19
F. Penulisan Emosi Tokoh dalam Karya Sastra
Salah satu tujuan penulisan fiksi adalah untuk membangkitkan emosi pembaca Horne, 2007: 45. Lebih lanjut, Nobel 2006: 22 menyatakan bahwa
salah satu cara untuk merangsang pembaca adalah dengan melukiskan emosi yang kuat dan memberi pembaca kesempatan untuk merasakan emosi tersebut. Suatu
cerita dengan emosi yang biasa-biasa saja akan membuat pembaca merasa bosan dan meninggalkan cerita tersebut. Sebaliknya, pembaca akan menikmatinya
apabila seorang pengarang dapat memasukkan emosi yang tajam pada tokoh- tokoh ceritanya. Sehingga, pembaca dapat merasakan emosi dari tokoh cerita
tersebut masuk ke dalam dirinya. Emosi menjadi bagian yang cukup penting dalam suatu karya sastra.
Adanya unsur emosi dalam sastra adalah sebagai pengikat antara pengarang dengan karya sastra, maupun antara karya sastra dengan pembacanya. Endraswara
2008a: 35-36 menyatakan bahwa tanpa emosi, suatu karya itu hambar dan kurang tergerak. Emosi merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam
sastra. Horne 2007: 44 mengungkapkan beberapa hal tentang penggambaran
emosi tokoh oleh pengarang. Pertama, setiap ucapan seseorang menunjukkan sifat dan kepribadiannya. Pada saat seseorang mengalami tekanan dan ketegangan,
maka mereka akan berbicara dengan cara yang berbeda dibandingkan saat mereka sedang santai dan bergembira. Emosi tokoh dapat ditemukan dari penggambaran
cerita oleh pengarang. Kata-kata, frasa atau kalimat yang diucapkan oleh tokoh
20 cerita menunjukkan emosi yang mereka alami, baik pada saat monolog maupun
ketika berdialog dengan tokoh lain. Kedua, emosi dapat diungkapkan dengan menunjukkan cara bertindak dan
cara berbicara tokoh-tokoh dalam cerita. Emosi juga dapat mempengaruhi cara bertindak dan cara berbicara seseorang. Dalam karya sastra, hal tersebut dapat
ditemukan dalam kutipan dialog maupun narasi cerita oleh pengarang. Dari cara bertindak, misal pada saat tokoh cerita sedang dalam emosi marah, ia pergi
meninggalkan lawan bicaranya dan menutup pintu dengan keras. Dan dari segi cara berbicara, misalnya seorang tokoh berbicara dengan terbata-bata karena
sedang mengalami rasa takut. Dan ketiga, setiap perubahan dalam sikap atau tingkah laku harus
diterangkan oleh situasi pada saat ia berbicara. Penggambaran situasi juga ikut menentukan emosi seperti apa yang dilami oleh tokoh-tokoh cerita. Kejelasan
tentang situasi cerita dapat ditemukan dalam narasi yang diceritakan oleh pengarang. Misalnya, situasi yang mencekam untuk menggambarkan rasa takut
atau situasi yang penuh canda tawa untuk menggambarkan emosi senang. Nobel 2006: 23-24 menambahkan bahwa pengarang perlu menyajikan
gambaran secara lengkap dan jelas. Pembaca dapat mengetahui gambaran cerita dengan detail-detail yang tersedia. Semakin banyak detail yang diberikan
pengarang, maka pembaca dapat memahami keadaan cerita dengan lebih mudah dan merasa semakin terlibat ke dalamnya. Detail cerita dapat menciptakan atau
membangun emosi pembaca melalui tokoh cerita dalam karya sastra.
21
G. Penulisan Faktor Psikologis dalam Karya Sastra