1. Tradisi Lisan
Tradisi lisan diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara” atau dikatakan juga sebagai “sistem wacana yang
bukan aksara” Pudentia 2015: 3. Tradisi lisan atau dikenal dengan sastra rakyat mencakup suatu bidang yang cukup luas, cerita-cerita, ungkapan, peribahasa,
nyanyian, tarian, adat resam, undang-undang, teka-teki, permainan
games
, kepercayaan dan perayaan
beliefs and festival
semuanya termasuk dalam sastra rakyat Sarumpaet, 2011: 2. Ratna 2011: 104, kemudian mengatakan tradisi
lisan secara definitif adalah berbagai kebiasaan dalam masyarakat yang hidup secara lisan. UNESCO
United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization
memasukan sastra lisan sebagai bagian tradisi lisan via Ratna, 2011: 105.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi lisan adalah segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan beraksara tidak lisan.
Tradisi lisan berupa cerita-cerita, ungkapan, peribahasa, nyanyian, tarian, adat resam, undang-undang, teka-teki, permainan
games
, kepercayaan dan perayaan
beliefs and festival
. Sastra lisan juga disimpulkan sebagai bagian dari tradisi lisan.
2. Sastra Lisan
Taum 2011: 21-22, mengemukakan bahwa sastra lisan adalah sekelompok teks yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan, yang
secara instrinsik mengandung sarana-sarana kesusastraan dan efek estetik dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kaitannya dengan konteks moral maupun kultural dari sekelompok masyarakat tertentu. Pandangan Taum mengungkapkan bahwa sastra lisan mengandung
sarana-sarana kesusastraan dan efek estetika sekelompok masyarakat tempat sastra itu berada.
Sastra lisan
oral literature
adalah bagian dari tradisi lisan
oral tradition
atau yang biasanya dikembangkan dalam kebudayaan lisan
oral culture
. Sastra lisan berupa pesan-pesan, cerita-cerita, atau kesaksian-kesaksian ataupun yang
diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi lainnya Vansina via Taum, 2011: 10. Sastra jenis ini kemudian dikenal sebagai
folklore
, cerita rakyat yang telah mentradisi yang hidup dan dipertahankan oleh masyarakat pemiliknya
Nurgiyantoro, 2005: 17. Zaimar dalam Pudentia 2015: 374, mengatakan bahwa sastra lisan adalah
semua cerita yang sejak awalnya disampaikan secara lisan, tidak ada naskah tertulis yang dapat dijadikan pegangan. Zaimar melanjutkan bahwa bentuk dari
sastra lisan berupa puisi, drama maupun prosa. Sastra lisan bersifat naratif namun, sastra lisan juga tidak selalu bersifat naratif misalnya lagu-lagu, teka
–teki, teks humor, jampi-jampi dukun pada waktu mengobati orang sakit dan yang lainnya.
Danandjaja via Taum, 2011: 23, mengemukakan ciri pengenal sastra lisan, yaitu ada sembilan. Pertama, penyebaran dan pewarisannya biasanya
dilakukan secara lisan atau disertai gerak isyarat dan alat pembantu pengingat. Kedua bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam
bentuk standar, disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lama paling sedikit dua generasi. Ketiga, berada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Keempat, bersifat anonim. Kelima, mempunyai
kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Ketujuh, bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
Kedelapan, menjadi milik bersama kolektif tertentu, setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya. Kesembilan, pada umumnya bersifat polos dan
lugu sehingga seringkali tampak kasar, dan terlalu spontan. Berdasarkan pada pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sastra lisan
adalah sastra yang disebarkan turun-temurun dari mulut ke mulut. Sastra lisan ada yang bersifat naratif dan ada pula yang tidak bersifat naratif. Sastra lisan berupa
pesan-pesan, cerita-cerita, atau kesaksian-kesaksian, lagu-lagu, teka-teki, teks humor, jampi-jampi dukun pada waktu mengobati orang sakit dan yang lainnya.
Sastra lisan dapat dikenali dengan ciri sebagai berikut: disebarkan dan diwariskan secara lisan, bersifat tradisional, memiliki beberapa versi, bersifat anonim,
memiliki kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif, bersifat pralogis, milik kolektif bersama tertentu, dan bersifat polos dan lugu. Dari pandangan di
atas juga dapat disimpulkan bahwa mitos merupakan bagian dari sastra lisan. Bascom via Taum, 2011: 67, mengatakan Mitos
myth
adalah sejenis cerita prosa yang dipercaya kebenarannya oleh masyarakat pendukung cerita itu.
Mitos sebenarnya merupakan pengejawantahan dogma sehingga sifatnya sakral, dan seringkali dihubungkan dengan ritual dan teologi. Mitos menjadi semacam
jawaban dari berbagai persoalan eksistensial pada saat manusia tidak mengerti, bimbang, ataupun kehilangan orientasi. Para pelaku mitos umumnya bukan
manusia tetapi memiliki sifat-sifat manusia misalnya binatang, dewa, ataupun pahlawan budaya. Kejadiannya ditempatkan pada zaman purbakala, pada awal
mula dunia ketika dunia belum dimengerti seperti keadaannya yang sekarang, atau dapat terjadi di sebuah dunia lain. Mitos biasanya mengungkapkan awal mula
dunia, awal mula manusia, kematian, atau menjelaskan etimologis binatang, kekhasan geografis, dan fenomenan-fenomena alam lainnya.
Selain itu, Nurgiyantoro 2005: 172, menjelaskan bahwa mitos
myths
adalah salah satu jenis cerita lama yang sering dikaitkan dengan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan supranatural yang lain yang melebihi batas-batas kemampuan
manusia. Mitos berkisah tentang persoalan kehidupan yang di dalamnya terdapat kehebatan-kehebatan tertentu yang di luar jangkauan nalar manusia, misalnya
bagaimana seorang tokoh mampu menunjukan kekuatannya untuk menundukkan alam.
Dari beberapa pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa mitos adalah cerita lama berupa prosa yang dipercaya oleh masyarakat pendukung cerita itu.
Peristiwa dalam mitos tidak dapat diketahui kapan terjadinya dan mitos bersifat sakral karena sering berhubungan dengan ritual dan teologi. Mitos juga dapat
mengungkapkan alam pikiran masyarakat pendukungnya mengenai dunia sekitar. Mengingat kisah Rombiya dalam upacara
Nopahtung
merupakan prosa yang dipercaya oleh masyarakat suku Dayak Uud Danum dan peristiwanya tidak dapat
diketahui secara pasti serta berhubungan dengan ritual dan teologi, maka peneliti mengatakan bahwa kisah Rombiya adalah sebuah mitos yang hidup di masyarakat
suku Dayak Uud Danum. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Waluyo 2011: 1, mengatakan p rosa berasal dari kata “
orate provorsa
” yang berarti uraian langsung, cerita langsung, atau karya sastra yang
menggunakan bahasa terurai. Dikatakan menggunakan bahasa terurai, artinya tidak sama dengan puisi menggunakan bahasa yang dipadatkan, dan tidak sama
dengan drama menggunakan bahasa dialog. Dari padangan di atas dapat disimpulkan bahwa mitos Rombiya yang
terkadung dalam upacara
Nopahtung
merupakan sastra lisan yang berbentuk cerita prosa. Artinya, mitos Rombiya adalah karya sastra yang menggunakan bahasa
terurai. Mitos Rombiya bukanlah puisi dan tidak sama dengan drama.
3. Struktur Mitos