2. Analgetik narkotik
Analgetik  narkotik  disebut  juga  opioid,  yaitu  zat  yang  bekerja  pada reseptor  opioid  khas  di  sistem  saraf  pusat,  hingga  persepsi  nyeri  dan  respon
emosional terhadap nyeri berkurang Tjay dan Rahardja, 2002. Tjay  dan  Rahardja  2002,  mengatakan  bahwa  rasa  nyeri  dapat  dilawan
dengan  1  merintangi  pembentukan  rangsangan  dalam  reseptor-reseptor  nyeri perifer  oleh  analgetik  perifer  atau  anastetika  lokal,  2  merintangi  penyaluran
rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris, misalnya dengan anastetika lokal, 3 blokade  dari  pusat  nyeri  dalam  sistem  saraf  sentral  dengan  analgetik  sentral
narkotika atau dengan anastetika umum.
C. Asetosal
Gambar 2. Struktur kimia asetosal
Helmenstine, 2010 Asetosal  asam  asetil  salisilat  merupakan  ester  salisilat  dari  asam,
berbentuk kristal putih seperti batang atau jarum dan berbau. Sedikit larut dalam air,  sangat  larut  dalam  alkohol.  Nilai  pKa  dari  asetosal  adalah  3,5.  Termasuk
dalam  golongan  analgesik  non-narkotik.  Indikasi  asetosal  adalah  sebagai  pereda nyeri, sakit kepala, nyeri ringan lain yang berhubungan dengan adanya inflamasi,
nyeri  ringan  sampai  sedang  setelah  operasi,  melahirkan,  sakit  gigi,  dismenorea.
Asetosal  stabil  pada  penyimpanan    pH  rendah  2-3  dan  pada  suhu
2-15°C
Dinkes, 2010. Asetosal  bekerja  dengan  cara  menghambat  sintesis  prostaglandin  pada
jalur  sikloosigenase.  Prostaglandin  sendiri  adalah  suatu  senyawa  dalam  tubuh yang  merupakan  mediator  nyeri  dan  radanginflamasi.Ia  terbentuk  dari  asam
arakidonat  pada  sel-sel  tubuh  dengan  bantuan  enzim  cyclooxygenase COX.Dengan  penghambatan  pada  enzim  COX,  maka prostaglandin  tidak
terbentuk, dan nyeri atau radang pun reda Tjay dan Rahardja, 2002.
D. Iler Coleus atropurpureus L. Benth
Gambar. 3  Iler Coleus atropurpureus L. Benth Hatch, 2011
1. Keterangan botani
Tanaman iler berdasarkan taksonomi termasuk dalam, Kingdom: Plantae Tumbuhan
Subkingdom: Tracheobionta Tumbuhan berpembuluh Super Divisi: Spermatophyta Menghasilkan biji
Divisi: Magnoliophyta Tumbuhan berbunga Kelas: Magnoliopsida berkeping dua  dikoti
Sub Kelas: Asteridae Ordo: Lamiales
Famili: Lamiaceae Genus: Coleus
Spesies: Coleus atropurpureus L. Benth Tumbuhan ini dikenal masyarakat Indonesia dengan nama daerah yaitu: si
gresing Batak, adang-adang Palembang, plado Sumba, jawer kotok Sunda,
kentangan Jawa, ati-ati, saru-saru Bugis, majana Madura Dalimartha, 2008. 2.
Morfologi tanaman
Ciri-ciri  umum:  Tumbuhan  iler  memiliki  batang  herba,  tegak  atau berbaring pada pangkalnya dan merayap tinggi berkisar 30-150 cm. Daun tunggal,
helaian daun berbentuk  hati, pangkal  membulat atau melekuk menyerupai  benuk jantung  dan  setiap  tepiannya  dihiasi  oleh  lekuk-lekuk  tipis  yang  bersambungan
dan didukung tangkai daun dengan panjang tangkai 3-4 cm yang memiliki warna beraneka  ragam  dan  ujung  meruncing  dan  tulang  daun  menyirip  berupa  alur.
Batang bersegi empat dengan alur yang agak dalam pada masing-masing sisinya,
berambut, percabangan banyak, berwarna ungu kemerahan. Permukaan daun agak mengkilap  dan  berambut  halus  panjang  dengan  panjang  7-11  cm,  lebar  3-6  cm
berwarna  ungu  kecoklatan  sampai  ungu  kehitaman.Bunga  berbentuk  untaian bunga  bersusun,  muncul  pada  pucuk  tangkai  batang  berwarna  putih,  merah  dan
ungu. Tumbuhan  iler  memiliki  aroma  bau  yang  khas  dan  rasa  yang  agak  pahit,
sifatnya dingin. Jika seluruh bagian diremas akan mengeluarkan bau yang harum. Untuk  memperbanyak  tanaman  ini  dilakukan  dengan  cara  setek  batang  dan  biji
Yuniarti, 2008. 3.
Ekologi
Tumbuhan iler tumbuh subur di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1500  meter  diatas  permukaan  laut  dan  merupakan  tanaman  semusim  termasuk
kategori  tumbuhan  basah  yang  batangnya  mudah  patah.Umumnya  tumbuhan  ini ditemukan  di  tempat  lembab  dan  terbuka  seperti  pematang  sawah,  tepi  jalan
pedesaan  di  kebun-kebun  sebagai  tanaman  liar  atau  tanaman  obat  Yuniarti,
2008. 4.
Kandungan kimia
Berbagai  penelitian  mengungkapkan  bahwa  di  dalam  daun  iler  terdapat berbagai  macam  senyawa  yang berkhasiat,  diantaranya adalah dijumpai berbagai
macam  senyawa  flavonoid.  Hasil  penapisan  fitokimia  terhadap  infusa  daun  iler menunjukkan  adanya  senyawa  flavonoid,  saponin  dan  polifenol  Amitjitresmu,
1995.
Tumbuhan  iler  memiliki  sifat  kimiawi  harum,  berasa  agak  pahit,  dingin, memiliki  kandungan  kimia  sebagai  berikut  :  daun  dan  batang  mengandung  minyak
atsiri,  fenol,  tannin,  lemak,  phytosterol,  kalsium  oksalat,  dan  peptik.  Komposisi kandungan  kimia  yang  bermanfaat  antara  lain  juga  alkaloid,  etil  salisilat,  metal
eugenol, timol karvakrol, mineral Dalimartha, 2008.
Dari  uji  pendahuluan  yang  dilakukan  oleh  Saragih  2011  menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun tumbuhan iler mengandung senyawa flavonoida.
5. Khasiat dan kegunaan
Tumbuhan  iler  diduga  mempunyai  aktifitas  antibakteri,  sebagai  obat hepatitis dan menurunkan demam, batuk dan influenza. Selain itu daun tumbuhan
iler  ini  juga  berkhasiat  untuk  penetralisir  racun  antitoksik,  menghambat pertumbuhan  bakteri  antiseptik,  mempercepat  pematangan  bisul,  pembunuh
cacing  vermisida,  wasir,  peluruh  haid  emenagog,  membuyarkan  gumpalan darah,  gangguan  pencernaan  makanan  despepsi,  radang  paru,  gigitan  ular
berbisa dan serangga Dalimartha, 2008.
E. Infusa
Infusa  adalah  hasil  proses  penyarian  yang  umumnya  digunakan  untuk menyari  zat  kandungan  aktif  yang  larut  dalam  air  dari  bahan-bahan  nabati.
Penyarian  dengan  cara  ini  menghasilkan  sari  yang  tidak  stabil  dan  mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang diperoleh dengan cara
ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam Departemen Kesehatan RI, 1986. Pembuatan infusa dengan mencampur simplisia dengan derajat halus yang
sesuai  dalam  panci  dengan  air  secukupnya,  dipanaskan  di  atas  tangas  air  selama
15  menit  terhitung  mulai  suhu  mencapai  90
o
sambil  sekali-sekali  diaduk.Serkai selagi  panas  melalui  kain  flannel,  ditambahkan  air  panas  secukupnya  melalui
ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki Departemen Kesehatan RI, 1995.
F. Metode Uji Daya Anlgesik
Metode-metode  pengujian  aktivitas  analgesik  dilakukan  dengan  menilai kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi
pada hewan percobaan. Secara umum, daya analgesik pada hewan dinilai dengan menggunakan  besarnya  peningkatan  stimulus  nyeri  yang  harus  diberikan  sampai
ada  respon  nyeri  atau  juga  persamaan  frekuensi  respon  nyeri  Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phyto Medika, 1991.
Penggolongan metode pengujian daya analgesik berdasarkan jenis analgesiknya menurut Turner 1965 adalah:
1. Golongan analgesik narkotika
a. Metode jepitan ekor. Sekelompok tikus diinjeksi dengan senyawa uji pada dosis
tertentu secara subkutan s.c maupun intravena i.v dan 30 menit kemudian jepit dipasang pada pangkal ekor tikus yang dilapisi karet tipis selama 30 detik. Tikus
yang  tidak  diberi  analgesik  akan  berusaha  untuk  melepaskan  diri  dari  kekangan karet  dengan  cara  menggigiti  jepitan,  tetapi  tikus  yang  diberi  analgesik  akan
mengabaikan  kekangan  tersebut  karena  rasa  sakit  tidak  begitu  dirasakannya. Respon positif adanya daya analgesik dapat dicatat jika tidak ada usaha dari tikus
untuk melepaskan diri dari jepitan selama 15 detik
b. Metode  pengukuran  tekanan.  Alat  yang  digunakan  adalah  sebuah  alat  untuk
mengukur tekanan yang diberikan pada tikus secara seragam. Alat tersebut terdiri dari  2  syringe  yang  dihubungkan  ujung  dengan  ujungnya  yang  rata-rata  bersifat
elasatis,  fleksibel,  dan  terdapat  pipa  plastik  yang  diisi  sebuah  cairan.  Sisi  pipa dihubungkan  dengan  manometer.  Manometer  akan  membaca  ketika  tikus
memberikan  respon.  Respon  tikus  yang  pertama  adalah  meronta-ronta  kemudian akan mengeluarkan suara mencicit kesakitan.
c. Metode rangsang panas.  Alat  yang digunakan adalah lempeng panas  hot  plate
yang  terdiri  dari  silinder  untuk  mengendalikan.  Hot  plate  bersuhu  sekitar  50 -
55 C, dilengkapi dengan penangas yang berisi campuran sebanding antara aseton
dengan  etil  format  yang  mendidih.  Tikus  yang  sudah  diberi  larutan  secara subkutan  atau  peroral,  diletakkan  pada  hot  plate  yang  sudah  disiapkan.  Reaksi
tikus  adalah  menjilat-jilat  kakinya  lalu  akan  melompat  dari  silinder.  Hewan  uji yang dibutuhkan tiap kelompok berjumlah 5 ekor.
d. Metode  potensi  petidin.  Metode  ini  kurang  baik  karena  dibutuhkan  hewan  uji
dalam jumlah besar untuk melakukan uji ini. Tiap kelompok tikus terdiri dari 20 ekor, setengah dari kelompok dibagi menjadi 3 bagian diberi petidin dengan dosis
berturut-turut  2,  4,  dan  8  mgkg.  Setengah  kelompok  yang  lain  diberi  petidin dengan  senyawa  uji  dengan  dosis  25  dari  LD
50
.  Persen  analgetik  dihitung dengan bantuan metode rangsang panas.
e. Metode  antagonis  nalorfin.  Uji  analgetika  dengan  metode  ini  dibuat  untuk
menunjukkan aksi dari obat-obat seperti morfin. Hewan uji yang biasa digunakan dalam metode ini adalah tikus, mencit, anjing. Hewan uji diberi obat dengan dosis
toksik  kemudian  segera  diikuti  pemberian  nalorfin  0,5-10,0  mgkgBB  secara intravena.  Sebuah  obat  yaitu  pirinitramid  dapat  menyebabkan  respon  seperti
hilangnya  refleks  yang  benar  pada  refleks  corneal  dan  refleks  bradipnea.  Efek tersebut  dapat  dilawan  dengan  pemberian  nolorfin  1,25  mgkg  BB  yang
disuntikkan  secara  intravena.  Teori  menyebutkan  bahwa  nalorfin  dapat menggantikan ikatan morfin dengan reseptornya. Peristiwa tersebut menyebabkan
ikatan  antara  morfin  dengan  reseptornya  terlepas,  sehingga  meniadakan  efek morfin.
f. Metode  kejang  okstitosin.  Oksitoksin  adalah  hormon  yang  dihasilkan  oleh
kelenjar  pituitary  posterior,  dapat  menyebabkan  kontraksi  uterin  sehingga menimbulkan  kejang  pada  tikus.  Respon  kejang  meliputi  kontraksi  abdominal,
sehingga menarik pinggang dan kaki ke belakang. Penurunan kejang diamati, dan ED
50
dapat diperkirakan. Selain morfin senyawa analgesik yang bisa diuji dengan metode ini adalah heroin, metadon, kodein, dan meperidina.
g. Metode  pencelupan  pada  air  panas.Tikus  disuntik  secara  intraperitonial  dengan
senyawa  uji,  kemudian  ekor  tikus  dicelupkan  dalam  air  panas  suhu  58 C.
Respon  tikus  dilihat  dari  hentakan  ekornya  yang  menghindari  air  panas. Munculnya  reaksi  yang  khas  yaitu  sentakan  ekor  yang  keras,  dicatat  waktunya.
Uji ini diulang kembali setiap 30 menit setelah 15 menit penyuntikan. Jika mencit tetap tidak bereaksi dalam waktu 6 detik, mencit diangkat dari penangas.
2. Golongan analgesik non-narkotika
a. Metode  rangsang  kimia.  Dalam  metode  ini,  rasa  nyeri  yang  timbul  berasal  dari
rangsang  kimia  yang  disebabkan  oleh  zat  kimia  yang  diinjeksikan  secara
intraperitonial  pada  hewan  uji.  Beberapa  zat  yang  sering  dipergunakan  untuk menimbulkan  rasa  nyeri  dipakai  dalam  metode  ini  yaitu  asam  asetat  dan  fenil
kuionon.  Metode  ini  cukup  peka  untuk  pengujian  senyawa-senyawa  analgesik yang  mempunyai  daya  analgesik  lemah.  Metode  ini  telah  sering  digunakan  oleh
banyak  peneliti  dan  bisa  direkomendasikan  sebagai  metode  penapisan  sederhana Vogel,  2002.  Pemberian  analgesik  akan  mengurangi  rasa  nyeri  atau
menghilangkan  rasa  nyeri  sehingga  jumlah  geliat  yang  terjadi  berkurang  sampai tidak terjadi geliat sama sekali. Ini tergantung pada daya analgesik senyawa yang
digunakan. Efek analgesik dapat dievaluasi menggunakan persen proteksi geliat. Proteksi = 100
– PK x 100 Keterangan :
p : jumlah geliat kumulatif kelompok percobaan tiap individu k : jumlah geliat kumulatif kontrol rata-rata
Perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif menggunakan  rumus :
Perubahan  proteksi geliat = X 100
P =  proteksi geliat pada tiap kelompok perlakuan
KP = rata-rata  proteksi geliat pada kontrol positif
Jumlah  mencit  yang  digunakan  untuk  satu  kelompok  adalah  5  ekor. Penetapan  daya  analgesik  dengan  metode  geliat  dapat  dilakukan  dengan
bermacam-macam  hewan  uji  diantaranya  anjing,  marmot,  tikus,  merpati,  dan mencit.  Respon  mencit  yang  bisa  diamati  adalah  lompatan  dan  kontraksi  perut
dengan disertai tarikan kaki ke belakang rentangan yang disebut geliat.
b. Metode pedodolorimeter. Metode ini menggunakan aliran listrik untuk mengukur
besarnya  daya  analgesik.  Alas  kandang  tikus  terbuat  dari  kepingan  metal  yang bisa mengalirkan listrik. Tikus diletakkan pada kandang tersebut kemudian dialiri
aliran listrik. Respon ditandai dengan teriakan dari tikus tersebut. Pengukuran ini dilakukan setiap 10 menit selama 1 jam.
c. Metode  rektodolorimeter.  Tikus  diletakkan  dalam  sebuah  kandang  yang  dibuat
khusus dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi yang berupa  gulungan.  Ujing  lain  dari  gulungan  tersebut  kemudian  dihubungkan
dengan  silinder  elektroda  tembaga.  Sebuah  voltmeter  yang  sensitif  untuk mengubah  0,1  volt  dihubungkan  dengan  kondukutor  yang  berada  di  gulungan  di
atas. Tegangan yang sering digunakan untuk menimbulkan teriakan mencit adalah 1 sampai 2 volt.
G. Landasan Teori
Nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, dan berkaitan dengan kerusakan  jaringan  yang  diakibatkan  oleh  berabagi  macam  faktor  Tjay,  2007.
Rasa  nyeri  akan  timbul  bersamaan  dengan  reaksi  peradangan,  karena  mediator yang  memperantarai  peradangan  prostaglandin,  leukotrien,  dll  akan
mengaktivasi reseptor nyeri, sehingga rangsangan mekanis, kimia atau fisis yang diterima  reseptor  nyeri  akan  disalurkan  ke  pusat  nyeri  di  otak  besar,  impuls  itu
kemudian dirasakan sebagai nyeri Rahardja, 2002. Iler  adalah  salah  satu  tanaman  obat  tradisional  yang  memiliki  beragam
khasiat.Tanaman  ini  digunakan  oleh  masyarakat  Indonesia  untuk  mengobati
berbagai  macam  penyakit  salah  satunya  untuk  meredakan  nyeri  pada  saat  diare atau  meredakan  nyeri  pada  saat  datang  bulan.  Daun  iler  mengandung  beragam
senyawa  flavonoid  Saragih,  2011.  Flavonoid  adalah  senyawa  yang  memiliki sifat  antioksidan  yang  efektif  sebagai  penangkap  radikal  bebas.  Dengan  adanya
sifat  antioksidan,  maka  radikal  bebas  akan  ditangkap  sehingga  proses pembentukan  asam  arakidonat  melalui  jalur  siklooksigenase  akan  terhambat  dan
menyebabkan  mediator  nyeri  dan  peradangan  tidak  terbentuk  Tjay  dan  Raharja 2007.  Dengan  adanya  senyawa  flavonoid  memungkinkan  tanaman  iler
mempunyai efek analgesik.
H. Hipotesis