Untuk melihat sejauh mana kondisi dari perairan Pulau Seribu dilakukan analisis yang berkaitan dengan Driving Force, Pressure, Impact,
State and Response DPISR yang ada, atau kemudian lebih diringkas menjadi Pressure, State, Response PSR Pinter et al, 1999. Driving force
mengandung makna berbagai aktivitas manusia, proses dan pola di wilayah pesisir dan laut yang berbatasan yang berdampak terhadap pembangunan
Kawasan Konservasi Laut KKL Kepulauan Seribu. Sementara Pressure biasanya diklasifikasikan sebagai faktor utama atau forces seperti
pertumbuhan penduduk, konsumsi atau kemiskinan. Pressure pada lingkungan pesisir dan laut yang berbatasan dengan Kawasan Konservasi
Laut dilihat dari perspektif kebijakan, biasanya dianggap sebagai starting point untuk melemparkan issue lingkungan, dan dari sudut pandang indikator,
pressure ini menjadi lebih mudah dianalisis jika diperoleh dari monitoring sosio-ekonomi, lingkungan dan database lainnya. State adalah kondisi
lingkungan yang disebabkan oleh pressure di atas, misalnya level pencemaran, degradasi perairan pesisir dan lain-lain. State dari lingkungan
ini pada akhirnya akan berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan manusia. Response adalah komponen framework PSR yang berhubungan
dengan berbagai tindakan yang dilakukan oleh masyarakat baik induvidual maupun secara kolektif untuk mengatasi dampak lingkungan, mengoreksi
kerusakan yang ada atau mengkonservasi sumber daya alam. Response ini V-1
dapat meliputi penetapan peraturan, pengeluaran biaya penelitian, pendapat masyarakat dan preferensi konsumen, perubahan strategi manajemen dan
lain-lain. Analisis PSR dilakukan di kawasan Kepulauan Seribu meliputi Pulau Panggang, Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa dengan teknik
wawancara. Hasil analisis diuraikan berikut ini.
5.1. Pressure KKL Kepulauan Seribu
Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Seribu pada dasarnya mengalami pressure yang dapat dikatakan lebih berat jika dibandingkan KKL
lainnya di Indonesia. Hal ini tentu saja disebabkan karena lokasi KKL ini yang berdekatan dengan kota Jakarta dan merupakan kawasan perairan sibuk
yang dilalui oleh jalur transportasi baik kapal komersial, kapal tanker, kapal perikanan, kapal nelayan, dan lain-lain. Pressure yang terjadi berupa
pencemaran dan degradasi lingkungan baik akibat transportasi maupun limbah dari landbasednya berupa limbah domestik dan limbah industri.
Selain itu, kawasan inipun mendapat pressure dari masalah-masalah sosial yang ada, seperti rendahnya kesejahteraan masyarakat pesisir,
peningkatan jumlah penduduk, kebutuhan lapangan pekerjaan, tingkat pendidikan yang rendah dan kelautan sebagai tumpuan harapan
terakhir bagi mata pencaharian penduduk pesisir employment of the last resource juga menjadi pressure bagi pengembangan Kawasan Konservasi
Laut KKL. Lebih parah lagi pemerintah DKI Jakarta sejak tahun 1990 melakukan kebijakan reklamasi di sekitar wilayah pesisir Jakarta Utara seluas
2700 Ha sepanjang hampir 32 Km meliputi wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat
V-2
dan Banten. Pembangunan yang masive meliputi infrastruktur industri, perkantoran, hotel, dan pemukiman padat ini akan dihuni oleh 750.000- 1,19
juta penduduk. Sumber daya ikan di kawasan ini juga mengalami pressure yang luar
biasa akibat tingginya tingkat input yang ada untuk mengeksploitasi ikan dan produk laut lainnya. Hasil penelitian Anna 2003 berkaitan dengan kapasitas
perikanan tangkap di kawasa\n ini menunjukkan tingkat input yang tinggi dengan tingkat efisiensi yang rendah. Hal ini menunjukkan tingginya pressure
sumber daya ikan akibat tingginya tingkat input perikanan tangkap. Kondisi ini merupakan tekanan juga bagi KKL di Kepulauan Seribu, karena akan
menimbulkan sedimentasi, kerusakan kualitas perairan dan juga masalah sosial sebagai akibat di resetlement lebih kurang 125.000 nelayan ke wilayah
lain yang berada di wilayah Banten. Walhi 2006 menghitung biaya yang merupakan nilai ekonomi yang hilang dari pembangunan reklamsi di Teluk
jakarta ini yaitu sekitar 2,9 trilyun rupiah. Selain itu reklamasi ini juga akan menyebabkan marjinalisasi masyarakat nelayan. Reklamasi juga
menyebabkan rusaknya hutan mangrove di sekitar kawasan teluk Jakarta Anna and Fauzi, 2007.
5.2. State KKL Kepulauan Seribu
Kondisi sumber daya alam dan lingkungan KKL Kepulauan Seribu dianalisis berdasarkan hasil survey ke lapangan baik berupa pengamatan
langsung, hasil penelitian sebelumnya dan juga dari wawancara persepsi dari masyarakat terutama nelayan yang ada di Kepulauan Seribu.
V-3
Wilayah perairan Kepulauan Seribu mengalami pencemaran dalam besaran yang cukup signifikan akibat limbah domestik dari pariwisata dan
pelabuhan dan juga sedimentasi dari wilayah hulu, seperti kawasan puncak dan sekitarnya. Secara umum perairan Kepulauan seribu juga telah
mengalami degradasi sumber daya alam baik ikan maupun non ikan seperti terumbu karang, mangrove, dan lain-lain yang cukup signifikan. Sampai saat
ini penambangan terumbu karang masih ditemukan di kelurahan Pulau Panggang. Terumbu karang digunakan sebagai pondasi bangunan rumah
dan juga penahan abrasi pantai. Hasil survey menunjukkan bahwa para penambang melakukan penambangan satu trip selama 7-10 hari dengan hasil
sebanyak 1-2 m
3
per trip. Dalam setahun penambang ini melakukan 21-30 kali trip. Harga jual batu karang dari hasil menambang adalah Rp60.000,-m
3
. 5.3. Response Terhadap Kondisi KKL Kepulauan Seribu
Dengan kondisi sumber daya alam dan lingkungan seperti diuraikan di atas, diperoleh berbagai response dari masyarakat di sekitar kawasan KKL di
Kepulauan Seribu berdasarkan wawancara di lapangan. Secara umum terdapat 4 macam response yang dapat tergali dari penelitian di lapangan,
yaitu response langsung yang berkaitan dengan upaya masyarakat memperbaiki kondisi ekonomi mereka berkenaan dengan degradasi
lingkungan yang ada dan respons yang tidak langsung juga berkaitan dengan keinginan memperbaiki taraf hidup mereka melalui perbaikan lingkungan.
Response langsung yang mereka lakukan adalah 55 responden menyatakan menambah trip melaut, hal ini merupakan feed back mereka
V-4