HUBUNGAN KEMAMPUAN METAKOGNITIF DAN LINGKUNGAN BELAJAR RUMAH SAKIT DENGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA MAHASISWA (AKADEMI KEPERAWATAN LUMAJANG

(1)

commit to user

i

HUBUNGAN KEMAMPUAN METAKOGNITIF DAN LINGKUNGAN

BELAJAR RUMAH SAKIT DENGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN

MASALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA MAHASISWA

(AKADEMI KEPERAWATAN LUMAJANG)

T E S I S

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Kesehatan Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Minat Utama Pendidikan Profesi Kesehatan

Oleh: Achlish Abdillah NIM: S540809201

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user

ii

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya peneliti :

Nama : ACHLISH ABDILLAH

NIM : S 540809201

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul HUBUNGAN KEMAMPUAN METAKOGNITIF DAN LINGKUNGAN BELAJAR RUMAH SAKIT DENGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA MAHASISWA AKADEMI KEPERAWATAN LUMAJANG adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya peneliti sendiri dalam tesis tersebut telah diberi citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan peneliti ini tidak benar, maka peneliti bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang telah diperoleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Mei 2011 Yang membuat pernyataan


(3)

commit to user

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas karunia-Nya tesis ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Kedokteran Keluarga.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan tesis ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan Pascasarjana di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

3. Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr, M.Kes., MM, PAK selaku Ketua Program Studi Magister

Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menempuh pendidikan Pascasarjana.

4. Prof. Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, Ph.D selaku Pembimbing I yang telah memberikan

banyak bimbingan dan pengarahan.

5. DR.Nunuk Suryani, M.Pd selaku Pembimbing II yang telah memberikan banyak

bimbingan dan pengarahan.

6. Nurul Hayati,S.Kep.,Ners.,MPd selaku Direktur Akper Lumajang. 7. Dr. Triworo Setyowati selaku Direktur RS Dr. Haryoto Lumajang. 8. Berbagai pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.


(4)

commit to user

iv

Tidak lupa penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada isteri tercinta Yulistiana, Amd. Keb., S. Pd dan anak-anakku tersayang Laili Izzaturrohmah dan Ahmad Irsyadul Ibad yang dengan penuh pengertian dan memberi dorongan, semangat dan motivasi serta diiringi doa yang tulus dan ikhlas sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna. Ketidak sempurnaan ini semata-mata karena keterbatasan pada diri penulis. Namun penulis berharap mudah-mudahan tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan Ilmu Kedokteran Keluarga.

Surakarta, Meil 2011


(5)

commit to user

v DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……….………... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING…….………... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERNYATAAN……… iv

KATA PENGANTAR……… v

DAFTAR ISI………... ... vii

DAFTAR TABEL ………. ix

DAFTAR GAMBAR………... x

DAFTAR LAMPIRAN ………. xi

ABSTRAK...………... …… xii

ABSTRACT………. xiii

BAB I. PENDAHULUAN………... . ... 1

A. Latar Belakang Masalah..………... 1

B. Rumusan Masalah………..…………... 4

C. Tujuan Penelitian………... 4

D. Manfaat Penelitian………... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS … ………. 6

A. Kajian teori 1. Kemampuan Metakognitif………... 6

2. Konsep Lingkungan Belajar………... 10

3. Konsep Kemampuan Pemecahan Masalah Asuhan Keperawatan 14

4. Konsep Asuhan Keperawatan... 15


(6)

commit to user

vi

C. Kerangka Berfikir... 23

D. Hipotesis... 24

BAB III METODE PENELITIAN………... 25

A. Jenis Penelitian………... 25

B. Lokasi Penelitian………... 25

C. Populasi dan Sampel Penelitian………... 25

D. Kerangka Penelitian………... 26

E. Identifikasi Variabel Penelitian………... 27

F. Definisi Operasional Variabel………... 27

G. Instrumen Penilitian..…...………... 29

H. Teknik Pengumpulan Data...………... 30

I. Tes Validitas dan Reliabilitas………... .. 30

J. Analisis Data ...………... 31

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 32

A. Hasil Penelitian ……… 32

B. Pembahasan ………. 37

C. Keterbatasan Penelitian ……….. 44

BAB V PENUTUP ……… 47

A. Kesimpulan ………. 47

B. Implikasi ………. 48

C. Saran ……… 48

DAFTAR PUSTAKA... 50


(7)

commit to user

vii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Distribusi berdasar variabel penelitian ... 32 Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan karakteristik ... 33 Tabel 4.3 Distribusi pemecahan masalah berdasarkan nilai asuhan keperawatan... 33 Tabel 4.4 Hasil analisis regresi linier ganda tentang hubungan kemampuan

metakognitif dan lingkungan belajar dengan kemampuan pemecahan


(8)

commit to user

viii

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 2.1 Kerangka Berfikir………... 23 Gambar 3.1 Kerangka penelitian……… 26 Gambar 4.1 Hubungan antara kemampuan metakognitif dan pemecahan

masalah asuhan keperawatan ……….. 34 Gambar 4.2 Hubungan antara lingkungan belajar rumah sakit dan pemecahan


(9)

commit to user

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Jadwal Penelitian

Lampiran 2 Kuesioner Penelitian Kemampuan Metakognitif Lampiran 3 Kuesioner Penelitian Lingkungan Belajar.Rumah Sakit Lampiran 4 Panduan Indikator Penilaian Asuhan Keperawatan

Lampiran 5 Panduan kuesioner asli Dundee Ready Education Environment Measure (DREEM)

Lampiran 6 Kuesioner Penelitian Kemampuan Metakognitif diadopsi dari penelitian Poncorini

Lampiran 7 Formulir persetujuan Responden Lampiran 8 Data uji kuesioner dan hasil Lampiran 9 Data hasil penelitian

Lampiran 10 Hasil analisis data dengan SPSS versi 17


(10)

commit to user

x ABSTRAK

ACHLISH ABDILLAH, NIM: S-540809201. JUDUL: HUBUNGAN KEMAMPUAN METAKOGNITIF DAN LINGKUNGAN BELAJAR RUMAH SAKIT DENGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA MAHASISWA (Akademi Keperawatan Lumajang) Tesis: Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pasca Sarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2011.

Metakognisi adalah pengetahuan seseorang terhadap proses berfikirnya sendiri, kemampuan metakognisi peserta didik berpusat perencanaan, pemecahan masalah dan evaluasi. Lingkungan belajar rumah sakit adalah lingkungan belajar tempat praktik bagi mahasiswa keperawatan pada situasi nyata untuk menumbuhkan ketrampilan intelektual, teknik, dan interpersonal. Tujuan dari tesis ini adalah mempelajari hubungan kemampuan metakognisi dan lingkungan belajar di Rumah Sakit dengan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa Akademi Keperawatan Lumajang.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional

study. Sampel berjumlah 45 mahasiswa keperawatan, yang diambil dengan teknik

randomisasi sampel. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner Metacognitive

Awereness Of Reading Strategies Inventory (MARSI) dan kuesioner lingkungan belajar

menurut Dundee (DREEM) masing-masing telah diuji validitas dan realibilitas (konsistensi internal) dengan: item total corelation dan alpha Cronbach serta kemampuan pemecahan masalah diukur dari nilai ASKEP dengan skala kontinum. Kemudian data penelitian dianalisis dengan model regresi linier ganda.

Hasil analisis menunjukkan ada hubungan positif statistik yang signifikan antara kemampuan metakognitif dan pemecahan masalah asuhan keperawatan (b = 0.3; CI 95% 0.2 hingga 0.4). Demikian pula ada hubungan positif yang signifikan antara lingkungan belajar rumah sakit dan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan (b = 0.4; CI 95% 0.2 hingga 0.7)

Kesimpulan penelitian ini adalah ada hubungan positif kemampuan metakognitif dan lingkungan belajar dengan kemampuan pemecahan masalah. Rekomendasi penelitian ini metakognitif dan lingkungan belajar sangat tepat diterapkan dalam pembelajaran pemecahan masalah di lingkungan pembelajaran klinik.


(11)

commit to user

xi ABSTRACT

ACHLISH ABDILLAH, NIM: S-540809201. TITTLE: THE RELATIONSHIP BETWEEN METACOGNITIVE ABILITY AND LEARNING AREA WITH THE PROBLEM

SOLVING ABILITY OF NURSERY STUDENTS (NURSERY ACADEMIC

LUMAJANG.Thesis: Masters Program in Family Medicine. Post Graduate Program Of Sebelas Maret University Of Surakarta. 2011.

Metacognition is the person’s ability to understand the way of his/ her own thinking process. This ability takes the center on the planning, problem solving, and evaluation. Hospital learning area is the place where the nursery students do their practical to speed up their intellectual skill, techniques, interpersonal. This thesis is conducted to examine the relationship between metacognitive ability and learning environment with the problem solving ability towards nurseries’ students (Nursery Academic Lumajang).

The study was conducted by using analytically observational in the basis of the use of cross

sectional study approximation. The study has taken 45 nursery students randomly as the

sample. The instruments used for this study were Metacognitive Awereness of Reading

Strategies Inventory (MARSI) questionnaire and learning area questionnaire according to

Dundee (DREEM) which each of its questionnaires have been examined in the term of validity and reliability (internal consistency) based on the correlation item-total and alpha Cronbach and also the problem solving ability is measured by using ASKEP scores in the continuum scale. Then, it was analyzed using double linier regression model.

The analysis result investigated that there is a significantly positive statistic correlation

between metacognitive ability and the problem solving of nursery education (β = 0.3; CI 95%

0.2 to 0.4). There is also a significant correlation between hospital learning area and problem

solving of nursery education (β = 0.4; CI 95% 0.2 to 0.7).

Based on the study above concludes that there is a correlation between metacognitive ability and hospital learning area with the problem solving ability towards nursery education at nursery students. This study recommends that the metacognitive and learning area is very appropriate method to be applied in problem solving learning at clinic learning area.


(12)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) serta adanya pergeseran

pada sistem pelayanan kesehatan menuntut perkembangan keperawatan sebagai suatu profesi. Selain itu disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan masyarakat akan tuntutan layanan asuhan keperawatan.

Keperawatan sebagai profesi maka kurikulum pendidikan tinggi keperawatan disusun

berdasarkan kerangka konsep pendidikan yang kokoh yang mencakup: penguasaan IPTEK Keperawatan, menyelesaikan masalah secara ilmiah, sikap, tingkah laku dan kemampuan profesional, belajar sendiri dan mandiri serta belajar di masyarakat.

Harapannya pendidikan dan proses belajar mengajar keperawatan dapat disusun dan dikembangkan secara terarah sehingga mampu menumbuhkan ketrampilan profesional yang mencakup intelektual, ketrampilan teknik dan ketrampilan interpersonal yang diperlukan untuk melaksanakan pelayanan asuhan keperawatan kepada klien (Nursalam, 2003).

Salah satu fungsi pokok perguruan tinggi yaitu fungsi pendidikan, yaitu institusi pendidikan tinggi keperawatan harus dapat menyelenggarakan proses pembelajaran keperawatan melalui sistem belajar aktif dan mandiri.

Untuk mewujudkan proses pembelajaran keperawatan yang aktif dan mandiri maka pengalaman belajar harus bisa dirancang untuk mencapai kemampuan akademis dan profesional dalam bidang keperawatan, oleh karena itu dibutuhkan suatu lingkungan belajar yang bisa menumbuhkan motivasi untuk belajar.


(13)

commit to user

2

Menurut Hamid (1997) fasilitas pelayanan kesehatan dapat digunakan sebagai sumber

pendidikan yang cukup kondusif untuk proses pembelajaran peserta didik Quin dalam Nursalam (2003) mengidentifikasi salah satu teori belajar yang bisa diterapkan pada pendidikan keperawatan yaitu teori kognitif yang menekankan pada ketrampilan intelektual dan berfikir dengan harapan teridentifikasinya masalah kesehatan terutama terkait masalah keperawatan.

Untuk menjamin kemampuan problem solving menurut O’Neill dan Brown dalam

Usman Mulbar (2008) menyatakan bahwa metakognisi sebagai proses dimana seseorang berfikir tentang berfikir dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah. Sedangkan Flavel (1976) metakognisi adalah pengetahuan seseorang terhadap proses berfikirnya sendiri. Dengan metakognisi peserta didik dapat membangun strategi baru dalam belajar karena proses metakognisi berpusat pada perencanaan, pemecahan masalah dan evaluasi.

Menurut Imel (2002) beberapa komponen dalam metakognisi yaitu self assesment

dan self management. Selain itu disebutkan komponen yang lain dalam metakognisi yaitu:

metamemori, metakomprehensi, dan regulasi diri sendiri (Pordue University, 2005)

Program profesi merupakan suatu proses sosialisasi peserta didik dalam mendapatkan

pengalaman nyata untuk mencapai kemampuan ketrampilan profesional: intelektual, sikap dan teknis dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien. Hasil akhir yang diharapkan mahasiswa dari program profesi adalah memiliki kemampuan profesional salah satunya dapat melaksanakan asuhan keperawatan dari masalah yang sederhana sampai yang kompleks secara tuntas melalui pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan tindakan keperawatan, implementasi dan evaluasi (Nursalam, 2003).

Tentunya pelaksanaan asuhan keperawatan bisa dilaksanakan selama mahasiswa


(14)

commit to user

praktik. Tempat praktik adalah suatu institusi di masyarakat dimana peserta didik berpraktik pada situasi yang nyata melalui penumbuhan dan pembinaan ketrampilan intelektual, teknik dan interpersonal (Nursalam, 2003).

Lingkungan sebagai sumber belajar menurut Gagne sebagaimana dikutip Dalhar

(1991) belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman yang diperolehnya. Tentunya tempat praktik seperti fasilitas pelayanan kesehatan juga bagian sumber belajar khususnya bagi mahasiswa keperawatan yang sedang praktik profesi.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas, maka dikatakan metakognisi memiliki

peranan penting dalam mengatur dan mengontrol proses-proses kognitif seseorang dalam belajar dan berfikir terutama dalam kemampuan pemecahan masalah khususnya dalam pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa diploma keperawatan ketika praktik di rumah sakit serta lingkungan belajar apakah dapat digunakan dalam pemecahan masalah keperawatan.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Adakah hubungan kemampuan metakognisi dengan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan ?

2. Adakah hubungan lingkungan belajar seperti rumah sakit dengan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan ? 3. Jika ada, seberapa besar kekuatan kemampuan metakognisi, lingkungan belajar

dengan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan ?


(15)

commit to user C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mempelajari hubungan kemampuan metakognisi dan lingkungan belajar dengan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan. 2. Tujuan khusus

a. Mempelajari hubungan kemampuan metakognisi dengan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan.

b. Mempelajari hubungan lingkungan belajar rumah sakit dengan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan.

c. Meneliti kekuatan hubungan kemampuan metakognisi dan lingkungan belajar rumah sakit dengan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat praktis

a. Tingkat kemampuan metakognisi yang dimiliki mahasiswa dapat digunakan dalam kemampuan pemecahan masalah pada pemberian asuhan keperawatan.

b. Lingkungan belajar di rumah sakit yang ideal dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada pemberian asuhan keperawatan.

c. Kemampuan metakognisi yang selaras dengan lingkungan belajar di rumah sakit dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada pemberian

asuhan keperawatan. 2. Manfaat teori

a. Tingkat kemampuan metakognisi seseorang dapat digunakan dalam pemecahan masalah.

b. Lingkungan belajar yang ideal mempunyai kekuatan dalam kemampuan pemecahan masalah.


(16)

commit to user

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN DAN HIPOTESIS

A. Kajian Teori

1. Kemampuan Metakognitif a. Definisi

Metakognisi merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh Flavell dalam Livingston (1997), metakognisi yaitu pengetahuan seseorang terhadap proses berfikirnya sendiri. Sedangkan menurut Wellman dikutip oleh Usman Mulbar (2008) metakognisi sebagai bentuk kognisi, atau suatu proses berfikir tingkat dua atau lebih yang melibatkan pengendalian terhadap aktivitas kognitif. Karena itu metakognisi dapat dikatakan sebagai berfikir seseorang tentang berfikirnya sendiri atau kognisi seseorang tentang kognisinya sendiri.

Selain itu metakognisi melibatkan pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang aktivitas kognitifnya sendiri atau segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas kognitifnya (Livingston, 1997; Shoenfeld, 1992; Sukarna, 2005). Dengan demikian aktivitas kognitif seseorang seperti perencanaan, monitoring, dan mengevaluasi penyelesaian suatu tugas tertentu merupakan metakognisi secara alami (Livingston, 1997). Sedangkan menurut O’Neil dan Brown dalam Usman Mulbar (2008) menyatakan bahwa metakognisi sebagai proses dimana seseorang berfikir tentang berfikir dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah.

b. Komponen dalam metakognisi

Menurut Imel (2002) ada dua komponen dalam metakognisi yaitu: 1) Self assessment yaitu pengetahuan itu sendiri


(17)

commit to user 2) Self management yaitu pengaturan metakognitif

Self assessment meliputi pengetahuan tentang koresponden kognitif untuk

mempelajari tentang apa yang berhubungan dengan pelajar itu sendiri, strategi, kondisi yang

mengikuti strategi. Sedangkan self management adalah aspek pengendalian dalam

pembelajaran antara lain pengaturan untuk mengetahui tentang cara mahasiswa merencanakan, mengimplementasikan strategi, mengawasi, membetulkan kesalahan-kesalahan pemahaman dan mengevaluasi kegiatan belajar mereka.

Baker et al. dikutip Nur (2000) mengemukakan bahwa metakognisi memiliki dua komponen, yaitu (a) pengetahuan tentang kognisi, dan (b) mekanisme pengendalian diri dan monitoring kognitif. Sedangkan Flavel (Livingston,1997) mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen yaitu (a) pengetahuan metakognisi (metacognitive knowledge), dan (b) pengalaman atau regulasi metakognisi (metacognitive experiences or regulation).

Kedua komponen metakognisi yaitu pengetahuan metakognitif dan regulasi metakognitif, masing-masing memiliki sub komponen sebagaimana disebutkan berikut ini (OLRC News, 2004):

1) Pengetahuan tentang kognisi

Tediri dari sub kemampuan sebagai berikut:

a) Declarative knowledge yaitu pengetahuan tentang dirinya sebagai pebelajar serta

strategi, ketrampilan, dan sumber-sumber belajar yang dibutuhkannya untuk keperluan belajar.

b) Procedural knowledge yaitu pengetahuan tentang bagaimana menggunakan apa saja

yang yang telah diketahui dalam declarative knowledge tersebut dalam aktivitas belajarnya.

c) Conditional knowledge adalah pengetahuan tentang bilamana menggunakan suatu


(18)

commit to user

mengapa suatu prosedur berlangsung dan dalam kondisi bagaimana berlangsungnya, dan mengapa suatu prosedur lebih baik dari prosedur-prosedur yang lain.

2) Regulasi metakognisi

Terdiri dari sub kemampuan sebagai beriku:

a) Planning adalah kemampuan merencanakan aktivitas belajarnya.

b) Information management strategies adalah kemampuan strategi mengelola

informasi berkenaan dengan proses belajar yang dilakukan.

d) Comprehension monitoring yaitu kemampuan dalam memonitor proses belajarnya dan

hal-hal yang berhubungan dengan proses tersebut.

e) Debugging adalah kemampuan strategi-startegi yang digunakan untuk

membetulkan tindakan-tindakan yang salah dalam belajar.

f) Evaluation adalah kemampuan mengevaluasi keefektifan strategi belajarnya, apakah ia

akan mengubah strateginya, menyerah pada keadaan, atau mengakhiri kegiatan tersebut.

c. Peranan metakognisi terhadap keberhasilan belajar

Sebagaimana dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa metakognisi pada dasarnya adalah kemampuan belajar bagaimana harusnya belajar dilakukan yang didalamnya dipertimbangkan dan dilakukan aktivitas sebagai berikut (Taccasu Project, 2008):

1) Mengembangkan suatu rencana kegiatan belajar.

2) Mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan berkenaan dengan kegiatan belajar. 3) Menyusun suatu program belajar untuk konsep, ketrampilan, dan ide-ide yang baru.

4) Mengidentifikasi dan menggunakan pengalamannya sehari-hari sebagai sumber belajar.


(19)

commit to user

6) Memimpin dan berperan serta dalam diskusi dan pemecahan masalah kelompok.

7) Belajar dari dan mengambil manfaat pengalaman orang-orang tertentu yang telah berhasil dalam bidang tertentu.

8) Memahami faktor-faktor pendukung keberhasilan belajarnya. d. Pengembangan metakognisi peserta didik dalam pembelajaran

Strategi yang dapat dilakukan guru atau dosen dalam mengembangkan metakognisi peserta didik melalui kegiatan belajar dan pembelajaran adalah sebagai berikut:

1) Membantu peserta didik dalam mengembangkan strategi belajar dengan cara: a) Mendorong pembelajar untuk memonitor proses pebelajar dan berfikirnya. b) Membimbing pembelajar dalam mengembangkan strategi belajar yang efektif.

c) Meminta pembelajar untuk membuat prediksi tentang informasi yang akan muncul atau disajikan berikutnya berdasarkan apa yang mereka telah baca atau dipelajari. d) Membimbing pembelajar untuk mengembangkan kebiasaan bertanya.

e) Menunjukkan kepada pembelajar bagaimana teknik mentransfer pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, ketrampilan-ketrampilan dari situasi ke situasi yang lain.

2) Membimbing pembelajar dalam mengembangkan kebiasaan peserta didik yang baik

melalui:

a) Pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri. b) Mengembangkan kebiasaan untuk berfikir positif.

c) Mengembangkan kebiasaan untuk berfikir secara hirarkhis.

d) Mengembangkan kebiasaan untuk bertanya.

2. Konsep lingkungan belajar a. Definisi


(20)

commit to user

Definisi lingkungan dikutip oleh Hendriani (2010) adalah segala sesuatu yang ada di sekitar (di dalam atau di luar) organisme yang mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku organisme. Lingkungan tertentu mempunyai fenomena, keunikan, dan batas-batas sendiri. Pengenalan dari fenomena, keunikan dan batas-batas ini akan memberi rasa aman dan tentram pada mahasiswa. Dengan bertambahnya pengetahuan tentang berbagai keadaan, tempat, serta peranannya secara keseluruhan dalam suatu lingkungan, akan membuat mahasiswa memperoleh kecakapan dan kesanggupan baru dalam menghadapi dunia nyata.

Banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar diantaranya kurikulum, dosen, sesama mahasiswa, lingkungan dan media (sumber) belajar. Sumber belajar mengemukakan bahwa dengan penggunaan yang tepat sumber belajar dapat meningkatkan pemahaman siswa dan mempercepat seluruh proses latihan. Lingkungan dapat digunakan sebagai sumber belajar.

Relevansi penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar dikemukakan oleh Driver dalam Nirwana (1996), bahwa reaksi siswa cukup baik terhadap lingkungan belajar yang terbuka. Partisipasi siswa melalui pembelajaran menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar lebih aktif dibandingkan pembelajaran biasa. Pendapat ini didukung oleh Balding dkk, dalam Nirwana (1996) yang mengemukakan bahwa cara mengajar menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar adalah dengan memanfaatkan bahan, alat, serta fenomena yang ada di lingkungan.

Harapan proses belajar mengajar keperawatan dapat disusun dan dikembangkan secara terarah menumbuhkan ketrampilan profesional yaitu kontekstual, ketrampilan teknikal, serta ketrampilan interpersonal (Nursalam, 2003), sehingga diperlukan pengalaman belajar mahasiswa yang membuka motivasi untuk belajar. Menurut hasil penelitian Hettie (2005) menyimpulkan bahwa lingkungan belajar dapat memperkuat pencapaian belajar, kepuasan dan kesuksesan belajar dikarenakan lingkungan belajar akan secara teratur memberi umpan


(21)

commit to user

balik bagi mahasiswa melalui pengalaman belajarnya. Ini diperkuat oleh Abraham et al. (2008) yaitu menyatakan mahasiswa dapat merasa menerima dengan lingkungan belajar yang positif, namun juga dikatakan area problem dari lingkungan pembelajaran pada sekolah keperawatan yang memungkinkan kita untuk mengadopsi pengukuran-pengukuran demi perbaikan dalam pembelajaran.

Menurut Hamid (1997) dikutip Nursalam (2003) fasilitas pelayanan seperti RS dapat digunakan sebagai sumber pendidikan yang cukup kondusif. Dengan demikian rumah sakit dapat dijadikan sebagai salah satu lingkungan belajar untuk mencapai pengalaman belajar klinik/ lapangan.

b. Konsep pengalaman belajar klinik

Pengalaman belajar klinik (PBK) adalah suatu proses transformasi mahasiswa untuk menjadi seorang perawat profesional, yang memberi kesempatan beradaptasi pada perannya sebagai perawat profesional dalam melaksanakan praktik keperawatan profesional di tatanan nyata pelayanan kesehatan klinik untuk: melaksanakan asuhan keperawatan yang benar, menerapkan pendekatan proses keperawatan, menampilkan sikap/ tingkah laku profesional serta menerapkan ketrampilan profesional (Nursalam, 2003).

c. Lingkungan belajar tempat praktik

Tempat praktik sebagai bagian lingkungan belajar bagi mahasiswa keperawatan mengandung arti yaitu suatu institusi di masyarakat dimana peserta didik berpraktik pada situasi nyata melalui penumbuhan dan pembinaan ketrampilan intelektual, teknik, dan interpersonal.

d. Komponen tatanan tempat praktik

Menurut Nursalam (2003) komponen yang harus ada pada tempat praktik yaitu: 1) Kesempatan kontak dengan klien.

2) Tujuan praktik.

3) Bimbingan yang kompeten. 4) Praktik ketrampilan.


(22)

commit to user 5) Dorongan untuk berfikir kritis (problem based learning). 6) Kesempatan mentransfer pengetahuan.

7) Kesempatan mengintegrasikan pengetahuan. 8) Penggunaan konsep tim.

e. Pengembangan lingkungan belajar

Untuk pengembangan lingkungan belajar yang ideal seperti tempat praktik bagi mahasiswa keperawatan antara lain:

1) Pelayanan diagnostik, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi. 2) Jumlah kasus klien memadai.

3) Fasilitas cukup untuk pembelajaran. 4) Memiliki perpustakaan cukup.

5) Situasi pendukung yang kondusif: idea baru, proses keperawatan, standar kualitas keperawatan, evaluasi kinerja, program pengembangan.

6) Sistem manajemen pelayanan keperawatan yang baik.

7) Kegiatan penelitian.

8) Tenaga terpilih sebagai fasilitator.

9) Sistem pencatatan dan pelaporan memadai.

10) Sistem ketenagaan yang ada efisien (Nursalam, 2003).

3. Konsep kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan a. Konsep pemecahan masalah

1) Definisi

Pemecahan adalah upaya untuk menyelesaikan, mengatasi serta definisi masalah adalah persoalan, sesuatu yang harus diselesaikan (Fajri dalam kamus Lengkap Bahasa Indonesia).


(23)

commit to user

2) Hubungan pemecahan masalah dalam asuhan keperawatan

Konsep keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat profesional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis, sosial dan spiritual): dapat ditujukan kepada individu, keluarga atau masyarakat dalam rentang sehat. Dengan demikian paradigma dalam konsep keperawatan memandang bahwa pelayanan keperawatan yang diberikan pada klien dalam bentuk pemberian asuhan keperawatan adalah dalam keadaan tidak mampu, tidak mau dan tidak tahu dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar yang harus segera diatasi melalui pendekatan langkah-langkah proses keperawatan.

Melalui pendekatan asuhan keperawatan, diharapkan mahasiswa dapat menerapkan ketrampilan profesional yaitu kontekstual, ketrampilan teknik, dan ketrampilan interpersonal. Hal ini dibenarkan oleh Quin dikutip Nursalam (2003) mengidentifikasikan salah satu teori belajar yang bisa diterapkan pada pendidikan keperawatan adalah teori kognitif yang menekankan pada ketrampilan intelektual dan berfikir. Selain itu hasil penelitian Pamungkasari (2007) menunjukkan ada pengaruh signifikan kemampuan metakognitif terhadap kemampuan pemecahan masalah yaitu makin tinggi kemampuan metakognitif makin tinggi pula kemampuan pemecahan masalah. Berdasarkan kaitan diatas di dalam pemberian asuhan keperawatan di dalamnya juga mahasiswa dituntut untuk memberikan bantuan pemecahan masalah khususnya masalah kesehatan klien yaitu masalah yang terkait pemenuhan kebutuhan dasar manusia teori Henderson dalam (Kozier, 1997).

Dengan demikian melalui asuhan keperawatan diharapkan mahasiswa dapat

menjamin kemampuan problem solving atau pemecahan masalah keperawatan klien


(24)

commit to user 4. Konsep asuhan keperawatan

a. Falsafah keperawatan.

Merupakan pandangan dasar tentang hakekat manusia dan esensi keperawatan yang menjadikan kerangka dasar dalam praktek keperawatan. Hakekat manusia yang dimaksud di sini adalah manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, sosial dan spiritual, sedangkan esensinya adalah falsafah keperawatan yang meliputi: pertama,

memandang bahwa pasien sebagai manusia yang utuh (holistik) yang harus dipenuhi segala kebutuhannya baik kebutuhan biologis, psikologis, sosial dan spiritual yang diberikan secara komprehensif dan tidak bisa dilakukan secara sepihak atau sebagian dari

kebutuhannya; kedua, bentuk pelayanan keperawatan yang diberikan harus secara lansung

dengan memperhatikan aspek kemanusiaan; ketiga, setiap orang berhak mendapatkan

perawatan tanpa memandang perbedaan suku, kepercayaan, status sosial, agama dan ekonomi; keempat, pelayanan keperawatan tersebut merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan mengingat perawat bekerja dalam lingkup tim kesehatan bukan sendiri-sendri; dan kelima, pasien adalah mitra yang selalu aktif dalam pelayanan kesehatan, bukan seorang penerima jasa yang pasif.

b. Paradigma keperawatan

Banyak ahli yang membahas pengertian paradigma seperti Stevens (1999) yang mendefinisikan paradigma sebagai pandangan fundamental tentang persoalan dalam suatu cabang ilmu pengetahuan. Hidayat (2004) mengartikan paradigma sebagai suatu perangkat bantuan yang memiliki nilai tinggi dan sangat menentukan bagi penggunanya untuk dapat memiliki pola dan cara pandang dasar khas dalam melihat, memikirkan, memberi makna, menyikapi dan memilih tindakan mengenai suatu kenyataan atau fenomena kehidupan manusia.


(25)

commit to user

Keperawatan sebagai ilmu juga memiliki paradigma sendiri dan sampai saat ini paradigma keperawatan masih berdasarkan empat komponen yang diantaranya manusia, keperawatan, kesehatan dalam rentang sehat-sakit dan lingkungan. Sebagai disiplin ilmu, keperawatan akan selalu berkembang untuk mencapai profesi yang mandiri seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan sehingga paradigma keperawatan akan terus berkembang.

c. Konsep Keperawatan

Komponen yang kedua dalam paradigma keperawatan, ini adalah konsep keperawatan. Konsep keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat profesional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis, sosial dan spiritual): dapat ditujukan kepada individu, keluarga atau masyarakat dalam rentang sehat. Dengan demikian paradigma dalam konsep keperawatan memandang bahwa pelayanan keperawatan yang diberikan pada klien dalam bentuk pemberian asuhan keperawatan adalah dalam keadaan tidak mampu, tidak mau dan tidak tahu dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar. Bentuk asuhan keperawatan menurut Kozier (1997) berupa antara lain:

Pertama, bentuk asuhan keperawatan pada manusia sebagai klien yang memiliki

ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar ini dapat diberikan melalui pelayanan keperawatan untuk meningkatkan atau memulihkan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya khususnya kebutuhan fisiologis.

Kedua, bentuk asuhan keperawatan pada manusia sebagai klien yang memiliki

ketidakmauan dalam memenuhi kebutuhan dasar ini dapat diberikan melalui pelayanan keperawatan yang bersifat bantuan dalam pemberian motivasi pada klien yang mempunyai penurunan dalam kemauan sehingga diharapkan terjadi motivasi yang kuat untuk membangkitkan semangat hidup agar terjadi peningkatan. Pada proses pemenuhan


(26)

commit to user

kebutuhan dasar tindakan ini pada umumnya merupakan terapi psikologis yang dimiliki perawat dalam mengatasi masalah klien.

Ketiga, bentuk asuhan keperawatan pada manusia sebagai klien yang memiliki

ketidaktahuan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia ini dapat diberikan melalui pelayanan keperawatan yang bersifat pemberian pengetahuan, yang berupa pendidikan

kesehatan (health educator) yang dapat dilakukan pada individu, keluarga atau

masyarakat mempunyai pengetahuan yang rendah dalam tugas (masalah) perawatan kesehatan sehingga diharapkan dapat terjadi perubahan peningkatan kebutuhan dasar. d. Teori kebutuhan dasar manusia Henderson

Teori keperawatan Virginia Henderson mencakup seluruh kebutuhan dasar seorang manusia. Henderson (1964) mendefinisikan keperawatan sebagai: membantu individu yang sakit dan yang sehat dalam melaksanakan aktivitas yang memiliki kontribusi terhadap kesehatan dan penyembuhannya di mana individu tersebut akan mampu mengerjakannya tanpa bantuan bila ia memiliki kekuatan kemauan, dan pengetahuan yang dibutuhkan serta hal ini dilakukan dengan cara membantu mendapatkan kembali kemandiriannya secepat mungkin.

Kebutuhan berikut ini, seringkali disebut 14 kebutuhan dasar Henderson, memberikan kerangka kerja dalam melakukan asuhan keperawatan:

1) Bernapas secara normal.

2) Makan dan minum cukup.

3) Eliminasi.

4) Bergerak dan mempertahankan posisi yang dikehendaki. 5) Istirahat dan tidur.

6) Memilih cara berpakaian, berpakaian dan melepas pakaian.


(27)

commit to user 8) Menjaga tubuh tetap bersih dan rapat.

9) Menghindari bahaya dari lingkungan. 10) Berkomunikasi dengan orang lain. 11) Beribadah menurut keyakinan. 12) Bekerja yang menjanjikan prestasi.

13) Bermain dan berpartisipasi dalam berbagai bentuk rekreasi.

14) Belajar, menggali atau memuaskan rasa keingintahuan yang mengacu pada

perkembangan dan kesehatan normal.

e. Standar praktik keperawatan

Perawat sebagai suatu profesi tentunya memiliki standar praktik keperawatan demi memenuhi kebutuhan dasar klien, ada delapan standar praktik keperawatan (DPP PPNI, 1996)

Standar 1, pengumpulan data tentang status kesehatan klien/ pasien yang dilakukan secara sistematik dan berkesinambungan. Data diperoleh melalui suatu rangkaian proses pengkajian pada klien.

Standar 2, diagnosa keperawatan yang dirumuskan berdasarkan data status kesehatan klien. Standar 3, rencana asuhan keperawatan yang meliputi tujuan yang dibuat berdasarkan diagnosa keperawatan.

Standar 4, rencana asuhan keperawatan meliputi prioritas dan pendekatan tindakan keperawatan yang ditetapkan untuk mencapai tujuan yang disusun berdasarkan diagnosa keperawatan.

Standar 5, tindakan keperawatan memberi kesempatan klien/ pasien untuk berpartisipasi dalam peningkatan, pemeliharaan, dan peningkatan kesehatan.

Standar 6, tindakan keperawatan membantu klien/ pasien untuk mengoptimalkan kemampuannya untuk hidup sehat.


(28)

commit to user

Standar 7, ada tidaknya kemajuan dalam pencapaian tujuan ditentukan oleh klien dan perawat.

Standar 8, catatan dokumentasi asuhan keperawatan. f. Langkah-langkah proses asuhan keperawatan

Menurut Carpenito (1998) ada lima langkah dalam proses asuhan keperawatan yaitu pengkajian, merumuskan diagnosa keperawatan, menyusun rencana asuhan keparawatan, implementasi tindakan keperawatan, serta melakukan evaluasi terhadap hasil asuhan keperawatan.

B. Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian menyebutkan bahwa kesadaran pebelajar secara metakognitif adalah lebih strategis dan memberi hasil yang lebih baik dari pada pebelajar yang tidak mempunyai kesadaran metakognisi. Dukungan metakognisi yang kuat tersebut adalah pengetahuan dan pengaturan metakognisi itu sendiri. Dengan demikian ada hubungan yang kuat antara kemampuan metakognisi dengan kemandirian siswa dalam belajar sesuai hasil penelitian Imel (2002). Pada penelitian lain oleh Pamungkasari (2007) menunjukkan ada pengaruh signifikan kemampuan metakognitif terhadap kemampuan pemecahan masalah.

Selain itu relevansi penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar dikemukakan oleh Driver dalam Nirwana (1996) bahwa reaksi siswa cukup baik terhadap lingkungan belajar yang terbuka. Partisipasi siswa melalui pembelajaran menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar lebih aktif dibandingkan pembelajaran biasa. Pendapat ini didukung oleh Balding dkk, dikutip Nirwana (1996) yang mengemukakan bahwa cara mengajar menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar adalah dengan memanfaatkan bahan, alat,


(29)

commit to user

serta fenomena yang ada di lingkungan. Serta hasil penelitian Abraham et al. (2008) yaitu menyatakan mahasiswa dapat merasa menerima dengan lingkungan belajar yang positif.

Terkait kaitan diatas ada harapan proses belajar mengajar keperawatan dapat disusun dan dikembangkan secara terarah yang dapat menumbuhkan ketrampilan profesional yaitu kontekstual, ketrampilan teknik, serta ketrampilan interpersonal (Nursalam, 2003), melalui pengalaman belajar klinik (PBK) adalah suatu proses transformasi mahasiswa untuk menjadi seorang perawat profesional, yang memberi kesempatan beradaptasi pada perannya sebagai perawat profesional dalam melaksanakan praktik keperawatan profesional di tatanan nyata pelayanan kesehatan klinik untuk: melaksanakan asuhan keperawatan yang benar, menerapkan pendekatan proses keperawatan, menampilkan sikap/ tingkah laku profesional serta menerapkan ketrampilan profesional (Nursalam, 2003).

C. Kerangka Berfikir

Kemampuan belajar bagaimana belajar, kemampuan metakognitif terdiri dari kemampuan pengetahuan metakognisi itu sendiri serta kontrol proses atau sebagai regulasi metakognisi yang didalamnya akan membantu dalam proses pemecahan masalah asuhan keperawatan.

Selain itu apabila didukung oleh lingkungan belajar seperti lingkungan di klinik/ rumah sakit yang disusun dan dikembangkan secara terarah yang dapat menumbuhkan ketrampilan profesional yaitu kontekstual, ketrampilan teknik, serta ketrampilan interpersonal sehingga menjadikan lingkungan belajar menjadi lebih ideal, dengan demikian akan terwujud suatu kemampuan pemecahan masalah dalam pelaksanaan asuhan keperawatan seperti yang terlihat pada Gambar 2.1 Kerangka berfikir di bawah ini.


(30)

commit to user

Kemampuan Pemecahan Masalah Askep

1. Declarative knowledge

2. Prosedural knowledge

3. Conditional know

Kemampuan metakognitif

Regulasi metakognisi

1..Planning

2.Information 3.Comprehension 4.Debugging 5.Evaluatioin Lingkungan belajar Lingkungan

belajar praktik RS

Lingkungan belajar ideal 1. Jadwal praktek tepat waktu

2. Suasana nyaman saat praktik

3. Kesempatan mengembang-

Kan keterampilan perorangan 4. Nyaman untuk belajar sosial 5. Suasana nyaman selama bimbingan

6. Berkonsenterasi baik selama

Praktik Lingkungan belajar belum 7. Kenyamanan ruangan akan ideal

mengurangi stres

8. Suasana ruangan memotivasi pembelajar

9. Bisa bertanya selama praktik

Keterangan :

: diteliti : tidak diteliti

Gambar 2.1 Kerangka berfikir


(31)

commit to user D. Hipotesis

Hipotesa yang dapat disampaikan terkait pemikiran diatas adalah

Ada hubungan antara kemampuan metakognisi dan lingkungan belajar rumah sakit dengan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan.


(32)

commit to user

21 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik yang menggunakan rancangan cross sectional study (studi potong lintang).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa keperawatan di Akademi keperawatan Lumajang pada bulan Nopember-April 2011 dengan lokasi di Lingkungan Rumah sakit Dr. Haryoto Lumajang yang tersebar di empat ruangan yaitu R. IGD, R. Interne, R. Bedah, R. Maternitas.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah keseluruhan mahasiswa yang ada di lokasi penelitian. Sedangkan populasi sumber adalah mahasiswa Akademi Keperawatan Lumajang yang sedang melaksanakan praktik klinik keperawatan di RS. Dr. Haryoto Lumajang. Jumlah mahasiswa yang menjadi populasi penelitian adalah 100 orang, sedang

jumlah sampel pada penelitian menggunakan simple random sampling sebanyak 45

responden.

Desain sampel menggunakan probabilitas dengan simple random sampling. Adapun kriteria restriksi dalam penelitian ini sebagai berikut:


(33)

commit to user 1. Kriteria Inklusi:

a. Mahasiswa TK III. b. berada di lokasi penelitian.

c. bersedia menjadi subyek penelitian.

Jumlah sampel tersebut dibagi pada empat lokasi ruangan dimana terdapat mahasiswa prakatik klinik keperawatan dengan jumlah antara 11-12 responden.

D. Kerangka Penelitian

Gambar 3.1. Kerangka penelitian Populasi Sasaran: seluruh mahasiswa keperawatan

Populasi Sumber: mahasiswa Akper Lumajang Yang sedang praktik klinik keperawatan

Simple random sampling Sampel 45 mahasiswa pada empat lokasi ruang yang

terpilih

Dilakukan pengukuran variabel dengan instrumen kuesioner dengan skala likert

Analisis data menggunakan model regresi linier ganda


(34)

commit to user

E. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Kemampuan metakognitif

Lingkungan belajar rumah sakit

2. Variabel terikat : Kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan

F. Definisi Operasional Variabel

1. Kemampuan metakognitif

Kemampuan metakognitif yang terdiri tiga komponen metakognitif yang diukur, yaitu (1) strategi umum, (2) strategi pemecahan masalah, dan (3) strategi pendukung. diukur dengan menggunakan kuesioner Metacognitive Awareness Of Reading Strategies Inventory

(MARSI) yang telah dialih bahasakan dan dimodifikasi oleh Poncorini (2006). Jumlah butir soal secara keseluruhan sebanyak 30 butir, kemudian dilakukan uji reliabilitas korelasi item-total dengan hasil ada 11 butir pertanyaan dengan nilai < 0.2 yang harus dibuang yaitu butir pernyataan nomer 6,7,8,14, 16, 17, 21, 23, 24, 29 dan 30, nilai alpha cronbach > 0.6 sehingga hanya 19 butir yang bisa dipakai dalam penelitian ini dengan dengan strategi umum sebanyak 8 butir, strategi pemecahan masalah sebanyak 4 butir dan strategi pendukung 7 butir.

Alat pengukuran dengan kuesioner. Skala pengukuran: katagorikal. 2. Lingkungan belajar

Lingkungan belajar adalah kondisi serta situasi lingkungan pembelajaran yang diukur dengan kuesioner metode pengukuran kesiapan lingkungan pendidikan Dundee (DREEM)


(35)

commit to user

(Roff et al., 1997) terdiri atas 50 pernyataan yang terdiri lima subkelas yaitu persepsi proses pembelajaran ada 12 butir pernyataan, persepsi organisasi pembelajaran ada 11 butir pernyataan, persepsi akademik ada 8 butir pernyataan, persepsi lingkungan pembelajaran ada 12 butir pernyataan serta persepsi lingkungan sosial ada 7 butir pernyataan. Sedangkan penelitian ini menggunakan persepsi lingkungan pembelajaran dengan 12 butir pernyataan, memakai skala likert dan setiap pernyataan dinilai: 4 untuk Sangat Setuju (SS), 3 untuk Setuju (S), 2 untuk ragu-ragu (R), 1 untuk Tidak Setuju (TS) dan 0 untuk Sangat Tidak Setuju (STS). Berdasarkan hasil uji reliabilitas korelasi item-total ada 3 butir perntanyaan dengan nilai < 0.2 yaitu butir nomer 1,3 dan 8 dan, nilai alpha cronbach > 0.6 sehingga hanya ada 9 butir pernyataan yang dipakai dalam penelitian ini.

Alat pengukuran dengan kuesioner. Skala pengukuran: katagorikal.

3. Kemampuan pemecahan masalah melalui asuhan keperawatan

Kemampuan pemecahan masalah meliputi bagaimana kemampuan pengkajian, merumuskan diagnosa keperawatan, menyusun rencana tindakan perawatan, implementasi tindakan keperawatan serta kemampuan evaluasi hasil tindakan keperawatan.

Alat pengukuran menggunakan data hasil nilai asuhan keperawatan (ASKEP) mahasiswa praktik klinik keperawatan.

Skala pengukuran: kontinu.

G. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner terdiri dari beberapa kelompok pertanyaan yang meliputi:


(36)

commit to user Data yang diambil berupa nama, umur, jenis kelamin.

2. Instrumen metakognitif, lingkungan belajar, disusun dalam bentuk kuesioner.

3. Kemampuan pemecahan masalah diperoleh dari data rekapitulasi nilai asuhan keperawatan.

H. Teknik Pengumpulan Data

1. Data primer

Data primer diperoleh melalui kuesioner yang berisikan pernyataan dan pertanyaan yang telah disusun sesuai dengan tujuan penelitian. Data ini langsung diperoleh dari hasil penelitian dengan melalui kuesioner dengan skala likert yaitu untuk mengukur kemampuan metakognitif dengan menggunakan kuesioner Metacognitive Awareness Of Reading Strategies Inventory (MARSI) yang telah dialih bahasakan dan dimodifikasi oleh Poncorini (2006) dan data untuk mengukur lingkungan belajar yang diadopsi dari metode pengukuran kesiapan lingkungan pendidikan Dundee (DREEM) (Roff et al.,1997) terdiri atas 9 pernyataan.

2. Data sekunder

Data sekunder yaitu data kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan diperoleh dari data rekapitulasi nilai mahasiswa selama pelaksanaan asuhan keperawatan.

I. Tes Validitas dan Reliabilitas

Dalam penelitian ini uji reliabilitas dengan menggunakan SPSS yaitu Alpha Cronbach untuk menguji item-item kuesioner yang disebut konsistensi internal.


(37)

commit to user J. Analisis Data

Data kontinu karakteristik sampel dideskripsikan dalam mean, SD, minimum, maksimum. Data kategorikal karakteristik sampel dideskripsikan dalam frekuensi dan persen. Hubungan antara kemampuan metakognitif, lingkungan belajar dengan kemampuan pemecahan masalah dianalisis dengan model regresi linier ganda:

Y = a + b1X1 + b2X2

Y = kemampuan pemecahan masalah

X1 = Kemampuan metakognitif

X2 = Lingkungan belajar

b1 = koefisien regresi untuk metakognitif yaitu hubungan kemampuan metakognitif dengan kemampuan pemecahan masalah

b2 = koefisien regresi untuk lingkungan belajar yaitu hubungan lingkungan belajar dengan kemampuan pemecahan masalah a = konstanta


(38)

commit to user

27 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Bab ini akan menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan pada tanggal bulan Nopember – April 2011 pada mahasiswa Akademi Keperawatan Lumajang yang sedang praktik klinik keperawatan dengan jumlah responden 45 mahasiswa menggunakan teknik randomisasi sampel.

1. Gambaran Karakteristik Demografi Subyek Penelitian Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Penelitian

Variabel Mean SD Minimum Maksimum Kemampuan 61.9 8.5 42 78 Metakognitif

Lingkungan 26.0 3.5 18 35 Belajar RS

Kemampuan 72.2 4.2 62.6 80.0 Pemecahan masalah

Dari table 4.1 dapat diketahui bahwa rata-rata kemampuan metakognitif, lingkungan belajar RS berturut-turut 61.9; 26.0 Sedangkan rata-rata kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan adalah 72.2


(39)

commit to user Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik

Usia n Prosentase (%) 19 1 2.2

20-21 36 80.0 22-23 8 17.8 N = 45 100.0 Jenis kelamin

Laki 19 42.2 Perempuan 26 57.8

N = 45 100.0

Dari table 4.2. dapat diketahui prosentase usia 19, 20-21, 22-23 berturut-turut 2.2 Persen, 80.0 persen dan 17.8 persen, sedangkan jenis kelamin laki-laki 42.2 persen dan perempuan sebesar 57.8 persen.

Tabel 4.3. Distribusi Pemecahan Masalah Berdasarkan Nilai Asuhan Keperawatan

No. Variabel n Mean SD Minimum Maksimum

1. Pengkajian 45 71.6 4.6 52.0 79.0

2. Diagnosa keperawatan 45 72.1 4.3 60.0 79.0

3. Rencana 45 72.6 4.0 63.0 80.0

4. Implementasi 45 72.2 4.8 62.0 82.0

5. Evaluasi 45 72.7 4.5 63.0 81.0


(40)

commit to user

Dari tabel 4.3 dapat diketahui bahwa rata-rata tahapan pemecahan masalah ASKEP mulai pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, implementasi keperawatan, evaluasi berturut-turut 71.6; 72.1; 72.6; 72.2; 72.7 Sedangkan rata-rata kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan adalah 72.2

Garis regresi dengan rentang positif pada hubungan kemampuan metakognitif dan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan digambarkan dengan diagram sebar dan regresi seperti pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Hubungan antara kemampuan metakognisi dan pemecahan masalah


(41)

commit to user

Sedangkan garis regresi dengan rentang positif pada hubungan lingkungan belajar RS dan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan digambarkan dengan diagram sebar dan garis regresi seperti Gambar 4.2.

2.

3. Hubungan antara kemampuan metakognitif dan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan dijelaskan dalam hasil analisis regresi pada table 4.3.

Analisis yang digunakan untuk menghubungkan variabel satu dengan variabel lainnya adalah analisis regresi linier ganda dengan menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS (versi 17.0). Data yang akan dianalisis selengkapnya pada lampiran 10 sedangkan hasil analisis dapat dilihat pada lampiran 11.

Di bawah ini merupakan tabel hasil analisis regresi linier ganda tentang hubungan kemampuan metakognitif dan lingkungan belajar rumah sakit dengan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan Lumajang yang dapat dilihat pada table 4.4. dibawah ini.

Gambar 4.2 Hubungan antara lingkungan belajar RS dan pemecahan masalah


(42)

commit to user

Tabel 4.4. Hasil analisis regresi linier ganda tentang hubungan kemampuan metakognitif dan lingkungan belajar RS dengan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan

Variabel Confidence Interval (CI) Independen Koefisien Nilai p Batas Batas regresi (b) bawah atas Kemampuan

metakognitif 0.3 <0.001 0.2 0.4 Lingkungan

belajar 0.4 0.002 0.2 0.7 Konstanta 45.1 <0.001 38.6 51.5 N observasi = 45

Adjusted R Square = 62.2 %

P = < 0.001

Interpretasi atas hasil analisis linier ganda diatas adalah bahwa kemampuan metakognitif memiliki hubungan positif dengan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan. Kenaikan 1 skor kemampuan metakognitif mahasiwa akan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan sebesar 0.3 skor dengan rentang antara 0.2 sampai 0.4 (b = 0.3, CI 95 % 0.2 sampai 0.4)

Selain itu bahwa lingkungan belajar memiliki hubungan positif dengan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan. Kenaikan 1 skor lingkungan belajar RS akan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan sebesar 0.4 skor dengan rentang skor antara 0.2 sampai 0.7 (b = 0.4, CI 95 % 0.2 sampai 0.7)

Konstanta regresi sebesar 45,1 menyatakan bahwa jika variabel kemampuan metakognitif dan lingkungan belajar RS yang sebelumnya dianggap nol, maka rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan adalah 45,1


(43)

commit to user

Sedangkan ditinjau dari nilai Adjusted R square pada persamaan regresi yang bernilai 62.2 %. Artinya kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan diperoleh dari variabel kemampuan metakognitif dan lingkungan belajar RS, sedangkan sisanya yaitu 37.8 % dipengaruhi oleh variabel faktor lain.

B. Pembahasan

1. Hubungan kemampuan metakognitif dan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan.

Hasil analisis regresi linier ganda hubungan kemampuan metakognitif dan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan menunjukkan setiap kenaikan 1 skor kemampuan metakognitif akan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah sebesar 0.3

Hasil ini mendukung penelitian Imel (2002) yang menyebutkan bahwa kesadaran pebelajar secara metakognitif adalah lebih strategis dan memberi hasil yang lebih baik dari pada pebelajar yang tidak mempunyai kesadaran metakognisi. Dukungan metakognisi yang kuat tersebut adalah pengetahuan dan pengaturan metakognisi itu sendiri, dengan demikian ada hubungan kuat antara kemampuan metakognisi dengan kemandirian siswa dalam belajar.

Pada temuan penelitian Pamungkasari (2007) menunjukkan makin tinggi kemampuan metakognitif seseorang maka makin tinggi juga kemampuan pemecahan masalah.

Selain itu hasil penelitian ini sejalan pendapat Toccasu Project (2008) mengatakan bahwa metakognitif pada dasarnya adalah kemampuan belajar bagaimana seharusnya belajar dengan mempertimbangkan salah satunya berperan serta dalam pemecahan suatu masalah.


(44)

commit to user

Pada penelitian ini fokus pemecahan masalah didasarkan pada pemberian pelayanan asuhan keperawatan ketika mahasiswa melakukan praktik klinik keperawatan sesuai dengan konsep keperawatan menurut Kozier (1997) bahwa pelayanan keperawatan yang diberikan kepada klien dalam bentuk asuhan keperawatan untuk mengatasi masalah klien sesuai dengan 14 kebutuhan dasar manusia (Hendersen,1964).

Hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Hsu LL (2010) yang menyimpulkan bahwa kemampuan keterampilan metakognitif pada mahasiswa keperawatan di Taiwan dapat berkembang baik di kelas maupun di tempat praktik klinik keperawatan. Hal ini juga sejalan hasil penelitian Kuiper (2005) yang mengatakan penggunaan metode pembelajaran self regulation di lingkungan praktik dapat merangsang aktivitas metakognitif terutama pengalaman klinik dan ketrampilan berfikir kritis dalam pemecahan masalah keperawatan.

Di dalam praktik pemberian pelayanan asuhan keperawatan menurut Nursalam (2003) hasil akhir yang diharapkan mahasiswa praktik profesi adalah memiliki kemampuan professional salah satunya dapat melaksanakan asuhan keperawatan dari masalah yang sederhana sampai yang kompleks secara tuntas melalui tahapan pengkajian, merumuskan diagnose keperawatan (masalah keperawatan), merencanakan tindakan keperawatan, melakukan implementasi (pelaksanaan) tindakan keperawatan dan terakhir tahapan evaluasi terhadap apa yang sudah dilaksanakan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan masalah keperawatan dapat diatasi (problem solving). Pernyataan di atas juga mendukung hasil penelitian Pesut (1992) yang mengatakan bahwa kemampuan ketrampilan metakognitif berpengaruh pada pembelajaran di klinik terutama dalam menemukan masalah keperawatan karena kemampuan keterampilan metakognitif dapat digunakan untuk tahapan observasi, analisis, perencanaan dan evaluasi proses keperawatan.


(45)

commit to user

Bila mahasiswa memiliki dasar kemampuan metakognitif yang cukup diharapkan mahasiswa akan mampu melakukan kegiatan asuhan keperawatan mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan tindakan, implementasi tindakan keperawatan serta evaluasi dengan berhasil.

Hal itu dapat dijelaskan menurut Flavel (Livingston,1997) bahwa metakognisi memiliki dua macam yaitu pertama pengetahuan metakognisi itu sendiri dan kedua regulasi metakognisi. Selain itu menurut (OLRC News, 2004) masing-masing kedua metakognisi terbagi beberapa sub kemampuan metakognisi antara lain: pengetahuan tentang metakognisi terdiri declarative knowledge yaitu pengetahuan tentang dirinya sebagai pebelajar serta strategi, ketrampilan dan sumber belajar yang dibutuhkan. Yang kedua procedural knowledge

yaitu pengetahuan bagaimana menggunakan apa saja yang telah diketahui dalam declarative

knowledge dalam aktivitas belajarnya serta conditional knowledge yaitu pengetahuan

bilamana menggunakan suatu prosedur, ketrampilan atau strategi dan bilamana hal-hal tersebut tidak digunakan, dan mengapa suatu prosedur lebih baik dari prosedur-prosedur yang lain.

Untuk regulasi metakognisi terdiri sub kemampuan planning atau perencanaan,

information management strategies yaitu kemampuan strategi mengelola informasi

berkenaan dengan proses belajar, comprehension monitoring yaitu kemampuan dalam memonitor proses belajarnya, debugging yaitu kemampuan strategi yang digunakan untuk membetulkan tindakan yang salah dalam belajar, serta sub komponen evaluation yaitu kemampuan mengevaluasi keefektifan strategi belajarnya apakah ia akan mengubah strateginya, menyerah atau mengakhiri kegiatan tersebut.

Sehingga dalam perencanaan pelaksanaan pemecahan masalah asuhan keperawatan ada keterkaitan kemampuan metakognitif karena masing-masing sub kemampuan dari metakognisi menjadi dasar dalam proses pemberian asuhan keperawatan.


(46)

commit to user

Pada tahap pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, kegiatan ini adalah upaya melakukan pengkajian secara komprehensif data dari klien sehingga pada akhirnya dapat ditemukan masalah keperawatan yang muncul pada klien sesuai dengan 14 kebutuhan dasar manusia menurut Henderson (1964).

Untuk mencapai keberhasilan tahap pengkajian dan rumusan diagnosa keperawatan kemampuan metakognitif yang dimiliki akan menggunakan landasan sub komampuan

declarative knowledge, procedural knowledge, conditional knowledge yaitu mahasiswa akan

menggunakan strategi serta menggunakan prosedur, ketrampilan yang tepat untuk menggali data klien dengan harapan bisa merumuskan masalah keperawatan klien.

Pada tahap perencanaan dan tahap implementasi keperawatan, untuk memperoleh keberhasilan tahap-tahap ini diharapkan menggunakan subkemampuan regulasi metakognitif jenis planning, information management, comprehension monitoring dan

debugging. Pada tahap-tahap ini dibutuhkan kemampuan suatu perencanaan yang dapat

diterapkan untuk mengatasi masalah klien sehingga bila mahasiswa memiliki kemampuan perencanaan, pengelolaan informasi data pengkajian atau analisis data, kemampuan memonitir perkembangan data klien serta kemampuan memilih strategi tindakan keperawatan yang tepat maka akan menunjang keberhasilan pada pemecahan masalah klien.

Sedangkan pada tahap evaluasi yaitu diharapkan mahasiswa mampu melakukan proses evaluasi sejauh mana masalah klien dapat teratasi. Untuk menunjang keberhasilan proses tahapan evaluasi maka dibutuhkan kemampuan metakognitif yang berlandasan

evaluation karena mahasiswa akan berfikir strategi yang paling tepat tindakan untuk

mengatasi masalah klien atau pemecahan masalah klien berdasarkan data perkembangan klien.


(47)

commit to user

2. Hubungan lingkungan belajar rumah sakit dan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan.

Hasil analisis regresi terhadap hubungan antara lingkungan belajar rumah sakit dan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan menunjukkan bahwa setiap 1 skor lingkungan belajar rumah sakit akan meningkatkan skor kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan sebesar 0.4

Hasil penelitian ini mendukung penelitian Hattie (2005) yang menyimpulkan bahwa lingkungan belajar dapat memperkuat pencapaian belajar, kepuasan dan kesuksesan belajar dikarenakan lingkungan belajar akan secara teratur memberi umpan balik bagi mahasiwa melalui pengalaman belajarnya.

Selain itu hasil penelitian lain oleh Abraham et al. (2008) menyatakan bahwa mahasiwa dapat merasa menerima dengan lingkungan belajar yang positif, namun juga dikatakan area masalah dari lingkungan pembelajaran pada sekolah keperawatan yang memungkinkan kita untuk mengadopsi pengukuran-pengukuran demi perbaikan dalam pembelajaran.

Berdasarkan kaitan diatas maka perlu adanya lingkungan belajar yang mendorong motivasi mahasiwa untuk belajar. Menurut Nursalam (2003 harapan proses belajar mengajar keperawatan dapat disusun dan dikembangkan secara terarah yang dapat menumbuhkan ketrampilan professional yaitu kontekstual, ketrampilan teknis, serta ketrampilan interpersonal.

Selanjutnya menurut Hamid dikutip Nursalam (2003) fasilitas pelayanan rumah sakit dapat digunakan sebagai sumber pendidikan yang cukup kondusif sehingga lingkungan belajar seperti rumah sakit dapat dijadikan sebagai salah satu lingkungan belajar untuk mencapai pengalaman belajar di klinik.


(48)

commit to user

Untuk menunjang lingkungan belajar di rumah sakit agar dapat kondusif ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sehingga menjadikan lingkungan belajar rumah sakit menjadi ideal menurut Nursalam (2003) antara lain: tersedia pelayanan memadai, jumlah kasus memadai, fasilitas cukup untuk pembelajaran, memiliki perpustakaan, situasi pendukung yang kondusif, sistem manajemen pelayanan keperawatan, ada kegiatan penelitian, ada tenaga terpilih sebagai fasilitator, ada sistem pencatatan dan pelaporan memadai serta sistem ketenagaan yang ada efisien.

Apabila lingkungan belajar di rumah sakit bisa memenuhi persyaratan diatas diharapkan lingkungan belajar di rumah sakit tersebut akan meningkatkan motivasi belajar mahasiswa.

Pada akhirnya mahasiswa yang menjalani praktik klinik keperawatan terutama dalam memberikan asuhan keperawatan keberhasilan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan tergantung juga kondisi lingkungan belajar di rumah sakit misalnya keberadaan kasus penyakit, pelayanan, fasilitas sarana pendukung, jumlah tenaga perawat, termasuk jumlah tenaga CI (clinical instructor), harus seimbang dengan jumlah mahasiswa. Semua itu bagian faktor lingkungan yang dapat ditingkatkan untuk meningkatkan proses pembelajaran di klinik keperawatan. Ini mendukung penelitian McBrien (2006) yang mengatakan tidak diragukan bila jumlah pebelajar meningkat, jumlah staf terbatas dan kekurangan pembimbing klinik keperawatan sehingga harus ada upaya analisis strategi yang dilakukan untuk meningkatkan pembelajaran di klinik keperawatan.

Sehingga setiap saat lingkungan belajar di rumah sakit harus sering diperbarui sejalan dengan hasil penelitian Abraham et al. (2008) masih ditemukan permasalahan dari lingkungan pembelajaran pada sekolah keperawatan yang memungkinkan kita untuk mengadopsi pengukuran-pengukuran demi perbaikan dalam proses pembelajaran.


(49)

commit to user 3. Keterbatasan Penelitian

Peneliti dalam menerapkan penelitian ini sudah berupaya semaksimal mungkin dengan harapan agar hasil yang diperoleh benar-benar valid dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Berbagai upaya peneliti telah lakukan untuk mendapatkan hasil maksimal, minimal menghindari terjadinya bias.

Penyeleksian sampel dilakukan dengan ketat dengan cara memilih teknik sampling yang sesuai dengan menggunakan randomisasi sampel serta penentuan kriteria inklusi sedimikian rupa untuk mencegah terjadinya bias hasil akibat pengaruh dari karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing sampel.

Peneliti kembali melakukan uji homogenitas sampel untuk kembali memastikan bahwa hasil yang diperoleh memang benar-benar dari hasil penelitian, bukan karena perbedaan karakteristik responden. Selain itu untuk menghindari terjadinya perbedaan persepsi dari isi kuesioner yang ada, peneliti mendampingi responden selama pengisian instrumen kuesioner sampai selesai , serta untuk menjaga bias hasil kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan peneliti sudah melakukan pendampingan sambil melakukan observasi selama mahasiswa melakukan proses pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan melihat tata cara penilaian asuhan keperawatan seperti pada lampiran 4 tentang format penilaian Askep.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan sehingga berpengaruh pada hasil penelitian antara lain:

1. Alat ukur

Salah satu alat ukur pemecahan masalah pada penelitan ini adalah nilai asuhan keperawatan yang dinilai dengan melihat daftar masing-masing isi tahapan Askep yang terkadang berbenturan dengan fasilitas atau sarana pendukung


(50)

commit to user

lingkungan belajar di rumah sakit belum sepenuhnya ada sehingga memungkinkan nilai tidak dapat dicapai secara maksimal.

2. Sampel

Jumlah sampel pada penelitian ini relatif kecil yaitu 45 responden. Terbatasnya jumlah sampel ini bisa berpengaruh pada akurasi hasil penelitian dan kemampuannya untuk digeneralisasi pada populasi yang besar.

3. Isi kuesioner

Butir pernyataaan kemampuan metakognitif dan lingkungan belajar ada beberapa butir pernyataan yang dihilangkan berdasarkan hasil uji reliabilitas sehingga mempengaruhi validitas isi.


(51)

commit to user

40 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara kemampuan metakognitif dan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan, semakin tinggi kemampuan metakognitif pebelajar, semakin tinggi pula kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan (b = 0.3, CI 95 % 0.2 sampai 0.4)

Terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara lingkungan belajar dan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan, semakin ideal atau baik lingkungan belajar,semakin tinggi pula kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan (b = 0.4, CI 95 % 0.2 sampai 0.7)

B. Implikasi

1. Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah bahwa tingkat kemampuan metakognisi seseorang dapat digunakan dalam pemecahan masalah asuhan keperawatan.

2. Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah bahwa lingkungan belajar di rumah sakit dapat digunakan dalam pemecahan masalah asuhan keperawatan.

3. Implikasi kebijakan dari penelitian ini bagi institusi di Akademi Keperawatan Lumajang adalah perlu diimplementasikan teknik pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.


(52)

commit to user

4. Kemampuan metakognitif dan lingkungan belajar rumah sakit yang ideal akan

meningkatkan kemampuan dalam pemecahan masalah asuhan keperawatan pada klien.

C. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan dengan variabel-variabel lain seperti motivasi, tingkat emosional pebelajar, metode pembelajaran, karakteristik ruangan.

2. Institusi rumah sakit khususnya ruang tempat praktik perlu dikelola tidak hanya sekedar sebagai tempat praktik tetapi sekaligus menjadikan sebagai lingkungan belajar yang ideal bagi proses pembelajaran klinik keperawatan.


(1)

commit to user

2. Hubungan lingkungan belajar rumah sakit dan kemampuan pemecahan masalah

asuhan keperawatan.

Hasil analisis regresi terhadap hubungan antara lingkungan belajar rumah sakit dan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan menunjukkan bahwa setiap 1 skor lingkungan belajar rumah sakit akan meningkatkan skor kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan sebesar 0.4

Hasil penelitian ini mendukung penelitian Hattie (2005) yang menyimpulkan bahwa lingkungan belajar dapat memperkuat pencapaian belajar, kepuasan dan kesuksesan belajar dikarenakan lingkungan belajar akan secara teratur memberi umpan balik bagi mahasiwa melalui pengalaman belajarnya.

Selain itu hasil penelitian lain oleh Abraham et al. (2008) menyatakan bahwa mahasiwa dapat merasa menerima dengan lingkungan belajar yang positif, namun juga dikatakan area masalah dari lingkungan pembelajaran pada sekolah keperawatan yang memungkinkan kita untuk mengadopsi pengukuran-pengukuran demi perbaikan dalam pembelajaran.

Berdasarkan kaitan diatas maka perlu adanya lingkungan belajar yang mendorong motivasi mahasiwa untuk belajar. Menurut Nursalam (2003 harapan proses belajar mengajar keperawatan dapat disusun dan dikembangkan secara terarah yang dapat menumbuhkan ketrampilan professional yaitu kontekstual, ketrampilan teknis, serta ketrampilan interpersonal.

Selanjutnya menurut Hamid dikutip Nursalam (2003) fasilitas pelayanan rumah sakit dapat digunakan sebagai sumber pendidikan yang cukup kondusif sehingga lingkungan belajar seperti rumah sakit dapat dijadikan sebagai salah satu lingkungan belajar untuk mencapai pengalaman belajar di klinik.


(2)

commit to user

Untuk menunjang lingkungan belajar di rumah sakit agar dapat kondusif ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sehingga menjadikan lingkungan belajar rumah sakit menjadi ideal menurut Nursalam (2003) antara lain: tersedia pelayanan memadai, jumlah kasus memadai, fasilitas cukup untuk pembelajaran, memiliki perpustakaan, situasi pendukung yang kondusif, sistem manajemen pelayanan keperawatan, ada kegiatan penelitian, ada tenaga terpilih sebagai fasilitator, ada sistem pencatatan dan pelaporan memadai serta sistem ketenagaan yang ada efisien.

Apabila lingkungan belajar di rumah sakit bisa memenuhi persyaratan diatas diharapkan lingkungan belajar di rumah sakit tersebut akan meningkatkan motivasi belajar mahasiswa.

Pada akhirnya mahasiswa yang menjalani praktik klinik keperawatan terutama dalam memberikan asuhan keperawatan keberhasilan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan tergantung juga kondisi lingkungan belajar di rumah sakit misalnya keberadaan kasus penyakit, pelayanan, fasilitas sarana pendukung, jumlah tenaga perawat, termasuk jumlah tenaga CI (clinical instructor), harus seimbang dengan jumlah mahasiswa. Semua itu bagian faktor lingkungan yang dapat ditingkatkan untuk meningkatkan proses pembelajaran di klinik keperawatan. Ini mendukung penelitian McBrien (2006) yang mengatakan tidak diragukan bila jumlah pebelajar meningkat, jumlah staf terbatas dan kekurangan pembimbing klinik keperawatan sehingga harus ada upaya analisis strategi yang dilakukan untuk meningkatkan pembelajaran di klinik keperawatan.

Sehingga setiap saat lingkungan belajar di rumah sakit harus sering diperbarui sejalan dengan hasil penelitian Abraham et al. (2008) masih ditemukan permasalahan dari lingkungan pembelajaran pada sekolah keperawatan yang memungkinkan kita untuk mengadopsi pengukuran-pengukuran demi perbaikan dalam proses pembelajaran.


(3)

commit to user

3. Keterbatasan Penelitian

Peneliti dalam menerapkan penelitian ini sudah berupaya semaksimal mungkin dengan harapan agar hasil yang diperoleh benar-benar valid dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Berbagai upaya peneliti telah lakukan untuk mendapatkan hasil maksimal, minimal menghindari terjadinya bias.

Penyeleksian sampel dilakukan dengan ketat dengan cara memilih teknik sampling yang sesuai dengan menggunakan randomisasi sampel serta penentuan kriteria inklusi sedimikian rupa untuk mencegah terjadinya bias hasil akibat pengaruh dari karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing sampel.

Peneliti kembali melakukan uji homogenitas sampel untuk kembali memastikan bahwa hasil yang diperoleh memang benar-benar dari hasil penelitian, bukan karena perbedaan karakteristik responden. Selain itu untuk menghindari terjadinya perbedaan persepsi dari isi kuesioner yang ada, peneliti mendampingi responden selama pengisian instrumen kuesioner sampai selesai , serta untuk menjaga bias hasil kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan peneliti sudah melakukan pendampingan sambil melakukan observasi selama mahasiswa melakukan proses pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan melihat tata cara penilaian asuhan keperawatan seperti pada lampiran 4 tentang format penilaian Askep.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan sehingga berpengaruh pada hasil penelitian antara lain:

1. Alat ukur

Salah satu alat ukur pemecahan masalah pada penelitan ini adalah nilai asuhan keperawatan yang dinilai dengan melihat daftar masing-masing isi tahapan Askep yang terkadang berbenturan dengan fasilitas atau sarana pendukung


(4)

commit to user

lingkungan belajar di rumah sakit belum sepenuhnya ada sehingga memungkinkan nilai tidak dapat dicapai secara maksimal.

2. Sampel

Jumlah sampel pada penelitian ini relatif kecil yaitu 45 responden. Terbatasnya jumlah sampel ini bisa berpengaruh pada akurasi hasil penelitian dan kemampuannya untuk digeneralisasi pada populasi yang besar.

3. Isi kuesioner

Butir pernyataaan kemampuan metakognitif dan lingkungan belajar ada beberapa butir pernyataan yang dihilangkan berdasarkan hasil uji reliabilitas sehingga mempengaruhi validitas isi.


(5)

commit to user

40

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara kemampuan metakognitif dan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan, semakin tinggi kemampuan metakognitif pebelajar, semakin tinggi pula kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan (b = 0.3, CI 95 % 0.2 sampai 0.4)

Terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara lingkungan belajar dan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan, semakin ideal atau baik lingkungan belajar,semakin tinggi pula kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan pada mahasiswa keperawatan (b = 0.4, CI 95 % 0.2 sampai 0.7)

B. Implikasi

1. Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah bahwa tingkat kemampuan metakognisi seseorang dapat digunakan dalam pemecahan masalah asuhan keperawatan.

2. Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah bahwa lingkungan belajar di rumah sakit dapat digunakan dalam pemecahan masalah asuhan keperawatan.

3. Implikasi kebijakan dari penelitian ini bagi institusi di Akademi Keperawatan Lumajang adalah perlu diimplementasikan teknik pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.


(6)

commit to user

4. Kemampuan metakognitif dan lingkungan belajar rumah sakit yang ideal akan meningkatkan kemampuan dalam pemecahan masalah asuhan keperawatan pada klien.

C. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan kemampuan pemecahan masalah asuhan keperawatan dengan variabel-variabel lain seperti motivasi, tingkat emosional pebelajar, metode pembelajaran, karakteristik ruangan.

2. Institusi rumah sakit khususnya ruang tempat praktik perlu dikelola tidak hanya sekedar sebagai tempat praktik tetapi sekaligus menjadikan sebagai lingkungan belajar yang ideal bagi proses pembelajaran klinik keperawatan.