Pengakuan kekebalan diplomatik pada mulanya didasarkan atas hukum kebiasaan internasional semata-mata, yaitu kebiasaan dalam praktek hubungan
antar negara yang berlangsung dengan tukar-menukar perwakilan diplomatik. Lama-kelamaan kebutuhan akan adanya peraturan hukum tertulis mengenai
pengakuan kekebalan diplomatik yang dapat dipergunakan secara umum oleh semua negara dirasakn mendesak. Akhirnya setelah dengan Kongres Aix-La
Chapelle tahun 1818, maka pada tahun 1961 azas kekebalan diplomatik sebagai hukum Internasional dikukuhkan dalam sebuah konvensi.
55
B. Dasar Hukum Pemberian Kekebalan Diplomatik
Konvensi yang dimaksud adalah “Vienna Convention on Diplomatic Relation”, atau Konvensi Wina mengenai Hubungan-hubungan diplomatik tahun
1961.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa pemberian kekebalan diplomatik pada hakekatnya merupakan hasil sejarah yang sudah lama sekali, dimana
pemberian semacam itu dianggap sebagai kebiasaan internasional.Sesuai dengan aturan kebiasaan dalam Hukum Internasional, para diplomat yang mewakili
negara-negara sering memiliki kekebalan yang kuat dari jurisdiksi negara pengirim.Kekebalan-kekebalan ini sering diberikan secara jelas dalam undang-
undang maupun peraturan negara pengirim, kadang-kadang diberikan juga lebih banyak dari yang sudah ditentukan Hukum Internasional.
56
Hal tersebut, juga disampaikan oleh Oppenheim, bahwa keistimewaan yang mana menurut Hukum Internasional adalah dimiliki oleh para diplomat
55
Edi Suryono, Loc.cit
56
Sumaryo Suryokusumo, Op.cit, hal.55
Universitas Sumatera Utara
adalah bukan hak-hak yang diberikan pada mereka oleh Hukum Internasional, melainkan hak yang diberikan oleh negara penerima sebagai pemenuhan hak-hak
internasional yang dimiliki negara penerima. Bagaimanapun juga, hak-hak yang diberikan kepada mereka oleh hukum nasional negara penerima disesuaikan
dengan kewajiban yang ditentukan oleh Hukum Internasional.Perbedaan tersebut bukanlah merupakan yang sangat penting.
57
a. Mengembangkan hubungan persahabatan antar negara tanpa
mempertimbangkan sistem ketatanegaraan dan sistem sosial mereka berbeda.
Selanjutnya menurut Prof. DR. Sumaryo Suryokusumo, SH, Llm, mengatakan hak-hak tersebut didasarkan atas
prinsip Resiprositas antar negara, dan prinsip ini mutlak diperlukan dalam rangka:
b. Bukan untuk kepentingan perorangan tetapi untuk menjamin dilaksanakannya
tugas para pejabat diplomatik secara efisien terutama tugas dari nagara yang
diwakilinya.
Itulah sebabnya para pejabat diplomatik menikmati kekebalan dan keistimewaan tertentu. Adapun alasan-alasan untuk memberikan hak-hak
diplomatik tersebut adalah sebagai berikut: a.
Para diplomat adalah wakil-wakil negara
b. Mereka tidak dapat menjalankan tugas secara bebas kecuali jika mereka
diberikan kekebalan-kekebalan tertentu. Jelaslah bahwa jika mereka tetap tergantung dari “good will” pemerintah mereka mungkin terpengaruh oleh
pertimbangan-pertimbangan keselamatan perorangan
57
L. Oppenheim, Op.cit, hal.788
Universitas Sumatera Utara
c. Jelaslah pula bahwa jika terjadi gangguan pada komunikasi mereka dengan
negaranya, tugas mereka tidak dapat berhasil.
58
Didalam memberikan dasar hukum bagi pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik pada waktu pembicaraan masalah tersebut di Komisi
Hukum Internasional tahun 1957 telah diperdebatkan 3 teori, seperti: “Exterritiriality Theory”, “Representative character theory”, dan “Functional
necessity theory”.
1.Teori “Exterritoriality” atau “extra territoriality”
Teori mengandung arti bahwa seseorang wakil diplomatik itu karena exteritorialiteit dianggap bukan sebagai subjek hukum negara
penerima.
59
Demikian juga halnya gedung perwakilan.Jadi pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan itu disebabkan faktor eksteritorialitas tersebut.Oleh
pemerintah seseorang diplomatik itu dianggap tetap berada di negaranya maka ketentuan-ketentuan negara penerima tidak berlaku kepadanya.Namun dalam
prakteknya teori ini mendapat kritikan dari banyak pihak karena dianggap tidak realis.Teori ini hanya didasarkan atas suatu fiksi dan bukan realita yang
sebenarnya dan tidak diterima masyarakat internasional.
60
2. Representative Character Theory
Pejabat diplomatik dan perwakilan diplomatik lainnya dapat menikmati kekebalan dan keistimewaan karena ia mewakili negaranya di Luar Negri. Maka
setiap sikap tindakannya adalah merupakan tindakan negara yang diwakilinya.
58
Sumaryo Suryokusumo, Loc.cit
59
Mohd. Sanwani, Sulaiman, Bachtiar Hamzah, Op.cit, hal.93
60
Bour Mouna, Op.cit, hal.502
Universitas Sumatera Utara
Bahwa semua negara adalah sederajat, sehingga suatu negara adalah kebal terhadap kekuasaan negara berdaulat lainnya.Atau dikenal dengan “Per in parem
nom habet imperium”, maksudnya negara yang berdaulat tidak dapat menjalankan jurisdiksi terhadap negara berdaulat lainnya.
61
Jelaslah bahwa mereka tidak akan dapat menjalankan tugasnya secara bebas, jika mereka diberikan kekebalan tertentu. Namun harus kita akui bahwa hal
tersebut tetap tergantung dari “good will” pemerintah setempat.Mereka mungkin terpengaruh oleh pertimbangan keselamatan perorangan.Lagipula jika terjadi
gangguan pada komunikasi mereka dengan negaranya, tugas mereka tidak dapat berhasil dengan baik.Sehingga dalam teori sifat seorang diplomatik sebagai
simbol negara, pada hakekatnya pejabat diplomatik itu adalah disamakan kedudukan seorang kapala negara atau negara pengirim yang bersangkutan.
62
3. Functional Necessity Theory
Memberikan hak-hak dan kekebalan pada pejabat diplomatik asing juga berarti bahwa negara penerima menghormati negara pengirim, kedaulatan serta
kepala negaranya.Tetapi seperti halnya dengan teori eksterritorialitas, pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan ini tidak mempunyai batas yang jelas dan
menimbulkan kebingungan.
Menurut teori ini, pemberian kekebalan dan keistimewaan terhadap perwakilan diplomatik hanya didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan fungsional
agar para pejabat diplomatik dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar.
61
Edy Suryono, Op.cit, hal.28
62
Mohd. Sanwani, Sulaiman, Bachtiar Hamzah, Op.cit, hal.94
Universitas Sumatera Utara
Sir Gerald Fitzaurice, reporter khusus yang ditunjuk oleh Komisi Hukum Internasional untuk menangani perumusan rancangan Konvensi Wina 1961
menyadari bahwa “Functional Necessity Theory” tidak saja merupakan teori yang paling memuaskan tetapi juga merupakan teori yang benar. Teori ini dianggap
sangat mendekati kebenaran dengn alasan yang cukup sederhana bahwa dalam penilaian sebelum seorang diplomatik tidak mungkin dapat menjalankan tugas
jika tidak diberikan kepadanya kekebalan dan keistimewaan tertentu.
63
Sementara anggota lainnya juga mengatakan tidak dapat menyetujui bahwa pernyataan mengenai dasar teori bagi kekebalan dan keistimewaan adalah
teori-teori yang tidak lain merupakan usaha untuk menjalankan aturan-aturan dan prinsip yang sudah ada dan keputusan mengenai penafsiran aturan-aturan tersebut
tidak didasarkan teori-teori tetapi ada dasar penilaian kenyataan.
64
a. Diantara teori-teori yang telah dikemukakan dalam memberikan pertimbangan
bagi pengembangan kekebalan dan keistimewaan diplomatik, Komisi Hukum Internasional akan menyinggung exterritoriality theory sesuai dengan
anggapan bahwa gedung perwakilan merupakan semacam perluasan dari wilayah negara pengirim dan representative theory yang melandasi kekebalan
dan keistimewaan diartikan bahwa perwakilan diplomatik melambangkan negara pengirim.
Sehubungan dengan tanggapan-tanggapan tersebut maka Komisi Hukum Internasional kemudian membatasi diri untuk memasukkan tanggapan-tanggapan
terhadap pasal-pasal mengenai kekebalan dan keistimewaan tanpa adanya ikatan- ikatan:
63
Edi Suryono, Op.cit, hal.26
64
Ibid
Universitas Sumatera Utara
b. Kini terdapat teori ketiga yang muncul sebagai landasan yang
kecenderungannya didukung didalam masa sekarang yaitu functional necessity theory yang membenarkan bahwa kekebalan dan keistimewaan merupakan
keperluan agar perwakilan dapat menunaikan tugas-tugasnya. c.
Komisi Hukum Internasional telah menganut teori ketiga ini didalam menyelesaikan masalah-masalah didalam praktek tidak dapat memberikan
keterangan yang jelas, disamping memperhatikan juga sifat perwakilan dari kepala perwakilannya sendiri.
65
C. Prinsip Inviolability dan Prinsip Extraterritoriality