KRITERIA DAN LARANGAN PRINSIP CORPORATE OPPORTUNITY

BAB IV PEMBUKTIAN PRINSIP CORPORATE OPPORTUNITY TERHADAP

DIREKSI DALAM MENGELOLA PERSEROAN TERBATAS YANG DITINJAU DARI UNDANG–UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

A. KRITERIA DAN LARANGAN PRINSIP CORPORATE OPPORTUNITY

Dalam menentukan kapan dan bagaimana Direksi telah di anggap telah melanggar prinsip-prinsip tersebut, khusunya prinsip Corporate Opportunity secara detil, merupakan hal yang sulit jika hanya dicari dari undang-undang. Atas prinsip- prinsip yang telah diuraikan sebelumnya, Direksi Perseroan dapat mempergunakan doktrin Business Judgement Rule Business Judgement Rule ini mendalilkan bahwa seorang direktur tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya secara pribadi atas tindakan yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai direktur, yang dia yakini sebagai tindakan terbaik buat perseroan dan dilakukannya secara jujur, beritikad baik dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Sungguhpun tindakan tersebut ternyata keliru atau tidak menguntungkan atau bahkan merugikan perseroan. 113 Sebenarnya yang hendak dicegah oleh doktrin oportunitas perseroan perseroan Corporate Opportunity adalah jangan sampai pihak Direksi perseroan dalam menjalankan dan mengelola perusahaaan yang dipimpinnya tidak mengambil keuntungan atau manfaat yang bersifat pribadi dari segala kegiatan usaha atau transaksi yang dijalankannya dan dipimpinnya, yang seharusnya menjadi hak 113 Munir Fuady Munir Fuady IV, Op. Cit. hal. 6. Universitas Sumatera Utara perseroan yang lebih didahulukan oleh Direksi tersebut, kecuali telah mendapat persetujuan dari perusahaan atau pemegang saham. “Directors are not in the position of trustees of an express trust who, regardless of a good faith, are personally liable for losess arising from an infraction of their trust deed.” 114 Direksi dilarang mengambil keuntungan pribadi dalam tindakan sebagai berikut: 1. Mengambil kesempatan yang menjadi haknya perseroan. 2. Mengambil komisi dari bisnis perseroan. 3. Mendapatkan bonus, hadiah, dan lain-lain. 4. Memperoleh keuntungan pribadi lainnya. Dalam teori hukum, dilarangnya Direksi dan pejabat perusahaan lainnya untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan mengambil kesempatan yang sebenarnya tergolong ke dalam oportunitas perseroan, larangan tersebut didasari atas berbagai doktrin hukum perseroan, antara lain doktrin-doktrin sebagai berikut: 1. Fiduciary duty dari Direksi. 1. Conflict of Interest. 2. Penyalahgunaan rahasia dagang trade secret. 3. Penyalahgunaan daftar pelanggan 4. Ikut campur secara melawan hukum wrongful interference terhadap hubungan kontraktual. 114 Robert W Hamilton, Op, Cit, hal. 751. Universitas Sumatera Utara 5. Kompetisi secara tidak fair. 6. Bertentangan dengan etika bisnis. 115 Ketika sektor yuridis mengatur tentang tindakan oportunitas perseroan, maka terlebih dahulu haruslah mempunyai kriteria yuridis dalam menentukan tindakan oprtunitas perseroan. Dalam perkembangan sejarah hukum perseroan, beberapa kriteria yuridis telah dibentuk, di mana pada prinsipnya kriteria tersebut digolongkan ke dalam 2 dua kelompok yaitu sebagai berikut: 1. Kriteria Pertama, yaitu Kriteria yang bersifat Kategorikal Dengan kriteria yang bersifat kategorikal ini, oportunitas bisnis diterapkan secara lebih umum kepada kasus yang ada dengan kategori yang umum dan seragam tanpa terlalu mempertimbangkan kepada situasi dan kondisi di sekitar kasus tersebut. Misalnya, oportunitas perseroan dilarang terhadap semua transaksi yang dilakukan oleh Direksi, tanpa perlu mempertimbangkan apakah transaksi tersebut fair atau tidak bagi perseroan. Misalnya, kriteria yang menentukan bahwa seorang Direksi yang bekerja full time untuk perseroan tidak dibenarkan melakukan transaksi yang merupakan oportunitas perseroan yang aktif, yakni oportunitas atau kesempatan yang berpengaruh secara signifikan terhadap operasional perseroan. Jadi, kriteria ruang lingkup perseroana line of business lebih termasuk dalam kriteria yang bersifat kategorikal dari kriteria yang bersifat selektif. 115 Munir Fuady Munir Fuady III, Op, Cit, hal. 224. Universitas Sumatera Utara 2. Kriteria Kedua, Yaitu Kriteria yang Bersifat Selektif Dengan kriteria yang bersifat selektif ini, fakta-fakta yang ada di sekitar kasus tersebut sangat mempengaruhi sehingga hasil dari penerapannya akan berbeda dari kasus yang satu dengan kasus yang lain. Jadi, larangan tindakan oportunitas perseroan dan penerapan kriteria seperti ini akan menjadi sangat selektif, yakni selektif, yakni selektif terhadap kategori tertentu. Karena itu, kriteria minat dan pengharapan interest and expectancy dan kriteria keadilan fairness lebih termasuk ke dalam kriteria yang bersifat selektif. Dalam ilmu hukum perseroan, maka berbagai kriteria yang bersifat umum yang telah terbentuk untuk menentukan suatu oportunitas perseroan, antara lain sebagai berikut: a. Kriteria yang pertama yang sebenarnya menafsirkan doktrin oportunitas perseroan dalam arti yang sangat sempit mengajarkan bahwa batu terdapat oportunitas kesempatan perseroan manakala dalam tindakan hukum yang dilakukan Direksi tersebut haruslah melibatkan aset di mana pihak perseroan telah lebih dahulu memiliki kepentingan terhadap aset tersebut, atau melibatkan aset yang diharapkan akan didapatkan oleh perseroan yang bersumber atas hak-hak perseroan yang terlebih dahulu ada. Jadi, menurut kriteria ini perseroan haruslah terlebih dahulu mempunyai klaim atau terlebih dahulu menyatakannya minatnya untuk mengambil kesempatan tersebut. Karena itu, kriteria ini disebut juga dengan kriteria “minat dan pengharapan” interest and expectancy. Kriteria ini Universitas Sumatera Utara pertama sekali diperkenalkan dalam kasus Lagarde v. Annniston Lime Stone Company Alabama, Amerika Serikat, 1899. Kriteria minat dan pengharapan interest and expectancy ini merupakan kriteria yang sangat tradisional dan yang paling tua dalam sejarah hukum tentang oportunitas perseroan ini. 116 b. Kriteria kedua yang menentukan bahwa telah terdapat suatu oportunitas perseroan manakala suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh Direksi tersebut termasuk ruang lingkup bisnis a line of business dari perseroan yang bersangkutan. Dalam hal ini tindakan tersebut diperlukan oleh perseroan dalam menjalankan bisnisnya atau tindakan tersebut tergolongke dalam tipe bisnis yang sama dengan tipe bisnis perseroan. Menurut teori ini, semakin dekat kesempatan tersebut dengan jenis bisnis perseroan, semakin besar kemungkinan tindakan tersebut untuk menjadi kesempatan oportunitas perseroan. salah satu cara melihat ruang lingkup bisnis adalah dengan melihat maksud dan tujuan perusahaan dalam anggaran dasarnya. Kasus rujukan leading case yang menerapkan ruang ligkup bisnis a line of business ini adalah Guth v. Loft, Inc. Delaware, Amerika Serikat, 1961. Dalam kasus ini Direksi dari suatu minuman ringan tidak dibenarkan membeli formula rahasia dan merek dagang dari Pepsi Cola, kemudian mengembangkan formula tersebut bahkan menjualnya kepada perseroan yang diwakilinya. Tindakan Direksi tersebut dianggap termasuk kedalam ruang lingkup bisnis a line of business dari perseroan yang diwakili 116 Ibid, hal. 228. Universitas Sumatera Utara oleh Direksi perseroan tersebut, sehingga dianggap termasuk ke dalam oportunitas perseroan. 117 c. Kriteria ketiga yang merupakan bentuk kombinasi antara kriteria ruang lingkup bisnis a line of business dengan apakah menjadi tidak fair jika pihak Direksi mengambil keuntungan secara pribadi dari tindakan yang bersangkutan. Jadi menurut kriteria ini setelah di lihat apakah termasuk dalam ruang lingkup bisnis a line of business, kemudian harus di lihat pula apakah Direksi tersebut melanggar prinsip loyalitas dan fair dealing terhadap perseroan yang dipimpinnya. Kasus rujukan leading case terhadap pendekatann 2 dua tingkat two step approach ini adalah kasus Miller v. Miller Minnesota, Amerika Serikat, 1974. 118 d. Kriteria keempat yang merupakan kriteria yang tidak berujung open ended dengan mencoba mendasarkan diri pada standar etika bisnis dan menghubungkannya dengan fakta-fakta yang ada dalam kasus yang bersangkutan.Kriteria ini telah digunakan misalnya oleh Mahkamah Agung Massachussets USA dalam tahun1948. 119 e. Kriteria kelima yang merupakan kesempatan yang secara logis mempunyai hubungan yang dekaterat reasonably closely related dengan perseroan. dalam hal ini, utuk mengetahui hubungan yang dekat ersebut, antara lain apakah kesempatan yang ditawarkan kepada Direksi tersebut dengan suatu keyakinan 117 Ibid, hal. 228. 118 Ibid, hal. 229. 119 Ibid, hal. 229 Universitas Sumatera Utara bahwa kesempatan tersebut sebenarnya ditawarkan kepada perseroan, atau tawaran yang timbul karena adanya pemanfaatan aset atau informasi dari perseroan. Kadang-kadang disebutkan bahwa tindakan oportunitas perseroan yang dilarang adalah jika hubungan tindakan oportunitas perseroan mempunyai hubungan fungsional functional relationship dengan bisnis perseroan. 120 f. Kriteria keenam yang sangat sempit yang menentukan bahwa baru merupakan oportunitas perseroan jika kesempatan tersebut dianggap memang “perlu” necessary bagi perseroan. 121

B. BEBERAPA KASUS TENTANG OPORTUNITAS PERSEROAN

Dokumen yang terkait

Kedudukan Dan Tanggung Jawab Komisaris Independen Pada Perseroan Terbuka Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 (Riset : PT. Central Proteinaprima Tbk.)

0 44 131

KAJIAN YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 5 16

KAJIAN YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 2 16

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PENGURUSAN PERSEROAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 6 36

BAB II WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PRINSIP CORPORATE OPPORTUNITY YANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 3 43

TINJAUAN YURIDIS TANGGUNG JAWAB DIREKSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 (Studi Pada PT. Mondrian Klaten).

0 0 11

TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM HAL TERJADI PELANGGARAN TERHADAP ANGGARAN DASAR PERSEROAN MAUPUN PIHAK KETIGA DITINJAU MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 DIKAITKAN DENGAN PRINSI.

0 0 1

Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas Dalam Akuisisi Suatu Perusahaan Yang Merugikan Pemegang Saham Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

0 0 1

EKSISTENSI DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS TERHADAP TANGGUNG JAWAB DIREKSI ATAS TERJADINYA KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS.

0 0 13

Analisis Penderivasian Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

0 0 14