti segera menyusun alokasi waktu serta menghubungi informan dalam penelitian ini.

c) Memilih dan memanfaatkan informan

Dalam hal ini pemilihan informan bertujuan untuk membantu peneliti mendapatkan partisipan yang sesuai dengan karakteristik yang akan diteliti, yaitu partisipan yang memiliki anggota keluarga penderita skizofrenia yang menjalani masa pasca perawatan, tinggal bersama anggota penderita skizofrenia, serta merawat anggota penderita


(3)

skizofrenia pasca perawatan dengan melakukan kontrol rutin dan pemberian obat secara rutin.

Informan pertama adalah psikiater yang memiliki salah satu yayasan rehabilitasi mental di daerah Boyolali. Informan berikut adalah kerabat dari peneliti sendiri yang berdomisili di Bandung. Kedua informan membantu memberikan informasi mengenai beberapa partisipan yang memenuhi kriteria penelitian. Informan kemudian menjelaskan latar belakang partisipan serta kondisi calon partisipan kepada peneliti. Dari 4 nama yang diajukan informan pertama, peneliti memutuskan untuk memilih 2 nama partisipan dikarenakan hanya 2 keluarga tersebut yang bersedia untuk diwawancarai. Sementara dari informan kedua peneliti diperkenalkan dengan satu keluarga yang merupakan tetangga informan sendiri.

Oleh karena topik penelitian yang diangkat peneliti dirasa sangat sensitif, sehingga kedua informan merasa perlu untuk melakukan pendekatan dengan partisipan terlebih dahulu sebelum dipertemukan dengan peneliti. Setelah kedua informan melakukan pendekatan dan merasa partisipan cukup nyaman, kemudian mereka memberikan informasi alamat partisipan dan peneliti sendiri yang mendatangi partisipan di tempat tinggalnya masing-masing. d) Mengurus perijinan


(4)

cara informal, artinya tidak memerlukan surat ijin dari fakultas, dikarenakan partisipan merasa tidak membutuhkan surat tersebut.

e) Tahap penjajakan dan penilaian lapangan

Tahap ini dilakukan melalui perbincangan dengan partisipan pertama, yaitu ayah dari penderita skizofrenia, untuk partisipan kedua adalah anak dari penderita skizofrenia, sementara itu partisipan ke tiga adalah saudara kandung dari penderita. Perbincangan dengan ketiga partisipan dilakukan di rumahnya masing-masing.

f) Persiapan perlengkapan

Penelitian dilakukan dengan menyediakan alat-alat yang dibutuhkan dalam proses pengambilan data mencakup alat perekam, alat tulis, dan notes.

g) Mengetahui persoalan etika

Memberitahukan maksud dan tujuan penelitian secara terbuka kepada calon partisipan, hal ini telah dilakukan peneliti di awal pertemuan dengan ketiga partisipan.

2. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data melalui wawancara dilakukan sebanyak empat kali terhadap partisipan pertama, tiga kali terhadap partisipan kedua dan dua kali terhadap partisipan ketiga termasuk triangulasi data. Pelaksanaan wawancara terhadap seluruh partisipan dimulai pada bulan September


(5)

2012 - Maret 2013. Partisipan pertama dan kedua adalah keluarga yang dipilih dan disarankan oleh psikiater yang selama ini merawat anggota keluarganya yang sakit. Sementara partisipan yang ketiga direkomendasikan oleh salah satu kerabat peneliti yang berdomisili di Bandung.

Oleh karena peneliti belum pernah menemui ketiga partisipan sebelumnya, maka penjalinan rapport dilakukan dengan cara beberapa kali pertemuan terlebih dahulu. Untuk memastikan apakah ketiga partisipan memiliki karakteristik yang sesuai dengan penelitian, maka peneliti melakukan perbincangan dengan psikiater yang selama ini merawat anggota keluarga mereka yang menderita skizofrenia dan juga kerabat peneliti yang merupakan tetangga partisipan. Dari psikiater dan kerabat peneliti inilah, peneliti mendapatkan alamat rumah, nomor handphone serta gambaran singkat tentang ketiga partisipan.

Untuk partisipan pertama dan kedua tersebut, peneliti langsung menemuinya di rumah mereka yang terletak tidak jauh dari panti rehabilitasi mental yang menjadi tempat pertemuan peneliti dengan informan (psikiater). Sementara partisipan ketiga juga langsung ditemui penleiti di kediamannya di kota Bandung. Ketiga partisipan menerima dan bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini.

Pada wawancara awal (W0) peneliti sengaja tidak melakukan perekaman. Hal ini dimaksudkan untuk


(6)

membina rapport dan menghindari rasa tidak nyaman pada diri partisipan. Meski sifatnya informal, namun ketiga partisipan sempat bercerita tentang kehidupan anggota keluarga mereka masing-masing yang menderita skizofrenia juga sekilas tentang hal-hal yang telah dilakukan sebagai usaha dari keluarga untuk memberikan penanganan yang tepat terhadap penderita. Kemudian hasil pertemuan dan wawancara awal ini dituliskan peneliti pada bagian observasi. Dengan demikian, laporan verbatim wawancara awal (W0) tidak dimasukkan dalam transkrip, namun tercantum dalam laporan observasi.

Setelah peneliti melakukan wawancara, dilanjutkan dengan mengolah data dan mengubah dalam bentuk transkrip (print out). Setelah melewati tahap tersebut, peneliti kemudian membuat janji dengan partisipan untuk menyerahkan transkrip serta meminta persetujuan dengan menandatangani surat pernyataan.

B. ANALISIS

Analisis data kualitatif menurut Moleong (2010) pada umumnya meliputi: reduksi data, kategorisasi, pemeriksaan keabsahan data, penafsiran data, dan kesimpulan. Setelah semua data diperoleh, baik wawancara maupun hasil observasi, maka peneliti kemudian melakukan analisis data sesuai dengan tahapan yang telah dirancangkan sebelumnya.

Proses analisis data dimulai dengan pengetikan transkrip wawancara yang peneliti lakukan secara manual


(7)

dengan mendengarkan hasil rekaman sembari mengetik kata perkata. Selanjutnya peneliti menambahkan nomor (1, 2, 3, dst …) pada bagian kanan transkripsi disetiap barisnya agar memudahkan dalam proses analisis data. Peneliti juga mengetik hasil observasi lapangan yang peneliti kumpulkan pada saat pengambilan data berlangsung.

Setelah proses pengetikan selasai, peneliti kemudian membaca transkrip wawancara, dan hasil observasi berulang-ulang hingga peneliti mampu menemukan alur dan juga menentukan tema-tema serta makna dibalik setiap kalimat yang diungkapkan partisipan penelitian baik secara verbal maupun non verbal. Tema dan makna tersebut peneliti tambahkan pada bagian kiri transkrip.

Agar memudahkan dalam membaca dan menyajikan data, maka peneliti juga memberikan kode sesuai dengan nama dari setiap partisipan, yaitu untuk partisipan pertama DJ, partisipan kedua A dan partisipan ketiga YU. Hal yang sama juga berlaku bagi nama kerabat yang menjadi triangulasi, peneliti menuliskan dengan inisial nama keduanya.

Selanjutnya peneliti mengelompokkan data ke dalam aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian kemudian mencoba untuk membandingkan antara partisipan pertama, kedua dan ketiga. Adapun hasil kategorisasi berdasarkan masing-masing aspek dapat dilihat pada tabel yang terlampir.


(8)

C. DESKRIPSI PARTISIPAN 1. Partisipan 1

a. Gambaran umum partisipan 1

Nama : DJ

TTL : Boyolali, 8 Agustus 1938

Umur : 75 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan Terakhir : Pendidikan Guru SLP

Status : Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Pensiunan Guru

Partisipan adalah seorang bapak dari tiga orang anak yang saat ini berstatus sebagai pensiunan guru. Partisipan tinggal bersama istri, mertua dan dua orang anaknya di Kabupaten Boyolali. Sedangkan anaknya yang pertama, pada saat ini berdomisili di Semarang. Sehari-hari partisipan mencari kesibukan dengan pergi menggarap ladangnya.

Partisipan bernama DJ. Ia memiliki seorang anak penderita skizofrenia yang bernama BB. Pada saat ini BB berusia 40 tahun. BB merupakan lulusan SMA Negeri Boyolali dengan jurusan A2 dan kemudian melanjutkan studi D3 pada salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Semarang, program studi teknik kimia. Masa studi BB hanya bertahan sekitar 3 semester atau kurang lebih satu setengah tahun. Menurut orang tua BB, hal yang menyebabkan BB tidak melanjutkan studi di


(9)

Perguruan Tinggi hingga selesai adalah karena BB yang sering menunjukkan gejala bingung karena tidak kuat mengikuti pelajaran yang diberikan oleh pihak Universitas.

Kebiasaan BB yang mulai bingung dan juga suka marah-marah di rumah membuat DJ menyarankan BB untuk menjalani perawatan di RSJ Solo, namun hal ini tidak langsung ditanggapi secara baik oleh BB, oleh sebab itu DJ dan istrinya harus beberapa kali membujuk anaknya tersebut untuk pergi berobat. Pada akhirnya BB setuju dan diantar oleh DJ dan istrinya ke RSJ Solo. Pada saat itu BB hanya dirawat jalan selama beberapa bulan. Setelah itu BB disarankan oleh pihak keluarga untuk beristirahat, namun hal ini tidak di dengar oleh BB.

Setelah BB merasa pulih dari sakitnya, BB memutuskan untuk mengikuti tes masuk Perguruan Tinggi dan hasilnya BB diterima di program studi FKIP Sejarah pada salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Semarang. Selama menjalani studi di FKIP Sejarah, BB juga aktif mengikuti kegiatan keagamaan. Menurut orang tua BB kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang beraliran keras dari salah satu agama. Oleh sebab itu, BB kembali tidak kuat dalam mengikuti ajaran agama tersebut sehingga BB kembali menunjukkan gejala bingung. Akhirnya BB harus dikeluarkan dari


(10)

Universitas lagi yang baru dijalaninya selama kurang lebih 6 bulan.

Karena gejala bingung dan marah yang sering ditunjukkan oleh BB, maka keluarga memutuskan untuk membawa BB menjalani perawatan di RSJ Solo. Di sana, BB menjalani masa perawatan selama kurang lebih 2 bulan. BB telah 2 kali menjalani rawat inap di RSJ Solo selama kurang lebih 2 sampai 3 bulan untuk setiap kali perawatan. Pada saat ini partisipan dan istrinya memiliki tanggung jawab penuh untuk merawat BB dalam masa pasca perawatan RSJ dan juga membawa BB untuk melakukan kontrol rutin ke Psikiater terdekat.

2. Laporan observasi selama wawancara

Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 11 Septermber 2012, pukul 16.38 – 18.15 di rumah partisipan. Pada saat peneliti datang, istri partisipan yang membukakan pintu rumah dan mempersilahkan peneliti masuk. Setelah peneliti dipersilahkan duduk, kemudian partisipan dipanggil oleh istrinya untuk menemui peneliti. Setelah partisipan datang, peneliti mulai meminta ijin untuk merekam dan menjelaskan kembali tujuan untuk datang ke rumahnya pada sore itu.

Wawancara berlangsung di ruang tamu, dengan posisi duduk peneliti yang berhadapan dengan DJ.


(11)

Pada saat mulai wawancara peneliti mulai menanyakan beberapa informasi umum mengenai identitas anak yang sakit terlebih dahulu. DJ menjawab setiap pertanyaan yang diberikan dengan tenang dan dengan suara yang cukup tegas. Semua informasi mengenai anak DJ yang selama ini menderita skizofrrenia di ceritakan secara runtut, mulai dari waktu anaknya mulai sakit.

Beberapa pertanyaan terkait awal mula sakit, dijawab partisipan dengan sesekali tertawa. Ia menceritakan bagaimana anaknya menunjukkan ketidakmampuan dalam menjalani masa perkuliahan di teknik kimia UNDIP-Semarang, sehingga hal ini mengakibatkan kebingungan dan perasaan tertekan yang membuat anaknya menjadi seperti ini.

Beberapa waktu lamanya ketika sedang mewawancarai DJ, istri DJ datang sambil membawa minuman untuk DJ dan peneliti sambil mempersilahkan kami untuk meminumnya. Setelah itu, peneliti meminta ijin untuk kembali melanjutkan wawancara dengan DJ. Pada saat itu istrinya tidak langsung kembali ke dapur, melainkan duduk di dekat pintu yang menghubungkan ruang tamu (tempat kami melakukan wawancara) dan warung, sambil menunggui warung tersebut.

Beberapa informasi yang ditanyakan oleh peneliti terkait pengobatan dan waktu dirawat anak DJ, dijawab


(12)

DJ dengan bantuan istrinya karena DJ kesulitan dalam mengingat kembali kronologis beberapa kejadian pada saat dibawa ke rumah sakit, menjalani pengobatan di rumah sakit, kembali ke rumah, dan sebagainya. Selanjutnya, pada selang beberapa menit setelah berjalannya wawancara, anak DJ yang sakit (BB) datang dan ikut duduk di dekat kami berdua. BB menyapa peneliti dan kemudian mengajak peneliti bercerita, tetapi DJ kemudian menegaskan kepada BB bahwa peneliti membutuhkan waktu untuk berbicara dengan DJ. Selanjutnya BB tetap duduk di dekat peneliti dan DJ dan berbicara seorang diri.

Pada saat pertanyaan yang diajukan peneliti mengenai bagaimana BB pada awal sakit dan gejala yang ditunjukkan, DJ menjawab dengan nada yang mulai pelan, seolah-olah apa yang dikatakan jangan sampai didengar oleh anaknya yang pada saat itu duduk di situ. Selain itu, pada saat DJ sedang menjelaskan beberapa penyebab yang diketahuinya sebagai salah satu pemicu sakitnya BB, istri DJ langsung ikut berbicara. Menurut istri DJ, DJ sering memanjakan BB pada masa kecilnya. BB tidak diperbolehkan untuk bekerja keras, karena itu pada saat menerima tantangan dalam perkuliahan, BB menjadi sosok yang tidak kuat, dan mengakibatkan dia menjadi kebingungan serta terdapat gangguan pada syarafnya. Pada saat istrinya menjawab demikian, DJ hanya


(13)

menatap ke arah luar rumah sambil terdiam dan tidak banyak berbicara.

Setelah itu, peneliti memohon ijin kembali kepada istri DJ untuk melanjutkan wawancara dengan DJ. Pada saat itu istri DJ masih duduk di dekat pintu dan beberapa menit kemudian kembali ke warung untuk melayani pembeli yang datang.

Wawancara kedua dilaksanakan tanggal 26 September 2012, pukul 14.30 – 15.55, bertempat di ruang yang sama seperti wawancara pertama. Pada saat itu, DJ baru saja kembali dari ladang. Seperti wawancara sebelumnya, peneliti dan DJ diberikan minuman oleh istri DJ. Kami melanjutkan wawancara sambil menikmati minuman yang telah disediakan. Wawancara kedua berlangsung lebih lama. Peneliti menanyakan beberapa hal untuk memastikan jawaban dari hasil wawancara pertama. Pada wawancara kali ini, DJ lebih terbuka menceritakan apa yang dialami dirinya dan keluarganya ketika harus merawat BB. Seperti halnya wawancara sebelumnya, DJ menjawab pertanyaan dengan sangat tenang, dan dengan nada suara yang tegas. Beberapa pertanyaan terkait apa yang biasa dilakukan BB sehari-hari dijawabnya sambil tertawa.

Ketika peneliti menanyakan mengenai perasaannya terkait dengan memiliki anak yang menderita sakit ini, volume suaranya langsung


(14)

mengecil. Sambil tertunduk dan sedikit tertawa kecil, DJ mengatakan bahwa ia sedih dan hanya bisa tetap memohon kepada Tuhan. Sedangkan, untuk pertanyaan selanjutnya mengenai apa yang biasa BB lakukan dalam kesehariannya, tiba-tiba dijawab ia dengan volume suara yang kembali meninggi. Beberapa kali DJ mengeluh mengenai BB yang tidak ingin melakukan banyak hal, padahal ia telah menyarankan bahkan mengajak BB untuk bersama-sama melakukan kegiatan-kegiatan yang menurut DJ mudah untuk dilakukan.

Pada wawancara ketiga, yaitu tanggal 29 September 2012, pukul 13.10 – 14.00 WIB, partisipan terlihat kurang bersemangat dalam menjawab beberapa pertanyaan yang diberikan. Tidak seperti wawancara ke dua, partisipan hari itu terlihat lebih diam. Pada saat wawancara, peneliti sempat bertanya mengenai tindakan atau perilaku DJ ketika ia sedih karena melihat tingkahlaku BB. DJ pada saat itu hanya menatap keluar sambil menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti, beberapa kali DJ melihat ke arah peneliti dan terlihat dengan jelas mata DJ yang berkaca-kaca ketika mengatakan bahwa ia hanya bisa berpasrah kepada Tuhan sambil tetap berharap akan ada perubahan dalam diri BB.

Selanjutnya pada saat menjawab pertanyaan peneliti terkait hal yang sudah ia lakukan untuk


(15)

membantu BB, partisipan hanya mengeluh karena merasa jemu dengan sikap BB yang tidak juga berubah. Hal ini dikatakannya sambil menggelengkan kepala dan sesekali menarik napas panjang. Setelah cukup banyak bertanya, peneliti memutuskan untuk mengakhiri wawancara pada sore itu, karena menimbang kondisi DJ yang tidak begitu aktif dalam menjawab pertanyaan seperti wawancara-wawancara sebelumnya. Peneliti menduga hal ini dikarenakan DJ masih merasa lelah karena baru saja kembali bekerja dari ladang.

3. Analisis verbatim

Analisis verbatim P1W1

Makna Verbatim

Marah sebagai emosi yang menonjol pada saat kambuh.

Ya, pertama dulu sering marah. (P1W1 28) Kambuhnya yah marah-marah. (P1W1 42) Cara untuk bisa membawa

penderita berobat adalah dengan membohongi dan merayu penderita

Tapi kalo saya antar ke sana ditipu kok. Kalo apa adanya gak mau. Jadi harus dibujuk rayu baru mau (P1W1 42-44)

Ibu berperan dalam memberikan dukungan ke

Oh biasa ibu. Kalo ke rumah sakit tidak dibujuk ibu, tidak


(16)

penderita untuk pergi ke rumah sakit.

mau. Kalo ke solo itu, ibunya yang merayu. Tapi kalo udah agak sehat ke sana biasa dengan saya. (P1W1 48-49)

Ciri yang ditunjukkan oleh penderita ketika keadaannya membaik adalah mau diajak ke RSJ dengan menggunakan sepeda motor.

Tapi kalo udah agak sehat ke sana biasa dengan saya. Kalo pas keadaannya baik, naik sepeda motor itu berani kemana-mana itu. Pas keadaannya agak normal (P1W1 50-52)

Ciri lain yang penderita ketika kondisinya membaik adalah nafsu makan yang besar dan emosi gembira yang ditunjukkan, sedangkan dalam kondisi kambuh, penderita terlihat sedih.

Pokoknya kalo jajannya banyak, kalo makannya banyak itu agak normal. Yah makannya banyak, ada orang odong-odong datang itu jajan gembira. Tapi kalo gak kelihatannya sedih. (P1W1 54-58)

Aktivitas yang dilakukan oleh penderita ketika penderita dalam kondisi yang tidak kambuh.

Ya anu, nyapu, kulaan dagangan, kulaan bensin mau kok. Kulaan itu senang tapi setelah kulaan, yah jajan, beli es, ya


(17)

(P1W1 61-63) Partisipan dan istrinya

membiayai perawatan anaknya.

Yah saya yang biayai perawatannya sama ibu. Disini sudah ringan kok, anu periksanya 50ribu. Obatnya yah ringan, 150 rata-rata (P1W1 65-69)

Keaktifan dalam bekerja pada penderita dalam kondisi yang sedang tidak kambuh berdampak pada sedikitnya jumlah obat yang harus dikonsumsi.

Yah, jatah satu bulan bisa untuk dua bulan. Soalnya kalo dia mau kerja siang, malam tidak perlu makan obat. Nanti udah tidur sendiri kok. Otomatis itu. Tapi kalo siangnya itu kerja tidak banyak, obatnya yang banyak gitu. Intinya, kalo kerjanya banyak, obatnya dikit, biayanya ringan. Hanya makannya juga banyak. (P1W1 73-78) Partisipan berperan dalam

memenuhi kebutuhan sehari-hari penderita.

Iya, saya yang layani, yang ngontrol kebutuhannya. Uangnya ambil sendiri di warung (sambil tertawa) (P1W1 80-82)


(18)

pengarahan dan dilibatkan dalam melakukan

kegiatan berdagang namun hal tersebut tetap dikontrol oleh P.

termasuk caranya kulaan. Pembeliannya sekian, jualnya sekian. Disitu sudah saya tulis, saya beritahu juga untuk mengecek jujur

tidaknya. (P1W1 86-88) Partisipan berperan dalam

mengontrol konsumsi obat penderita, karena

penderita tidak mampu mandiri dalam mengatur jadwal untuk minum obat.

Iya, kalo untuk minum obat, saya kontrol terus obatnya. (P1W1 94).

Yah kalo tidak dikontrol, seenaknya sendiri. Kecuali makan, lauk pauknya tidak usah dikontrol. (sambil tertawa). (P1W1 99-100) Ibu mempunyai

keterbatasan waktu dalam mengurus penderita.

Kalau ibu tidak, gak sempat, harus masak, cuci, apalagi mertua saya disini, ngurusi orang tua. (P1W1 96-97) P berendapat bahwa

beban kuliah yang berat menjadi salah satu penyebab munculnya penyakit.

Cita-citanya dulu teknik kimia, tapi tidak kuat. Setelah itu disuruh istirahat dulu 2 tahun tidak mau. Ikutan teman, tapi tidak ngukur kemampuannya sendiri. (P1W1 105-107) P mengarahkan penderita Keinginannya terlalu tinggi,


(19)

memilih jurusan yang sesuai kemampuan penderita, namun penderita mengabaikan arahan tersebut.

tapi diarahkan angel. Kimia tidak kuat kemudian

diarahkan oleh kiai dari adiknya ibu supaya istirahat 2 tahun, tidak mau kok (P1W1 107-109) P bermaksud melibatkan

penderita untuk beraktivitas, namun penderita tidak memiliki minat untuk melakukan kegiatan tersebut.

Tidak mau ikut kegiatan apapun dia (P1W1 111). Yah, kalo saya ke ladang saya ajak tapi dia tidak mau (P1W1 116)

P merasa jenuh dalam menyarankan penderita untuk melakukan aktivitas.

Oh nyaranin ikut kegiatan ini itu, sampai jemu. (P1W1 114)

P tidak memaksa penderita untuk

melakukan kegiatan untuk menghindari konflik yang dapat terjadi.

Oh kalo dipaksa malah anu repot. Mau yah ikut, tidak mau yah ga ikut (P1W1 122-123)

Kekhawatiran P terhadap penderita ketika penderita berpergian, membuat P memberikan arahan

Oh diberitahu, jalan belakang, kalo lewat jalan besar gak mau kok. Gak berani. Soalnya waktu di


(20)

mengenai jalan yang dapat dilewati.

Semarang simnya diambil polisi. (P1W1 134-136) Pengalaman penderita

yang pernah melanggar peraturan lalulintas karena jalan pemikirannya yang kurang rasional.

Pikirannya udah goyang, ada lampu merah nekat kok. Kalo sekarang udah mulai normal (P1W1 136-137)

Dalam kondisi yang membaik (tidak kambuh), penderita mampu

melakukan aktivitas berdagang.

Yah iya, kulaan dagangan itu bisa. Tapi kalo udah agak normal (P1W1 139)

Keluarga memberikan pengarahan dan mendorong penderita untuk beraktifitas atau melakukan suatu

pekerjaan di rumah pada saat penderita dalam kondisi baik.

Yah nyatat, kalo ada yang beli terus utang, ditulis semua. Kalo dia lagi pikirannya normal, saya suruh ke toko, kulaan dagangan, tapi kalo gak yah gak. Biasanya saya juga sarankan nyapu, terutama ibunya. Kalo gak gitu yah gak mau. Gak mau bangun kalo gak dibangunin (P1W1 145-149)

P merupakan sosok yang ditakuti oleh penderita.

Yah, saya bilang, dia agak takut kalo dengan saya


(21)

(P1W1 151) P menasehati penderita

dengan menunjukkan kemarahan, namun hal ini dibatasi agar tidak terjadi konflik yang besar antara keduanya.

Oh pernah marah banget saya waktu dulu. Yah saya batasi marahnya makanya, supaya nanti tidak ada dendam. Ya toh, soalnya pikirannya udah terganggu. (P1W1 153-156 )

Penghargaan yang diberikan oleh keluarga jika penderita melakukan hal yang baik.

Misalnya kalo kerjaannya baik yah diberi hadiah, kayak permen dan

sebagainya. (P1W1 168-169) Pemberian nasehat dengan

tidak menunjukkan sikap marah karena

menghindari konflik yang akan menyusahkan P dan keluarga.

Kalo dimarahin malah repot nanti. Lah kadang-kadang saya ajak kemana gitu juga ikut. Kadang gak juga (P1W1 169-170)

Keluarga mendorong penderita untuk meniru hal yang baik dari anggota keluarga lain.

Yah itu kasih contoh keluarga sendiri, dibilangin biar lihat kakaknya yang berhasil, adiknya juga sudah bekerja. (P1W1 173-174)


(22)

Analisis verbatim P1W2

Makna Verbatim

Keluarga mengarahkan penderita untuk berhenti sekolah sementara waktu, namun penderita

mengabaikan arahan tersebut.

Dia sakit, terus disuruh istirahat dulu, nda mau. Terus keluar, sekolah lagi katanya saudaranya di semarang, disuruh istirahat 2 tahun dulu, tidak boleh sekolah dulu biar pikirannya tenang. Dia tidak mau, kemudian beberapa bulan ikut itu, aduh namanya apa. Masuk perguruan tinggi namanya apa itu loh (P1W2 7-11) Nasehat untuk beristirahat

setelah pasca perawatan dari keluarga diabaikan oleh penderita yang ingin mengaktualisasikan dirinya dalam dunia pendidikan.

Iya sakit, disuruh istirahat tidak mau, terus beberapa bulan melu testing lagi ke perguruan tinggi negeri (P1W2 16-17)

Pemikiran yang sering berubah-ubah atau tidak konsisten serta

kebingungan menjadi

Ya anu, sering bingung itu loh. Pokoknya

pemikirannya berubah-ubah. (P1W2 25-27)


(23)

gejala yang ditunjukkan penderita

Keadaan dan kegiatan penderita pada saat di salah satu RSJ di Solo

2 kali yah, di opname. Di solo itu yah dicampur itu sama orang seng anak yang tidak sekolah, yang sekolah sd, smp, sma, perguruan tinggi

dicampur. disana itu tidak dilatih, dibiarke tidur, repot toh (P1W2 36-40) Perawatan di rumah sakit

dipilih keluarga sebagai cara untuk memulihkan penderita yang sering menunjukkan gejala bingung di rumah.

Rawat jalan dulu di rumah. Udah di rumah jadi bingung, akhirnya diopname sampai kira-kira 2 bulan (P1W2 47-48)

Ada penanganan yang lebih baik yang diberikan oleh salah satu psikiater.

Kalo dengan bu A iya, perbedaannya banyak. Kalo bu A itu misalnya cara menangani dan memberi perhatian ke orang sakit itu (P1W2 52-54)

Penderita mencoba mengaktualisasikan

Bar loro, durung di opname trus ada buka


(24)

dirinya dengan berusaha melanjutkan studi serta mengikuti pengajaran-pengajaran agama, namun penderita tidak mampu untuk melanjutkan pilihannya tersebut.

pendaftaran, dia tes, masuk. Setelah itu sekolah fkip, kemudian ikutan pengajian juga yang aliran keras. Terus ga kuat ajarannya, ga kuat sekolahnya, yah jadi bingung toh. Sarafnya itu udah renggang (P1W2 59-63)

P membandingkan kebiasaan anak-anaknya di rumah, dan salah satu kebiasaan penderita sendiri sebelum sakit yaitu menghindari kegiatan-kegiatan di luar rumah.

Lah anak yang nomor 1 itu kuat yang terakhir ya kuat kok, hanya yang nomor 2 ini yang ga kuat. Soalnya mereka itu ikutan kegiatan apa-apa. Ikut karate, hanya BB yang ga mau ikut apa-apa, ga mau kerja apa-apa, jadinya kayak gitu. (P1W2 64-68) Penerapan pola asuh yang

berbeda oleh P terhadap adik penderita (anak P yang ketiga) setelah melihat kondisi penderita yang menderita gangguan

Berhubung anak saya yang nomor dua kayak begitu, jadi anak saya yang nomor 3 itu saya suruh ukur


(25)

jiwa. sekolah, jangan ikutan konconya. Terus aku ajak kulaan, ke pasar. Saya latih biar ga malu kayak kakaknya ini. Sejak dulu kan ga ada kerjaan (P1W2 68-72) Biaya pengobatan yang

mahal menjadi salah satu masalah yang dialami keluarga dalam merawat penderita di rumah.

Iya balik Solo, tapi obatnya mahal. Di sana itu 1 minggu habisnya 2 juta loh. Iya, mahal itu di Solo. Tiap bulan yah rawat jalan yah mahal banget itu. Obatnya itu dulu pertama habisnya 30 ribu, jaman dulukan itu mahal. Sekitar tahun 91 itu. Berat kok ongkosnya itu (P1W2 85-93)

P mencari informasi mengenai psikiater yang dapat menangani

perawatan anaknya.

Dulu anu, disitu ada yang sering berobat ke sana. Jadi mereka memberi tahu toh. Ya, ketemu bu A (psikiater) (P1W2 99-102) Ada perubahan perilaku

penderita ke arah yang

Oh ga diopname, hanya obat jalan saja. Iya,


(26)

lebih baik soalnya sekarang udah mau disuruh. Dulukan ga mau (P1W2 106-107) Pemberian saran oleh

psikiater kepada keluarga terkait konsumsi obat penderita.

Iya sebulan. Tapi bu A pernah berkata kalo waktu siang banyak bekerja, obat tidurnya tidak usah di anu tidak usah diminum. Jadi kalo siangnya sudah kerja sudah rajin bekerja tidak perlu dikasih obat. (P1W2 110-113)

Partisipan/keluarga melibatkan penderita untuk melakukan pekerjaan rumah sehari-hari.

Ya belum, setelah saya bilang baru lakukan. Buang sampah, kalo saya suruh saja. Ya jaga warung. Kalo dia jaga dibayar pake uang 50an, masih bingung balikin. Dia itu ga mau terima uang yang sobek, yang jelek, yah ada baiknya juga sih (P1W2 128-130) Pemberian obat,

melibatkan penderita untuk beraktifitas dan

Ya anu, disuruh bekerja itu menurut


(27)

memberikan pengarahan sebagai salah satu cara yang digunakan dalam menangani penderita.

Seperti buang sampah itu. (P1W2 134-135)

Pemberian obat menjadi pilihan yang diambil P bagi penderita daripada menasehati, karena menghindari konflik yang akan menyusahkan P dan keluarga.

Tapi saya juga beri obat setelah itu tidur dia. Kalo diomongin yah angel itu. Jadi saya kasih obat saja diberitahu susah, kalo dibilangin malah repot. (P1W2 135-137) Psikiater memberi

pengaruh baik dalam pemulihan penderita.

Mau, sudah diberitahu sama bu A kok. Jadi pengaruhnya bu A itu baik terhadap orang sakit itu. (P1W2 142-143)

Berbicara sendiri, kecenderungan untuk mudah marah, dan

pemikiran yang terganggu merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh

penderita.

Ga, paling hanya ngomong-ngomong sendiri aja. Kalo marah sudah jarang itu. Kalo sudah gitu dikasih obat saja supaya ga marah. Kalo diberitahu yah ga masuk kok ke pikirannya. Diberitahu pikirannya sudah tidak menerima.


(28)

(P1W2 150-153) Ada perasaan sedih dan

bingung yang dialami oleh keluarga penderita.

Oh iya, sedih. ini sudah jatah. Jatah dari Tuhan (sambil tertawa) sudah jatah dari Tuhan ini. yah kadang mumet saya. (P1W2 161-162) Pemberian nasehat dan

obat oleh P kepada penderita ketika penderita mulai kambuh.

Yah diberitahu toh dengan kata-kata lunak, terus diobatin tadi udah. Ya kasih tau ini obatnya dari bu A, harus diminum (P1W2 165-168) P melibatkan anggota lain

untuk mendukung pemulihan penderita dengan memberikan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya.

Biasanya saya libatkan adeknya atau kakaknya, gitu aja. Dulu dikasih kerja sedapatnya. (P1W2 178-179)

P mengalihkan kemarahan penderita ke aktivitas yang dapat dilakukannya, namun perhatian dan minat dalam mengerjakan aktivitas tersebut cepat beralih.

Oh dulu iya, marah tapi saya beritahu yang lunak-lunak. Misalnya kalo ada kesempatan saya alihkan untuk mengerjakan hal lain. Seperti mengetik sesuatu, pakai mesin


(29)

ketik. Tapi baru beberapa hari udah ogah kok. Udah gak mau ngetik lagi pakai mesin ketik itu (P1W2 185-190)

Aktivitas penderita saat membaik di rumah tetap dikontrol P, sehingga penderita tetap konsisten terhadap pekerjaan yang telah dipercayakan kepadanya.

Yah anu, di rumah itu, kulaan dagangan pakai sepeda motor. Yah kulaan dagangan yang lain, yah pekerjaan rumah, yah nyapu, tapi kalo gag diperintah yah gag mau. Kalo gag dikasih tahu yah tidur lagi. Iya, lah

tugasnya menutup pintu warung kalo udah malam, yah kalo tidak diperintah yah di kamar terus. Lebih banyak di kamar dia (P1W2 197-205) Salah satu kehilangan

minat penderita untuk bekerja, menurut P adalah karena kurangnya

keterlibatan penderita dalam kegiatan-kegiatan

Lah ini karna di Solo ga diberi ladang kerja jadi tidur makan, tidur mandi. Keterusan sampai rumah (P1W2 205-206)


(30)

pada saat penderita menjalani perawatan di RSJ.

Ketakutan P akan

terjadinya suatu masalah atau konflik ketika penderita keluar rumah terlalu lama.

Saya yah takut, pikirnya dia diapakan orang, ternyata mampir

tempatnya teman (sambil tertawa). Lah pakai motor tidak bawa surat itu loh kalo ketangkap yah repot saya (P1W2 210-213) Adanya upaya untuk tetap

sabar yang dimiliki oleh keluarga dalam

mendukung pemulihan penderita.

Yah diberi tahu lagi, habis gimana lagi, hanya bisa beritahu dia. Kalo ga sabar yah susah sendiri (sambil tertawa) gitu. Apalagi dia sakit jiwa toh. (P1W2 219-221)

Penderita mengalami penurunan daya ingat.

Oh sering, lebih banyak lupanya, jadi harus

diingatin. Dari 10 kali yah yang tidak lupa satu kali (sambil tertawa).

Ingatannya udah agak turun itu. (P1W2 226-228) P merasa tugas dan Iya toh, tugas orang tua


(31)

tanggung jawabnya sebagai orang tua berat.

seperti itu yah berat (P1W2 230)

P mencoba memfasilitasi penderita yang memiliki keinginan untuk kembali bersekolah, dengan tetap mengarahkan pemilihan jurusan yang lebih mudah daripada teknik.

Yah saya tahu dia pengen sekolah lagi tapi sudah terlanjur putus syarafnya yah repot. Saya tuh suruh yang rendah dulu jangan yang tinggi-tinggi kayak teknik itu kan repot (P1W2 233-235) Usaha partisipan/keluarga

untuk terus memberikan saran dan pengarahan kepada penderita.

Saya menyarankan hampir tiap hari tapi tidak masuk sini kok (sambil

menunjuk ke kepala). Kadang saya beri saran 10 kali, hanya 1 kali yang masuk disini (menunjuk ke kepala) (P1W2 249-251)

Perasaan sedih dialami oleh keluarga penderita, karena harus menerima keadaan atau nasibnya.

Yah sedih, mau gimana lagi. Sudah jatahnya yah. (P1W2 254)

Kondisi penderita terlihat membaik dalam hal menangkap informasi

Yah komunikasi tetap sering itu, tapi sukar menangkap. Ini udah agak


(32)

yang diberikan oleh P baik. Sekarang udah agak mudeng. Udah agak mudah dibilangin. Dulu angel kok (P1W2 273-275)

Ada dorongan dari keluarga bagi penderita untuk melakukan

pekerjaan demi pemulihan penderita.

Yah saran untuk banyak kerja, sehingga

penyakitnya berkurang. Terus obatnya berkurang. Iya, sering saya lakukan, saya suruh BB kerja toh. Tapi kalo ke ladang, gak mau. Yang disenangi aja dilakukannya. (P1W2 281-285)

P dan penderita jarang melakukan komunikasi, jika tidak begitu penting hal yang ingin

dibicarakan.

Aduh, jarang itu ngobrol, tidak pernah. Seperlunya aja (P1W2 297)

Kesulitan P dalam

memberikan saran kepada penderita karena kesulitan penderita dalam menerima saran-saran tersebut.

Yah sesekali aja. Kalo saya ngomong 10 kali yang diterima 1 tok (P1W2 302)


(33)

penurunan daya ingat udah lupa misalnya menutup pintu, kalo tidak diberitahu yah sampai malam tidak ditutup. Iya toh, dia itu tidak berubah, pikirannya tidak menerima kalo dibilangin (P1W2 307-310)

Penderita hanya melakukan hal yang diminati.

Iya, sering saya lakukan, saya suruh BB kerja toh. Tapi kalo ke ladang, gak mau. Yang disenangi aja dilakukannya. (P1W2 312-314)

Partisipan menyadari perbedaan antara anaknya yang menderita sakit dan anaknya yang lain.

Kalo anak saya pikiran lancar jadi tidak perlu diberitahu, kalo yang ini kan diberitahu tapi gak mau denger, malah baca koran terus kerjaannya, kalo yang nomor 1 yah rajin, kalo yang kecil juga ranking 1 terus kok. Ini yang nomor 2 lebih istimewa, jadi agak diatur (P1W2 314-318)


(34)

Upaya P dalam memberikan reward kepada penderita agar penderita termotivasi dalam mencari pekerjaan yang sesuai

kemampuannya.

Ya saya tetap beritahu, tapi dengan kalimat yang lunak-lunak. Misalnya besok kalo udah punya anu kalo kerjaannya sudah baik ajak piknik misalnya, ke tempat siapa saya ajak (P1W2 323-326)

Penurunan daya ingat membuat penderita sulit bertanggung jawab terhadap suatu hal.

Yah iya, tapi menerima saja. Biasa baru dikasih tau seketika udah lupa. Semisal dirumah piring udah bersih, terus dipakai, kalo tidak dibilang yah tidak dicuci kok (P1W2 343-345)

P merasa jenuh dan kesulitan dalam

memberikan nasehat dan petunjuk karena

keterbatasan kemampuan kognitif penderita dalam menerima informasi dan memberikan respons yang tepat.

Yah, udah dibilang sampai jemu sendiri. Diberitahu sekarang nanti udah lupa kok. Yah repotlah. Disini kan (sambil tunjuk kepala) ingatannya udah tidak sampai. Katanya bu A kalo disini sudah tidak sampai, tidak baik kok.


(35)

Ditanya A sering jawab B. Kemana, misalnya ke utara jawabnya ke selatan. Misalnya begitu.

Kerjaannya apa? Belum bekerja tapi katanya udah bekerja. kalo ditanya udah urut yah baik, tapi

kadang-kadang tidak urut. (P1W2 348-355)

Penderita hanya

melakukan pekerjaan yang dikehendakinya.

Ya iya, kalo tidak sesuai keinginannya tidak mau. Umpama disuruh kasih makan burung itu, nda mau. Bukan kehendaknya sendiri (P1W2 348-355) Adanya perubahan

perlakuan terhadap penderita oleh salah satu anggota keluarga (anak ketiga P) setelah memahami kondisi penderita

Oh ya dulu, sekarang udah tidak pernah. Sebelum Yusuf bekerja itu yah sering marah. Yah itu kan belum tau kalau masalah itu begini-begini. Setelah Yusuf sudah saya beritahu, terus dia juga udah mulai bekerja, setelah itu mulai berubah


(36)

pikirannya. Tidak menghiraukan. Malah sekarang kalo punya oleh-oleh malah diletakkan dimeja, BB minta yah dia iya aja (P1W2 368-375)

Analisis verbatim P1W3

Makna Verbatim

Peran psikiater yang baik membuat frekuensi emosi marah penderita

berkurang

Yah waktu belum ke bu A yah iya marah-marah, sekarang udah gak (P1W3 10-11)

Upaya yang dilakukan P adalah membawa

penderita ke RSJ ketika menunjukkan gejala bingung, namun hal tersebut melibatkan peran ibu dalam merayu

penderita untuk mau pergi berobat.

Iya, saya bawa ke Solo itu, karena bingung terus. Tapi dia gak mau, jadi diberi nasehat oleh ibunya baru mau dia. Yah terus pake motor ke sana. Kadang pakai bis (P1W3 19-21)

P menyadari perlakuan terhadap anaknya dengan memukul kurang tepat, sehingga adanya

Yah saya kerasi sungguh. Sekarang tidak. Yah pernah mukul, tapi saya hati-hati jangan sampai


(37)

perubahan perlakuan pada saat ini.

kepala. (P1W3 33-34)

Perasaan dan kesulitan yang dialami keluarga dalam merawat penderita.

Yah, saya rasa repot. Pikiran saya. Diberitahu sekali malah seketika yah taat. Misalnya nunggu warung sebentar, setelah itu keluar pergi jajan. (P1W3 45-47) P berusaha menerima

keadaan yang dialaminya dan keluarganya

Yah anu, jatahnya sudah begitu. Perubahannya hanya sedikit. Yang penting dia gak ke mana-mana itu loh. Kalau ke mana-mana ya repot. Dulu pernah ke Semarang sendiri ke rumah kakak saya. Yah kakak saya telpon beritahu (P1W3 54-57)

Membawa penderita ke psikiater dan berdoa adalah upaya yang

dilakukan keluarga dalam merawat penderita.

Yah paling-paling saya bawa ke dokter A itu. Setelah itu yah tetap permohonan sama Tuhan itu tetap ada. Selain bawa ke bu A. Yah doa ke Yang


(38)

di Atas. Tapi

perbandingan ke yang dulu, dulu sering pergi jauh-jauh, sekarang tidak. (P1W3 60-63)

Permohonan P kepada Tuhan untuk

menyembuhkan anaknya.

Yah, saya minta permohonan kepada Tuhan supaya ada

perbaikan atau kalau bisa sembuh. Hanya kalau ada perubahan sedikit-sedikit udah senang aku (P1W3 72-74)

Sikap pasrah P dan pilihan untuk berusaha tetap senang dalam merawat penderita.

Yah udah ada perubahan sedikit. Yah senang tidak senang saya buat senang soalnya anak kan tidak hanya satu (P1W3 76-77) Ketidakmampuan

penderita untuk berinisiatif melakukan pekerjaan di rumah merupakan kesulitan yang dihadapi keluarga.

Yah disuruh kadang mau kadang tidak. Misalnya pagi disuruh buang sampah itu tidak mau. Maunya siang, tapi kalo siang ya kadang dibuang, kadang tidur. Mencuci piring yah kalau


(39)

diperintah yah satu kali dua kali, terus lain kali sudah tidak mau lagi. Jadi semua harus saya atau ibu perintah dulu (P1W3 80-84)

Keluarga merasa kasihan berkaitan dengan kondisi dan keterbatasan

penderita.

Yah saya kasihan dia kemampuannya terbatas. Yah diberitahu satu dua setelah itu lupa kok (sambil tertawa). Yah, saya kasihan, anak soalnya kok (sambil tertawa) (P1W3 86-88) Keluarga berusaha

melibatkan penderita dalam kegiatan kerohanian.

Yah sering saya ajak ke mesjid, kadang-kadang mau, kadang-kadang tidak. Kalau mau yah datang, udah siap-siap sebelum ke mesjid, tapi kalo pas tidak mau yah tidur. (P1W3 92-94) Penderita pernah mencoba

bekerja di bagian

pemasaran barang setelah pasca perawatan pertama

Yah sekitar 3 atau 4 bulan. Dia kerja jadi bagian promosi mesin cuci. Yah soalnya tidak


(40)

kali, namun terpaksa keluar karena keterbatasan yang dimilikinya menjadi penghambat dalam pekerjaannya.

bisa memasarkan barang, kan itu harus pintar omong. Lah pikirannya gak nyampe kok (P1W3 102-107)

Upaya P dalam melibatkan penderita untuk melakukan

beberapa kegiatan dengan pemberian reward tidak mampu menumbuhkan minat penderita.

Ya malah saya ajak tidak mau kok. Umpama mau yah saya beri uang 5000 atau berapa, tapi tetap tidak mau. Iya, umpama mau. Tapi tidak mau. Saya ajak tidur ke tempat mba e sana juga ga mau kok (P1W3 113-117) Biaya pengobatan

penderita ditanggung oleh keluarga. Saat ini, ada perasaan lega karena adanya keringanan biaya pengobatan.

Yah dari saya, uang pensiun saya. Sekarang udah mendingan, ringan juga biayanya (P1W3 121-122)

Partisipan mendukung pemulihan penderita dengan berkonsultasi ke psikiater dan

menyampaikan informasi tersebut ke penderita.

Yah, kalau saya ke bu dokter, kalo bu dokter memberikan saran apa, kadang-kadang saya tulis itu. Saya beritahu, tapi beberapa hari dia lupa lagi


(41)

kok, kalo tidak diingatkan. (P1W3 125-127)

Saran yang diberikan psikiater kepada P dan penderita dalam hal perawatan penderita di rumah.

Yah bu dokter

mengatakan kalau siang itu rajin bekerja atau membantu tidurnya malam tidak usah minum obat tidur. Obatnya otomatis kan berkurang, terus berkurang biayanya (P1W3 129-131)

Partisipan melibatkan penderita dalam kegiatan kerohanian supaya ada perubahan yang lebih baik.

Yah suruh ikut ke mesjid, jumatan. Kadang-kadang mau, kadang-kadang tidak. Tapi kalo saya ajak ke mesjid itu ada

perubahan, tapi kadang tidak mau kok. (P1W3 144-146)

P memilih untuk tidak memaksa penderita melakukan kegiatan yang tidak disenanginya karena menghindari konflik.

Tidak, dipaksa malah kemana-mana repot. Kalau saya ajak, pulangnya malah nyari jajan, yah repot. Setiap ada warung berhenti yah repot (P1W3 148-150)


(42)

Setelah melakukan analisis wawancara partisipan, langkah selanjutnya adalah melakukan proses kategorisasi tema, yang mana melalui proses ini menghasilkan beberapa kategori data partisipan pertama, yaitu :

Kategori Data P1

1 Latar belakang partisipan, keluarga dan penderita

2 Ciri-ciri atau gejala yang ditunjukkan oleh penderita skizofrenia pada saat sakit atau kambuh

3 Ciri-ciri yang ditunjukkan oleh penderita skizofrenia pada ketika sudah lebih membaik

4 Persepsi P mengenai latar belakang penyebab anaknya menderita skizofrenia

5 Permasalahan yang dihadapi oleh keluarga ketika merawat penderita

6 Perasaan keluarga dalam menghadapi dan merawat penderita skizofrenia di rumah

7 Peran psikiater dalam merawat dan menangani penderita skizofrenia

8 Usaha orang tua dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi ketika merawat penderita di rumah.

9 Upaya dari keluarga sebagai bentuk dukungan sosial yang diberikan pada saat merawat penderita skizofrenia

10 Motivasi pemberian dukungan sosial oleh keluarga kepada penderita


(43)

Berdasarkan kategori-kategori yang telah ada, maka langkah berikutnya adalah merekonstruksi kategori-kategori tersebut ke dalam sebuah narasi.

4. Analisis partisipan 1

Bapak DJ adalah ayah dari BB yang telah menderita skizofrenia semenjak tahun 1991. Artinya, kurang lebih 20 tahun lamanya BB telah menderita penyakit tersebut. BB merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Sebelum menderita skizofrenia, penderita tergolong orang yang tidak begitu termotivasi dalam mengikuti kegiatan di luar rumah. Dari pernyataan partisipan, diketahui bahwa pada tahap perkembangan penderita di usia sekitar 19 tahun, ia memilih untuk mengisolasi diri dan tidak membangun relasi dengan lingkungan sekitarnya. Kegagalan dalam tahap perkembangan ini menjadi salah satu penyebab munculnya gejala penyakit, menurut pandangan partisipan sendiri.

Partisipan bersama istrinya merupakan dua sosok pribadi yang sangat penting bagi penderita dalam menjalani masa-masa perawatan baik di RSJ maupun di rumah. Hal ini terlihat jelas dari kesediaan partisipan dan istri yang selalu menemani penderita baik pada masa rawat inap di RSJ hingga rawat jalan yang sampai saat ini masih rutin dilakukannya.

Adapun beberapa ciri yang ditunjukkan penderita pada awal didiagnosa menderita skizofrenia dapat dilihat


(44)

dari segi kognitif, afeksi dan konatif. Dari segi kognitif terlihat jelas adanya penurunan daya ingat. Hal ini ditunjukkan dari mudahnya penderita untuk melupakan informasi dan saran yang diberikan kepadanya. Pola pemikiran yang sering tidak terorganisasi juga terlihat dari ketidakmampuan penderita dalam memberikan respons yang tepat terhadap pertanyaan atau pembicaraan dengan orang lain. Selain itu, penderita memiliki kecenderungan untuk berbicara sendiri.

Ciri lain dalam segi afektif ditunjukkan dengan reaksi emosi marah oleh penderita yang sangat menonjol. Tidak jarang penderita melampiaskan amarahnya terhadap orang-orang dekatnya. Selain itu, adanya kecenderungan untuk tidak dapat merasakan pentingnya berbagai macam kegiatan yang ditawarkan oleh keluarga bagi diri penderita.

Sementara itu, dari segi konatif, penderita kurang menunjukkan perilaku yang inisiatif untuk melakukan suatu kegiatan. Dalam hal ini, penderita hanya akan melakukan suatu kegiatan jika disuruh. Sehingga, penderita terlihat jarang memiliki minat terhadap berbagai macam kegiatan.

Dari semua ciri yang ditunjukkan oleh penderita, ada beberapa ciri yang akan menonjol ketika penderita mulai kambuh. Beberapa di antaranya adalah ekspresi emosi marah yang ditunjukkan penderita, juga perasaan sedih dan terlihat lebih sering mengalami kebingungan


(45)

pada saat berinteraksi dengan orang lain. Sementara itu, dalam kondisi sehat, penderita terlihat lebih sering mengekspresikan perasaan senang, mampu melakukan pekerjaan yang disarankan oleh partisipan dan memiliki nafsu makan yang bertambah.

Partisipan yang adalah ayah penderita menduga bahwa gejala yang ditunjukkan oleh penderita juga merupakan akibat dari ketidakmampuan penderita sendiri dalam menjalani masa pendidikannya, pada salah satu perguruan tinggi yang dirasa terlalu berat dan menekan. Hal ini juga menjadi latar belakang awal munculnya penyakit yang diderita oleh penderita. Oleh karena kondisi penderita yang demikian, partisipan bersama dengan istri memutuskan agar penderita menjalani perawatan yang lebih intensif, baik yang dilakukan oleh pihak medis ataupun pendampingan oleh keluarga sendiri.

Selama merawat penderita dengan berbagai usaha yang coba diupayakan, keluarga juga tidak terlepas dari beberapa masalah dan hambatan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain adalah dalam hal biaya pengobatan yang dirasa mahal. Menurut partisipan biaya pemeriksaan untuk sekali datang adalah kurang lebih Rp. 300.000,-, belum termasuk obat-obatan. Hal ini membuat partisipan bersama istri berupaya mencari tempat perawatan yang lebih murah. Pada akhirnya, Panti rehabilitasi di daerah Boyolali menjadi alternatif pilihan tempat perawatan anak mereka. Di Panti tersebut, biaya perawatan tergolong


(46)

murah. Untuk sekali pemeriksaan, pasien dikenakan biaya sebesar Rp. 50.000,- dan untuk obat-obatan biasanya partisipan harus membayar kurang lebih Rp. 150.000,-. Selain masalah biaya perawatan, masalah lain yang dijumpai oleh partisipan dan istri adalah merasa kerepotan dalam menghadapi anaknya yang terbatas dalam mengingat dan memaknai setiap informasi yang diterimanya. Adanya kesulitan berkomunikasi dengan penderita, karena pemikiran yang kacau serta ketidakmampuan merespons pembicaraan dengan baik, juga merupakan salah satu permasalahan yang menjadi pergumulan dalam keluarga partisipan. Hambatan lainnya adalah kesulitan partisipan bersama istri dalam menasehati penderita untuk melakukan suatu kegiatan, dengan maksud melatih penderita menjadi pribadi yang mandiri.

Dengan menyadari adanya gejala-gejala yang menjadi hambatan keluarga dalam merawat penderita, maka partisipan dan keluarga mencoba berbagai cara sebagai suatu dukungan untuk membantu penderita sembuh dari sakit yang dideritanya tersebut. Salah satu upaya yang paling utama dilakukan adalah dengan cara membawa partisipan untuk berobat di salah satu Rumah Sakit Jiwa di daerah Solo. Tetapi karena pertimbangan biaya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka partisipan memutuskan untuk mengalihkan pengobatan


(47)

penderita ke salah satu panti rehabilitasi yang berada di dekat rumahnya.

Selain itu beberapa dukungan isntrumental yang secara nyata coba diberikan oleh partisipan dan keluarga adalah dengan cara melayani kebutuhan penderita, mengontrol konsumsi obat penderita, memberikan reward, dukungan secara finansial bagi keinginan penderita, dan mengajari penderita untuk terlibat dalam suatu pekerjaan serta melibatkan penderita dalam suatu aktivitas atau kegiatan di sekitar lingkungan rumah. Pekerjaan yang dimaksud adalah mengajari penderita untuk berbelanja barang dagangan yang akan dijual kembali di warung milik keluarganya. Sementara itu, kegiatan yang coba ditawarkan adalah kegiatan rutin lingkungan masyarakat seperti mengikuti ronda malam dan kegiatan kerohanian di mesjid. Namun demikian, penderita memiliki kecenderungan untuk menolak tawaran-tawaran yang diberikan oleh keluarga tersebut. Penderita lebih memilih untuk menghabiskan waktu di dalam kamar, hanya untuk sekedar tidur atau melakukan aktivitas yang dikehendakinya.

Selain dukungan nyata dalam berupa materi tersebut, adapun dukungan yang diberikan kepada penderita berupa informasi, nasehat serta saran yang diharapkan membantu penderita untuk menjadi lebih baik. Beberapa di antaranya adalah usaha keluarga untuk menasehati dengan cara merayu penderita agar penderita


(48)

memiliki keingingan untuk berobat ke Rumah Sakit Jiwa, pemberian nasehat dan saran kepada penderita untuk lebih banyak melakukan aktivitas daripada menghabiskan waktu dengan tidur dan mengurung diri dalam kamar. Nasehat dan saran lain diberikan pada saat penderita ingin kembali melanjutkan pendidikan setelah pasca perawatan Rumah Sakit Jiwa pertama kali, adalah terkait pemilihan jurusan yang memiliki tuntutan pencapaian nilai akademik yang tidak terlalu berat, sehingga dapat diikuti oleh penderita.

Dukungan secara emosional dan penghargaan yang diberikan kepada penderita juga diberikan oleh keluarga, namun dalam intensitas dan frekuensi yang lebih rendah. Dukungan emosional dalam hal ini adalah kepedulian keluarga kepada penderita dengan cara memarahi bahkan pernah memukul penderita agar penderita mengonsumsi obat secara teratur serta mau melakukan aktivitas. Namun cara demikian tidak membuat penderita menjadi lebih mandiri dan memiliki keinginan untuk beraktivitas, melainkan sebaliknya, tidak ada perubahan berarti seperti yang diharapkan oleh partisipan dan keluarga. Akhirnya, melalui konsultasi dengan psikiater, partisipan mengubah caranya tersebut dengan lebih bersikap empati kepada penderita dan memberikan umpan balik dengan cara yang lebih baik tanpa memukul atau memarahi penderita.

Dukungan dalam bentuk penghargaan diberikan kepada penderita dengan mendorong penderita untuk


(49)

melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya dengan menjanjikan akan memberikan reward berupa permen atau uang. Selain itu, keluarga juga memberikan kesempatan kepada penderita untuk mengaktualisasikan dirinya setelah pasca perawatan RSJ. Hal ini ditunjukkan dengan mengijinkan penderita untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Namun sekali lagi, penderita gagal dalam menyelesaikan pendidikannya karena dalam masa pendidikan yang dijalaninya tersebut, penderita mengalami kekambuhan dan harus kembali dirawat di RSJ.

Dengan melihat beberapa jenis dukungan yang diberikan tersebut, terlihat jelas bahwa pemberian dukungan dari keluarga setelah pasca perawatan pertama kali, difokuskan kepada masa depan penderita. Dalam hal ini, keluarga mencoba untuk tetap mendukung penderita yang ingin melanjutkan studinya di universitas. Namun, hal tersebut gagal dijalani oleh penderita setelah beberapa bulan berkuliah. Penderita kembali mengalami kekambuhan dan harus keluar dari universitas untuk menjalani perawatan intensif di RSJ.

Oleh karena itu, setelah pasca perawatan yang kedua, keluarga memutuskan untuk tidak memaksakan penderita menyelesaikan studinya. Pemberian dukungan kali ini lebih difokuskan kepada pemberian tanggung jawab dalam melibatkan penderita melakukan suatu pekerjaan, yakni dalam hal ini bertanggung jawab


(50)

terhadap warung yang dimiliki oleh orang tuanya. Namun, sekali lagi, penderita tidak menunjukkan perilaku yang konsisten dalam bertanggung jawab untuk mengelola warung tersebut. Hal ini dilihat dari kebiasaan penderita yang bertindak mengikuti keinginannya sendiri. Ada kalanya penderita rajin mengelola warungnya, tetapi ada masa di mana penderita tidak peduli dengan warung yang dipercayakan kepadanya.

Selain dukungan secara langsung yang diberikan partisipan dan keluarga kepada penderita, adapun dukungan yang secara tidak langsung ditujukan kepada penderita, namun tetap tersedia dan diupayakan untuk mendukung kesembuhan penderita. Dukungan tersebut berupa penyediaan waktu untuk mencari alternatif-alternatif pengobatan bagi penderita dan berkonsultasi dengan psikiater terkait hal-hal yang harus dilakukan oleh keluarga selama merawat penderita pasca perawatan. Selain itu, partisipan juga berperan dalam menasehati anggota keluarga yang lain untuk terlibat dalam mendukung penderita selama menjalani masa pasca perawatan. Nasehat dari partisipan tersebut diterima baik oleh salah satu anggota keluarga yang mencoba memberikan tanggung jawab pekerjaan kepada penderita. Walaupun penderita terlihat tidak konsisten dalam menjalankan tanggung jawab tersebut bahkan pada akhirnya penderita berhenti, tidak membuat anggota keluarga tersebut memarahi penderita. Perubahan reaksi


(51)

keluarga ini dipengaruhi oleh pemahaman mereka mengenai kondisi penderita.

Adapun dukungan dari pihak lain di luar keluarga yang turut mengupayakan kesembuhan penderita, dalam hal ini psikiater. Menurut partisipan, psikiater memiliki peran yang sangat membantu dalam mengarahkan keluarga pada saat merawat penderita. Misalnya mengenai aturan pemberian obat, sikap dan perilaku yang tidak memarahi penderita ketika penderita melakukan kesalahan, melainkan mengarahkan dengan memberikan saran yang baik kepada penderita serta melibatkan penderita melakukan pekerjaan di rumah. Dalam hal ini, partisipan mengaku bahwa pengaruh nasehat serta saran yang diberikan oleh psikiater yang menangani masalah anaknya tersebut, telah mengubah perilaku anaknya ke arah yang lebih baik.

Dalam semua keterbatasan penderita dan kekambuhan penderita selama menderita skizofrenia ini, partisipan mengaku tetap memberikan dukungan dengan cara menasehati serta pemberian obat yang teratur seperti telah dijelaskan sebelumnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan tersebut terlihat jelas bahwa motivasi dibalik pemberian dukungan tersebut adalah menjaga ketentraman di dalam keluarga mereka sendiri. Menurut partisipan, pemberian obat adalah alternatif pilihan yang sering diambil. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari konflik yang terjadi karena nasehat yang


(52)

sering diberikan oleh partisipan tidak diterima oleh penderita.

Setiap upaya dan permasalahan yang terjadi dalam keluarga partisipan, mengajarkan partisipan dan anggota keluarganya yang lain untuk bersabar dan terus pasrah kepada Tuhan dalam doa yang tidak pernah berhenti. Namun dalam kondisi ini, partisipan mengaku tidak jarang ia merasa jenuh dan marah ketika menghadapi anaknya yang terbatas dalam beberapa hal tersebut.

Pada saat ini, penderita mulai menunjukkan perkembangan yang lebih baik dari segi kognitif, afektif dan konatif setelah menjalani masa perawatan. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya reaksi emosi marah, serta meningkatnya kemampuan untuk dapat melakukan beberapa pekerjaan rumah yang ringan, seperti membersihkan rumah dan membantu menjaga warung yang dimiliki keluarganya.

2. Partisipan 2

a. Gambaran umum partisipan 2

Nama : A

TTL : 31 Mei 1977

Usia : 36 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pendidikan Terakhir : SMA Status : Menikah


(53)

Agama : Islam Pekerjaan : Wiraswasta

A adalah anak ke 3 dari 4 bersaudara. Pada saat ini, A tinggal bersama istri dan anaknya yang pertama. Sedangkan anak kedua A tinggal bersama mertua A di Kota Purwokerto. Ayah A adalah seorang pensiunan guru, yang kesehariannya menyibukkan diri di ladang. Sementara Ibu A, yang benama S adalah seorang penderita skizofrenia yang pada saat ini sedang menjalani masa pasca perawatan di rumah dan tidak memiliki pekerjaan. Sementara itu, partisipan sehari-hari bekerja sebagai agen di salah satu surat kabar yang ada di daerah Boyolali. Istri A juga membantu A dalam menekuni pekerjaannya tersebut.

Partisipan menyelesaikan pendidikan SMAnya di Boyolali. Kemudian ia merantau ke Jakarta, dan bekerja di beberapa perusahaan swasta sekitar tahun 1996 hingga 2008. Setelah itu, partisipan melanjutkan perantauannya ke Purwokerto dan menetap di sana selama kurang lebih 2 tahun.

Saat ini A memutuskan tinggal di daerah Boyolali dengan alasan karena kedua orang tuanya hanya hidup berdua saja dan usia mereka yang telah lanjut. Selain itu, A juga mempertimbangkan kondisi ibunya yang sering kambuh dan harus beberapa kali dimasukkan ke RSJ atau Panti rehabilitasi Mental. Keputusan partisipan ini didukung oleh istrinya, sehingga mereka juga memilih tempat tinggal yang bersebelahan dengan rumah orang


(54)

tuanya. Hal ini untuk memudahkan A dalam mengontrol konsumsi obat untuk ibunya dan juga menjaga ibunya ketika ibunya mulai menunjukkan gejala yang aneh.

Hingga saat ini A masih membawa ibunya untuk melakukan kontrol rutin dan mengkonsumsi obat yang diberikan oleh psikiater terdekat.

b. Laporan observasi selama wawancara

Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 17 Desember 2012, pukul 10.18-11.48 WIB. Pada saat itu peneliti dan partisipan telah mengadakan kesepakatan mengenai jadwal wawancara melalui telepon. Saat peneliti tiba di rumah partisipan, partisipan sedang duduk di teras depan rumah, sambil membereskan beberapa surat kabar yang menumpuk di bawah salah satu meja yang berada di teras rumah tersebut.

Pada saat kedatangan peneliti ke rumahnya, partisipan menyambut peneliti dengan ramah dan mempersilahkan peneliti duduk di teras tersebut. Karena kondisi rumah dan beberapa pertimbangan akhirnya partisipan meminta kesediaan peneliti untuk melakukan wawancara di teras depan rumah tersebut. Hal ini disetujui oleh peneliti dan akhirnya wawancara tersebut dilakukan.

Wawancara yang berlangsung lebih dari satu jam ini, berjalan dengan baik, dan partisipan menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan jelas. Belum lama wawancara berlangsung, ayah partisipan tiba-tiba keluar dari rumahnya


(55)

dan kemudian melihat peneliti bersama partisipan sedang berbicara di depan rumah. Ayah partisipan mendatangi peneliti dan partisipan serta menanyakan beberapa pertanyaan kepada peneliti, termasuk tujuan kedatangan peneliti. Setelah itu, ayah partisipan duduk dan sesekali ikut menjawab pertanyaan yang ditujukan peneliti kepada partisipan.

Beberapa saat setelah wawancara dilakukan, istri partisipan membawa minuman untuk kami bertiga dan mempersilahkan kami untuk meminumnya. Setelah itu partisipan tiba-tiba mengirimkan pesan ke telepon genggam peneliti yang berisi permintaan kepada peneliti untuk bersabar karena ada beberapa hal yang ingin disampaikan partisipan kepada peneliti apabila ayahnya telah pergi. Hal ini dimaksudkannya agar tidak menyinggung perasaan ayahnya. Akhirnya hal tersebut disetujui oleh peneliti.

Beberapa saat kemudian ayah partisipan memohon diri kepada peneliti untuk pergi beribadah di mesjid, dan kemudian meninggalkan peneliti bersama partisipan. Setelah ayahnya pergi ada beberapa hal yang disampaikan partisipan kepada peneliti terkait hubungan ayahnya dengan ibunya yang menderita skizofrenia. Menurut partisipan, salah satu penyebab ibunya kambuh adalah karena tekanan yang diberikan oleh ayahnya sendiri. Inilah sebabnya partisipan tidak ingin membicarakan hal ini di depan ayahnya.


(56)

Setelah beberapa pertanyaan di berikan kepada partisipan, peneliti akhirnya memutuskan untuk mengakhiri karena cuaca hujan dan suara partisipan mulai tidak terdengar, mengingat tempat pada saat dilangsungkan wawancara adalah teras depan rumah yang langsung terhubung dengan halaman rumah yang terbuka. Setelah mengakhiri wawancara tersebut partisipan dan juga peneliti melanjutkan pembicaraan seputar aktivitas partisipan sehari-hari. Hal ini tidak direkam oleh peneliti karena keadaan yang tidak memungkinkan serta tidak ada informasi yang terkait dengan topik penelitian ini.

Wawancara kedua dilakukan pada hari Sabtu, 16 Febuari 2013 di kediaman partisipan, yang berada di daerah Kabupaten Boyolali. Pada saat peneliti datang ke rumah partisipan, partisipan tidak berada di rumah. Akhirnya peneliti menunggu sekitar 10 menit di teras depan rumah partisipan. Setelah kira-kira 10 menit menunggu, partisipan bersama anaknya datang dengan menggunakan sepeda motor. Partisipan meminta maaf kepada peneliti karena membuat peneliti menunggunya yang sedang menjemput anaknya dari sekolah. Setelah itu peneliti dipersilahkan duduk di teras depan rumahnya. Wawancara kedua ini berlangsung selama kurang lebih 40 menit dengan posisi duduk berhadapan.

Selama wawancara, partisipan kembali menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dengan baik dan seolah-olah tidak ingin menyembunyikan setiap hal


(57)

yang ditanyakan. Hal ini dapat dilihat dari keterbukaan partisipan dalam menceritakan masalah yang terjadi di dalam keluarganya, termasuk di antaranya masalah ayah dan ibunya. Ia juga menegaskan agar ayahnya jangan sampai mengetahui cerita ini karena takut menyinggung perasaan ayahnya.

Selain itu, partisipan juga menunjukkan sikap tenang dalam mengungkapkan perasaannya ketika harus bertanggung jawab lebih daripada saudara-saudaranya yang lain dalam merawat ibunya yang sakit. Setelah memberikan beberapa pertanyaan dan peneliti merasa cukup dengan cerita partisipan, akhirnya peneliti memohon diri untuk pulang.

c. Analisis verbatim

Analisis verbatim P2W1

Makna Verbatim

Lama ibu sakit serta jumlah masuk dan keluar RSJ adalah 10 kali sejak awal sakit hingga saat ini.

Aku tuh SD kelas 2. Sampai sekarang saya udah usia 36 tahun. Dari kecil itu udah keluar masuk rumah sakit jiwa sampai sekarang udah sekitar 10 kali (P2W1 3-6)


(58)

P mempertimbangkan tempat perawatan lain yang lebih baik bagi penderita.

Kita itu pertimbangannya gini, Solo itu apa yah kalo lansia itu pasien harus ada yang nunggu, ada keluarga yang menjaga. Padahal kayaknya sih kalo kita pertimbanginkan misalkan ditungguin terus selalu ingat rumah terus gitu loh. (P2W1 15-18)

P menemukan tempat perawatan yang baik, yang terletak di dekat rumahnya.

Karena kalau disinikan pengobatannya benar-benar apa, pokoknya pikirannya biar benar-benar istirahat gitu. Makanya kita bawa sini, lagian disini juga dekat kan? Jadi kita putusin di sini aja (P2W1 25-29)

Faktor keturunan diduga oleh keluarga P sebagai penyebab penting dari munculnya penyakit.

Awal bisa kejadian kayak gitu keturunan. Saudara-saudaranya juga ada yang begitu. Dari berapa saudara itu hampir semua itu pernah jalani pengobatan. (P2W1 31-33)


(59)

yang berbeda dengan ayahnya terkait faktor keturunan sebagai penyebab sakit ibu.

keturunan, nah kalo menurut saya keluarga dari ibu itu mentalnya lemah gitu. (P2W1 36-37)

Beban pikiran mengenai kesibukan suami yang berdampak pada

kurangnya waktu bersama untuk mengasuh ke empat anak mereka.

Misalnya pikiran sedikit, malah dipikir serius gitu loh. Begitu, jadi pikirannya yah itu terus. Mungkin gini kepikiran terlalu sibuknya. Dulu kitakan anak berempat ini jaraknya ga jauh. Aku sama adekku kan hanya 1,5 tahun. Terus kakakku sama yang nomor 2 itu begitu juga. (P2W1 39-44) Persepsi P mengenai

faktor penyebab ibu sakit, yaitu karena ada beban pikiran mengenai

kesibukan dari ayah atau suami penderita.

Ibu mungkin kerepotan. Bapak kan juga dulu ngajar, PNS kan, jadi sibuk, jadi wuah pikirannya kacau mungkin. Kalau ada yang dipikir berat terus yaudah sakit lagi (P2W1 45-47) Kebingungan P terkait hal

yang menjadi beban pikiran penderita selain kerepotan mengurus anak

Iya, kemungkinan begitu. Cuma setelah inipun masih kayak gitu. Kan anak udah pada nikah-nikah udah pada


(60)

seorang diri. mandiri, tapi sekarang itu ternyata ada kepikiran apalagi gitu loh yang buat ibu langsung drop (P2W1 49-53)

Oleh karena keadaan ekonomi bukan sebagai beban, P merasa bingung apa yang sebenarnya dipikirkan oleh ibu.

Yah kita sih ga itu, apa yah pikirannya ibu tuh

pengennya apa, pengen apa. Kalau secara ekonomi sih ga. Kan bingung juga mikirin apa? Kalau ada sesuatu itu kayaknya dipikir terus tapi ga terus terang gitu loh. Ga di omongin (P2W1 56-59)

P berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi keinginan ibu.

Kemarin sempat dia kangen sama cucu-cucunya. Yah pas liburan, akhirnya aku telpon ke kakakku yang di

Purwokerto minta liburan ke sini, cucu-cucunya. (P2W1 61-64)

P menyadari bahwa dukungan yang diberikan kepada penderita tidak banyak membantu

Yah senang sih senang, cuma yah kondisinya yah memang begitu. Ga begitu membantu banget. Yah


(61)

penderita. membantu sedikit, paling kondisinya gitu lagi. Makanya aku bingung ini mikirin apa gitu loh? (P2W1 67-70)

Gejala yang muncul adalah berbicara sendiri, tanpa ada lawan bicara, mendengar bisikan, serta reaksi emosi marah.

Kalau udah nunjukin gejala gitu yah biasanya ngobrol sendiri gitu loh. Yah

katanya ada bisikan-bisikan, seolah-olah ada lawan bicara gitu. Teruskan inikan udah mulai gejalanya itu gampang marah-marah (P2W1 72-77) P bertindak tegas

terhadap ibu, terkait kedisiplinan dan

kepatuhan mengkonsumsi obat.

Iya juga sih, yah biasanya kayak ginikan jadwalnya minum obat itu memang harus dikerasin juga, maksudnya pokoknya kalo ga minum obat, nanti mondok lagi loh bu, kadang ya saya yang tegasin juga. (P2W1 80-83)

Kesadaran penderita untuk mengonsumsi obat secara mandiri dan teratur.

Piye yah, waktu kemarin-kemarin tuh, sebelum tahun 2011 itu seolah nyadari waktunya minum obat,


(62)

bilang ke bapak obatnya udah mau habis. Kapan kontrol kesana? Itukan nyadarin gitu. Cuma kemarin sempat kontrol sama dokter A itu cuma sekali (P2W1 85-88)

Adanya diskusi yang dilakukan dengan dokter terkait perkembangan dan kepatuhan ibu dalam mengkonsumsi obat.

Cuma kemarin itukan aku juga ngatur sama dokter A. Dok kayaknya ibu nih bosan minum obatnya, sekarang sekali makan 5 butir pil kan, terus sehari 3 kali. Inikan bosan (P2W1 89-91) Penderita tidak ingin

melakukan kontrol, karena memiliki konflik atau salah paham dengan pihak rumah sakit.

Disanakan ada kesalahan gitu dikiranya kayak

dimarahin atau apa gitu, abis itu ga mau kontrol ke sana. Yah mungkin disalah-salahin sama pihak sana. Setelah itu yah ga mau kontrol lagi (P2W1 97-100)

P merasa kedekatan jarak tempat tinggal dengan penderita akan membuat penderita merasa senang.

Tahun 2008, kan saya mikirnya seorang ibu kalau dekat dengan anak, dekat dengan cucunya bisa lebih


(63)

senang (P2W1 106-107) Adanya usaha suami

untuk menenangkan pikiran dari istri,

walaupun usaha tersebut kurang menunjukkan hasil yang diharapkan.

Bapak tuh kalau abis kontrol bawa ke mall atau swalayan biar pikirnya ibu bisa agak baik. Kalo ke mall-mall gitu yah tetap ga bisa ngobatin ya. (P2W1 107-109) Biaya perawatan di panti

tidak dianggap sebagai beban.

Kalau di panti ringan jadi ga masalah, rawat inap sebulan cuma 1,5 juta (P2W1 114-115)

Dalam keadaan „normal‟ (tidak sedang kambuh), penderita mampu melakukan pekerjaan rumah tangga.

Ibu tuh biasa sih kalau misalkan waktu apa yah normal gitu loh, waktu sehat gitu loh, yah masak, nyuci, yah biasa. (P2W1 117-118) Usaha P untuk

memasukkan penderita ke panti, apabila sudah dianggap parah.

Kalau misalkan lagi parah baru dimasukan ke sana, ke panti. (P2W1 118-119)

Perilaku yang ditunjukkan penderita dalam beberapa hal seperti; tidak

mementingkan kebersihan diri sendiri, mempunyai kebiasaan keluar rumah

Yah tengah malam sering keluar, dulu itu waktu saya masih ingat, saya kecil itu, wah mandi ga pernah, kalau mandi itu harus dipaksa sama bapak. Terus sama


(64)

pada tengah malam, dan menunjukkan ekspresi marah kepada orang yang tidak disenangi olehnya.

orang yang misalnya kan di pikirannya ibu itu dia itu ga senang gitu, wah kayaknya langsung diomelin atau diapain gitu. (P2W1 122-126)

Kekambuhan penderita mengganggu kenyamanan tetangga

Kalau misalnya ibu udah mengganggu tetangga dan orang lain gitu . (P2W1 129-130)

Usaha P dalam menyenangkan hati ibunya.

Yah kayak aku sih, kemarin itu ibu minta ketemu

cucunya, saya telpon ke kakakku, anaknya kalau liburan bawa kesini. Intinya supaya nyenangin hatinya gitu (P2W1 133-135) Dukungan keluarga dalam

membawa penderita untuk berobat.

Yah aku menemani ibu bawa ke tempat berobat (P2W1 138)

Inisiatif P untuk mengajak ibunya berkomunikasi, untuk mengalihkan perhatian ibu dari mendengar bisikan-bisikan dan terfokus pada

Yah kalau aku sih misalkan ibu lagi diam aku nanya bu kenapa bu? Biar ga ada itu, ngindarin ini aja, kayak misalkan ada bisikan atau apa gitukan biar terfokus


(65)

komunikasi dengan diri P. dengan kita ngobrol. (P2W1 143-145)

Ketidakpatuhan penderita dalam mengonsumsi obat.

Yah itu, ibu tuh susah minum obat, keras banget. (P2W1 151)

P menjadi orang yang signifikan dalam hidup penderita karena hanya dengan P, penderita menunjukkan kepatuhan dalam mengonsumsi obat.

Kemarin itu sampai awal-awal itukan yang harus nyiapin obat itukan aku. Sama yang lain itu ga mau. Sama bapak, sama kakakku yang itu malah marah-marah. Itu kalau sama aku kan aku jelasin, ibu ini obat minum dulu. Yah kita sih bukan berani sama ibu, cuma kayak ada penekanan gitu loh maksudnya (P2W1 156-160)

Kepatuhan penderita untuk mengonsumsi obat tidak tetap.

Yah harus disiapin, yah dulu sih sebelum waktu apa yah, sebelum tahun 2010 itu, ibu bisa nyiapin sendiri, yah kita cuma ingatin. (P2W1 163-165)

Penderita tidak ingin mengonsumsi obat yang

Yah kemarin itu kan obat yang penenang yang orange


(66)

tidak ia senangi. itu kan dia kalo udah minum malah tidur. Akhirnya dia ga mau. Wah diumpetin obat yang itu, soalnya ga mau yang itu. (P2W1 166-168) Semula P merasa minder

karena kondisi ibunya, tetapi kini P

mengupayakan kondisi ibu

Takut sih ga kalo ibu marah-marah atau apa cuma waktu kelas 2 SD kalau ibu kayak gitu yah saya minder juga kan. Cuma kalau sekarang udah ga. Udah terbiasa dan menyadari sih sekarang kan saya mikirnya tindakan kita bisa bantu apa, kok sampai tua kayak gitu terus. (P2W1 170-174)

Adanya pengertian baik dari pihak keluarga maupun pihak tetangga, apabila kondisi mental ibu menyebabkan ibu

menunjukkan perilaku yang berbeda dari biasanya.

Yah kadang kalau ada masalah yah dimengerti. Kalau kondisi mentalnya kayak gitukan dia sering bagi-bagi uang gitu. Bapak kan sering ngasih tiap bulan 500 ribu ke ibu. Tau-tau nanti dikasih kan ke tetangga-tetangga, tapi kan tetangga pada ngerti


(67)

kondisinya kayak gitu, nanti hubungi aku katanya ibu ngasih uang, ngasih beras kadang juga ngasih jagung. Tapi dibalikin, tapi ibu jangan sampai tahu lah, nah tetangga-tetangga juga pada ngerti gitu. Jadi diterima cuma nanti dibalikin waktu ga ketahuan ibu (P2W1 176-184)

Suami penderita menjadi sasaran penderita untuk mengekspresikan kemarahannya.

Yah udah biasa, kalau ibu kambuh itu malah yang di marah-marahin itu bapak. (P2W1 187-189)

P mampu menjadi penengah antara kedua orang tuanya jika terjadi perselisihan.

Tapi ya selama aku disini bapak lebih tenang. Karena biasa bapak laporin ke saya kalau ibu marah (P2W1 189-190)

Dukungan yang diberikan ketika penderita kambuh adalah dengan menasehati penderita.

Misalkan marah-marahnya depan umum gitu yah, dulu waktu pas panen gitu kan wah marah-marah, yah saya bawa ibu masuk, kalo ga saya ngomong bu ga boleh


(68)

kayak gitu (P2W1 193-195) P berperan penting dalam

pengobatan ibu, karena hanya jika bersama P, ibu mempunyai kemauan untuk berobat.

Kemarin itu misalnya di bawa berobat yah ga ada aku yah susah banget. Kalau sama aku kan aku bilang bu, ibukan ga pernah kontrol, minum obat juga ga pernah makanya ayo sama aku kontrol ke sana. Ya ibu ikut, mau dia. Kalau sama bapak pasti ga mau, marah-marah. (P2W1 195-200)

Di antara anak-anak penderita, hanya P yang mampu membujuk penderita untuk mengkonsumsi obat secara teratur.

Ga tau juga, kalau sama anak yang lain juga agak jauh, saya ga tau apakah sama anak lain nurut atau ga. Soalkan kemarin kayak kakakku yang di Sragen itu kayak mau nyiapin obat gitu aja malah marah-marah gitu loh. Terus saya ambil alih, ini ibu, pokoknya harus minum obat. Kalau ga minum obat nanti saya bawa nginap lagi disana. Ya mau. Saya ga marah cuma kasih


(69)

penekanan sama ibu. (P2W1 204-210)

Ada trauma tersendiri bagi salah satu anak penderita, karena pengalaman masa kecil ketika melihat perlakuan pihak rumah sakit terhadap ibu.

Mungkin kakakku yang di Purwokerto kalo misalkan proses dari sini diajak ke rumah sakit itu ga berani. Mungkin trauma dari kecil kayak wuah ibu dipaksa-paksa sampai harus ditarik-tarik diseret-seret gitu kan ga tega kakak saya. (P2W1 213-216)

Dukungan yang diberikan adalah dengan cara

menemani penderita berobat.

Aku juga terlibat kayak gini, dari kecil ngantar sih aku pernah juga ikut, cuma hanya ikut aja. Sekarang ini baru 3 kali aku bawa ibu sendiri kontrol, maunya yang nemanin aku (P2W1 217-220)

P berperan dalam memberikan nesehat kepada anggota keluarga yang lain terkait

penerimaan mereka terhadap kondisi ibu yang

Waktu di Solo kemarin kan semua saudara ngantar ke sana, pada ga kuat gitu loh, pada sedih. Aku juga harus nenangin saudara-saudaraku. Aku bilang sama mereka


(70)

harus dirawat di rumah sakit.

udah kan intinya kita ga sanggup nangani ibu, kalau disinikan ada ahlinya, niat kita baik biar bisa nenangin ibu dulu (P2W1 220-224) P melakukan konsultasi

dengan pihak panti dan meminta pertimbangan anggota keluarga yang lain, jika ingin menitipkan ibu ke panti rehabilitasi.

Yah kalau mau dititipin ke sana panti atau apa saya nelpon kakak saya. Itu gimana ibu udah kayak gini, aku udah konsultasi sama dokter dan solusinya ya nginap dulu. Yaudah sana kata kakakku. Mereka udah mempercayakan aku. (P2W1 226-229)

Peran anggota keluarga lain dalam memenuhi biaya pengobatan ibu.

Cuma disana tuh paling kayak kakak-kakakku yang lain itu misalkan butuh biaya ngomong aja berapa (P2W1 229-231)

Ayah P berusaha membiayai seluruh pengobatan ibu dan memiliki kecenderungan untuk tidak menerima bantuan biaya dari

anak-Cuma bapak ini kan selalu bilang udah, bisa sanggup. Cukup uangnya gitu. Iya, saya merasa bapak mikir ibu tuh masih tanggungannya bapak, jadi harus dia yang


(1)

peran pemberi dan penerima dukungan, serta jenis dukungan yang diberikan terkait dengan gejala yang ditunjukkan penderita serta permasalahan yang dihadapi oleh setiap keluarga. Berikut akan dijelaskan dinamika proses pemberian dukungan kepada penderita, ditinjau dari posisi partisipan dan penderita dalam keluarga, gejala yang ditunjukkan penderita serta permasalahan yang dihadapi oleh partisipan dalam merawat penderita skizofrenia pasca perawatan. Tentunya dalam hal ini akan terlihat jelas proses pemberian dan perubahan dukungan yang disesuaikan dengan beberapa faktor tersebut.

1. Posisi partisipan serta penderita dalam keluarga masing-masing memberikan pengaruh atau dampak bagi jenis dukungan yang diberikan oleh keluarga kepada penderita. Pada keluarga pertama, partisipan yang berperan sebagai orang tua cenderung memberikan dukungan informasi berupa nasehat dan saran kepada penderita. Karena posisi penderita dalam keluarga sebagai anak, maka terkadang ada rasa hormat kepada partisipan sebagai orang tuanya, sehingga penderita cenderung dapat menerima dukungan tersebut. Pada keluarga kedua, posisi partisipan sebagai anak penderita, sedikit mengalami kesulitan dalam memberikan nasehat kepada ibunya tersebut. Oleh karena itu, keluarga lebih memberikan dukungan emosional yaitu kepedulian keluarga terhadap penderita, yang ditunjukkan dengan usaha untuk menyenangkan hati penderita. Posisi partisipan ketiga adalah sebagai saudara kandung dari


(2)

penderita. Posisi partisipan ini membuat partisipan lebih sering memberikan dukungan instrumental kepada penderita dengan cara menyediakan waktu menemani penderita jika penderita mengajak berpergian.

2. Faktor berikut yang mempengaruhi pemberian dukungan adalah permasalahan yang dialami keluarga selama merawat anggota penderita skizofrenia pasca perawatan. Untuk setiap permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya, terkait perilaku-perilaku penderita yang tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh keluarga, memberi dampak pada perilaku yang ditunjukkan oleh keluarga. P1 pada awal menemui masalah tersebut merespons dengan sikap marah bahkan sampai menunjukkan perilaku kekerasan fisik terhadap penderita. Sementara pada keluarga P2 dan P3, tindakan kekerasan kepada penderita tidak diberikan oleh partisipan namun oleh salah satu anggota keluarga yang ikut menjaga penderita. Setelah membawa penderita untuk bertemu dengan psikiater serta mendengar beberapa saran dari beberapa pihak, keluarga berusaha secara bertahap untuk menunjukkan sikap dan perilaku yang lebih baik terhadap penderita. Saat ini pemberian dukungan kepada penderita lebih kepada dukungan informasi, yang meliputi nasehat, saran, dan umpan balik.

3. Faktor gejala yang ditunjukkan oleh penderita yang mengalami kekambuhan dalam menjalani masa pasca perawatan pada saat ini juga turut menentukan jenis dukungan yang diberikan keluarga kepadanya. Pada keluarga


(3)

pertama, gejala yang paling menonjol adalah reaksi emosi marah dan avolisi. Oleh karena itu, jenis dukungan yang diberikan kepada penderita adalah dukungan istrumental berupa pemberian obat kepada penderita dan dukungan informasi berupa nasehat dan saran yang dapat mengurangi gejala avolisi yang ditunjukkan oleh penderita. Pada keluarga P2, penderita skizofrenia menunjukkan gejala reaksi emosi marah dan sering keluar rumah pada malam hari. Untuk kondisi ini, P2 dan keluarga memberikan dukungan instrumental dengan pemberian obat dan dukungan informasi berupa nasehat kepada penderita. Pada keluarga P3, penderita yang kambuh menunjukkan gejala sering keluar rumah hingga larut malam, terus-menerus melakukan aktivitas, serta kesulitan untuk tidur di malam hari. Jenis dukungan yang diberikan terkait gejala yang ditunjukkan penderita oleh P3 dan keluarga adalah dukungan informasi dengan cara pemberian nasehat, dukungan instrumental dengan cara pemberian obat serta dukungan emosional dengan menunjukkan kepedulian ketika menemani penderita saat penderita mengalami kesulitan untuk tidur di malam hari. 4. Faktor usia penderita juga turut menentukan jenis dukungan

yang diberikan oleh keluarga. Pada keluarga P1, penderita berusia 20 tahun saat didiagnosa menderita skizofrenia. Dalam tahap perkembangan ini, setelah menjalani masa pasca perawatan keluarga memberikan kesempatan kepada penderita untuk mengaktualisasikan diri dalam bidang pendidikan. Namun dukungan tersebut gagal karena


(4)

penderita kembali menunjukkan kekambuhan, setelah kurang lebih enam bulan menjalani masa pendidikan tersebut. Oleh karena itu, dukungan tersebut berubah menjadi dukungan pemberian pekerjaan kepada penderita untuk mempersiapkan masa depannya secara mandiri.

Pada P2, usia penderita saat menderita skizofrenia adalah kurang lebih 40 tahun. Dengan demikian, dukungan yang diberikan oleh keluarga adalah dengan memberikan lapangan pekerjaan bagi penderita. Pemberian dukungan ini juga gagal ketika penderita kembali mengalami kekambuhan. Dengan demikian, pemberian dukungan difokuskan untuk memenuhi keinginan penderita dan tidak memaksa penderita untuk bekerja.

Pada keluarga P3, penderita didiagnosa menderita skizofrenia pada usia kurang lebih 15 tahun. Karena kondisi penderita pada saat itu tidak memungkinkan penderita untuk meneruskan pendidikannya, maka tidak ada paksaan dari pihak keluarga kepada penderita untuk tetap melanjutkan pendidikannya. Sebaliknya, keluarga memberikan kebebasan kepada penderita untuk melakukan beberapa kegiatan atau pekerjaan yang disenangi oleh penderita.

4. Dampak Dukungan yang Diberikan Keluarga Kepada Anggota Penderita Skizofrenia Pasca Perawatan.

Pengalaman ketiga partisipan yang memiliki anggota penderita skizofrenia, menunjukkan adanya dukungan yang


(5)

diberikan demi kesembuhan anggota penderita tersebut. Pemberian dukungan oleh masing-masing partisipan dan keluarganya mempunyai dampak bagi kehidupan penderita pada saat menjalani masa pasca perawatan di rumah. Dampak yang diharapkan tentunya merupakan dampak positif baik bagi penderita itu sendiri ataupun partisipan dan keluarganya. Wai Tong Chien (dalam Stein & Wammerus, 2001) melalui penelitian yang dilakukannya, mengatakan bahwa salah satu faktor yang cukup menolong merawat anggota penderita skizofrenia adalah pemberian dukungan dari keluarga.

Demikian hal yang sama terlihat jelas dari ketiga partisipan yang menerapkan pemberian dukungan kepada anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil analisis, dapat dilihat bahwa dukungan instrumental dan dukungan emosional menjadi dukungan yang paling menonjol diterapkan selama merawat anggota penderita skizofrenia dalam menjalani masa pasca perawatan. Dorongan untuk memberikan dukungan kepada anggota penderita tersebut juga tidak terlepas dari beberapa masukan oleh pihak medis, dalam hal ini psikiater yang menangani perawatan anggota penderita skizofrenia tersebut. Selain psikiater, peran tetangga, kerabat dan gereja juga memberikan hasil yang baik bagi keluarga dan penderita. Hasil dari pemberian dukungan oleh masing-masing partisipan bersama keluarga, serta beberapa pihak eksternal menempatkan kondisi penderita ke arah yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan kurangnya intensitas kekambuhan penderita selama menjalani masa pasca perawatan di rumah.


(6)

dipelajari ketika mempunyai pengalaman bersama anggota keluarga yang menderita skizofrenia, dan yang terutama dari pembelajaran tersebut adalah terus berharap dan bergantung kepada Tuhan dalam melewati masa-masa seperti ini.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan dan Peran Keluarga dalam Perawatan Anggota Keluarga yang Menderita Skizofrenia di Kelurahan Tegalrejo Salatiga T1 462011010 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan dan Peran Keluarga dalam Perawatan Anggota Keluarga yang Menderita Skizofrenia di Kelurahan Tegalrejo Salatiga T1 462011010 BAB II

0 1 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan dan Peran Keluarga dalam Perawatan Anggota Keluarga yang Menderita Skizofrenia di Kelurahan Tegalrejo Salatiga T1 462011010 BAB IV

0 0 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan dan Peran Keluarga dalam Perawatan Anggota Keluarga yang Menderita Skizofrenia di Kelurahan Tegalrejo Salatiga T1 462011010 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan dan Peran Keluarga dalam Perawatan Anggota Keluarga yang Menderita Skizofrenia di Kelurahan Tegalrejo Salatiga

0 1 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Anggota Penderita Skizofrenia dalam Menjalani Masa Pasca Perawatan T1 802008112 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Anggota Penderita Skizofrenia dalam Menjalani Masa Pasca Perawatan T1 802008112 BAB II

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Anggota Penderita Skizofrenia dalam Menjalani Masa Pasca Perawatan T1 802008112 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Anggota Penderita Skizofrenia dalam Menjalani Masa Pasca Perawatan

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Anggota Penderita Skizofrenia dalam Menjalani Masa Pasca Perawatan

0 0 57