Dinamika Sektor Industri Manufaktur dalam Pembangunan Perekonomian Wilayah Provinsi Jawa Timur

(1)

DINAMIKA SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR DALAM PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI JAWA TIMUR

ROSA DELIMA

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: Dinamika Sektor Industri Manufaktur Dalam Pembangunan Perekonomian di Provinsi Jawa Timur, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009


(3)

Abstract

Role of Manufacturing Sectors in the Regional Economy of East Java Province in 2000 – 2004

The objectives of this study are: to study the role of manufacturing sectors in the regional economy in the Province of East Java in terms of output, value added, final demand, relationship among sectors, and labor; and to examine whether de-industrialization occurred in East Java in the period of 2000–2004. The industrial output, value added, final demand, relationship between sectors, and labor were examined by descriptive analysis and input-output analysis. The input-ouput (I-O) table is used by the year 2000 and 2004. Input-output table of the year 2004 which was updated with the method of RAS. To determine whether de-industrialization occurred, five criteria were used, namely, decreased role of manufacturing sectors in the economy (Regional GDP), output, export, reduced number of employment, and inter-sector relationship. The research shows that there was a shift in the economic structure. In 2000 the industrial sectors of food, beverage, and tobacco were the dominant sectors that creating share of output,value added, final demand, and labor after trade, hotels and restaurants sectors. Meanwhile, as for the inter-sector relationship, the manufacturing sectors has a strong forward and backward link although its value is getting less, thus indicating that its effect is weakening. The five de-industrialization criteria show that transport equipment and machinery industry has the stronger indication, and the second is textile, shoes and leather products industry. Therefore, the government must be seriously to take care of manufacturing sectors, especially shoes and leather products industry because this is the prominent sector in East Java Province, moreover this central industry was disturbed by the Sidoarjo Lapindo Mud. keywords: manufacturing sectors, input-output analysis, de-industrialization.


(4)

Ringkasan

Provinsi Jawa Timur, adalah salah satu kawasan penting pertumbuhan industri dan perdagangan (bisnis) karena letaknya yang strategis yang menghubungkan kota-kota pertumbuhan di wilayah Tengah dan Timur Indonesia, sekaligus jembatan penghubung dengan wilayah Barat Indonesia. Posisi yang strategis tersebut menjadikan sektor industri manufaktur sebagai sektor yang penting bagi Jawa Timur.

Peranan sektor industri manufaktur dalam pembangunan memang tidak bisa dipungkiri mampu meningkatkan PDRB, menyerap tenaga kerja, serta keterkaitannya dengan sektor lain. Keterkaitan sektor industri dengan sektor lainnya merupakan salah satu isu regional dalam suatu perencanaan dan pembangunan wilayah. Guncangan perekonomian seperti krisis moneter maupun bencana yang terjadi di Indonesia serta berimbas ke Jawa Timur juga, menjadi ajang ujian alami sektor industri, industri yang memiliki daya saing kuat akan tetap eksis. Oleh karena itu adanya indikasi penurunan peranan sektor industri manufaktur ini harus diwaspadai.

Dari masalah tersebut peneliti akan mengkaji bagaimanakah dinamika peranan sektor industri manufaktur dalam perekonomian Jawa Timur dilihat dari sisi output, permintaan akhir, nilai tambah, serta tenaga kerja yang akan dianalisis dengan analisis Input-Output (I-O) dan analisis tenaga kerja. Analisis I-O yang dilakukan dengan membandingkan Tabel I-O tahun 2000 dan 2004, Tabel I-O tahun 2004 dibangun dari Tabel I-O tahun 2000 dengan metode RAS. Selain itu peneliti juga mengkaji apakah terjadi deindustrialisasi di Jawa Timur, dan subsektor mana yang memiliki potensi besar deindustrialisasi, dengan menggunakan lima kriteria yaitu penurunan PDRB, output, ekspor, tenaga kerja, dan keterkaitan antar sektor.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa sektor paling dominan berdasarkan output, permintaan akhir, nilai tambah bruto dan tenaga kerja pada tahun 2000 adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sedangkan pada tahun 2004 adalah industri makanan, minuman, dan tembakau. Dilihat dari sisi keterkaitan antar sektor, sektor industri manufaktur memiliki pengaruh kedepan dan kebelakang paling kuat akan tetapi nilainya menurun, atau dapat dikatakan bahwa pengaruhnya terhadap perekonomian melemah.

Identifikasi deindustrialisasi menunjukkan bahwa Jawa Timur mengalami gejala deindustrialisasi pada periode 2000-2004, dengan subsektor yang mengalami potensi deindustrialisasi paling besar adalah industri alat angkutan, mesin, dan peralatannya, serta industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki. Oleh karena itu pemerintah harus lebih serius memperhatikan kedua subsektor industri manufaktur ini, khususnya industri barang dari kulit dan alas kaki, karena industri ini merupakan industri andalan di Jawa Timur, apalagi aktivitas industri ini (yang berada di Sidoarjo) mengalami hambatan akibat adanaya luapan “Lumpur Lapindo Sidoarjo”.


(5)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.


(6)

DINAMIKA SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR DALAM PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI JAWA TIMUR

ROSA DELIMA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program Ilmu-ilmu Perencanaan Wilayah dan Pembangunan Perdesaan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

(8)

Halaman Pengesahan

Judul Penelitian : Dinamika Sektor Industri Manufaktur dalam Pembangunan Perekonomian Wilayah Provinsi Jawa Timur

Nama : Rosa Delima

NRP : A155050051

Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. D. S. Priyarsono, Ph.D Ketua

Muhammad Firdaus, M.Si, Ph.D Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekretaris Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Bambang Juanda, MS. Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(9)

PRAKATA Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, tesis ini berhasil diselesaikan pada bulan Februari 2009. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, antara lain:

1. Prof. Isang Goenarsyah yang telah mengarahkan, membimbing dan memberikan ilmunya.

2. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS sebagai Dosen Matakuliah, Dosen Penguji, serta Ketua Program Studi di Ilmu-ilmu Perencanaan Wilayah dan Pembangunan Perdesaan Program Pascasarjana IPB.

3. Ir. D.S. Priyarsono, Ph.D, dan Muhammad Firdaus, Ph.D. sebagai Komisi Pembimbing yang tidak hanya memberikan bimbingan, tetapi juga mendidik penulis menuju kepada pendewasaan pemikiran.

4. Seluruh Dosen di PWD, saya haturkan terima kasih yang mendalam akan ilmu yang telah diberikan.

5. Rekan-rekan seperjuangan di Program Studi PWD.

Terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua (Achmad Radjaram-Astichajah, Muhammad Arifin-Djunainah), kakak dan adik-adikku (Yogi, Sisi, Acid, Reza, Fifi, dan Farhan), suami tercinta Muhammad Ihwan Fahrurrazi dan putra tersayang Haidar Muhammad Ihsan Fahrurrazi, atas doa-doanya dan telah memberikan banyak pengorbanan menanti penulis selesai. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia atas segala pengorbanan yang ada.

Penulis menyadari keterbatasan dalam penulisan ini, sehingga tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu diharapkan saran dan kritikan dari semua pihak yang sifatnya membangun. Akhirnya, Penulis berharap semoga tesis ini berguna bagi berbagai pihak. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bogor, Februari 2009 Rosa Delima


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Januari 1980 di Surabaya, dari ayah Achmad Radjaram dan ibu Astichajah. Penulis merupakan anak kedua dari 5 (lima) bersaudara.

Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di Surabaya. Lalu meneruskan ke jenjang Diploma-1 jurusan Tehnik Sipil Institut Tehnologi Sepuluh November (ITS) Surabaya dan lulus pada tahun 1999. Setelah itu meneruskan ke jenjang Sarjana jurusan Pertanian, program studi Agribisnis dan lulus pada Januari 2004.

Pada tahun 2004 hingga tahun 2005, penulis dipercaya sebagai analysis staff di Pusat Studi Keberdayaan Rakyat (SPEKTRA) di Surabaya.

Pada tahun 2005, penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Magister Sains (S2) di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan.


(11)

DINAMIKA SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR DALAM PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI JAWA TIMUR

ROSA DELIMA

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: Dinamika Sektor Industri Manufaktur Dalam Pembangunan Perekonomian di Provinsi Jawa Timur, adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009


(13)

Abstract

Role of Manufacturing Sectors in the Regional Economy of East Java Province in 2000 – 2004

The objectives of this study are: to study the role of manufacturing sectors in the regional economy in the Province of East Java in terms of output, value added, final demand, relationship among sectors, and labor; and to examine whether de-industrialization occurred in East Java in the period of 2000–2004. The industrial output, value added, final demand, relationship between sectors, and labor were examined by descriptive analysis and input-output analysis. The input-ouput (I-O) table is used by the year 2000 and 2004. Input-output table of the year 2004 which was updated with the method of RAS. To determine whether de-industrialization occurred, five criteria were used, namely, decreased role of manufacturing sectors in the economy (Regional GDP), output, export, reduced number of employment, and inter-sector relationship. The research shows that there was a shift in the economic structure. In 2000 the industrial sectors of food, beverage, and tobacco were the dominant sectors that creating share of output,value added, final demand, and labor after trade, hotels and restaurants sectors. Meanwhile, as for the inter-sector relationship, the manufacturing sectors has a strong forward and backward link although its value is getting less, thus indicating that its effect is weakening. The five de-industrialization criteria show that transport equipment and machinery industry has the stronger indication, and the second is textile, shoes and leather products industry. Therefore, the government must be seriously to take care of manufacturing sectors, especially shoes and leather products industry because this is the prominent sector in East Java Province, moreover this central industry was disturbed by the Sidoarjo Lapindo Mud. keywords: manufacturing sectors, input-output analysis, de-industrialization.


(14)

Ringkasan

Provinsi Jawa Timur, adalah salah satu kawasan penting pertumbuhan industri dan perdagangan (bisnis) karena letaknya yang strategis yang menghubungkan kota-kota pertumbuhan di wilayah Tengah dan Timur Indonesia, sekaligus jembatan penghubung dengan wilayah Barat Indonesia. Posisi yang strategis tersebut menjadikan sektor industri manufaktur sebagai sektor yang penting bagi Jawa Timur.

Peranan sektor industri manufaktur dalam pembangunan memang tidak bisa dipungkiri mampu meningkatkan PDRB, menyerap tenaga kerja, serta keterkaitannya dengan sektor lain. Keterkaitan sektor industri dengan sektor lainnya merupakan salah satu isu regional dalam suatu perencanaan dan pembangunan wilayah. Guncangan perekonomian seperti krisis moneter maupun bencana yang terjadi di Indonesia serta berimbas ke Jawa Timur juga, menjadi ajang ujian alami sektor industri, industri yang memiliki daya saing kuat akan tetap eksis. Oleh karena itu adanya indikasi penurunan peranan sektor industri manufaktur ini harus diwaspadai.

Dari masalah tersebut peneliti akan mengkaji bagaimanakah dinamika peranan sektor industri manufaktur dalam perekonomian Jawa Timur dilihat dari sisi output, permintaan akhir, nilai tambah, serta tenaga kerja yang akan dianalisis dengan analisis Input-Output (I-O) dan analisis tenaga kerja. Analisis I-O yang dilakukan dengan membandingkan Tabel I-O tahun 2000 dan 2004, Tabel I-O tahun 2004 dibangun dari Tabel I-O tahun 2000 dengan metode RAS. Selain itu peneliti juga mengkaji apakah terjadi deindustrialisasi di Jawa Timur, dan subsektor mana yang memiliki potensi besar deindustrialisasi, dengan menggunakan lima kriteria yaitu penurunan PDRB, output, ekspor, tenaga kerja, dan keterkaitan antar sektor.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa sektor paling dominan berdasarkan output, permintaan akhir, nilai tambah bruto dan tenaga kerja pada tahun 2000 adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sedangkan pada tahun 2004 adalah industri makanan, minuman, dan tembakau. Dilihat dari sisi keterkaitan antar sektor, sektor industri manufaktur memiliki pengaruh kedepan dan kebelakang paling kuat akan tetapi nilainya menurun, atau dapat dikatakan bahwa pengaruhnya terhadap perekonomian melemah.

Identifikasi deindustrialisasi menunjukkan bahwa Jawa Timur mengalami gejala deindustrialisasi pada periode 2000-2004, dengan subsektor yang mengalami potensi deindustrialisasi paling besar adalah industri alat angkutan, mesin, dan peralatannya, serta industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki. Oleh karena itu pemerintah harus lebih serius memperhatikan kedua subsektor industri manufaktur ini, khususnya industri barang dari kulit dan alas kaki, karena industri ini merupakan industri andalan di Jawa Timur, apalagi aktivitas industri ini (yang berada di Sidoarjo) mengalami hambatan akibat adanaya luapan “Lumpur Lapindo Sidoarjo”.


(15)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.


(16)

DINAMIKA SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR DALAM PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI JAWA TIMUR

ROSA DELIMA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program Ilmu-ilmu Perencanaan Wilayah dan Pembangunan Perdesaan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(17)

(18)

Halaman Pengesahan

Judul Penelitian : Dinamika Sektor Industri Manufaktur dalam Pembangunan Perekonomian Wilayah Provinsi Jawa Timur

Nama : Rosa Delima

NRP : A155050051

Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. D. S. Priyarsono, Ph.D Ketua

Muhammad Firdaus, M.Si, Ph.D Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekretaris Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Bambang Juanda, MS. Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(19)

PRAKATA Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, tesis ini berhasil diselesaikan pada bulan Februari 2009. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini, antara lain:

1. Prof. Isang Goenarsyah yang telah mengarahkan, membimbing dan memberikan ilmunya.

2. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS sebagai Dosen Matakuliah, Dosen Penguji, serta Ketua Program Studi di Ilmu-ilmu Perencanaan Wilayah dan Pembangunan Perdesaan Program Pascasarjana IPB.

3. Ir. D.S. Priyarsono, Ph.D, dan Muhammad Firdaus, Ph.D. sebagai Komisi Pembimbing yang tidak hanya memberikan bimbingan, tetapi juga mendidik penulis menuju kepada pendewasaan pemikiran.

4. Seluruh Dosen di PWD, saya haturkan terima kasih yang mendalam akan ilmu yang telah diberikan.

5. Rekan-rekan seperjuangan di Program Studi PWD.

Terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua (Achmad Radjaram-Astichajah, Muhammad Arifin-Djunainah), kakak dan adik-adikku (Yogi, Sisi, Acid, Reza, Fifi, dan Farhan), suami tercinta Muhammad Ihwan Fahrurrazi dan putra tersayang Haidar Muhammad Ihsan Fahrurrazi, atas doa-doanya dan telah memberikan banyak pengorbanan menanti penulis selesai. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia atas segala pengorbanan yang ada.

Penulis menyadari keterbatasan dalam penulisan ini, sehingga tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu diharapkan saran dan kritikan dari semua pihak yang sifatnya membangun. Akhirnya, Penulis berharap semoga tesis ini berguna bagi berbagai pihak. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bogor, Februari 2009 Rosa Delima


(20)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Januari 1980 di Surabaya, dari ayah Achmad Radjaram dan ibu Astichajah. Penulis merupakan anak kedua dari 5 (lima) bersaudara.

Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di Surabaya. Lalu meneruskan ke jenjang Diploma-1 jurusan Tehnik Sipil Institut Tehnologi Sepuluh November (ITS) Surabaya dan lulus pada tahun 1999. Setelah itu meneruskan ke jenjang Sarjana jurusan Pertanian, program studi Agribisnis dan lulus pada Januari 2004.

Pada tahun 2004 hingga tahun 2005, penulis dipercaya sebagai analysis staff di Pusat Studi Keberdayaan Rakyat (SPEKTRA) di Surabaya.

Pada tahun 2005, penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Magister Sains (S2) di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan.


(21)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi …………...……….. i

Daftar Tabel ……… iv

Daftar Gambar ……….. vii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Perumusan Masalah ……….. 3

1.3. Tujuan Penelitian ………... 1.4. Manfaat Penelitian ………. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian …....………. 5 5 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritik 2.1.1. Pembangunan Ekonomi Wilayah ……… 6

2.1.2. Pembangunan Industri ………….……… 8

2.1.3. Peranan Sektor Industri dalam Pembangunan Wilayah ……….. 10

2.1.4. Fenomena Deindustrialisasi ... 14

2.1.5. Keterkaitan Antar Sektor dalam Pembangunan Wilayah ……… 16

2.1.6. Pentingnya Analisis Input-Output dalam Perencanaan Pembangunan 17 2.2. Tinjauan Empirik (Penelitian Terdahulu) ... 19

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Umum Dasar Pemikiran ... 22

3.1. Kerangka Operasional Penelitian ... 24

IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...……… 25

4.2. Sumber Data ………...………... 26

4.3. Metode Analisis 26


(22)

4.3.1. Dasar-dasar Analisis Input-Output ... ...………...

4.3.2. Membangun Tabel I-O Jawa Timur dengan Metode RAS ...…... 30 4.3.3. Analisis Deskriptif …...………... 33 4.3.4. Analisis Keterkaitan Antar Sektor ...………... 34 4.3.5. Analisis Pengganda ………...………... 35 4.3.6. Identifikasi Gejala Deindustrialisasi ...……….... 36 V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5.1. Letak Geografi ... 38 5.2. Pembagian Administratif... 39 5.3. Penduduk dan Tenaga Kerja ... 40 5.4. Perekonomian ... 41 5.5. Sektor Industri Manufaktur ... 42 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Peranan Sektor Industri Manufaktur di Jawa Timur (Analisis Deskriptif)

6.1.1. Struktur Output ... ………. 44 6.1.2. Struktur Nilai Tambah Bruto ……… 50 6.1.3. Struktur Permintaan Akhir ... ………... 58 6.1.4. Struktur Tenaga Kerja ...……….. 68 6.2. Analisis Input-Output (Keterkaitan Antar Sektor) ... 69 6.2.1. Keterkaitan Ke Depan ... ………... 70 6.2.2. Keterkaitan Ke Belakang ...………...………... 75 6.2.3. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan ... 78 6.3. Analisis Pengganda

6.3.1. Pengganda Output ... 82 6.3.2. Pengganda Pendapatan ... ………... 85 6.3.3. Pengganda Tenaga Kerja ...………...………... 87 6.4. Dinamika Perubahan Struktur Ekonomi (Identifikasi Gejala Deindustrialisasi) 6.4.1. Identifikasi Perubahan Nilai Tambah (PDRB) ... 88 6.4.2. Identifikasi Perubahan Output ... 91 6.4.3. Identifikasi Perubahan Nilai Ekspor ... 92 6.4.4. Identifikasi Jumlah Tenaga Kerja ... 92


(23)

6.4.5. Identifikasi Perubahan Keterkaitan Antar Sektor ... 94 VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan ... 97 7.2. Saran ... 98 Daftar Pustaka ………... 99


(24)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Distribusi presentase PDRB ADHK Jawa Timur Tahun 2000-2006 (persen) .. 3 2. Struktur Dasar Tabel Input-Output ... 26 3. Struktur Tabel Input-Output Wilayah ... 27 4. Klasifikasi Sektor Perekonomian di Jawa Timur ... 30 5. Struktur Output di Jawa Timur Tahun 2000 dan 2004 Berdasarkan Peringkat 44 6. Nilai, Pangsa, dan Rasio Output Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000 dan

2004 di Jawa Timur ... 46 7. Struktur Impor di Jawa Timur Tahun 2000 dan 2004 Berdasarkan Peringkat ... 47 8. Nilai, Pangsa, dan Rasio Impor Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000 dan

2004 di Jawa Timur ... 48 9. Jumlah Unit Usaha Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000 dan 2004 di Jawa

Timur ... 49 10. Struktur NTB di Jawa Timur Tahun 2000 dan 2004 Berdasarkan Peringkat ... 50 11. Nilai, Pangsa, dan Rasio NTB Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000 dan

2004 di Jawa Timur ... 52 12. Komposisi NTB Menurut Komponennya di Jawa Timur Tahun 2000 dan

2004 ... 53 13. Nilai, Pangsa, dan Rasio Upah dan Gaji Sektor Industri Manufaktur Tahun

2000 dan 2004 di Jawa Timur ... 54 14. Nilai, Pangsa, dan Rasio Surplus Usaha Sektor Industri Manufaktur Tahun

2000 dan 2004 di Jawa Timur ... 56 15. Nilai, Pangsa, dan Rasio Penyusutan Barang Modal Sektor Industri

Manufaktur Tahun 2000 dan 2004 di Jawa Timur ... 57 16. Nilai, Pangsa, dan Rasio Pajak Tak Langsung Neto Sektor Industri

Manufaktur Tahun 2000 dan 2004 di Jawa Timur ... 58 17. Struktur PA di Jawa Timur Tahun 2000 dan 2004 Berdasarkan Peringkat ... 59 18. Nilai, Pangsa, dan Rasio Permintaan Akhir Sektor Industri Manufaktur Tahun

2000 dan 2004 di Jawa Timur ... 61 iv


(25)

19. Permintaan Akhir Berdasarkan Komponennya Tahun 2000 dan 2004 di Jawa Timur ... 62 20. Nilai, Pangsa, dan Rasio Konsumsi Rumah Tangga Sektor Industri

Manufaktur Tahun 2000 dan 2004 di Jawa Timur ... 63 21. Nilai, Pangsa, dan Rasio Ekspor Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000 dan

2004 di Jawa Timur ... 66 22. Nilai, dan Rasio Modal dan Tenaga Kerja Sektor Industri Manufaktur Tahun

2000 dan 2004 di Jawa Timur ... 67 23. Jumlah dan Rasio Tenaga Kerja Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000 dan

2004 di Jawa Timur ... 68 24. Nilai, dan Rasio DFL Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000 dan 2004 di

Jawa Timur ... 71 25. Nilai DFL dan DIFL Di Jawa Timur Tahun 2000 dan 2004 ……….. 73 26. Nilai dan Rasio DIFL Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000 dan 2004 di

Jawa Timur ... 74 27. Nilai dan Rasio DBL Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000 dan 2004 di

Jawa Timur ... 76 28. Nilai dan Rasio DIBL Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000 dan 2004 di

Jawa Timur ... 77 29. Nilai DBL dan DIBL Di Jawa Timur Tahun 2000 dan 2004 ………. 78 30. Nilai IDK dan IDP di Jawa Timur Tahun 2000 dan 2004 ………. 79 31. Nilai dan Rasio IDP Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000 dan 2004 di

Jawa Timur ... 80 32. Nilai dan Rasio IDK Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000 dan 2004 di

Jawa Timur ... 82 33. Nilai Pengganda Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja di Jawa Timur Tahun

2000 dan 2004 ... 83 34. Nilai dan Rasio Pengganda Output Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000

dan 2004 di Jawa Timur ... 84 35. Nilai dan Rasio Pengganda Pendapatan Sektor Industri Manufaktur Tahun


(26)

36. Nilai dan Rasio Pengganda Tenaga Kerja Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000 dan 2004 di Jawa Timur ... 88 37. Distribusi PDRB Sektoral Jawa Timur Tahun 2000-2006 (Persen) ... 89 38. Pangsa PDRB Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000-2005 di Jawa Timur

(Persen) ... 90 39. Nilai dan Rasio PDRB Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000-2005 di Jawa

Timur ... 91 40. Tenaga Kerja Sektor Industri Manufaktur di Jawa Timur Tahun 2000-2004 ... 93 41. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung Kedepan dan Kebelakang Sektor

Industri Manufaktur di Jawa Timur Tahun 2000 dan 2004 ... 94 42. Subsektor Industri Manufaktur dengan Rasio Output, PDRB, Ekspor, Tenaga

Kerja, dan Keterkaitan Antar Sektor Terrendah Tahun 2000-2004 di Jawa Timur ... 95


(27)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Pangsa PDRB Tiga Sektor Terbesar di Indonesia Tahun 2003-2005 ... 2 2. Pangsa Tenaga Kerja Sembilan Sektor Utama Tahun 2000 dan 2005 di Jawa

Timur ... 4 3. Pangsa Output Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000-2004 di Jawa Timur .. 45 4. Pangsa NTB Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000-2004 di Jawa Timur ... 51 5. Struktur Surplus Usaha Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000-2004 di Jawa

Timur ... 55 6. Struktur Permintaan Akhir Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000-2004 di

Jawa Timur ... 60 7. Struktur Konsumsi Rumah Tangga Sektor Industri Manufaktur Tahun

2000-2004 di Jawa Timur ... 62 8. Struktur Ekspor Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000-2004 di Jawa Timur 64 9. Sektor Dengan DFL Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000-2004 di Jawa

Timur ... 70 10. Sektor Dengan DIFL Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000-2004 di Jawa

Timur ... 74 11. Sektor Dengan DBL Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000-2004 di Jawa

Timur ... 75

12. IDP Sektor Industri Manufaktur Jawa Timur Tahun 2000 dan 2004 ... 80 13. IDK Sektor Industri Manufaktur Jawa Timur Tahun 2000 dan 2004 ... 81 14. Pengganda Output Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000-2004 di Jawa

Timur ... 84 15. Pengganda Pendapatan Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000-2004 di Jawa

Timur ... 85 16. Pengganda Tenaga Kerja Sektor Industri Manufaktur Tahun 2000-2004 di

Jawa Timur ... 87 17. Empat Sektor Dengan Nilai PDRB Terbesar di Jawa Timur Tahun 2000-2005

(Juta Rupiah) ... 89 vii


(28)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dinamika pembangunan perekonomian suatu negara dapat dilihat dari besarnya sumbangan masing-masing sektor terhadap pendapatan nasional dari waktu ke waktu. Kontribusi masing-masing sektor tersebut, memperlihatkan kenaikan atau penurunan peranan sektor-sektor dalam perekonomian dari tahun ke tahun, maka dapat diketahui bagaimanakah struktur perekonomiannya. Perubahan kontribusi sektor yang terjadi mengakibatkan perubahan struktur ekonomi, yang dapat diartikan pula sebagai perubahan kontribusi berbagai sektor dalam menciptakan produksi, struktur produksi nasional, serta penggunaan tenaga kerja. Susilawati (2003) berpendapat bahwa perubahan struktural yang terjadi di suatu negara merupakan proses perubahan struktur perekonomian dari sektor pertanian ke sektor industri manufaktur atau jasa, dimana tiap-tiap perekonomian akan mengalami perubahan/transformasi yang berbeda-beda. Pada umumnya transformasi yang terjadi di negara sedang berkembang adalah transformasi dari sektor pertanian ke sektor industri manufaktur.

Transformasi struktural yang terjadi di Indonesia mengalami perubahan saat terjadi krisis moneter. Pertumbuhan sektor industri manufaktur meningkat sebelum krisis moneter dan sebaliknya dengan sektor pertanian, tetapi setelah terjadi krisis, sektor industri manufaktur meskipun memegang sektor yang berkontribusi terbesar tetapi pangsa PDRB nya mengalami penurunan (Gambar 1), hal ini mengindikasikan terjadinya deindustrialisasi. Keadaan ini juga terjadi di wilayah yang dilingkupinya, salah satunya adalah Provinsi Jawa Timur.

Provinsi Jawa Timur, adalah salah satu kawasan penting pertumbuhan industri dan perdagangan (bisnis) di Indonesia, selain karena Jawa Timur sebagai penyumbang PDRB terbesar kedua di Indonesia (setelah DKI Jakarta), juga dikarenakan letaknya yang strategis yaitu antara pulau Bali dan Yogyakarta yang menjadi simpul yang menghubungkan kota-kota pertumbuhan di wilayah Tengah dan Timur Indonesia, sekaligus jembatan penghubung dengan wilayah Barat Indonesia.


(29)

16.36 28.01

15.24

28.10 28.36

14.98

16.83 16.36

14.54

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00

Pertanian Industri Manufaktur

Perdagangan

Sektor

P

angs

a (

%

)

Th. 2003 Th. 2004 Th. 2005

Posisi Jawa Timur yang strategis menyebabkan pertumbuhan sektor industri manufaktur sebagai sektor yang memiliki kontribusi terbesar, meskipun persentase distribusi sektor industri manufaktur manufaktur terhadap PDRB mengalami penurunan setelah krisis moneter (Tabel 1). Penurunan tersebut dimungkinkan karena saat krisis moneter banyak perusahaan di sektor industri manufaktur yang dicirikan dengan perusahaan padat modal, belum mampu mempertahankan usahanya, dan meskipun saat krisis moneter telah dilewati, sektor industri manufaktur masih belum stabil. Keadaan ini bertambah serius dengan terjadinya bencana luapan “Lumpur Lapindo” yang mengakibatkan jalur transportasi sebagai sarana penunjang sektor industri manufaktur terganggu.

Guncangan perekonomian seperti krisis moneter maupun bencana, menjadi ajang ujian alami. Industri yang memiliki daya saing kuat akan tetap eksis, yang tercermin dari nilai ekspor dan kemampuan bersaing dalam negeri, dan jika sektor industri manufaktur berkembang maka diharapkan sektor-sektor lain juga berkembang karena antara sektor satu dengan yang lain akan saling menguatkan (Sastrosoenarto, 2006).

Arsyad (2004) berpendapat bahwa pertumbuhan industri yang pesat akan merangsang pertumbuhan sektor pertanian untuk menyediakan bahan baku bagi sektor industri manufaktur. Industrialisasi juga akan mendorong pertumbuhan aktivitas sektor pertanian, jasa, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan sektor lainnya. Pertumbuhan sektor industri manufaktur bukan hanya akan memperluas peluang kerja

Gambar 1. Pangsa PDRB Tiga Sektor Terbesar di Indonesia Tahun 2003-2005


(30)

tetapi juga meningkatkan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu peranan sektoral dalam suatu pembangunan wilayah sangat dibutuhkan, mengingat keterkaitan antar sektor yang berperan penting dalam perekonomian wilayah, yang berarti pula berpengaruh pada perencanaan pembangunan.

Tabel 1. Distribusi presentase PDRB ADHK Jawa Timur Tahun 2001-2006 (persen)

Sektor 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Pertanian 19.29 18.93 18.49 11.80 17.44 13.87

Pertambangan 2.04 2.02 1.98 1.25 1.96 2.27

Industri Manufaktur 29.43 28.11 28.13 18.39 27.55 27.03

Listrik, Gas, Air Bersih 1.26 1.44 1.59 1.14 1.73 1.88

Konstruksi 3.90 3.80 3.71 2.34 3.47 3.15

Perdagangan, Hotel, Restoran 25.45 26.52 27.42 18.60 29.08 32.44

Angkutan dan Komunikasi 5.01 5.61 5.29 37.80 5.66 5.99

Keuangan 5.01 4.99 4.88 3.21 4.94 5.21

Jasa 8.60 8.60 8.52 5.47 8.17 8.15

Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur, 2006 dan Bank Indonesia, 2007

1.2. Perumusan Masalah

Perkembangan antar sektor merupakan salah satu isu strategis baik secara nasional maupun regional dalam pembangunan ekonomi wilayah. Terjadinya kesenjangan ekonomi akibat manfaat pertumbuhan ekonomi yang hanya bisa dinikmati oleh sebagian orang saja, serta konsentrasi aktifitas ekonomi, dan berkurangnya kesempatan kerja, dapat memperburuk pembangunan di suatu wilayah. Dengan demikian dibutuhkan pengkajian yang holistik mengenai aktiftas ekonomi khususnya bagi sektor yang memiliki kontribusi besar, baik secara sektoral maupun hubungan yang terjadi antarsektoral, apakah sektor tersebut memiliki peranan penting bagi sektor lainnya, ataukah tidak.

Salah satu sektor yang diharapkan mampu sebagai leading sector adalah sektor industri manufaktur, karena dengan adanya pembangunan industri maka diharapkan dapat memacu dan mengangkat pembangunan sektor-sektor lainnya seperti sektor pertanian, jasa, dan sektor lainnya, sehingga diharapkan keadaan ini akan menyebabkan meluasnya peluang kerja, mengingat jumlah penggangguran yang semakin meningkat. Gambar 2 memperlihatkan bahwa sektor industri manufaktur merupakan sektor ketiga dengan penyerapan tenaga kerja terbesar di Jawa Timur, dengan kondisi yang stabil pada tahun 2000 dan 2005. Dilihat dari kontribusi PDRB serta penyerapan tenaga 3


(31)

kerjanya yang cukup besar maka penurunan peranannya dalam perekonomian perlu diperhatikan, apalagi sektor industri manufaktur di Jawa Timur merupakan sektor prioritas pembangunan. Dengan demikian indikasi deindustrialisasi ini patut dikaji lebih mendalam terutama mengenai peranan sektor industri manufaktur itu sendiri terhadap sektor-sektor yang lain.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Perta nian Perta mbang an Indust ri Listrik , Gas,

Air B ersih Konst ruksi Perda gangan Transp ortasi Keuan

gan Jasa

Sektor P angs a ( % ) Th. 2000 Th. 2005

Mengingat peranan sektor industri manufaktur dalam pembangunan memang tidak bisa dipungkiri mampu meningkatkan PDRB, mampu menyerap tenaga kerja, juga hubungan atau keterkaitan yang terjadi antara sektor industri manufaktur manufaktur dengan sektor lainnya yang mengindikasikan pertumbuhan aktivitas di masing-masing sektor baik sektor industri manufaktur manufaktur ataupun sektor-sektor lainnya. Keterkaitan sektor industri manufaktur dengan sektor lainnya ini merupakan salah satu hal penting bagi pembangunan suatu wilayah serta perencanaan pembangunan wilayah, oleh karena itu jika sektor industri manufaktur terus menerus mengalami penurunan (deindustrialisasi) hal ini harus diwaspadai. Dari uraian tersebut, penelitian ini menitikberatkan mengenai dinamika sektor industri manufaktur serta peranannya baik terhadap perekonomian, terhadap sektor lain, maupun terhadap penyerapan tenaga kerja, yang diharapkan berguna untuk perencanaan dan penyusunan berbagai alternatif

Gambar 2. Pangsa Tenaga Kerja Sembilan Sektor Utama Tahun 2000 dan 2005 di Jawa Timur


(32)

kebijakan dalam pembangunan wilayah, maka perumusan masalah yang diambil adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah peranan sektor industri manufaktur dalam perekonomian Jawa Timur?

2. Apakah terjadi deindustrialisasi di Jawa Timur dan subsektor industri manufaktur yang terindikasi deindustrialisasi paling kuat?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengkaji peranan sektor industri manufaktur dalam perekonomian Jawa Timur. 2. Mengidentifikasi gejala deindustrialisasi Jawa Timur dan subsektor industri

manufaktur yang terindikasi deindustrialisasi paling kuat. 1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai keterkaitan antar sektor-sektor ekonomi di Jawa Timur yang potensial untuk dikembangkan peranannya dalam pembangunan wilayah. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan memberi wawasan masyarakat luas mengenai peranan sektor industri manufaktur dan keterkaitan antar sektor.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan melihat perekonomian di provinsi Jawa Timur. Analisis yang dilakukan adalah analisis input-output (I-O) dan analisis deskriptif mengenai identifikasi deindustrialisasi. Analisis tersebut mengacu pada tujuan yang diambil dalam penelitian ini.

Untuk memudahkan pengidentifikasian sektor-sektor ekonomi di Jawa Timur maka dilakukan pengklasifikasian sektor menjadi 23 sektor. Selain itu juga dilakukan upaya untuk membangun Tabel I-O tahun 2004 dari Tabel I-O tahun 2000 dengan metode RAS.


(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Pembangunan Ekonomi Wilayah

Pembangunan adalah suatu konsep normatif yang menyiratkan pilihan-pilihan tujuan untuk mencapai realisasi potensi manusia. Pembangunan tidak dapat disamakan dengan modernisasi, sebab ada banyak segi pada tradisi yang meningkatkan potensi manusia dan memepertautkan kultur. Pembangunan juga merupakan proses multidimensi yang mencakup perubahan-perubahan penting dalam struktur sosial, sikap-sikap rakyat, dan lembaga-lembaga nasional, serta akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan, dan pemberantasan kemiskinan. (Bryant,1989)

Menurut Todaro (2003), pembangunan merupakan kenyataan fisik sekaligus tekad suatu masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi berbagai proses sosial, ekonomi, dan institusional, untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Komponen dari kehidupan yang lebih baik paling tidak memiliki tiga tujuan inti yaitu meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang kebutuhan pokok seperti pangan, papan, kesehatan, dan perlindungan, yang kedua adalah meningkatkan taraf hidup, yaitu selain meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan juga perhatian yang lebih besar kepada nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, yang keseluruhannya akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tapi juga rasa percaya diri sebagai individu maupun bangsa, dan yang ketiga adalah memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan setiap bangsa.

Menurut Sukirno (1985), pembangunan ekonomi memiliki tiga sifat penting, pertama yaitu pembangunan merupakan suatu proses, yang berarti perubahan yang terus-menerus, kedua adalah pembangunan merupakan usaha untuk menaikkan tingkat pendapatan per kapita, dan ketiga adalah kenaikan pendapatan per kapita tersebut harus terus berlangsung dalam jangka panjang. Pembangunan juga harus dipandang sebagai hubungan yang saling mempengaruhi antara faktor yang menghasilkan pembangunan ekonomi.

Dalam GBHN dinyatakan secara eksplisit bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional secara keseluruhan


(34)

dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Pendapatan nasional per kapita merupakan salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan dari aspek ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu target penting yang harus dicapai dalam proses pembangunan untuk dapat meningkatkan pendapatan nasional dengan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama, menjadi ekonomi modern yang didominasi oleh sektor non primer, khususnya sektor industri. (Tambunan, 2001).

Rosyidi (1999) berpendapat bahwa apapun sistem ekonomi yang dianut oleh suatu perekonomian, ada dua hal khusus yang pasti dihadapi oleh suatu negara dalam proses pembangunan, yaitu masalah keterbatasan sumber daya (limits of resources), dan masalah kependudukan (population problem). Begitu pula pendapat Kasliwal (1995), bahwa pembangunan suatu negara atau wilayah tidak terlepas dari masalah pertumbuhan ekonominya dan pertumbuhan penduduk. Peningkatan kesejahteraan masyarakat akan sulit untuk dicapai jika pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan perkapita, serta kesempatan kerja.

Pembangunan wilayah adalah proses pertumbuhan wilayah dan pola pemukiman yang didalamnya terdapat interaksi satuan-satuan sosial, politik, kelembagaan, dan ekonomi dalam kaitannya dengan lingkungan fisik. Kaitannya dengan hal tersebut suatu negara ataupun wilayah lebih kecil (region) harus mampu merencanakan sumber-sumber pembangunan secara tepat dan terarah, agar hasil dari pembangunan dapat dirasakan merata di seluruh wilayah. Hasil dari pembangunan yaitu penawaran dan permintaaan output, sarana-prasarana publik, maupun kesempatan kerja haruslah merata dirasakan oleh seluruh masyarakat, yang nantinya diharapkan proses pembangunan wilayah dapat menciptakan keunggulan komparatif baik sumberdaya fisik maupun sumberdaya manusianya.

Begitu pula pendapat Tambunan (2002), bahwa pembangunan wilayah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan wilayah diarahkan pada peningkatan perkembangan sektor-sektor yang ada. Peningkatan tersebut disertai dengan peningkatan penguasaan dan kualitas teknologi agar dapat memberi sumbangan yang optimal kepada pertumbuhan produksi, ekspor, serta pemerataan hasil-hasil pembangunan di daerah. Selain itu pembangunan sektor sosial, kependudukan, dan sektor ekonomi dilaksanakan secara terpadu dalam rangka


(35)

pembangunan wilayah. Pembangunan wilayah secara keseluruhan diarahkan pada peningkatan kualitas masyarakat, pertumbuhan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan pendapatan masyarakat, kesejahteraan sosial, serta taraf hidup masyarakat.

Pertumbuhan menyangkut perkembangan berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan pendapatan. Pertumbuhan berbeda dengan pembangunan ekonomi yang mengandung arti lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh (Djojohadikusumo,1994). Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan jika tingkat kegiatan ekonominya meningkat atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, suatu wilayah mengalami perkembangan jika jumlah barang dan jasa secara fisik yang dihasilkan perekonomian bertambah besar pada tahun berikutnya. Oleh karena itu, untuk melihat peningkatan jumlah barang yang dihasilkan maka pengaruh perubahan harga-harga terhadap nilai pendapatan daerah pada berbagai tahun harus dihilangkan. Caranya adalah dengan melakukan perhitungan pendapatan daerah didasarkan atas harga konstan.

Laju pertumbuhan ekonomi pada suatu tahun tertentu dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini :

% 100

1 1 × − =

− −

t t t t

Yr Yr Yr

G

Dimana Gt adalah tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah yang dinyatakan dalam persen, Yrt adalah pendapatan daerah riil pada tahun t, dan Yrt-1 adalah pendapatan daerah riil pada tahun t-1. (Widodo, 1990)

2.1.2. Pembangunan Industri

Industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi produksi, dan perdagangan antarnegara, yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi di banyak negara, dari basis pertanian menjadi basis industri. Perubahan tersebut dikarenakan di banyak negara tidak ada perekonomian yang mampu bertumpu pada sektor-sektor primer (pertanian dan pertambangan) dalam jangka panjang. (Tambunan, 2003)


(36)

Tambunan (2003) menjelaskan bahwa selain perbedaan kemampuan dalam pengembangan teknologi dan inovasi, serta laju pertumbuhan pendapatan nasional per kapita ada faktor-faktor lain yang menyebabkan intensitas dari proses industrialisasi berbeda antarnegara, faktor-faktor tersebut adalah :

(1) Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. Suatu negara yang memiliki industri-industri dasar atau industri-industri primer (hulu) pada awal pembangunan ekonomi atau industrialisasinya akan mengalami proses industrialisasi yang lebih pesat dibandingkan negara-negara yang hanya memiliki industri-industri hilir.

(2) Besarnya pasar dalam negeri yang ditentukan oleh kombinasi antar jumlah populasi dan tingkat pendapatan nasional per kapita. Pasar dalam negeri yang besar dan tingkat pendapatan yang besar merangsang pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi, termasuk industri (dengan asumsi faktor-faktor penentu lainnya mendukung). Jika pasar domestik kecil, maka ekspor merupakan alternatif satu-satunya untuk mencapai produksi optimal.

(3) Ciri industrialisasi. Yang dimaksud disini adalah cara pelaksanaan industrialisasi, seperti tahapan dari implementasi, jenis industri yang diunggulkan, pola pembangunan sektor industri, dan insentif yang diberikan termasuk kepada investor.

(4) Keberadaan sumberdaya alam (SDA). Ada kecenderungan bahwa negara-negara yang kaya SDA, tingkat diversifikasi dan laju pertumbuhan ekonominya relatif rendah, dan negara tersebut cenderung tidak atau terlambat melakukan industrialisasi atau prosesnya berjalan relatif lebih lambat dibandingkan negara-negara yang kurang SDA.

(5) Kebijakan atau strategi pemerintah yang diterapkan, termasuk instrumen-instrumen dari kebijakan (seperti tax holiday, bebas bea masuk terhadap impor bahan baku, pinjaman dengan bunga murah) yang digunakan dan cara implementasinya.

Perekonomian negara-negara berkembang pada dekade 1950-an dan 1960-an masih didominasi oleh sektor-sektor primer, khususnya pertanian, akan tetapi setelah melewati suatu proses pembangunan dan modernisasi ekonomi yang cukup lama sektor-sektor sekunder (seperti industri dan bangunan) dan sektor-sektor-sektor-sektor tersier (jasa),


(37)

termasuk keuangan menjadi lebih penting dibandingkan sektor primer. Negara-negara di Asia Timur (seperti Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong), dan Asia Tenggara (yaitu Singapura) dapat dianggap sebagai negara-negara berkembang yang berhasil mentransformasikan struktur ekonomi mereka dengan tingkat efisiensi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama periode yag cukup panjang. (Tambunan, 2001)

Pembangunan ekonomi di suatu negara dalam periode jangka panjang akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi yang dititikberatkan pada sektor pertanian ke ekonomi yang didominasi oleh sektor industri. Dalam Tambunan (2001), Kuznets menjelaskan bahwa perubahan struktur ekonomi dapat didefinisikan sebagai rangkaian perubahan dalam komposisi permintaan, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor), produksi dan penggunaan faktor produksi (seperti tenaga kerja dan modal) yang diperlukan guna mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Todaro (2003) menjelaskan bahwa kajian mengenai perubahan struktural memusatkan perhatiannya pada mekanisme yang memungkinkan negara-negara yang masih terbelakang untuk mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomoian yang lebih modern, perekonomian yang memiliki sektor industri manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor-sektor jasa yang lebih tangguh

Penelitian yang dilakukan oleh Chenery dan Syrquin tentang transformasi struktur ekonomi menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita, perekonomian suatu negara akan bergeser dari semula yang mengandalkan pertanian (atau sektor pertambangan), menuju sektor industri. Transformasi struktural dapat dilihat pada perubahan pangsa nilai output agregat atau nilai tambah dari setiap sektor di dalam pembentukan produk domestik bruto, atau produk nasional bruto atau pendapatan nasional. (Tambunan, 2001)

2.1.3. Peranan Sektor Industri dalam Pembangunan Wilayah

Industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan tehnologi, inovasi, spesialisasi, dan perdagangan antar negara yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara menunjukkan bahwa industrialisasi adalah hal yang perlu karena menjamin


(38)

pertumbuhan ekonomi, seperti Libya dan Kuwait dari sektor pertambangan minyak. Indonesia sendiri sejak Pelita I pada tahun 1969 sampai terjadinya krisis moneter hingga 1997, melakukan proses industrialisasi sehingga pendapatan masyarakat per kapita meningkat cukup pesat setiap tahunnya, karena jika hanya mengandalkan pertanian dan pertambangan (migas), maka Indonesia tidak pernah mencapai laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% dan tingkat pendapatan per kapita di atas US$ 1.000 pada pertengahan tahun 1997. Industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir meskipun penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil, melainkan hanya merupakan suatu strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan perkapita yang tinggi. (Tambunan, 2001)

Faried (1992) berpendapat bahwa di hampir semua negara, tingkat pendapatan di sektor industri adalah sekitar dua kali lipat tingkat pendapatan di sektor pertanian oleh karena itu diharapakan dengan menempuh strategi industrialisasi maka taraf hidup akan naik dengan cepat. Strategi industrialisasi yang dilakukan oleh negara-negara sedang berkembang hasilnya banyak yang kurang memuaskan, hal tersebut dikarenakan proses infudtrialisasi dilakukan dengan mengorbankan pertanian sebagai sektor yang merupakan penghasil bahan baku bagi sektor industri. Dari uraian tersebut maka dibutuhkan program industrialisasi yang dilakukan dengan terarah dan tidak tergesa-gesa.

Pada dasarnya pembangunan sektor industri ditujukan untuk memperluas kesempatan kerja, memeratakan kesempatan berusaha, serta meningkatkan mutu perlindungan terhadap tenaga kerja. Sutrisno (1985) menjelaskan pula bahwa pembangunan sektor industri merupakan cara yang telah banyak dipakai oleh semua negara atau wilayah, hal ini dikarenakan telah disadarinya oleh para perencana pembangunan bahwa kesempatan kerja bukanlah hasil samping dari tujuan utama pembangunan (yaitu pertumbuhan pendapatan nasional), akan tetapi merupakan salah satu tujuan utama yang harus dirumuskan secara tepat.

Dalam Rustiadi (2005) disebutkan bahwa industrialisasi dan urbanisasi adalah salah satu cara untuk mencapai modernisasi ekonomi, atau suatu proses kumulatif memperkuat antara pertumbuhan produksi urban dan peningkatan sistem supply pangan di perdesaan, sehingga dibutuhkan sinkronisasi antara sektor industri dan sektor


(39)

pertanian. Ditinjau dari aspek lokasinya, menurut Perroux dalam Arsyad (2004), berpendapat bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah tidak merata dan cenderung terjadi proses aglomerasi pada pusat pertumbuhan, dan pada gilirannya pusat-pusat pertumbuhan tersebut akan mempengaruhi daerah-daerah yang lambat perkembangannya. Terjadinya aglomerasi industri memiliki keuntungan tertentu, yaitu keuntungan skala ekonomis (usaha dalam jumlah besar) dan keuntungan penghematan biaya, karena industri-industri pemimpin akan memperluas aktivitasnya dengan memunculkan industri-industri pendukungnya. Dalam skala ekonomis keuntungan tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :

(1) Keuntungan internal perusahaan

Keuntungan ini timbul karena faktor-faktor produksi yang tidak dapat dibagi yang hanya diperoleh dalam jumlah tertentu, dan jika dipakai dalam jumlah banyak maka biaya produksi per unit akan lebih rendah dibandingkan jika dipakai dalam jumlah sedikit.

(2) Keuntungan lokalisasi (localization economies)

Keuntungan ini berhubungan dengan sumber bahan baku atau fasilitas sumber, yaitu dengan menumpuknya industri, maka setipa industri merupakan sumber atau pasar bagi industri yang lain.

(3) Keuntungan ekstern (keuntungan urbanisasi)

Aglomerasi beberapa industri dalam suatu daerah akan mengakibatkan banyak tenaga kerja yang tersedia baik tenaga memiliki kemampuan dan pengetahuan maupun tenaga kasar. Disamping itu aglomerasi juga akan mendorong didirikannya perusahaan jasa pelayanan yang dibutuhkan untuk industri, misalnya, listrik, air minum, perbankan dalam skala yang besar, sehingga pembangunan fasilitas pendukung industri dalam skala besar dapat menekan biaya. Selain itu aglomerasi juga memiliki keuntungan lain yaitu menurunkan biaya transportasi. Karena penumpukan industri pada suatu daerah akan mendorong didirikannya perusahaan jasa angkutan dengan segala fasilitasnya, sehingga industri-industri tersebut tidak perlu mengusahakan jasa angkutan sendiri.

Dalam analisa lokasi industri dijelaskan bahwa industri akan memilih lokasi dengan pertimbangan beban investasi, biaya produksi serta distribusi serendah mungkin,


(40)

dan proses berbagai pengambilan keputusan secepat mungkin. Faktor-faktor lainnya adalah faktor bahan baku/bahan mentah, mudahnya akses tenaga kerja khususnya tenaga kerja terampil, pengangkutan dan komunikasi, harga tanah, bantuan dan rangsangan dari pemerintah untuk investasi di sektor industri, dan daktor lingkungan seperti iklim, topografi, maupun sifat geografiknya. Industri-industri dengan bobot lokasi (jumlah berat pemindahan bahan mentah dan bahan jadi) tinggi maka indeks materialnya (proporsi berat dari bahan mentah terhadap berat produksi yang dihasilkan) juga tinggi, sehingga lokasi industrinya akan berorientasi kea rah sumber bahan mentah. Industri-industri yang bobot lokasinya rendah akan mengarah kepada pasar, sedangkan bahan-bahan murni tidak pernah mengikat produksi kepada lokasi. Oleh karena itu dalam proses industrialisasi dibutuhkan perencanaan yang matang dan strategi yang tepat, agar tujuan-tujuan industrialisasi tercapai, dan tidak mengakibatkan ekternalitas negatif yang merugikan bukan hanya masyarakat dan lingkungan tetapi juga perusahaan industri sendiri.

Pada dasarnya pembangunan di sektor industri ditujukan untuk memperluas kesempatan kerja, memeratakan kesempatan berusaha, serta meningkatkan mutu dan perlindungan terhadap tenaga kerja, dimana proses industrialisasi dan pembangunan industri merupakan satu jalur kegiatan untuk meningkatakan kesejahteraan rakyat dalam arti tingkat hidup yang lebih maju, maupun taraf hidup yang lebih bermutu. Dengan kata lain bahwa peran sektor industri dalam pembangunan merupakan suatu fungsi dari tujuan pokok kesejahteraan rakyat, bukan hanya kegiatan yang mandiri yang hanya sekedar mencapai fisik saja.

Arsyad (2004) menjelaskan bahwa pertumbuhan industri akan merangsang pertumbuhan sektor-sektor lainnya, seperti sektor pertanian untuk menyediakan bahan baku, sektor transportasi, komunikasi, listrik, gas, dan air bersih, konstruksi sebagai infrastruktur yang tak kalah pentingnya, juga sektor perdagangan maupun jasa sebagai sektor pendukung. Dapat dikatakan pula dengan berkembangnya sektor industri akan menyebabkan meluasnya peluang kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan dan permintaan masyarakat. Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa tolak ukur peranan industri dalam suatu perekonomian antara lain: sumbangan sektor industri manufaktur (manufacturing) terhadap Produk Domestik Bruto, jumlah tenaga kerja


(41)

yang terserap di sektor industri, dan sumbangan komoditi industri terhadap ekspor barang dan jasa.

2.1.4. Fenomena Deindustrialisasi

Deindustrialisasi merupakan isu regional, Schnorbus (1998) menerangkan bahwa hal ini dikarenakan setiap wilayah (region) dalam suatu negara memiliki sejarah ekonomi, spesialisasi produk, dan sensitivitas terhadap perekonomian nasional maupun internasional yang berbeda-beda, maka jika suatu negara terindikasi deindustrialisasi, wilayah yang dinaunginya juga terindikasi deindustrialisasi pula. Deindustrialisasi menurut Clingingsmith (2004) ada dua macam, yaitu deindustrialisasi lemah dan deindustrialisasi kuat. Deindustrialisasi lemah jika nilai share sektor industri dalam perekonomian menurun, dan deindustrialisasi kuat jika nilai absolut sektor industri dalam perekonomian menurun.

Deindustrialisasi adalah menurunnya peran industri dalam perekonomian secara menyeluruh. Menurunnya peran industri dalam perekonomian ini dapat dilihat dari berbagai sisi, misalnya menurunnya jumlah pekerja di sektor industri, menurunnya hasil produksi, serta menurunnya sektor industri dibandingkan sektor lainnya. Penyebab dari deindustrialisasi dapat dikarenakan hilangnya keunggulan kompetitif dari sektor industri di suatu wilayah/negara, jika keunggulan kompetitif produk industri di suatu negara hilang maka produk negara tersebut akan kalah di pasar internasional. Fenomena deindustrialisasi ini telah terjadi di negara-negara maju, dimana peranannya dalam menciptakan kesempatan kerja dan sumbangannya terhadap Gross Domestic Product menurun. (Kuncoro, 2007)

Fenomena deindustrialisasi terjadi di berbagai negara, Lall dan Stewart (1996) dalam Block et al (1998) menjelaskan bahwa sejak awal tahun 1980, Amerika Latin dan Afrika mengalami deindustrialisasi, hal tersebut dikarenakan kebijakan yang tidak mendukung sektor industri sehingga banyak terjadi PHK yang menyebabkan jumlah tenaga kerja yang semakin menurun, yang berarti pula penggangguran semakin meningkat, sehingga korban dari deindustrialisasi adalah masyarakat itu sendiri, dan akhirnya tingkat kemiskinan semakin tinggi di negara tersebut. Dalam penelitian Block et al (1998), dengan melihat pertumbuhan output, dan pertumbuhan tenaga kerja, dijelaskan bahwa di wilayah Amerika Latin, Sub Sahara-Afrika, dan Asia terjadi deindustrialisasi selama periode 1975-1993, akan tetapi deindustrialisasi terlihat jelas di


(42)

beberapa negara saja, di Afrika yang teridentifikasi deindustrialisasi adalah Sierra Leone, Afrika Selatan, Zambia, dan Zimbabwe, sedangkan di Amerika Latin adalah Brazil, Meksiko, Peru, dan Bolivia, dan Asia adalah Myanmar, Philipina dan India.

Menurut Ruky (2008), adanya deindustrialisasi bukan berarti tidak ada industri yang tumbuh, deindustrialisasi juga bukan kinerja sesaat yang mundur akibat suatu kebijakan, misalnya kenaikan BBM. Deindustrialisasi menunjukkan gejala yang menetap dalam beberapa tahun dan konsisten di banyak indikator. Deindustrialisasi juga bisa merupakan bagian dari suatu siklus panjang proses pembangunan ekonomi. Suatu negara, dapat secara sengaja berupaya mengalihkan kegiatannya di sektor lain karena sektor itu, misalnya lebih memberikan prospek yang lebih baik terhadap perekonomian secara keseluruhan. Suatu negara dapat beralih untuk mengembangkan sektor-sektor lain ketika sektor industri telah mapan dan tumbuh, sehingga peran sektor industri dalam PDB menurun, ini juga merupakan salah satu gejala deindustrialisasi, dan jika kondisi ini disertai dengan menurunnya tingkat penggangguran maka disebut deindustrialisasi dalam pengertian positif.

Clingingsmith (2006) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa terjadinya deindustrialisasi di India pada tahun 1750-1860 dikarenakan kondisi politik yang tidak kondusif, yaitu adanya perubahan arah pembangunan oleh pemerintah baru yang memprioritaskan sektor pertanian padahal India merupakan pengekspor utama tekstil bagi negara Inggris dan Eropa. Penyebab kedua adalah terjadinya perang antar wilayah di India karena kericuhan pemerintahan. Hal ini mengakibatkan tidak kondusifnya aktivitas perdagangan. Perdagangan dalam negeri yang terganggu mengakibatkan harga barang dan jasa di India saat itu menjadi mahal, begitupula harga hasil-hasil pertanian meskipun peranan pertanian terhadap perekonomian meningkat. Perdagangan luar negeri yang terganggu mengakibatkan aktivitas ekspor turun drastis, khususnya untuk ekspor tekstil. Tidak amannya keadaan dalam negeri mengakibatkan turunnya investasi, dikarenakan jaminan keamanan dan hukum yang tidak stabil. Penyebab lainnya yang menjadikan deindustrialisasi di India berkepanjangan adalah meningkatnya tenaga kerja yang tidak berpendidikan dan berkeahlian, hal ini wajar karena masyarakat lebih memilih menyelamatkan hidup mereka dari “perang antar saudara” dan kelaparan, daripada “menimba ilmu”. Dari kondisi-kondisi tersebut mengakibatkan kemiskinan semakin meningkat. Dengan seiringnya waktu dan pulihnya kondisi politik di India, saat


(43)

ini yang terjadi adalah reindustrialisasi meskipun secara perlahan. Menurut Alagh (2009), saat ini India terus berusaha untuk mengatasi deindustrialisasi, meskipun banyak hambatan, seperti lahan yang semakin sempit, dan upah tenaga kerja yang semakin rendah.

Dalam Ramaswamy (1997) dan David (2006) diterangkan bahwa deindustrialisasi di negara-negara agraris yaitu Cina, dan Korea pada tahun 1990 dikarenakan kurangnya sumber daya manusia yang terlatih di bidang industri, selain itu perkembangan teknologi yang kurang progresif.

Deindustrialisasi di Indonesia berdasarkan Aswicahyono (2004) terlihat sejak tahun 2000, dengan pertumbuhan sektor industri manufaktur periode 2000-2003 sebesar 3.8 persen, sedangkan periode 1993-1997 sebesar 10 persen. Kuncoro (2007) menjelaskan bahwa deindustrialisasi di Indonesia khususnya secara nyata terjadi Daerah Istimewa Yogyakarta setelah terjadi gempa, dan ditambah dengan adanya kenaikan harga BBM, kenaikan upah minimum regional, isu formalin-boraks. Menurutnya hal ini wajar karena dengan adanya gempa tektonik berkekuatan 6,3 skala richter bukan hanya rumah yang rusak, tetapi juga pabrik, bahan baku, barang jadi, barang siap ekspor, serta peralatan usaha.

2.1.5. Keterkaitan Antar Sektor dalam Pembangunan Wilayah

Pembangunan dalam suatu wilayah tidak hanya bertumpu pada satu sektor saja, meskipun sektor tersebut merupakan sektor andalan di daerah tersebut. Keterkaitan antar sektor yang terjadi justru akan memacu sektor-sektor lainnya untuk berkembang, apalagi jika sektor tersebut merupakan leading sector bagi sektor lainnya. Seperti pendapat Arsyad (2004), bahwa perkembangan leading sector akan merangsang investasi di sektor lainnya, karena sangat dimungkinkan bahwa sektor lain merupakan penyuplai inputnya, ataupun pengguna outputnya, sehingga aktivitas ekonomi di tiap sektor akan semakin berkembang.

Arsyad (2004) juga berpendapat bahwa sektor industri dipercaya sebagai leading sector atau sektor pemimpin. Menurut Faried (1992), hal tersebut dikarenakan bahwa di hampir semua negara, tingkat pendapatan di sektor industri adalah sekitar dua kali lipat tingkat pendapatan di sektor pertanian, karena itu diharapakan dengan menempuh strategi industrialisasi maka taraf hidup akan naik dengan cepat. Banyak negara-negara sedang berkembang yang menempuh industrialisasi hasilnya tidak memuaskan,


(44)

sehingga dibutuhkan program industrialisasi yang dilakukan dengan terarah dan tidak tergesa-gesa.

Sektor industri merupakan leading sector juga dikarenakan dengan pembangunan sektor industri maka dapat memperluas kesempatan kerja, memeratakan kesempatan berusaha, serta meningkatkan mutu perlindungan terhadap tenaga kerja. Sutrisno (1985) menjelaskan bahwa pembangunan sektor industri banyak dipakai oleh semua negara dikarenakan telah disadarinya oleh para perencana pembangunan bahwa kesempatan kerja bukanlah hasil samping dari tujuan utama pembangunan (yaitu pertumbuhan pendapatan nasional), akan tetapi juga merupakan salah satu tujuan utama yang harus dirumuskan secara tepat.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa keterkaitan antar sektor sangat penting dalam pembangunan wilayah, karena saat suatu sektor terkait dengan sektor lain maka diindikasikan terjadi peningkatan aktivitas, dan dapat memperluas aktivitas sektor, baik keterkaitan dengan sektor lain, perluasan peluang kerja, serta bertambahnya nilai tambah suatu output, yang akhirnya diharapkan dapat meningkatkan output total wilayah.

2.1. 6. Pentingnya Analisis Input-Output dalam Perencanaan Pembangunan Tabel Input-Output pada dasarnya merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antar-satuan kegiatan ekonomi/sektor dalam suatu wilayah pada suatu periode waktu tertentu. Sebagai suatu model kuantitatif, tabel I-O akan memberikan gambaran menyeluruh mengenai :

(1) Struktur perekonomian nasional/regional yang mencakup struktur output dan nilai tambah masing-masing sektor.

(2) Struktur input antara, yaitu penggunaan barang dan jasa oleh sektor-sektor produksi.

(3) Struktur penyediaan barang dan jasa baik merupakan produksi dalam negeri maupun impor.

(4) Struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan antara oleh sektor-sektor produksi maupun permintaan akhir untuk konsumsi investasi dan ekspor. (BPS, 2000)


(45)

Rustiadi (2006) menjelaskan bahwa tabel I-O juga dapat memperlihatkan interaksi yang terjadi antar sektoral baik dalam suatu wilayah maupun antar wilayah, dimana terjadi keterkaitan sektoral antar wilayah secara dinamis maka dibutuhkan adanya mekanisme interaksi intra- dan inter- wilayah secara optimal, sehingga keterbatasan sumberdaya serta aktivitas-aktivitas sosial-ekonomi yang tersebar secara tidak merata dan tidak seragam dapat dimanajemen dengan baik. Dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu pemahaman bahwa setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, dan lain-lain), selain itu setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda, serta aktivitas sektor-sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, sumberdaya buatan (infrastruktur) dan sumberdaya sosial yang ada. Dari uraian tersebut maka dipahami bahwa di setiap wilayah/daerah erdapat sektor-sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan. Dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak berkembangnya sektor-sektor lainnya, dan secara spasial berdampak secara luas di seluruh wilayah sasaran. Karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan distribusi sumbangan sektoral, serta keterkaitan intersektoral dan interregional dalam perekonomian wilayah tersebut, secara teknis dapat dijelaskan dengan menggunakan Analisis Input-Output walaupun dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu.

Pada dasarnya Tabel I-O adalah gambaran lebih rinci dari sistem neraca ekonomi wilayah/nasional (neraca konsumsi, neraca akumulasi kapital/investasi, dan neraca eksternal wilayah/luar negeri). Dalam perekonomian wilayah Tabel I-O dapat digunakan untuk:

(1) Memperkirakan dampak permintaan akhir dan perubahannya (pengeluaran rumahtangga, pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor) terhadap berbagai output sektor produksi, nilai tambah (PDB untuk tingkat nasional, atau PDRB 18


(46)

untuk tingkat wilayah/daerah), pendapatan masyarakat, kebutuhan tenaga kerja, pajak (PAD untuk tingkat daerah), dan sebagainya.

(2) Mengetahui komposisi penyediaan dan penggunaan barang atau jasa sehingga mempermudah analisis tentang kebutuhan impor dan kemungkinan substitusinya.

(3) Memberi petunjuk mengenai sektor-sektor yang mempunyai pengaruh terkuat serta sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa analisis input-output merupakan analisis yang penting dalam suatu perncanaan pembangunan wilayah, karena dengan analisis input-output maka perencana pembangunan dapat mengetahui sektor-sektor kunci, maupun sektor-sektor yang lemah, sehingga dapat membuat kebijakan atau langkah-langkah untuk merangsang pertumbuhan sektor-sektor yang lemah, maupun meningkatkan kontribusi sektor kunci dalam pembangunan wilayah.

2.2. Tinjauan Empirik (Penelitian Terdahulu Mengenai Sektor Industri Manufaktur di Jawa Timur)

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi jika dibandingkan dengan propinsi lainnya. Pada tahun 1995 dan 1996, tingkat pertumbuhannya sebesar 8,18 persen dan 8,26 persen, sedangkan pada tahun 1997 tingkat pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur mengalami penurunan menjadi sebesar 5,01 persen, dan pada tahun 1998 menurun drastis menjadi sebesar –16,21 persen. Mengecilnya tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut dikarenakan adanya krisis moneter yang berkepanjangan, dan melonjaknya nilai dollar Amerika terhadap rupiah, padahal sebagian input antara sektor-sektor usaha masih harus impor. Mulai tahun 1999 dengan membaiknya kondisi, secara berangsur-angsur pertumbuhan ekonomi Jawa Timur naik menjadi 1,121 persen pada tahun 1999 dan 3,25 persen pada tahun 2000. Pada tahun 2002 pertumbuhan ekonomi Jawa Timur menjadi 3,80 persen, dan pada tahun 2004 menjadi 5,83 persen, dengan sektor industri manufaktur yang mendapat prioritas untuk dikembangkan. Garside (2002) juga menjelaskan bahwa struktur perekonomian Propinsi Jawa Timur didominasi oleh sektor industri manufaktur, akan tetapi akibat krisis moneter, kontribusi sektor industri manufaktur secara keseluruhan terhadap struktur permintaan dan penawaran mengalami penurunan, selain itu


(47)

berdasarkan orientasi pertumbuhan dan keterkaitan selama periode 1994-2000, perekonomian Jawa Timur masih tetap mengandalkan sektor industri manufaktur (manufacture) sebagai sektor kunci, terutama untuk sektor industri makanan, minuman dan tembakau. Sektor-sektor yang perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan pada tahun 2002 adalah sektor perdagangan; industri tekstil, pakaian dan kulit; pengangkutan, industri rokok; industri makanan dan tanaman bahan makanan, sedangkan sektor-sektor rawan yang tidak berhasil mencapai sasaran yang diinginkan adalah sektor perikanan; industri minuman; kehutanan; industri barang lainnya; sektor penggalian dan pertambangan non migas serta sektor pertambangan migas dan pengilangan minyak.

Handoyo (2005) juga menegaskan dalam penelitiannya bahwa tahun 1996-2000 sektor industri di Jawa Timur memiliki kontribusi yang kuat, dan dengan menggunakan analisa Tabel I-O Jawa Timur tahun 2000, dan simulasi permintaan akhir dengan peningkatan 10 persen, menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur memiliki keterkaitan kebelakang (backward lingkages) dan keterkaitan kedepan (forward lingkages) terbesar diantara sektor lainnya, yang dikarenakan dukungan kebijakan dari pemerintah daerah untuk merangsang pertumbuhan sektor industri, khususnya industri pupuk, pestisida, semen, kertas, mesin, peralatan elektronik, dan mesin/industri perkapalan. Hal ini diindikasikan bahwa sektor industri manufaktur mampu meningkatkan pertumbuhan PDRB, dan juga dapat diindikasikan bahwa sektor industri manufaktur mampu menyerap tenaga kerja lebih baik dari pada sektor lainnya, sehingga pemerintah daerah Jawa Timur memberi dukungan kepada sektor industri manufaktur.

Sektor yang memiliki kontribusi cukup besar dari tahun ke tahun di Jawa Timur adalah sektor industri manufaktur, apalagi setelah krisis ekonomi sektor ini diharapakan mampu mendorong pertumbuhan sektor-sektor lain, meskipun setelah tahun 1998, yaitu puncak dari krisis ekonomi, sektor industri manufaktur kembali meningkat akan tetapi sektor ini masih belum pulih. Hal ini dibuktikan dari penelitian Direktorat Bina Produktivitas Depnakertrans (2003), bahwa sebelum masa krisis perekonomian (sebelum tahun 1998), pertumbuhan Produktifitas Total Faktor sektor industri manufaktur lebih tinggi dibandingkan dengan setelah masa krisis (sesudah tahun 1998). Pertumbuhan tertinggi pada masa sebelum krisis sebesar 3,26 persen tahun 1996, dan terendah sebesar 0,45 persen tahun 1997, sedangkan pada masa setelah krisis,


(48)

pertumbuhan tertinggi dan terendah adalah sebesar 1,00 dan 0,12 persen masing-masing idari 83,40 persen tahun 1993 menjadi 81,43 persen tahun 2002.

Dari penelitian Oesman (2006) mengenai kinerja usaha kecil dan menengah di Jawa Timur juga didapatkan bahwa sektor industri memiliki kontribusi besar bagi pembangunan. Sektor perekonomian lainnya yang berkontribusi dalam pembangunan di Jawa Timur adalah sektor perdagangan, dan pertanian dimana memiliki potensi usaha kecil menengah cukup besar antara tahun 2000-2004, dan dari sembilan sektor yang ada jumlah usaha kecil menengah sebanyak 6,63 juta unit usaha kecil menengah. Peranan ini sangat penting untuk diketahui sebagai upaya penyusunan dasar perencanaan pembangunan ekonomi daerah, ditambah jika suatu sektor terus bertambah kontribusinya, hal ini tidak mungkin dicapai tanpa dukungan sektor lainnya.

Pada dasarnya pembangunan di Jawa Timur memperlihatkan pertumbuhan yang cukup cepat. Dengan tumbuhnya sektor-sektor kunci diharapkan dapat memperluas kesempatan kerja, sehingga mampu meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan pengentasan kemiskinan. Dalam penelitian Soebeno (2005) tentang analisis pembangunan manusia di Jawa Timur, didapatkan bahwa daerah Gerbangkertosusila sebagai kawasan industri di Jawa Timur memiliki interaksi spasial yang kuat yang mampu menarik daerah penyangganya, akan tetapi meskipun Surabaya memiliki interaksi spasial yang kuat dengan kabupaten Gresik dan Sidoarjo, tetapi belum berhasil menarik Kabupaten Bangkalan untuk berkembang.

Hasil penelitian-penelitian tersebut menggambarkan secara umum bahwa pembangunan di Jawa Timur mengalami penurunan pada tahun 1998 dan menunjukkan peningkatan dari tahun 1999-2004. Salah satu sektor kunci dalam pembangunan di Jawa Timur adalah sektor industri manufaktur, baik industri sedang, besar, maupun kecil, sektor lainnya adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang peranannya terhadap PDRB semakin meningkat dari semua sektor. Hal ini berkebalikan dengan sektor industri yang peranannya semakin menurun dari semua sektor, sehingga perlunya kajian mengenai sektor industri manufaktur apakah masih mampu berperan sebagai sektor unggulan bagi perekonomian wilayah, mengingat dampak yang ditimbulkan sektor ini cukup luas, seperti menyerap output dari sektor lain, maupun sebagai pendorong aktivitas sektor lainnya.


(49)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Umum Dasar Pemikiran Penelitian

Perekonomian suatu wilayah yang relatif maju ditandai oleh semakin besarnya peran sektor industri manufaktur dan jasa dalam menopang perekonomian wilayah. Sektor industri manufaktur telah menggantikan peran sektor tradisional (pertanian) dalam penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan wilayah. Begitupula pada perekonomian Indonesia yang berkembang cukup pesat sejak memasuki awal periode pembangunan orde baru, khususnya sektor industri manufaktur sebagai sektor utama yang lambat laun menggantikan peran sektor pertanian. Pada awal tahun 1980-an Indonesia adalah salah satu negara industri penting di antara negara-negara sedang berkembang. Proses industrialisasi di Indonesia terus menunjukkan perkembangan yang cukup berarti dengan kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB yang terus meningkat dari di bawah 10 persen pada awal tahun 1970-an sampai mencapai di atas 18 persen pada tahun 1989. Perkembangan industri manufaktur yang pesat di Indonesia ternyata bias ke pulau Jawa. Pada tahun 1999, pulau Jawa menyumbang 81.07 persen terhadap total penyerapan tenaga kerja dan 81.08 persen terhadap total nilai tambah industri besar dan sedang di Indonesia. Sumbangan sektor manufaktur terhadap PDRB di pulau Jawa sendiri cukup bervariasi antar propinsi, dan provinsi Jawa Timur masih menjadi provinsi yang paling berkembang industrinya di Indonesia sampai tahun 1984, dengan sektor manufaktur menyumbang hampir 15 persen PDRB. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1999 sumbangan Jawa Timur mengalami peningkatan dengan menyumbangkan 27,37 persen terhadap PDRB, walaupun peningkatannya masih di bawah Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Perekonomian di Jawa Timur sendiri secara umum didominasi oleh empat sektor dominan utama, yakni sektor industri manufaktur, sektor perdagangan-hotel-restoran, sektor pertanian, dan sektor jasa-jasa, yang sudah menguasai pangsa 77 persen dari total PDRB Jawa Timur. Dibandingkan sebelum krisis (1993-1996) dan sesudah krisis (1997-2001), keempat sektor dominan itu tidak mengalami perubahan yang berarti. Sektor industri manufaktur pengolahan tetap menjadi leading sector ekonomi Jawa


(1)

Penyebab terindikasinya deindustrialisasi pada industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki menurut penelitian Kuncoro (2007) dikarenakan Jawa Timur bukan wilayah spesifikasi industri ini (tetapi lebih terkonsentrasi di Jawa Barat). Selain itu meskipun Jawa Timur merupakan sentra industri alas kaki, akan tetapi persaingan juga ketat dari luar provinsi dan luar negeri khususnya produk impor yang tak kalah kualitasnya. Selain itu dikarenakan industri yang lebih padat karya ini, banyak mengalami kelesuan bukan hanya dikarenakan menurunnya jumlah unit usaha sehingga jumlah tenaga kerja menurun, akan tetapi juga dikarenakan naiknya biaya transportasi (akibat naiknya harga BBM), naiknya TDL, sehingga biaya produksi meningkat, dan akhirnya pengusaha harus tetap menyelamatkan perusahaannya dengan menurunkan output, ditambah daya beli masyarakat yang juga menurun mengakibatkan output menurun dan berimbas pada menurunnya NTB, ekspor, serta keterkaitannya dengan sektor lain.

Terindikasinya deindustrialisasi sektor industri manufaktur menurut Ramaswamy (1997) bukan merupakan hal yang negatif, hal ini dikarenakan seiring proses pembangunan suatu negara secara sengaja berupaya untuk mengalihkan sektor utama ke sektor lain karena sektor lain memberikan prospek yang lebih baik terhadap perekonomian secara keseluruhan. Ruky (2008) juga menjelaskan ketika sektor industri telah mapan dan tumbuh, suatu negara dapat beralih untuk mengembangkan sektor-sektor lain, sehingga peran sektor-sektor industri dalam perekonomian menurun.

Dalam kasus Jawa Timur ini, terindikasinya deindustrialisasi dapat dilihat dari sisi positif, karena meskipun sektor industri manufaktur mengalami penurunan peranan, akan tetapi sektor perdagangan, hotel, dan restoran mengalami peningkatan. Hal ini diindikasikan aktivitas sektor industri manufaktur beralih ke sektor tersebut. Akan tetapi dilihat dari sisi negatif, sektor industri manufaktur di Jawa Timur khususnya industri barang dari kulit, dan alas kaki mengalami penurunan, hal ini harus diperhatikan, karena industri ini merupakan industri andalan di Jawa Timur apalagi saat ini terjadi kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo, yang mengganggu aktivitas sektor ini (Sidoarjo merupakan pusat industri kerajinan barang dari kulit dan alas kaki).


(2)

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

1. Struktur Perekonomian Jawa Timur periode 2000-2004

a. Dilihat dari struktur output, permintaan akhir, nilai tambah bruto, dan tenaga kerja pada tahun 2000 dan 2004 peranan sektor industri manufaktur khususnya makanan, minuman dan tembakau nilainya semakin meningkat meskipun pangsanya menurun, setalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran pada peringkat pertama. Sektor industri manufaktur dengan penciptaan output, NTB, dan permintaan akhir terendah adalah industri alat, angkutan, mesin, dan peralatannya.

b. Sektor industri manufaktur pada tahun 2000 dan 2004 mendominasi angka pengganda output, pendapatan, maupun tenaga kerja terbesar, dan meskipun hampir seluruh nilai pengganda menurun, akan tetapi pada tahun 2004 sektor industri pupuk, kimia, dan barang dari karet, industri makanan, minuman, dan tembakau, industri tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki, industri kertas dan barang dari cetakan, industri manufaktur lainnya, serta industri semen, dan barang galian non logam mampu bertahan dengan angka pengganda yang relatif besar.

c. Analisis keterkaitan kebelakang, kedepan, serta indeks daya penyebaran, dan kepekaan, didapatkan bahwa sektor industri pupuk, kimia, dan barang dari karet memiliki pengaruh yang cukup besar, dengan adanya sektor tersebut pada peringkat tiga besar pada tahun 2000 dan 2004.

2. Sektor industri manufaktur di Jawa Timur terindikasi gejala deindustrialisasi. Berdasarkan pangsa PDRB nya, gejala deindustrialisasi ini terlihat pada tahun 2003, dan peranan paling dominan digantikan oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Subsektor industri manufaktur yang memiliki indikasi deindustrialisasi paling kuat adalah industri alat angkutan, mesin, dan peralatannya dan industri tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki. Hal ini dimungkinkan karena kondisi politik dan hukum yang belum sepenuhnya pulih dari masa krisis moneter dan reformasi, dan kelangkaan BBM sehingga harganya yang semakin mahal, serta naiknya tarif


(3)

dasar listrik dan telepon, sehingga menurunkan daya beli masyarakat, penyebab lainnya adalah dikarenakan daya saing dengan produk asing maupun luar provinsi yang semakin ketat.

7.2. Saran

1. Perlunya perhatian yang serius kepada industri manufaktur khususnya industri barang dari kulit dan alas kaki, karena industri ini merupakan industri andalan Jawa Timur, apalagi saat ini industri ini semakin lesu akibat luapan Lumpur Lapindo yang menyebabkan sentra industri barang dari kulit dan alas kaki yang berada di Sidoarjo terganggu.

2. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai penyebab deindustrialisasi di provinsi Jawa Timur, baik tinjauan secara ekonomi, maupun spasial, sehingga diketahui sub sektor dan lokasi/daerah yang memiliki potensi paling kuat teridentifikasi deindustrialisasi, dan seberapa besar signifikasinya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alagh YK. 5 Januari 2009. Get Our Factories Going. Indian Express. http://www.indianexpress.com/news/get-our-factories-going. [20 Januari 2009] Arsyad L. 2004. Ekonomi Pembangunan. Penerbit STIE. Yogyakarta.

Aswicahyono. 2004. Deindustrialization. CSIS. The Indonesian Quarterly.Vol 32 No 3. BAPENAS. 2006. Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca

Bencana Gempa Bumi di Wilayah DIY dan Jawa Tengah.

Block. 1998. Deindustrialization and the Social and Economic Sustainability Nexus in Developing Countries: Cross-Country Evidence on Productivity and

Employment. Working Paper Series I. http://www.newschool.edu/cepa [20

Januari 2009]

Boyd S. 2009. Making Things: Not So Daft After All. http://www.scottishleftreview.org/li/index. [18 Januari 2009]

Badan Pusat Statistik. 2000a. Teknik Penyusunan Tabel I-O. Biro Neraca Produksi dan Neraca Konsumsi, Jakarta.

_________________. 2000b. Kerangka Teori dan Analisis Tabel I-O. Biro Neraca Produksi dan Neraca Konsumsi, Jakarta.

Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur. 2001. Statistik Industri Besar dan Sedang di Jawa Timur Tahun 2001.

__________________________________. 2004. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi Jawa Timur 2000-2003.

__________________________________. 2005. Statistik Industri Besar dan Sedang di Jawa Timur Tahun 2005.

__________________________________. 2006. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi Jawa Timur 2001-2005.

Bendavid-Val A. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practitioners.

Praeger. London.

Bryant C, Louise G. 1989. Manajemen Pembangunan untuk Negara-negara Berkembang. Penerbit LP3ES, Jakarta.

Clingsingsmith D, Williamson JG. 2004. India’s Deindustrialization in the 18th and

19th Centuries. University of Wisconsin-Madison Economics Departement


(5)

David L. 2006. Why Europe and the West? Why Not China? Journal of Economic Perspectives, 20: 2 (Spring). http://michaelperelman.wordpress.com/2006/10/02. [2 Oktober 2006]

Direktorat Bina Produktivitas Depnakertrans. 2003. Pengukuran dan Analisis Produktivitas Total Faktor Sektor Industri Pengolahan. http://www.depnakertrans.org/lib/indust/PTF. [20 Mei 2007]

Djojohadikusumo S. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Dasar Teori Ekonomi Pertumbungan dan Ekonomi Pembangunan. Penerbit LP3ES, Jakarta.

Faried WM. 1992. Kopendium Ekonomika : Ekonomika Pertumbuhan dan Internasional, Volume 4. Penerbit BPFE, Yogyakarta.

Garside AK. 2002. Pengembangan Struktur Ekonomi Jatim Tahun 2002 dengan Menggunakan Linear Goal Programming. http://www.digilib@umm.ac.id, [20 Februari 2007]

Handoyo RD. 2005. Local Economic Planning Strategy Based on SektoralAdvantaged

and Potential in Eastern Java Province. Research Report from DGLHUB

Unair. http://www.library@lib.unair.ac.id [25 Agustus 2008].

Hidayat A, Riphat S. 2005. Analisis Sektor Unggulan Untuk Evaluasi Kebijakan Pembangunan Jatim Menggungakan Tabel Input-Output Tahun 1994 dan 2000. Jurnal Keuangan dan Moneter Departemen Keuangan RI. Edisi Desember 2005.

Isard, Walter et.al. 1998. Methods of Interregional and Regional Analysis. Aldershot England: Ashgate Publishing Limited.

Kasliwal P. 1995. Development Economics. University of California Press, Los Angeles.

Kuncoro M. 2007. Ekonomika Industri Indonesia. ANDI. Yogyakarta.

Modjo. 10 Januari 2008. Mewaspadai Deindustrialisasi di Jawa Timur. http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=320927 [26 Agustus 2008] E. 2006. Analisis Ekonomi Kinerja Usaha Kecil dan Menengah di Propinsi Jatim

[tesis].Bogor: Program Pasacasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ramaswamy R, Rowthorn R. 1997. Deindustrialization–Its Causes and Implications. Working Paper IMF. http://www.imf.org/EXTERNAL. [10 Desember 2008] Rosyidi S. 1999. Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Kepada Teori Ekonomi

Mikro dan Makro. Raja Grafindo Persada. Jakarta.


(6)

Ruky. 2008. Industrialisasi di Indonesia: Dalam Jebakan Mekanisme Pasar dan Desentralisasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta, 15 November 2008.

Rustiadi E. 2005. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Edisi Januari 2006. Diktat Kuliah Perencanaan Tata Ruang dan Ekonomi Regional. PWD PPs Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan..

Sastrosoenarto H. 2006. Industrialisasi Serta Pembangunan Sektor Pertanian dan Jasa menuju Visi Indonesia 2030. Gramedia. Jakarta.

Schnorbus RH, Giese AS. 1998. Is The Seventh District’s Deindustrializing?

Economic Prespectives Federal Reserve Bank of Chicago. http://www.economicpopulist.org/de-industrialization. [10 Desember 2008]

Soebeno A. 2005. Analisis Pembangunan Manusia dan Penentuan Prioritas Pembangunan Sosial di Jatim. [tesis].Bogor: Program Pasacasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sukirno S. 1985. Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Penerbit FE UI, Jakarta.

Susilawati D. 2003. Analisis Perubahan Struktural pada Perekonomian Jawa Timur (Studi Tahun 1993 – 2001). http://www.digilib.itb.ac.id. [26 Juni 2007].

Sutrisno S, 1985. Mobilitas Kerja Tenaga Kerja Sektor Pertanian: Kasus di Dua Desa Padi Sawah di Kabupaten Sidoarjo, Jatim. Tesis. IPB. [tesis].Bogor: Program Pasacasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tambunan TTH. 2001. Industri di Negara Sedang Berkembang. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

_____________. 2002. Perekonomian Indonesia : Teori dan Masalah-masalah Penting. Edisi 2. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Todaro MP, Smith SC. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi kedelapan. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Widodo ST. 1990. Indikator Ekonomi: Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia. Kanisisus. Yogyakarta.