memperoleh pengalaman belajar secara langsung dan konsep yang diterima akan bertahan lebih lama dalam memori siswa.
2.1.2.4. Penerapan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
IPA adalah ilmu pengetahuan yang mempunyai obyek, menggunakan metode ilmiah sehingga perlu diajarkan di sekolah dasar. Setiap guru harus paham
akan alasan mengapa sains perlu diajarkan di sekolah dasar. Ada berbagai alasan yang menyebabkan satu mata pelajaran itu dimasuk ke dalam kurikulum suatu
sekolah. Usman Samatowa 2006 mengemukakan empat alasan sains dimasukan di kurikulum sekolah dasaryaitu
http:id.wikipedia
.orgwikiIlmu_alam.html :
a Bahwa sains berfaedah Bagi suatu bangsa, kiranya tidak perlu dipersoalkan
panjang lebar. Kesejahteraan materil suatu bangsa banyak sekali tergantung pada kemampuan bangsa itu dalam bidangsains, sebab sains merupakan dasar
teknologi, sering disebut-sebut sebagai tulang punggung pembangunan. Pengetahuan dasar untuk teknologi ialah sains. Orang tidak menjadi Insinyur
elektronika yang baik, atau dokter yang baik, tanpa dasar yang cukup luas mengenai berbagai gejala alam.
b Bila diajarkan sains menurut cara yang tepat, maka sains merupakan suatu
mata pelajaran yang memberikan kesempatan berpikir kritis; misalnya sains diajarkan dengan mengikuti metode menemukan sendiri. Dengan ini anak
dihadapkan pada suatu masalah; umpamanya dapat dikemukakan suatu masalah demikian. Dapatkah tumbuhan hidup tanpa daun? Anak diminta
untuk mencari dan menyelidiki hal ini.
c Bila sains diajarkan melalui percobaan-percobaan yang dilakukan sendiri oleh
anak. maka sains tidaklah merupakan mata pelajaran yang bersifat hafalan belaka.
d Mata pelajaran ini mempunyai: nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai
potensi yang dapat membentuk keprbadian anak secara keseluruhan. Sebagai disiplin ilmu dan penerapan dalam masyarakat membuat
pendidikan IPA menjadi penting. Dalam penelitian ini, subyek penelitiannya adalah siswa SD, sehingga perlu dikaji lebih mendalam tentang pembelajaran IPA
di SD. Siswa SD memang perlu diberi kesempatan untuk berlatih keterampilan- keterampilan proses IPA, diharapkan dapat berfikir dan bersikap ilmiah. Namun
karena struktur kognitif anak-anak tidak dapat dibandingkan dengan struktur kognitif ilmuan, maka pengajaran IPA dan keterampilan proses IPA hendaknya
dimodifikasi sesuai tahap perkembangan kognitifnya. Menurut Jean Piaget dalam Lapono, 2008: 1.18 individu sebagai
struktur koginif, peta mental, skema atau jaringan konsep guna memahami dan menanggapi pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Piaget
dalam Rifa’I dan Anni 2009: 27-30 tahap perkembangan kognitif mencakup
tahap sensorimotorik, praoperasional, dan operasional. a. Tahap sensorimotorik 0-2 tahun
Pada tahap ini bayi menyusun pemahaman dunia dengan mengordinasikan pengalaman indera dengan gerakan motorik mereka. Pada awal tahap ini, bayi
hanya memperlihatkan pola refleksi untuk beradaptasi dengan dunia dan menjelang akhir tahap ini telah sampai pada pembentukan struktur kognitif
sementara untuk mengkoordinasikan perbuatan dalam hubungannya terhadap
benda, waktu, ruang, dan kausalitas. b. Tahap Praoperasional 2-7 tahun
Tahap pemikiran ini lebih bersifat simbolis, egoisentris dan intuitif sehingga tidak melibatkan pemikiran operasional. Bayi pada tahap
praoperasional mulai meningkatkan kosa kata. Pemikiran pada tahap ini terbagi menjadi dua sub-tahap, yaitu simbolik dan intuitif.
1 Sub tahap simbolis 2-4 tahun
Pada tahap ini anak secara mental sudah mampu mengelompokkan benda-benda berdasarkan sifat-sifat dan penggunaan kosa kata mulai
berkembang ditunjukkan dengan sikap bermain, serta muncul sifat egois pada diri anak.
2 Sub tahap intuitif 4-7 tahun
Pada tahap ini anak mulai mempergunakan intuisinya dalam menentukan sesuatu yaitu berdasarkan apa yang ditangkap oleh panca
inderanya, disebut intuitif karena merasa yakin akan pengetahuan dan pemahaman mereka, namun tidak menyadari bagaimana mereka bisa
mengetahui cara-cara apa yang mereka ingin ketahui. Mereka mengetahui tetapi tanpa menggunakan pemikiran rasional. Mereka belum dapat
mengingat lebih dari satu hal pada satu waktu. c. Tahap
Operasional Tahap Operasional terdiri dari tahap operasional konkrit dan tahap
operasional formal.
1 Tahap Operasional Konkrit 7-11 tahun
Pada tahap ini anak mampu mengoperasionalkan berbagai logika namun masih dalam bentuk benda konkrit. Penalaran logika menggantikan
penalaran intuitif, namun hanya pada situasi konkrit dan menggunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda namun
belum bisa memecahkan masalah abstrak. 2
Tahap Operasional Formal 7-15 tahun Pada tahap ini anak sudah mampu mempergunakan pemikiran
tingkat yang lebih tinggi yang terbentuk pada tahap sebelumnya. Pemikiran operasional formal tampak lebih jelas dalam pemecahan
problem verbal, seperti anak dapat memecahkan problem walau disajikan secara verbal A=B dan B=C. anak sudah mampu membentuk hipotesis,
melakukan penyelidikan penelitian terkontrol, dan dapat menghubungkan bukti dan teori.
Pembelajaran IPA seharusnya disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif anak usia SD. Sesuai dengan tahap perkembangan
kognitifnya, Anak Sekolah Dasar berada pada tahap operasional konkrit. Menurut Piaget dalam Rifa’I dan Anni, 2009: 29, pada tahap ini anak mampu
mengoperasionalkan berbagai logika, namun masih dalam bentuk benda konkrit. Penalaran logika menggantikan penalaran intuitif, namun hanya pada
situasi konkrit dan kemampuan untuk mengklasifikasikan benda-benda namun belum bisa memecahkan masalah secara abstrakBerdasarkan paparan mengenai
teori perkembangan belajar kognitif dan tahapan-tahapan perkembangan
kognitif yang dikemukan oleh Jean Piaget tersebut, Peneliti menyimpulkan bahwapembelajaran harus disesuaikan dengan perkembangan kognitif anak.
Pada tahap usia SD yang umumnya berusia 7-12 tahun http:id.wikipedia.org
wikiSekolah_dasar seorang anak sedang melewati tahap Concrete Operation
Operasional Konkrit di mana pada usia ini anak sudah mampu berfikir logis untuk memecahkan masalah konkrit. Pada tahap ini anak sudah mampu
berpikir konkret dalam memahami sesuatu sebagaimana kenyataannya, mampu memahami konsep melalui pengalaman sendiri dan lebih objektif.
Pembelajaran yang ideal menurut Piaget adalah pembelajaran yang berlandaskan pada teori belajar konstruktivisme. Adapun implikasi dalam
pembelajaran dari teori Piaget ini antara lain adalah Slavin, 1994: 45-46 : a
Menekankan pada proses berfikir mental siswa Pembelajaran jangan hanya dilihat dari hasil belajarnya saja, namun harus
diamati dan difokuskan pada proses belajar siswa. b
Menekankan peran aktif siswa dalam pembelajaran Siswa dikondisikan agar berperan aktif siswa dengan interaksi dengan
lingkungan dan alat peraga dalam pembelajaran sebagai sumber belajar. c
Memahami adanya perbedaan perkembangan individual siswa Di dalam sebuah kelas, siswa satu dengan siswa yang lain memiliki
keampuan yang berbeda dalam belajar. Untuk menyiasati hal tersebut kegiatan belajar mengajar disetting menjadi kelompok-kelompok kecil dan
pendekatan pembelajaran yang diterapkan adalah pembelajaran penemuan sehingga siswa dapat belajar dengan optimal.
d Tidak ditekankan pada percepatan praktik yang membuat siswa berfikir
seperti orang dewasa. Pembelajaran yang memaksakan sebelum waktunya akan menyebebabkan hal yang buruk pada perkembangan kognitif siswa
Pembelajaran IPA sebaiknya menggunakan ketrampilan proses IPA. Dari kajian teori di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang berorientasikan
konstruktivisme diarahkan pada proses membangun pengetahuan yang bermakna melalui pencarian hubungan antara pengetahuan awal siswa dengan pengetahuan
yang sedang dipelajari, siswa berinteraksi multiarah dengan memanipulasi alat dan bahan di lingkungan sekitar sebagai wahana proses belajarnya yang dalam
pelaksanaannya difasilitasi oleh guru agar pengetahuan yang diperoleh siswa menjadi lebih bermakna.
Berdasarkan tahap perkembangan kognitif menurut piaget anak SD berada pada tahap operasional konkret, maka dalam pembelajaran hendaknya guru
menggunakan alat peraga yang memudahkan siswa dalam memahami konsep yang diajarkannya. Nasution 2007:7.3 mendefinisikan alat peraga adalah
wahana fisik yang mengandung materi pembelajaran dan dapat merangsang siswa untuk belajar.
Fungsi alat peraga dalam pembelajaran IPA antara lain adalah sebagai alat bantu penyampaian informasimateri pelajaran kepada siswa agar lebih jelas dan
mempermudah siswa dalam menyerap dan memahami materi pelajaran yang disampaikan. Media dapat menghadirkan bendamateri yang jauh dari subyek
belajar siswa, dan dengan media peristiwa yang rumit, kompleks, dan berlangsung sangat cepat menjadi sistematik dan sederhana dan mudah diikuti
Suparman dalam Rifa’i dan Anni, 2010: 196. Penggunaan alat peraga dapat mengurangi verbalistik dalam pembelajaran, mengatasi keterbatasan ruang dan
waktu serta daya indera, dan dapat mengatasi sikap pasif dalam pembelajaran. Alat peraga yang digunakan harus sesuai dengan materi dan kebutuhan anak,
sehingga pemahaman siswa terhadap konsep-konsep yang akan disampaikan akan lebih optimal.
Tujuan pembelajaran IPA yang dikehendaki dalam KTSP IPA SD akan dapat dicapai dengan pembelajaran IPA yang disesuaikan dengan hakikat IPA,
menerapkan keterampilan proses IPA, berlandaskan teori konstruktivisme, sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa, serta diterapi model pembelajaran
inovatif yaitu model Problem Based Instruction dengan multimedia.
2.1.3.
Model Pembelajaran Problem Based Instruction PBI
2.1.3.1. Pengertian Problem Based Instruction PBI