a Ketidakelastisan dari penerimaan eksport, yaitu nilai ekspor yang tumbuh
secara lamban dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. b
Ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan di dalam negeri. Produksi bahan makanan dalam negeri tidak tumbuh secepat pertambahan
penduduk dan penghasilan perkapita sehingga harga bahan makanan di dalam negeri cenderung untuk naik melebihi kenaikan harga barang-barang lain.
2.3. Situasi Politik dan Ekonomi di Indonesia Tahun 1985 – 2005
Antara tahun 1985 – tahun 1995 kondisi politik dan ekonomi di Indonesia dapat dikatakan masih stabil. Hal itu dapat kita lihat dari lancarnya jalan
pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Soeharto serta kondisi pasar yang masih kondusif dan terkendali. Tingkat harga secara umum juga masih stabil dan dapat
diterima oleh masyarakat secara luas. Hal itu juga dapat kita lihat dari hasil-hasil yang bersifat fisik seperti infrastruktur jalan raya, gedung pencakar langit, dan
indikator kuantitatif lainnya seperti penurunan angka kemiskinan, tumbuhnya kelas menengah baru dan perkembangan sektor industri. Melihat hasil-hasil pembangunan
berdasarkan indikator kuantitatif dan pembangunan yang bersifat fisikal seperti itu, tampak bahwa pemerintah telah mengabaikan kondisi yang sesungguhnya, karena
secara kualitatif banyak aspek pembangunan yang telah berlangsung memiliki sejumlah kelemahan. Memang dalam kenyataannya banyak masalah yang timbul dan
berkembang sehingga melahirkan keprihatinan sejumlah kalangan.
Universitas Sumatera Utara
Kondisi lain yang dihadapi oleh perekonomian kita adalah beban utang yang membengkak. Total utang sebelum krisis saja sudah mencapai 90 miliar dollar AS
yang menempatkan Indonesia sebagai peminjam terbesar ketiga setelah Brazil dan Meksiko. Indonesia bahkan mendapat predikat “Good Boy” karena mampu dan taat
membayar bunga dan cicilannya, namun kehati-hatian tetap diperlukan karena utang tersebut sudah sangat memberatkan APBN karena telah menyita bagian terbesar dari
anggaran rutin dengan berbagai konsekuensi, diantaranya: pembayaran bunga dan cicilan utang telah menjadi kendala dalam upaya meningkatkan gaji pegawai negeri
dan TNI POLRI yang berarti menghambat peningkatan atau mengurangi kesejahteraan mereka. Selain itu, besarnya pembayaran bunga dan cicilan utang
merupakan tekanan bagi peningkatan tabungan pemerintah. Masalah lain yang terkait dengan beban utang adalah pinjaman utang luar
negeri yang diterima sejak tahun 19871988 ternyata nilainya jauh lebih kecil dari bunga dan cicilan utang yang harus dibayar. Dengan demikian telah terjadi aliran
modal netto ke luar negeri net resources out flow. Sayangnya kondisi seperti ini masih belum berubah dan belum ada terobosan baru yang tepat. Hal ini semakin
diperburuk dengan mengandalkan neraca modal yang positif tetapi terbentuk dari hutang bukan dari foreign direct investment FDI. Bahkan defisitnya jauh lebih besar
dari neraca barang. Transaksi berjalan dalam neraca pembayaran selama tiga dasawarsa selalu defisit kecuali tahun1980. Kondisi ini menjadi salah satu ciri dari
kondisi perekonomian Indonesia. Anehnya hal seperti ini terus berlangsung meskipun ekspor nonmigas mengalami kenaikan rata-rata pertahun lebih dari 15 selama pelita
Universitas Sumatera Utara
V. penyebab utamanya adalah besarnya pembayaran bunga dan cicilan utang. Meskipun neraca modal selalu surplus, tetapi surplus tersebut terutama disebabkan
oleh pinjaman luar negeri. Keterpurukan bangsa kita yang terjadi sekarang ini, yang semula dipicu oleh
krisis nilai tukar mata uang rupiah yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 tidak lain disebabkan karena lemahnya fundamental ekonomi kita, sehingga perekonomian
nasional menjadi rentan terhadap gejolak eksternal dan internal. Kondisi politik Indonesia sangat panas pada saat itu dimana Presiden Soeharto akhirnya
mengundurkan diri dari jabatannya dan terjadi pergantian pucuk pimpinan. Pada tahun 1997, krisis yang dialami oleh Indonesia memang sangat parah dan
multidimensional. Boleh dikatakan bahwa semua sektor mengalami stagnasi baik sektor finansial, perbankan, riil, dan moneter. Sektor perbankan yang merupakan
jantung bagi denyut nadi sektor riil justru mengalami kerusakan yang parah, sementara sektor moneter yang tidak stabil telah menyebabkan kerusakan sektor
perbankan semakin parah. Berbagai langkah telah dilakukan untuk mengentaskan krisis termasuk
mengundang IMF International Monetary Fund. Kedatangan IMF selain membawa bantuan finansial yang dibutuhkan untuk memulihkan krisis, juga membawa resep
pemulihan yang harus dijalankan oleh pemerintah yang detailnya tertuang dalam letter of intent. Sayangnya resep IMF untuk memulihkan krisis tersebut tidak
sepenuhnya berhasil, bahkan justru ikut menyumbang keparahan krisis. Salah satu resep IMF yang justru kontraproduktif tersebut diantaranya adalah kebijakan tight
Universitas Sumatera Utara
money policy yang dilakukan pada awal-awal tahun krisis. Kebijakan uang ketat itu dilakukan dengan menaikkan suku bunga. Kebijakan ini semula diharapkan dapat
menekan terjadinya capital outflow dan menekan nilai tukar rupiah serta laju inflasi. Tetapi kebijakan tersebut justru memukul sektor perbankan karena terjadinya negatif
spread sehingga menggerogoti modal perbankan. Sementara fungsi intermediasi perbankan juga tidak berjalan dengan semestinya sehingga sektor riil ikut terpuruk.
Dari laporan UNCTAD, aliran modal asing dalam tahun 1998 mencapai US 350 juta dan tahun 1999 minus US 3,3 miliar Kompas, 4 Oktober 2000. Sementara
Bank Pembangunan Asia memperkirakan dalam tahun 2000 telah terjadi pelarian modal sebesar US 5 miliar Kompas, 5 Desember 2000. Bank Indonesia
memperkirakan selama tiga tahun sejak 1997 telah terjadi aliram modal keluar sebesar US 80 miliar. Sebelumnya pada tahun 1991, Christianto Wibisono
memperkirakan warga Indonesia memiliki simpanan di luar negeri sebesar US 80 miliar. Lebih ironis lagi diperkirakan terdapat 64.000 orang superkaya Indonesia yang
memiliki kekayaan bersih tertinggi mencapai US 275 miliar yang disimpan di bank- bank di luar negeri. Angka ini lebih tinggi dari jumlah utang luar negeri kita baik
swasta ataupun pemerintah pada tahun 2001 yang mencapai US 144 miliar. Utang domestik pemerintah pada tahun 2001 mencapai Rp 650 triliun atau setara dengan
US 59 miliar dengan kurs Rp 11.000US. Jadi utang luar negeri pemerintah dan swasta ditambah utang domestik pemerintah mencapai US 203 miliar pada tahun
2001 Kompas, 5 juni 2001.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu upaya agar Indonesia segera keluar dari krisis adalah memacu masuknya valuta asing ke dalam negeri. Di tengah kelangkaan sumber-sumber
finansial dan melemahnya kemampuan pemerintah dalam membiayai pembangunan serta sector swasta yang masih didera beban utang, maka salah satu alternatif untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengembangan ekonomi serta menekan angka pengangguran adalah mendorong masuknya investasi asing, terutama investasi asing
langsung foreign direct investment FDI. Masuknya investor asing juga menjadi jawaban yang lebih strategis jika dibandingkan dengan misalnya utang luar negeri.
Selain itu, arus investasi asing akan menggairahkan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka panjang. Oleh karena itu, Indonesia sangat
berkepentingan untuk menarik lebih banyak PMA yang bonafide ke Indonesia, khususnya yang dapat memberikan sumbangan berarti bagi usaha peningkatan ekspor
nonmigas dan usaha peningkatan struktur industri industrial upgrading serta alih teknologi.
Untuk mencapai hal itu, diperlukan iklim usaha yang kondusif, infrastruktur yang memadai, stabilitas makroekonomi, kepastian hukum dan kestabilan politik
sehingga dapat memacu masuknya investor asing. Selain itu, konsistensi dalam kebijakan investasi sangat penting karena investasi jangka panjang memerlukan
perhitungan yang cermat. Dengan adanya aturan main yang jelas yang diberlakukan secara konsisten, perkiraan tentang kelayakan ekonomi suatu proyek dapat
dilaksanakan. Akan tetapi jika konsistensi dalam kebijakan PMA tidak dipegang teguh maka timbul bahaya bahwa kita akan kurang mampu menarik PMA bonafide
Universitas Sumatera Utara
yang merencanakan untuk mengadakan investasi dalam jangka panjang. Hal lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah konsistensi pelaksanaan peraturan dan
kemudahan berbagai perizinan dalam investasi, termasuk di antaranya memperbaiki system dan prosedur perizinan investasi di DATI I dan DATI II serta melanjutkan
program pelaksanaan infrastruktur dan fasilitas sosial lainnya, khususnya kawasan timur Indonesia.
Kondisi tersebut perlu mendapat perhatian sebab berdasarkan hasil survey lembaga konsultan The Political and Economic Risk Consultancy PERC disebutkan
bahwa Indonesia paling tidak responsif terhadap keluhan para investor. Hasil survey itu juga menyebutkan adanya kesenjangan antara langkah-langkah yang ditempuh
pemerintah untuk membantu para investor dengan pelaksanaannya Kompas, 18 April 2000. Dukungan infrastruktur serta suprastruktur juga sangat penting. Kenyataan ini
sering kali menjadi perbincangan serius, terutama dari investor swasta dan asing. Kinerja birokrasi sangat buruk dan cenderung korup. Kurangnya kesiapan untuk
mendukung investasi tersebut mendorong timbulnya ekonomi biaya tinggi high cost economy.
Hal ini jelas menjadi tantangan serius bagi Indonesia. Apalagi Indonesia sekarang ini sudah tidak lagi menjadi tempat yang menarik bagi investasi dan bisnis.
Hal itu dapat disimak dari hasil survey yang dilakukan oleh kantor berita Reuters dan majalah Benckmark yang mengatakan Indonesia bukan lagi menjadi pasar di Asia
yang paling disukai oleh para investor atau fund manager global Kompas, 2 September 2000. Sementara itu, hasil laporan badan PBB UNCTAD juga
Universitas Sumatera Utara
menyebutkan bahwa selama krisis ekonomi, PMA hanya membawa masuk dana sebesar US 1,1 miliar, sementara dana yang keluar dari perusahaan PMA mencapai
US 4,3 miliar Kompas, 4 Oktober 2000. Dalam tahun 1998, menurut laporan UNCTAD aliran modal asing minus US 350 juta, sementara tahun 1999 mencapai
US 3,3 miliar. Untuk tahun 2000 berdasarkan laporan Bank Pembangunan Asia, pelarian modal dari Indonesia mencapai US 2,3 miliar. Bahkan Bank Dunia
memeperkirakan jumlahnya jauh lebih besar yakni di atas US 5 miliar Kompas, 5 Desember 2000.
Meskipun demikian, dibalik sosok kehadiran PMA terdapat pula beberapa perangai yang perlu dicermati secara seksama. Salah satu fenomena yang dapat
dicermati dari karakteristik PMA selama ini adalah kecenderungannya yang tidak mau berlaga di pasar internasional tetapi hanya memanfaatkan potensi pasar domestik
bukan ekspor. Kecenderungan seperti ini dapat menimbulkan implikasi seperti PMA semakin terkonsentrasi di Jawa yang memang sangat potensial dari ketersediaan
bahan baku, ketersediaan infrastruktur, modal dan pangsa pasar. Hal ini dapat menimbulkan kesenjangan dalam distribusi kemakmuran.
Jadi bagi PMA ada beberapa faktor yang menjadi perhatian dalam melakukan investasi, yaitu:
1. Kebijaksanaan makro ekonomi. Kebijaksanaan makro ekonomi tuan rumah
adalah suatu determinan pokok bagi calon investor asing. 2.
Ketersediaan prasarana fisik. Jika misalnya tidak tersedia arus listrik yang memadai, fasilitas telekomunikasi, atau jalan ke pabrik yang akan didirikan,
Universitas Sumatera Utara
maka perusahaan tersebut yang akan menyediakan sendiri dan hal itu berarti akan menaikkan biaya produksi yang pada gilirannya akan mengurangi daya
internasional perusahaan itu. 3.
Tersedianya tenaga kerja terampil dan profesional. 4.
Kepastian hukum dan perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap PMA. Suatu faktor daya tarik lain yang sangat penting adalah apakah pemerintah
negara tuan rumah memberikan perlakuan yang sama terhadap investor asing, seperti yang diberikan terhadap investor domestik national treatment.
5. Stabilitas politik. Penilaian mengenai stabilitas politik di suatu negara tuan
rumah yang potensial adalah subyektif sekali, dan sering tergantung pada persepsi calon investor asing mengenai negara tersebut. Meskipun demikian,
persepsi mengenai stabilitas ini adalah salah satu faktor yang paling menentukan apakah PMA di negara tersebut akan dilakukan atau tidak.
2.4. LIBOR London Interbank Offerred Rate