22
2.1.2.1 Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di
Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003
untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas
korupsidi Indonesia. Komisi ini didirikan
berdasarkan kepada Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Visi dan misi KPK Komisi Pemberantasan Korupsi Visi
Mewujudkan Lembaga yang Mampu Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari Korupsi
Misi
- Pendobrak dan Pendorong Indonesia yang Bebas dari Korupsi - Menjadi Pemimpin dan Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Indonesia
yang Bebas dari Korupsi http:www.kpk.go.idmoduleseditocontent.php?id=1
Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia Orde Lama
Kabinet Djuanda Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan
korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan
23
Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara Paran. Badan ini dipimpin oleh
A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota,
yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian
formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan
doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan
kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah
menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagaiMenteri Koordinator Pertahanan dan KeamananKasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan
lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran
utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena
belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara
24
kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya olehSoebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi
Retooling Aparat Revolusi Kontrar dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan
Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun
2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini,
pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
Orde Baru Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada
16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak
mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim
Pemberantasan Korupsi TPK, yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto
untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A.
Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya
posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib Opstib
25
dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang
bottom up atau top down di
kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin
menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era Reformasi Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh
B.J. Habibie
dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara
KPKPN, KPPU, atau
Lembaga Ombudsman. Presiden
berikutnya, Abdurrahman Wahid,
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TGPTPK melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat
menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan
logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi,
tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang
masih eksis.
26
KPK dibawah Taufiequrachman Ruki 2003 – 2007 Pada tanggal 16 Desember 2003,
Taufiequrachman Ruki, seorang alumni Akademi Kepolisian Akpol 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di
bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator pemicu bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya
jalannya sebuah good and clean governance pemerintahan baik dan bersih di Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992
sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana korupsi,
tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi dan
adanya contoh island of integrity daerah contoh yang bebas korupsi. Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang
dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999
jo UU No. 20 Tahun 2001.
Menurutnya, tindakan preventif pencegahan dan represif pengekangan ini dilakukan dengan memposisikan KPK sebagai katalisator trigger bagi aparat
atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.
Taufiequrachman mengemukakan data hasil survei Transparency
Internasional mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan
publik di Indonesia. Hasil survei itu memberikan nilai IPK Indeks Persepsi
27
Korupsi sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei. Survei Transparency International
Indonesia berkesimpulan bahwa lembaga yang harus dibersihkan menurut responden, adalah: lembaga peradilan 27, perpajakan 17, kepolisian
11, DPRD 10, kementeriandepartemen 9, bea dan cukai 7, BUMN 5, lembaga pendidikan 4, perijinan 3, dan pekerjaan umum 2.
Lebih lanjut disampaikan, survei terbaru Transparency International yaitu Barometer Korupsi Global, menempatkan partai politik di Indonesia sebagai
institusi terkorup dengan nilai 4,2 dengan rentang penilaian 1-5, 5 untuk yang terkorup. Masih berangkat dari data tersebut, di Asia, Indonesia menduduki
prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 terkorup 10 di atas India 8,9, Vietnam 8,67, Filipina 8,33 danThailand 7,33.
Dengan adanya data tersebut, terukur bahwa keberadaan korupsi di Indonesia telah membudaya baik secara sistemik dan endemik. Maka
Taufiequrachman berasumsi bahwa kunci utama dalam pemberantasan korupsi adalah integritas yang akan mencegah manusia dari perbuatan tercela, entah itu
corruption by needs korupsi karena kebutuhan, corruption by greeds korupsi karena keserakahan atau corruption by opportunities korupsi karena
kesempatan. Taufiequrachman juga menyampaikan bahwa pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga
dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis.
28
Pada tahun 2007 Taufiequrachman Ruki digantikan oleh Antasari
Azhar sebagai Ketua KPK. http:www.kpk.go.idmodulescommissioners
KPK dibawah Antasari Azhar 2007 – 2009 Antasari menghabiskan masa kecilnya di
Belitung. Baru setelah menamatkan pendidikan SD-nya pada tahun 1965, dia melanjutkan pendidikan
SMP dan SMA di Jakarta sampai lulus pada tahun 1971. Dia melanjutkan pendidikannya dengan masuk Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Jurusan
Tata Negara dan menamatkannya pada tahun 1981. Pada saat kuliah Antasari sangat aktif berorganisasi. Ia menjadi Ketua Senat Mahasiswa dan Ketua Badan
Perwakilan Mahasiswa. Bahkan dia dengan bangga mengakui bahwa dirinya adalah bekas demonstran pada tahun 1978. Selain pendidikan formal tersebut,
selama dalam karir kejaksaannya, Antasari juga mengikuti sejumlah kursus di antaranya: Commercial Law di New South Wales University Sydney dan
Investigation for environment law, EPA, Melbourne. Antasari memulai karirnya dengan bekerja di BPHN Departemen
Kehakiman 1981-1985. Keinginannya menjadi seorang diplomat pun akhirnya berganti setelah dia diterima menjadi jaksa fungsional di Kejaksaan Negeri
Jakarta Pusat yang dijalaninya dari tahun 1985 sampai 1989. Keinginannya untuk tidak pernah berhenti belajar membuat karirnya semakin meningkat. Tercatat
setelah itu, dia menjadi Jaksa Fungsional di Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang 1989-1992, Kasi Penyidikan Korupsi Kejaksaan Tinggi Lampung 1992-1994
29
dan kemudian Kasi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jakarta Barat 1994-1996. Antasari mulai merasakan posisi puncak dengan menjadi Kepala Kejaksaan
Negeri Baturaja 1997-1999. Setelah itu ia mulai berkarir di jajaran Kejaksaan Agung. Tahun 1999, ia
menjadi Kasubdit upaya hukum pidana khusus Kejaksaan Agung, Kasubdit Penyidikan Pidana khusus Kejaksaan Agung 1999-2000 dan terakhir Kepala
bidang hubungan media massa Kejaksaan Agung 2000. Namun sebenarnya jabatannya saat menjadi Kepala Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan 2000-2007 yang membuat namanya pertama kali dikenal secara luas di publik. Pada saat itu dia gagal mengeksekusi Tommy Soeharto begitu
putusan MA turun. Ketika eksekusi paksa hendak dilakukan setelah panggilan pada siang harinya tidak berhasil, Tommy sudah tidak ada lagi di Cendana.
Kejadian tersebut memunculkan kesan di masyarakat kesan kalau Antasari sengaja mengulur-ulur waktu eksekusi.
Kontroversi itu tidak menghalangi pengangkatannya menjadi Ketua KPK setelah berhasil mengungguli calon lainnya yaitu Chandra M. Hamzahdengan
memperoleh 41 suara dalam pemungutan suara yang dilangsungkan Komisi III DPR. Kiprahnya sebagai Ketua KPK langsung mencuri perhatian setelah KPK
mebuat gebrakan di antaranya menangkap Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani dalam kaitan penyuapan kasusBLBI Syamsul Nursalim. Kemudian juga
penangkapan Al Amin Nur Nasution dalam kasus persetujuan pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang, Sumatera Selatan.
30
Mengenai kasus pidana, Antasari diduga bekerja sama dengan pengusaha Sigid Haryo Wibisono untuk membunuh Nasrudin Zulkarnaen , direktur PT
Rajawali Putra Banjaran dengan alasan yang belum jelas. Meski Antasari menolak semua tuduhan termasuk bahwa perselingkuhan menjadi motif utama
pembunuhan itu dan mengaku tetap setia pada Ida Laksmiwati yang telah menjadi istrinya selama 26 tahun, tetapi statusnya sebagai tersangka membuat Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 4 Mei 2009 memberhentikannya sementara dari jabatannya sebagai ketua KPK. Antasari pun bisa terancam
hukuman mati jika benar-benar terbukti sebagai otak dari pembunuhan berencana ini.
http:www.kpk.go.idmodulescommissioners
2.1.2.2 Konfrontasi Cicak dan Buaya