BAB III TINJAUAN PERKREDITAN YANG DILAKUKAN
OLEH BANK PEMERINTAH
A. Dasar Hukum Pemberian Kredit Kepada Pegawai Negeri Sipil
Setiap  kegiatan  dalam  lalu  lintas  bisnis  tentunya  memerlukan  suatu ketentuan yuridis yang menjadi dasar hukumnya. Hal ini sebagai konsekuensi dari
suatu  prinsip  bahwa  negara  Indonesia  adalah  negara  hukum  dimana  peraturan perundang-undangan  menduduki  urutan  yang  sangat  penting  sebagai  sumber
hukumnya. Demikian  juga  dalam  kegiatan  pemberian  kredit,  tentunya  juga
memerlukan suatu basis hukum yang kuat. Dasar hukumnya antara lain: a.
Perjanjian diantara para pihak.
75
Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang  dibuat  secara  sah  berlaku  sebagai  undang-undang  bagi  mereka  yang
membuatnya”.  Demikianlah  maka  dengan  ketentuan  dalam  Pasal  1338  ayat  1 KUHPerdata  ini,  berlakulah  bahwa  setiap  perjanjian  yang  dibuat  secara  sah,
bahkan kekuatannya sama dengan kekuatan undang-undang.
75
Munir  Fuady,  Hukum  Perkreditan  dan  Kontemporer,  Citra  Aditya  Bakti,  Bandung, 1996, h. 8.
Demikian  pula  dengan  bidang  perkreditan,  khususnya  kredit  bank  yang juga  diawali  oleh  suatu  perjanjian  yang  sering  disebut  dengan  perjanjian  kredit,
dan umumnya dilakukan dalam bentuk tertulis. Karena itu, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata,
maka  seluruh  pasal-pasal  yang  ada  dalam  suatu  perjanjian  kredit  secara  hukum mengikat  kedua  belah  pihak,  yakni  pihak  kreditur  dan  pihak  debitur.  Asal  saja
tidak  ada  pasal-pasal  tersebut  yang  bertentangan  dengan  hukum  yang  berlaku. Keterikatan  yang  sama  juga  berlaku  bagi  perjanjian-perjanjian  pendukung  lain
seperti  perjanjian  jaminan  hutang,  teknik  pelaksanaan  pembayaran  atau pembayaran  kembali,  atau  lain-lainnya  yang  biasanya  merupakan  lampiran  dari
perjanjian kredit yang bersangkutan. b.
Undang-undang tentang Perbankan
76
Di  negara-negara  yang  menganut  sistem  hukum  Eropa  Kontinental, kedudukan  undang-undang  adalah  merupakan  sumber  hukum  yang  sangat
penting.  Sungguhpun  undang-undang  itu  sendiri  harus  pula  mendasari  dirinya kepada  sumber  perundang-undangan  yang  lebih  tinggi  seperti  Pancasila  dan
UUD 1945. Peraturan  tentang  perkreditan  atau  regulasi  perkreditan  di  sektor
perbankan  secara  nasional  diatur  dalam  UU  Perbankan  dan  Peraturan  Bank Indonesia.  Di  samping  itu,  pengaturan  perkreditan  juga  diatur  secara  internal  di
76
Ibid.
masing-masing  bank  dalam  bentuk  Pedoman  Perkreditan  atau  Peraturan Perkreditan.
77
Di  Indonesia  undang-undang  yang  khusus  mengatur  tentang  perbankan adalah  Undang-Undang  Nomor  10  Tahun  1998  yang  mengatur  perubahan  atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pengertian  perbankan  diatur  secara  tegas,  berdasarkan  pasal  1  ayat  1
Undang-Undang  Republik  Indonesia  Nomor  10  Tahun  1998  tentang  perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992. Yang menyatakan bahwa
“Perbankan adalah  segala  sesuatu  yang  menyangkut  tentang  bank,  mencakup  kelembagaan,
ke jahatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”.
Dalam  pemberian  kredit  atau  pembiayaan  berdasarkan  Prinsip  Syariah, bank wajib memperhatikan hal-hal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat 1
dan 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang berbunyi:
78
Pasal 8 ayat 1: Dalam  memberikan  kredit  atau  pembiayaan  berdasarkan  Prinsip  Syariah,
Bank  Umum  wajib  mempunyai  keyakinan  berdasarkan  analisis  yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur
untuk  melunasi  utangnya  atau  mengembalikan  pembiayaan  dimaksud sesuai dengan diperjanjikan.
Pasal 8 ayat 2: Bank  Umum  wajib  memiliki  dan  menerapkan  pedoman  perkreditan  dan
pembiayaan  berdasarkan  Prinsip  Syariah,  sesuai  dengan  ketentuan  yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
77
Iswi  Hariyani  dan  R.  Serfianto  D.P.,  Bebas  Jeratan  Utang  Piutang,  Pustaka  Yustisia, Yogyakarta, 2010, h. 101.
78
Hermansyah, Op. cit, h. 58.
Berkaitan  dengan  itu,  menurut  penjelasan  Pasal  8  ayat  2  dikemukakan bahwa  pedoman  perkreditan  dan  pembiayaan  berdasarkan  Prinsip  Syariah  yang
ditetapkan  oleh  Bank  Indonesia  yang  wajib  dimiliki  dan  diterapkan  oleh  bank dalam pemberian kredit dan pembiayaan adalah sebagai berikut:
79
a. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat
dalam bentuk perjanjian tertulis. b.
Bank  harus  memiliki  keyakinan  atas  kemampuan  dan  kesanggupan nasabah debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama
terhadap  watak,  kemampuan,  modal  agunan,  dan  proyek  usaha  dari nasabah debitur.
c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. d.
Kewajiban  bank  untuk  memberikan  informasi  yang  jelas  mengenai prosedur  dan  persyaratan  kredit  atau  pembiayaan  berdasarkan  Prinsip
Syariah. e.
Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip  Syariah  dengan  persyaratan  yang  berbeda  kepada  nasabah
debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi. f.
Penyelesaian sengketa.
Ketentuan  Pasal  8  ayat  1  dan  ayat  2  di  atas  merupakan  dasar  atau landasan bagi bank dalam menyalurkan kreditnya kepada nasabah debitur. Lebih
dari  itu,  karena  pemberian  kredit  merupakan  salah  satu  fungsi  utama  dari  bank, maka dalam ketentuan tersebut juga mengandung dan menerapkan prinsip kehati-
79
Ibid.
hatian  sebagaimana  dimkasud  dalam  ketentuan  Pasal  2  Undang-Undang  No.  10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
80
B. Fungsi Jaminan Dalam Kredit Perbankan