Hukum Dan Kepentingan (Suatu Etnografi tentang Keanekaragaman Hukum pada Kasus Sengketa Tanah)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

H U K U M DAN K EPEN T I N GAN

(Suatu Etnografi tentang Keanekaragaman Hukum pada Kasus Sengketa Tanah)

SKRIPSI

Diajukan Guna Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sosial dalam bidang Antropologi

Oleh :

RI K K Y ERM AWAN SY AH PU T RA 0 6 0 9 0 5 0 4 2

DEPART EM EN AN T ROPOLOGI SOSI AL FAK U LT AS I LM U SOSI AL DAN I LM U POLI T I K

U N I V ERSI T AS SU M AT ERA U T ARA M EDAN


(2)

PERNYATAAN

HUKUM DAN KEPENTINGAN

(Suatu Etnografi tentang Keanekaragaman Hukum pada Kasus Sengketa Tanah)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatau perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Desember 2011 Penulis


(3)

ABSTRAKSI

Skripsi ini mengkaji tentang “Hukum dan Kepentingan”. Secara umum skripsi ini menjelaskan tentang kasus sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Skripsi mengenai kasus sengketa ini dibuat untuk dapat memahami hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat karena dari kasus-kasus sengketa, dapat diungkapkan banyak keterangan mengenai norma-norma hukum yang sedang berlaku dalam masyarakat. Kemudian skripsi ini juga menelusuri bagaimana hukum itu membentuk kepentingan yang dilihat dari kasus sengketa tanah yang terjadi di Perkebunan Padang Halaban, Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum itu ternyata “bergerak” dan dinamis, yang berarti hukum itu tidak hanya berhenti pada peraturan yang ada namun lebih dari itu dari tahap peraturan itu dibuat sampai pada peraturan itu selesai dan disahkan ada terselip sesuatu yang bernama “kepentingan” (orang atau kelompok tertentu). Pada hakekatnya kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat yang kerap kali berbenturan satu sama lainnya. Pengorganisasian kepentingan tersebut dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Namun, pada kenyataannya kepentingan bersama yang menjadi tujuan dari dibentuknya hukum dikalahkan oleh kepentingan yang mengatasnamakan pribadi dan golongan.

Kesimpulan dalam tulisan ini adalah bahwa dari sengketa tanah yang terjadi di Padang Halaban antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban bisa menunjukkan adanya suatu proses hukum yang tidak berjalan semestinya karena adanya kepentingan-kepentingan (hidden agenda) di dalam sebuah aturan yang bernama hukum karena sebetulnya hukum itu tidak mentok pada satu titik saja melainkan pada banyak titik yang semuanya terangkum dalam proses interaksi yang terjadi di dalam manusia yang mengakui (membuat dan menjalankan) aturan itu sendiri. Dari sengketa tanah yang bisa kita katakan hanya terjadi di sebuah daerah di Indonesia ini sebenarnya bisa menggambarkan bahwa ada suatu proses hukum dan kepentingan yang terjadi di antara pemerintah dan pihak-pihak yang “dekat” dengan pemerintah yang dalam hal ini sebagai pemegang kekuasaan birokrasi di suatu negara.


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala berkah, rahmat, dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hukum dan Kepentingan (Suatu Etnografi tentang Keanekaragaman Hukum pada Kasus Sengketa Tanah)”.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada berbagai pihak, di antaranya kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Terkhusus buat Bapak Dr. Fikarwin Zuska, sebagai Ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP USU dan juga selaku Dosen Pembimbing saya, yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing saya selama dari proses penyusunan proposal sampai penulisan skripsi ini selesai, terima kasih atas bekal ilmu yang sangat berharga yang telah Bapak berikan kepada saya, semoga apa yang telah Bapak berikan kepada saya mendapat balasan dari Allah SWT. Bapak Drs. Agustrisno, M.S.P., sebagai Sekertaris Departemen Antropologi Sosial FISIP USU. , selaku ketua penguji pada saat ujian komprehensif. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini. sebagai dosen penguji pada saat ujian komprehensif. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini. Bapak Drs. Ermansyah, M.Hum., selaku Dosen wali/penasihat akademik saya atas bantuannya dalam proses perkuliahan dan administrasi akademik. Seluruh dosen-dosen dan Pegawai di Departemen


(5)

Antropologi, yang telah mendidik dan mengajar penulis selama proses perkuliahan. Buat Ibu Prof. Dra. Chalida Fachruddin, Ph.D., Bapak Drs. Irfan Simatupang, Bapak M.Si., Drs. Lister Berutu, M.A., Ibu Dra. Mariana Makmur, M.A., Ibu Dra. Nita Savitri, M.Hum., Bapak Nurman Achmad, S.Sos., M.Soc.Sc., Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, Ibu Dra. Rytha Tambunan, M.Si., Ibu Dra. Sabariah Bangun, M.Soc.Sc., Ibu Dra. Sri Alem Br. Sembiring, M.Si., Ibu Dra. Sri Emiyanti, M.Si., Ibu Dra. Tjut Syahriani, M.Soc.Sc., Bapak Drs. Yance, M.Si., Bapak Drs. Zulkifli, M.A., Bapak Drs. Zulkifli Lubis, M.Si., Bapak Drs. Juara Ginting, M.A., Bapak Drs. Edi Saputra Siregar. Kepada seluruh staff di FISIP USU khususnya di Departemen Antropologi, Specially for Kak Nur dan Kak Sofi yang sudah membantu saya dalam mengurus kelancaran administrasi selama dalam masa perkuliahan.

Bapak Camat Aek Kuo, Bapak Raden Sugeng (Kasie Pemerintahan Kecamatan Aek Kuo, Labuhanbatu Utara), serta seluruh staff di Kecamatab Aek Kuo yang telah membantu dalam proses penelitian saya. Bapak Rusliyanto (Manager PT. SMART Tbk. Padang Halaban) yang telah meluangkan waktunya untuk saya wawancarai walaupun sempat dilarang oleh HUMAS PT. SMART Tbk. Padang Halaban.

Terkhusus untuk kekasihku, Anggi Mei Pratami yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada saya selama proses menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa tentunya buat bestfriend ku: Badai Adra Sikumbang, Denny Nitra Silaen yang paling “macho” (devianthroper), Elmanuala Pasaribu “Acil”, Firman “Farera” “Ibrahimovich” Januari Tambunan, Muhammad Ziad Ananta “Nanta


(6)

Serge”, Wilfrit Syahputra Silitonga “SuGenk”, Oemar “Jojo” Abdillah, aku pasti merindukan saat-saat bersama kalian di kampus. Semoga kita bisa sukses. Keep Smile and Keep Spirit untuk bisa menaklukkan dunia.

Rekan-rekan seluruh mahasiswa Antropologi FISIP USU, khususnya rekan-rekan seperjuangan saya stambuk 2006 yang telah terlebih dahulu menggapai gelar S.Sos: Ayu, Helena “lemot”, Aroz, Rere, Benny, Sari, Inggrid, Enny, Fadli, Melda, Gaby, Kevin, Noprianto, Yani, Mardiana “Limo”, Santa, Ruli, Lasmi, Atika, Lisnawati, Danur. Kemudian juga teman-teman seperjuanganku yang masih sana-sama berjuang untuk menggapi gelar Sarjana Sosial: Hendra “Jamil” Gunadi, Rikardo, Hemalea, Look Sun, Erika, Fika, Fian “Kibo”, Desy “Bejo”, Carles, ayo semangat dan jangan putus asa.

Buat Ijal, Tatak, Feber, Bang Agif, Bang Dian, Bang Ales, Bang Kia, Bang Windra, Bang Hedo 02, Bang Ando 05, Bang Arnov, Bang Herry Sianturi, serta untuk adik-adik junior seluruh angkatan 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011 Antropologi FISIP USU. Maria Silalahi 08, Harni 08, Dea 08, Helen Lucen 08, Puteri 08 dan rekan-rekan lainnya di MASADEPAN Antropologi FISIP USU. Semua pihak yang tidak sempat saya sebutkan pada kesempatan ini, yang telah membantu penulisan dan proses studi, saya ucapkan terima kasih.

Buat teman-teman Easy Listening: Raja, Ugi, Dodi, dan Zay, terima kasih buat kebersamaan yang kalian berikan. Nge-Band bareng kalian nggak akan bisa tergantikan dengan hal apapun. Setelah ini, mari kita lanjutkan “proyek” besar kita. Maju terus Easy Listening.


(7)

Teristimewa buat kedua Orangtuaku yang sangat kucintai, Papa: Safruddin dan Mama: Erni Mijaya Wati, terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanan, cinta dan kasih sayang tulus dalam membesarkan dan mendidik Rikky dengan penuh kasih sayang. Membuat kalian berdua bahagia dan selalu tersenyum adalah impianku. Doakan selalu anakmu ini Pa, Ma, I love you so much.

Untuk ketiga adikku tersayang, my brother Ryan Anggriawan, my beloved

sista Rika Purwandari, dan Muhammad Reza, terima kasih atas dukungan, doa, dan kasih sayang yang telah diberikan, doakan abang sukses ya! setelah ini. Tidak lupa juga buat adikku terkasih (Alm). Rio Hermawan, semoga Allah memberikanmu tempat yang paling indah di surga dek! Tidak lupa juga buat Kakek dan Nenekku tersayang. Tetap sehat selalu ya, biar bisa lihat Rikky sukses.

Kiranya Allah SWT. dapat membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada saya. Menyadari akan keterbatasan saya, maka skripsi atau hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, koreksi dan masukan dari berbagai pihak guna penyempurnaan hasil penelitian ini sangat saya harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2011 Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

Rikky Ermawan Syahputra, lahir pada tanggal 20Mei 1987 di Rantauprapat, Sumatera Utara. Beragama Islam, anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda bernama Safruddin dan Ibunda bernama Erni Mijaya Wati.

Riwayat pendidikan formal penulis: TK Panglima Polem, Rantauprapat, (1993); SD Panglima Polem, Rantauprapat (1994-2000); SMP Negeri 3, Rantauprapat (2000-2003); SMA Negeri 2, Medan (2003-2006); Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara (2006-2011).

Pengalaman berorganisasi penulis selama menjadi mahasiswa di FISIP USU yaitu pernah menjadi Wakil Ketua Panitia “Inisiasi” Antropologi 2008.


(9)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Untuk memenuhi persyaratan tersebut saya telah menyusun sebuah skripsi dengan judul “Hukum dan Kepentingan” (Suatu Etnografi tentang Keanekaragaman Hukum pada Kasus Sengketa Tanah).

Ketertarikan untuk menulis permasalahan tentang hukum dan tanah diawali dari kenyataan yang saat ini terjadi bahwa berbicara mengenai permasalahan tanah tidak akan pernah ada habisnya karena tanah merupakan sumber penghidupan. Pada saat ini, masalah tanah merupakan masalah yang sangat penting di Indonesia, konflik atas tanah merupakan salah satu konflik yang paling sering terjadi di Indonesia saat ini. Kenyataan bahwa hukum sering disalah gunakan dalam pemenuhan kepentingan orang atau kelompok tertentu juga menimbulkan ketertarikan bagi saya untuk mencoba mengungkap sejauh mana hukum itu berperan dalam proses pemenuhan kepentingan (orang atau kelompok) tertentu yang saya lihat dari kasus sengketa tanah.

Dalam skripsi ini saya menulis apa yang terjadi pada hukum dalam kenyataan empiris yang tentunya menggunakan “kaca mata” antropologi dalam meninjau pemasalahan dalam skripsi ini. Sedikit yang ingin saya sampaikan di sini bahwa hukum itu tidak bisa diartikan secara sederhana karena memang hukum itu tidak sederhana.


(10)

Dengan demikian skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang hukum yang ditinjau secara antropologi hukum dan menambah wawasan terhadap permasalahan tanah (sengketa tanah) yang terjadi di Indonesia.

Akhirnya, saya berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan, materi, dan pengalaman saya. Saya sebagai penulis skripsi ini, dengan tidak mengurangi rasa hormat, mengharapkan kritik dan saran maupun sumbangan pemikiran yang bersifat membangun dari berbagai pihak untuk menyempurnakan skripsi ini.

Medan, Desember, 2011 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN PENGESAHAN ...

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAKSI ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR ISTILAH ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 15

1.3.Lokasi Penelitian ... 15

1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 17

1.5.Tinjauan Pustaka ... 18

1.6.Metode Penelitian ... 35

BAB II. SEJARAH PERKEBUNAN PADANG HALABAN 2.1. Kondisi Ekologi Perkebunan Padang Halaban ... 44

2.2. Sejarah Perkebunan Padang Halaban ... 46

2.2.1. Sekilas tentang Penjajahan Belanda di Sumatera Timur...46


(12)

BAB III. SITUASI DAN KONDISI SENGKETA TANAH YANG TERJADI

3.1. Kronologis Sengketa Tanah di Perkebunan Padang Halaban ... 57 3.3.1. Masuknya Jepang di Perkebunan Padang Halaban ... 57 3.3.2. Masyarakat Mengambil Alih Tanah yang Ditinggalkan Jepang ... 59 3.3.3. Agresi Militer Belanda dan Perlawanan Rakyat Padang Halaban... 62 3.3.4. Partai Komunis Indonesia (PKI), Organisasi Massa

Pertanian, dan Hubungannya dengan Sengketa tanah di Perkebunan Padang Halaban... 64 3.3.5. Keadaan Masyarakat Padang Halaban Setelah Penggusuran

dan Kembalinya Masyarakat Menuntut Hak Atas Tanah ...71 3.3.6. Proses Penyelesaian Sengketa yang Sudah Ditempuh ... 74

BAB IV. ANEKA RAGAM HUKUM

4.1. Keberadaan Sentralisme Hukum dan Pluralisme Hukum yang Membentuk Aneka Ragam Hukum ... 79 4.2. Aneka Ragam Hukum pada Kasus Sengketa Tanah Padang

Halaban ... 84

BAB V. HUKUM DAN KEPENTINGAN

5.1. Suatu Korelasi antara Hukum dan Kepentingan ... 92 5.2. Pelaku-pelaku Hukum dan Kepentingan ... 96 5.3. Kondisi yang Tercipta dari Hukum dan Kepentingan ... 101 5.4. Hukum yang Hidup di Tengah-tengah Kasus KTPH-S dengan PT.

SMART Tbk. Padang Halaban ... 104


(13)

DAFTAR PUSTAKA ...118

LAMPIRAN

1. Dokumen (fotocopy Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah)

2. Dokumen (fotocopy bukti pembayaran Ipeda oleh masyarakat Padang Halaban tahun 1967/1968)

3. Dokumen (fotocopy surat I.A.M. Schumuther kepada Tn. Hildebrant) 4. Dokumen (surat ketua KTPH-S ditujukan kepada Presiden SBY) 5. Gambar-gambar


(14)

DAFTAR ISTILAH

Agrarische Wet Undang-Undang Agraria

Angon Menggembala hewan ternak

Culture Stelsel Sistem Tanam Paksa (zaman kolonial Belanda) Divisi Wilayah atau bagian

Hak konsesi Hak tanah yang diberikan oleh penguasa setempat kepada pengusaha asing untuk melakukan suatu usaha perkebunan

Gouvernements Besluit Keputusan Pemerintah

Land reform Reformasi tanah (sebuah upaya yang secara sengaja bertujuan untuk merombak dan mengubah sistem agraria yang ada dengan maksud untuk

meningkatkan distribusi pendapatan pertanian dan dengan demikian mendorong pembangunan pedesaan

Laskar Rakyat Tentara (wajib militer pada masa kolonial Belanda)

Mandor Pengawas perkebunan. Segala kegiatan para kuli diawasi oleh mandor dan mandor bertanggung jawab atas segala yang terjadi di perkebunan

Maskape Perusahaan

NV Naamloze Vennotshap atau perseroan terbatas

Onderneming Perkebunan Besar

Pondok Pondok dalam bahasa Jawa berarti rumah. Biasanya bangunannya berbentuk semi-permanen.

re-klaiming Pendudukan kembali


(15)

ABSTRAKSI

Skripsi ini mengkaji tentang “Hukum dan Kepentingan”. Secara umum skripsi ini menjelaskan tentang kasus sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Skripsi mengenai kasus sengketa ini dibuat untuk dapat memahami hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat karena dari kasus-kasus sengketa, dapat diungkapkan banyak keterangan mengenai norma-norma hukum yang sedang berlaku dalam masyarakat. Kemudian skripsi ini juga menelusuri bagaimana hukum itu membentuk kepentingan yang dilihat dari kasus sengketa tanah yang terjadi di Perkebunan Padang Halaban, Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum itu ternyata “bergerak” dan dinamis, yang berarti hukum itu tidak hanya berhenti pada peraturan yang ada namun lebih dari itu dari tahap peraturan itu dibuat sampai pada peraturan itu selesai dan disahkan ada terselip sesuatu yang bernama “kepentingan” (orang atau kelompok tertentu). Pada hakekatnya kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat yang kerap kali berbenturan satu sama lainnya. Pengorganisasian kepentingan tersebut dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Namun, pada kenyataannya kepentingan bersama yang menjadi tujuan dari dibentuknya hukum dikalahkan oleh kepentingan yang mengatasnamakan pribadi dan golongan.

Kesimpulan dalam tulisan ini adalah bahwa dari sengketa tanah yang terjadi di Padang Halaban antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban bisa menunjukkan adanya suatu proses hukum yang tidak berjalan semestinya karena adanya kepentingan-kepentingan (hidden agenda) di dalam sebuah aturan yang bernama hukum karena sebetulnya hukum itu tidak mentok pada satu titik saja melainkan pada banyak titik yang semuanya terangkum dalam proses interaksi yang terjadi di dalam manusia yang mengakui (membuat dan menjalankan) aturan itu sendiri. Dari sengketa tanah yang bisa kita katakan hanya terjadi di sebuah daerah di Indonesia ini sebenarnya bisa menggambarkan bahwa ada suatu proses hukum dan kepentingan yang terjadi di antara pemerintah dan pihak-pihak yang “dekat” dengan pemerintah yang dalam hal ini sebagai pemegang kekuasaan birokrasi di suatu negara.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Secara umum skripsi ini menjelaskan tentang kasus sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Skripsi mengenai kasus sengketa ini dibuat untuk dapat memahami hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat karena dari kasus-kasus sengketa dapat diungkapkan banyak keterangan mengenai norma-norma hukum yang sedang berlaku dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan Llewellyn dan Hoebel bahwa “Kasus-kasus sengketa, yang dipilih dan diteliti dengan hati-hati merupakan jalan yang paling aman untuk menemukan hukum. Data dari kasus-kasus itu adalah yang paling pasti. Hasilnya adalah yang paling kaya dan paling membuka mata” (Ihromi, 1993:108).

Dengan begitu secara umum tulisan terhadap kasus sengketa ini mengungkap dan menelusuri hukum masyarakat dalam studi antropologis mengenai hukum. Hal ini karena hukum bukanlah semata-mata sebagai suatu produk dari individu atau sekelompok orang dalam bentuk peraturan perundang-undangan, atau bukanlah sebagai suatu institusi yang terisolasi dari aspek-aspek kebudayaan yang lain, tetapi hukum merupakan produk dari suatu relasi sosial dalam suatu sistem kehidupan masyarakat1

1

I Nyoman Nurjaya, pada artikel “Perkembangan Tema Kajian Metodologi dan Model Penggunaannya Untuk Memahami Fenomena Hukum di Indonesia” d

.

wordpress.com/2009/03/31/antropologi-hukum/ (diakses tanggal 6 Desember 2011).


(17)

Dengan kasus sengketa juga akan dapat dipahami bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat atau dengan kata lain, studi-studi antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai sarana menjaga keteraturan sosial (social order) atau alat pengendalian sosial (social control), (Ihromi, 2000:6). Hukum merupakan aktivitas kebudayaan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (social control), atau sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat2. Sejalan dengan ini Hoebel menyatakan bahwa untuk memahami tempat hukum dalam struktur sosial masyarakat, maka harus dipahami terlebih dahulu kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara keseluruhan (Ihromi, 1993:148). Kenyataan ini memperlihatkan, bahwa hukum menjadi salah satu produk kebudayaan dari interaksi sosial yang tidak terpisahkan dengan segi-segi kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, struktur dan organisasi sosial, ideologi, religi, dan lain-lain3

Lebih fokus lagi sejalan dengan penjelasan di atas secara khusus tulisan ini bercerita bahwa hukum ternyata bukan hanya peraturan-peraturan tertulis saja; dalam hal ini undang-undang dalam pemerintahan, melainkan banyak

hukum-.

2

(Pospisil, 1967; 1971) dalam artikel Boy Yendra Tamin “Sistem Hukum Adat di Tengah Kuatnya Sistem Hukum Global” d

3

(Pospisil, 1971) terdapat pada http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2222834-hukum-dalam-perspektif-antropologi/ (diakses tanggal 6 Desember 2011).


(18)

hukum lain yang tidak tertulis dan di dalam hukum itu sendiri terdapat begitu banyak kepentingan-kepentingan dari orang-orang tertentu yang akan melakukan dan menempuh segala cara untuk dapat memenuhi kepentingannya. Dengan demikian hukum itu ternyata tidak lebih penting dari kepentingan atau dengan kata lain bahwa karena adanya kepentinganlah maka hukum itu dibuat sehingga kepentingan itu menjadi hal yang utama dalam proses terbentuknya sebuah hukum.

Hukum hanyalah sebuah alat untuk bisa mencapai sesuatu yang akan bisa memenuhi kepentingan karena hukum itu sendiri dapat digerakkan, didinamiskan dan dimanipulasi oleh siapa pun juga untuk mencapai sesuatu; dalam hal ini adalah kepentingan. Kepentingan merupakan sesuatu hal yang dianggap penting sehingga harus diutamakan dan dikejar agar terwujud nyata dalam kehidupan dan alat untuk mencapainya adalah hukum. Jadi, hukum itu merupakan percampuran nilai-nilai yang eksis dan memegang peranan yang dominan dalam suatu masyarakat tertentu yang dikukuhkan oleh; dalam hal ini bisa pemerintah, bisa juga pemegang kekuasaan, ke dalam sebuah peraturan tertulis yang pada mulanya untuk kepentingan masyarakat tersebut namun, tidak sedikit juga disusupi kepentingan para pembuat peraturan tersebut.

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang maupun kelompok memiliki kepentingannya masing-masing, baik itu kepentingan yang eksplisit maupun kepentingan yang implisit. Dalam ilmu sosial sering muncul istilah manifest4

4

Manifest adalah hal yang nyata dan diungkapkan secara jelas (eksplisit).


(19)

latent5 untuk menjelaskan sesuatu yang eksplisit dan implisit. Kepentingan yang saya maksud di sini adalah kepentingan yang implisit/latent yaitu kepentingan yang tidak tertulis atau tidak dinyatakan secara terang-terangan. Lebih jauh lagi kepentingan itu bersifat hidden agenda (maksud yang tersembunyi) yaitu kepentingan yang memiliki maksud atau tujuan yang tersembunyi. Berdasarkan literatur yang saya baca mengenai hidden agenda6

Hal inilah yang saya lihat terjadi dalam kasus sengketa tanah antara masyarakat yang mengatasnamakan Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya (KTPH-S) dengan perusahaan perkebunan PT. Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. Padang Halaban (PT. SMART Tbk. Padang Halaban) di mana sengketa tanah yang terjadi sebenarnya sudah puluhan tahun lamanya yaitu sejak tahun 1969 dan sejak 18 mei 2009 masalah sengketa tanah ini telah sampai ke lembaga peradilan. Permasalahan sengketa tanah inilah yang akan saya tuliskan dalam skripsi ini untuk menjelaskan hukum dalam tinjauan antropologi. Kasus sengketa tanah seperti yang terjadi antara pihak KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban ini adalah merupakan bidang kajian yang saya pilih untuk secara sederhana saya mendefinisikan hidden agenda sebagi berikut: gagasan tersembunyi atau niat terselubung yang diungkapkan secara eksplisit dalam negosiasi antara individu maupun kelompok (tetapi secara implisit di hadapan umum) dan merupakan hal yang sesungguhnya ingin dicapai oleh pihak yang bersangkutan.

5

Latent adalah sesuatu yang tersembunyi dan tidak dinyatakan secara jelas/terang-terangan (implisit).

6


(20)

mencoba mengungkap bahwa dalam aturan-aturan (hukum) yang dikembangkan oleh pihak yang berwenang dan berkepentingan, melahirkan apa yang dinamakan pluralisme hukum, hukum-hukum hybrid (hybrid law), maupun hukum-hukum lain yang hidup sebagai mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation).

Ketertarikan untuk menulis permasalahan tentang sengketa tanah ini dilatarbelakangi dari berbagai referensi yang saya baca bahwa masalah sengketa tanah pada saat sekarang ini banyak terjadi. Di Sumatera Utara saja sejak era reformasi sampai 2011 ini sudah mencapai 800 pengaduan yang ditangani DPRD Sumut7

Dalam tulisan Jeffrey D. Brewer yang berjudul Penggunaan Tanah Tradisional dan Kebijaksanaan Pemerintah di Bima, Sumbawa Timur, Brewer menjelaskan bahwa pemerintah dalam kebijaksanaannya terhadap penggunaan tanah di Bima ternyata tidak hanya mengurangi pengawasan desa terhadap tanah dan juga mendorong penerapan metode-metode usaha tani yang lebih intensif, tetapi juga meningkatkan ketidakadilan dalam pemilikan tanah (Dove, 1985:163).

. Secara umum, kasus sengketa tanah tersebut terjadi antara masyarakat dengan pihak Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN).

Berbicara tentang tanah maka kita akan dihadapkan pada sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa permasalahan tanah tidak akan pernah ada habisnya. Di sini saya akan menguraikan beberapa literatur yang saya baca mengenai permasalahan tanah yang bisa dibilang menjadi sebuah masukan yang sangat berharga bagi saya untuk mengembangkan tulisan dalam skripsi ini, tentunya untuk mengungkap permasalahan yang menjadi topik dalam skrirpsi ini.

7

(diakses tanggal 5 Agustus 2011)


(21)

Kemudian, Brewer juga menegaskan di awal tulisannya bahwa tindakan pemerintah dalam mencampuri soal tata guna tanah di dua kampung petani di Bima selama kurun waktu 50 tahun dengan didasari pertimbangan mengenai kepentingan kaum petani dan tidak melakukan perundingan dengan kaum petani mengakibatkan terjadinya permasalahan (Dove, 1985:165). Hal yang menarik dalam tulisan ini adalah Brewer berhasil mengungkap kenyataan yang terjadi bahwa tidak selamanya campur tangan pemerintah dalam masyarakat selalu bergerak ke arah yang baik atau dengan kata lain berpihak pada masyarakat setempat. Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah seringkali hanya menambah masalah baru dikarenakan pemerintah dalam menjalankan kebijakannya sering tidak memikirkan kebutuhan masyarakat setempat dan malah lebih memikirkan hasil yang akan mereka dapat dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang mereka susun. Bahkan Brewer menyatakan dalam tulisannya tersebut bahwa setelah tercapainya kemerdekaan nasional, motif penguasaan tanah oleh pemerintah ialah hasratnya untuk melenyapkan pengaruh kaum-kaum tua, yang dipandang sebagai orang berpaham kolot yang menentang aliran modernisasi (Dove, 1985:183). Lebih jauh lagi Brewer juga menyatakan bukti bahwa keadilan sosial dan kemakmuran penduduk di Bima telah merosot sebagai akibat langsung dari usaha pemerintah mengadakan pengawasan tanah dan land reform yang menurutnya tidak tepat sasaran dalam pelaksanaannya (Dove, 1985:184). Sangat menarik sekali jika ditelusuri isi dari tulisan Brewer ini yang juga menerangkan kondisi di mana tidak selamanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah itu bergerak ke proses yang akan mendatangkan kepentingan


(22)

masyarakat melainkan bisa jadi ada hidden agenda yang telah mereka susun pada saat menerapkan kebijakan-kebijakannya.

Sejalan dengan permasalahan land reform yang dibahas Jeffrey D. Drewer Endang Suhendar juga mempunyai pendapat sebagai berikut: memperlakukan tanah sebagai barang dagangan berarti memperbolehkan siapa saja yang mempunyai kekuatan ekonomi untuk menguasai tanah, siapa yang mempunyai uang dapat membelinya kapan saja dan di mana saja8. Demikian pula bila memandang tanah sebagai komoditas strategis, berarti kita menyetujui adanya pasar tanah yang di dalamnya terkandung pengertian tarik menarik kekuatan suplai dan demand. Pola ini pada gilirannya akan menciptakan suatu keadaan di mana pihak yang secara ekonomis kuat akan dapat menguasai tanah, yang pada akhirnya akan menciptakan terjadinya kepincangan struktur penguasaan tanah9

8

Endang Suhendar, “Menjadikan Tanah sebagai Komoditas”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 7

9

Endang Suhendar, “Menjadikan Tanah sebagai Komoditas”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 7

. Jadi, di sini Endang Suhendar menekankan bahwa kondisi yang terjadi adalah kebijakan-kebijakan land reform yang mungkin tujuan dalam wacanannya baik tetapi sering pada saat penerapannya terjadi sesuatu yang tidak wajar. Bahkan masalah seperti ini telah mencuat ke permukaan pada zaman Jeffrey D. Brewer tahun 1985 membahas kasus di Bima, Sumbawa Timur dan sampai saat ini pola-pola yang sama masih tetap menjadi “langganan” dalam tulisan-tulisan mengenai tanah.


(23)

Pengkajian terhadap masalah tanah juga dilakukan oleh Arief Budiman dalam tulisannya yang berjudul Fungsi Tanah dalam Kapitalisme. Yang menarik dari kajian ini adalah mengungkap secara jelas bagaimana kapitalisme dapat mengubah keadaan secara total. Arief Budiman menyatakan dalam sistem kapitalisme semua barang yang ada di sekitarnya akan diusahakan jadi alat produksi yang bisa menghasilkan laba, bahkan manusia dijadikan komoditas, yaitu buruh, dan manusia juga tidak lagi diukur atas dasar kejujurannya atau nilai-nilai moralnya, tetapi dihitung sebagai faktor produksi yang bisa dijadikan mesin pencetak laba, demikian juga dengan tanah10. Kemudian ditambahkan lagi olehnya bahwa dalam kapitalisme, tanah menjadi komoditas, tanah-tanah yang tidak produktif dialihkan fungsinya menjadi alat produksi yang bisa menghasilkan keuntungan dan mendatangkan pajak bagi pemerintah11

10

Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 14.

11

Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 14.

. Secara tegas Arief Budiman mengatakan seperti yang saya kutip berikut ini:

“Begitulah, dalam kapitalisme tanah beralih ke tangan para pemodal yang akan memanfaatkan tanah untuk kepentingannya. Tanah bukan lagi alat produksi untuk konsumsi penggaraonya, melainkan alat produksi untuk meraih laba sebesar-besarnya bagi pemiliknya. Tidak mengherankan kalau tingkat eksploitasinya, baik terhadap tanah itu sendiri maupun terhadap orang(buruh) yang mengerjakan tanah tersebut, tinggi. Inilah fungsi tanah dalam kapitalisme: menghasilkan laba sebesar-besarnya.” (Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal.14).


(24)

Arief Budiman juga menjelaskan bahwa dalam sistem kapitalis, tanah dimiliki secara pribadi (oleh pemodal) yang melakukan eksploitasi tinggi demi meraih keuntungan pribadi, oleh karena itu, tanah senantiasa menjadi rebutan yang kadang- kadang memakai cara-cara kekerasan12. Menurut Yoshihara Kuno, kapitalisme yang menggejala di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) ditandai oleh sifat campur tangan pemerintah yang kuat dan ketergantungan teknologi pada negara industri maju, campur tangan pemerintah yang kuat itu membuat mekanisme pasar tidak bisa bekerja dengan baik dan akibatnya pengusaha-pengusaha yang unggul tidak bisa berkembang kalau tidak "dekat" dengan pemerintah, sementara ketergantungan teknologi membuat surplus negara ini akhirnya kembali lagi ke negara-negara industri maju13

Hal yang memprihatinkan dalam pertanahan menurut Arief Budiman adalah yang menggejala di Indopesia bukan merupakan kapitalisme seperti yang terjadi di Eropa, berdasar pada mekanisme pasar, sebaliknya kapitalisme di Indonesia merupakan kapitalisme semu yang peralihan pemilikan tanah sering . Pendapat ini sangat transparan mengingat kondisi yang terjadi saat ini dan mungkin besok dan seterusnya kan tetap berada pada tatanan pola yang sam persis dengan apa yang dikatakan Yoshihara Kuno tersebut dan ini pulalah yang akan saya tunjukkan dalam skripsi ini bahwa pengusaha perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban memiliki “kedekatan-kedekatan” terhadap pemerintah sehingga perusahaan ini dapat berkembang pesat sampai saat ini.

12

Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 15.

13


(25)

tidak berlangsung melalui mekanisme pasar, melainkan melalui proses "perampasan" yang melibatkan aparat negara dan akibatnya, masalah konflik tanah di Indonesia menjadi yang paling menonjol di zaman pemerintahan Orde Baru14

Permasalahan tanah juga dibahas oleh Noer Fauzi. Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas Noer Fauzi menyatakan bahwa karakter dan penampakan masalah tanah di Indonesia saat ini tidak lagi bisa ditelusuri dari dalam tekad, isi, makna dan pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan tidak juga bisa dipahami sebagai persoalan planning and management land resources, sebab secara historis UUPA memiliki strategi (path of change) yang berbeda dengan pembangunan yang diterapkan oleh Orde Baru yang mengakibatkan program-program populis, seperti land reform telah ditinggalkan

. Hal ini sangat sejalan dengan apa yang akan saya bahas dalam skripsi ini karena peristiwa yang terjadi tahun 1969 di Padang Halaban adalah contoh nyata eksploitasi tingkat tinggi terhadap kepemilikan atas tanah yaitu dengan cara-cara kekerasan yaitu penggusuran.

15

14

Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 22.

15

Noer Fauzi, “Gue Perlu, Lu Jual Dong” Reformasi Menuju Pasar Tanah yang Efisien: Peta Kebijakan, Penguasaan, dan Sengketa Tanah di Akhir Abad 20, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 43.

. Dari sini Noer Fauzi ingin menjelaskan bahwa keberadaan Orde Baru menjadi jalan bagi pengusaha bermodal untuk memiliki tanah-tanah yang sebenarnya jika ditelusuri adalah kepunyaan orang atau masyarakat yang sah, namun hal seperti penggusuran menjadi hal yang biasa saja pada masa Orde Baru.


(26)

Noer Fauzi juga menyatakan bahwa kebijakan awal Orde Baru tidak menjadikan penataan penguasaan tanah (land reform) sebagai basis, tetapi memberlakukan kebijakan pengadaan tanah untuk swasta modal besar, dengan intervensi langsung dari pemerintah yang bersifat ekstra-ekonomi yang melahirkan konsekuensi berkembangnya dua persoalan mendasar dalam pertanahan, yaitu penguasaan tanah yang timpang dan sengketa tanah16. Noer Fauzi juga menambahkan bahwa dominasi modal akan tampak pada konfigurasi kekuasaan ekonomi dan politik pada zaman Orde Baru dan selanjutnya dan secara dinamis, dominasi ini mengkondisikan munculnya sengketa tanah yang demikian meluas di masa sekarang ini yang merupakan indikasi krisis dalam pembangunan (bukan krisis tanah itu sendiri)17

1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah melaksanakan hak menguasai negara;

.

Dalam bukunya berjudul Petani dan Penguasa, Noer Fauzi mengungkap ada 4 hal yang membuat land reform gagal yaitu sebagai berikut (Fauzi, 1999:54-55):

2. Tuntutan (organisasi) massa petani yang ingin mendistribusikan tanah secara segera, sehingga menimbulkan aksi sepihak;

3. Unsur-unsur anti-land reform melakukan pelbagai mobilisasi kekuatan tandingan dan siasat mengelak bahkan menggagalkan land reform;

16

Noer Fauzi, “Gue Perlu, Lu Jual Dong” Reformasi Menuju Pasar Tanah yang Efisien: Peta Kebijakan, Penguasaan, dan Sengketa Tanah di Akhir Abad 20, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 43.

17

Noer Fauzi, “Gue Perlu, Lu Jual Dong” Reformasi Menuju Pasar Tanah yang Efisien: Peta Kebijakan, Penguasaan, dan Sengketa Tanah di Akhir Abad 20, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 45.


(27)

4. Terlibatnya kekerasan antar unsur pro-land reform dengan unsur anti-land reform yang merupakan pelebaran dari konflik kekerasan pada tingkat elit negara.

Secara umum tulisan-tulisan di atas berbicara tentang kondisi yang menurut saya nyata dalam pertanahan di Indonesia yang memang pada akhirnya akan menunjukkan suatu permasalahan yang kompleks. Ujung dari semua permasalahan tanah yang ada adalah lahirnya sengketa-sengketa tanah yang sampai saat ini masih mendominasi di negeri ini18

Seperti kita ketahui bersama bahwa permasalahan tanah tidak akan pernah ada habisnya karena tanah merupakan sumber penghidupan. Pada saat ini, masalah tanah merupakan masalah yang sangat penting di Indonesia, konflik atas

. Mengacu pada tulisan-tulisan di atas, saya dalam skripsi ini ingin mengungkap permasalahan yang telah saya sebutkan di depan yaitu sengketa tanah yang terjadi antara pihak KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban yang jika ditelusuri dari historis terjadinya sengketa tanah tersebut memang sangat dekat dengan permasalahan-permasalahan tanah yang dikaji oleh Endang Suhendar, Arief Budiman, dan Noer Fauzi. Dari tulisan mereka saya menangkap bahwa permasalahan land reform dan berpindahnya pemerintahan Orde Lama menuju Orde Baru merupakan fokus dari kajian-kajian yang mereka teliti dan untuk saya pribadi ini merupakan data-data yang sangat membantu untuk memahami permasalahan tanah yang ada di Indonesia.

18

Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) terdapat 13.000 kasus sengketa tanah di Indonesia belum terselesaikan. Periode Januari 2011 hingga Juni 2011, baru sekitar 1.333 dari 14.337 perkara tanah yang terselesaikan, sebanyak-13.000-kasus-sengketa-tanah-di-indonesia-masih-terkatung-katung-) (diakses tanggal 1 Juli 2011)


(28)

tanah merupakan salah satu konflik yang paling sering terjadi, ini disebabkan karena tanah adalah alat produksi19. Kemudian Arief Budiman melanjutkan, siapa yang menguasai tanah, terutama yang terletak di daerah strategis, memiliki kemungkinan untuk memperoleh laba melimpah, oleh karena itulah, tanah menjadi rebutan berbagai orang dan kelompok20

19

Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 11.

20

Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 11.

. Tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kekerasan apabila kondisinya seperti ini dan terjadilah kemudian hal yang ekstrem dengan menghalalkan segala cara untuk memperoleh kepemilikan atas tanah yaitu dengan cara-cara seperti penggusuran. Itu semua bisa terjadi akibat dari adanya kepentingan yaitu kepentingan orang-orang tertentu dan alat yang digunakan untuk melakukan itu adalah hukum.

Atas dasar inilah saya tertarik untuk menulis sengketa tanah yang terjadi di Perkebunan Padang Halaban ini. Hal menarik yang ingin saya tunjukkan adalah bagaimana hukum dan kepentingan itu merupakan sesuatu yang berkorelasi. Kemudian apa sebenarnya masalah yang terjadi sehingga masyarakat merasa dirugikan dan merasa memiliki hak yang utuh atas tanah yang saat ini masih mereka perjuangkan. Bagaimana masyarakat yang bersengketa itu memaknai hukum dan tentunya untuk memperoleh suatu jawaban yang pasti tentang apa yang dinamakan pluralisme hukum, hukum-hukum hybrid (hybrid law), peraturan-peraturan yang hidup sebagai mekanisme pengaturan sendiri (s elf-regulation) dan living law.


(29)

Kemudian untuk menunjukkan dan memperkuat pendapat saya ini, saya akan membagi tulisan ini menjadi 4 bab pembahasan. Dua bab (II dan III) saya akan membahas kronologis, situasi dan kondisi sengketa tanah antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban dengan menyertakan proses-proses yang sedang berjalan dan akan berjalan dalam kasus tersebut. Kemudian dua bab lagi (IV dan V) saya fokuskan untuk memperkuat pendapat saya tentang hukum dan kepentingan. Ilustrasinya sebagai berikut: pada bab IV saya membahas tentang aneka ragam hukum yang “hidup” dalam kasus sengketa tanah yang terjadi antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban dengan bukti-bukti yang memang sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Selanjutnya pada bab V saya lebih menekankan lagi kepada pendapat saya tentang hukum dan kepentingan itu sendiri namun, dengan terlebih dahulu memperlihatkan bahwa ada suatu “korelasi” antara hukum dan kepentingan yang dilakukan oleh para “pelaku” hukum dan kepentingan, situasi dan kondisi yang tercipta dari adanya hukum dan kepentingan, dan di bagian akhirnya saya akan menunjukkan temuan-temuan di lapangan yang akan menguatkan pendapat saya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: menjelaskan bahwa hukum berkaitan dengan kepentingan.


(30)

1.3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara yang baru dimekarkan. Sebelumnya Kecamatan Aek Kuo masih cakupan dari Kabupaten Labuhanbatu. Namun, sejak 28 Juli 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2008, Kabupaten Labuhanbatu telah dimekarkan menjadi 3 (tiga) kabupaten yaitu: Labuhanbatu Utara, Labuhanbatu, dan Labuhanbatu Selatan. Alasan utama memilih lokasi ini adalah karena banyaknya terjadi sengketa tanah di daerah ini dan saat ini masalah sengketa tanah memang mendominasi di 3 (tiga) Kabupaten ini. Setidaknya ada 3 (tiga) kasus besar21

Perjalanan menuju Kecamatan Aek Kuo akan banyak dijumpai ribuan pohon kelapa sawit milik beberapa perkebunan kelapa sawit swasta. Memasuki perjalanan menuju kecamatan akan banyak dijumpai sarana jalan yang rusak dengan kondisi berbatu dan tanah bergelombang. Sarana jalan sudah lama tidak diaspal kembali padahal sudah rusak parah bahkan ada beberapa kilometer yang memang tidak pernah diaspal. Bila saat musim kering maka jalan akan berdebu yang saat ini masih ditangani oleh pihak yang berwajib selain dari kasus yang akan diteliti yaitu sengketa tanah antara Kelompok Petani di Desa Sukarame Dalam berseteru dengan pihak PT. Sawita Leidong Jaya (Labuhanbatu Utara), masalah sengketa tanah warga desa di Desa Bagan Bilah, Kecamatan Panai Hilir berseteru dengan pihak PTPN4 Ajamu (Labuhanbatu), dan perseteruan warga Desa Sei Meranti dengan pihak PT. Sinar Belantara Indah (SBI) (Labuhanbatu).

21


(31)

dan bila saat musim penghujan maka jalanan akan becek dan berlumpur. Sungguh ironis bila melihat ada banyak perusahaan perkebunan yang berdiri di Kecamatan Aek Kuo yang mana mereka setiap harinya dengan truk-truk perusahaan yang mengangkut hasil kelapa sawit melewati jalan yang rusak tersebut. Padahal sesuai peraturan pemerintah mengenai pendirian peruasahaan di sekitar pemukiman penduduk maka perusahaan memiliki tanggung jawab dimana sebagian dari hasil perusahaan digunakan untuk membantu pertumbuhan desa sekitar perusahaan atau lebih dikenal dengan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT – Undang-undang Perseroan Terbatas) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM – Undang-undang Penanaman Modal). Salah satu pasalnya yaitu pasal 74 UUPT menyebutkan bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika tidak dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Namun, seperti kebanyakan perusahaan lainnya di Indonesia perusahaan perkebunan yang ada di Kecamatan Aek Kuo pun kerap melanggar pertauran ini. Hal ini dapat dilihat dengan kondisi Kecamatan Aek Kuo sendiri yang dikelilingi begitu luas perkebunan kelapa sawit dengan keuntungan yang saya kira sangat besar tetapi, keadaan desa-desa di sekitar perkebunan tetap saja tidak berubah dan yang paling kelihatan memang adalah kondisi jalan lintas yang tidak pernah diperhatikan.


(32)

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan skripsi ini adalah tidak hanya melihat hukum-hukum ideal tetapi menunjukkan perilaku dan persepsi tiap-tiap orang terhadap hukum-hukum lain yang hidup di tengah-tengah masyarakat secara aktual. Skripsi ini juga menggambarkan bahwa hukum itu ternyata merupakan alat yang digunakan orang untuk mencapai apa yang orang tersebut inginkan. Selain itu, skripsi ini ingin mengungkap hukum itu dalam kenyataannya yang tidak jauh-jauh dari adanya kepentingan. Bagaimana orang membuat pilihan-pilihan hukum dalam mengahadapi kasus sengketa; yang dalam hal ini sengketa tanah, juga terlihat dalam kasus sengketa tanah antara masyarakat KTPH-S dengan perusahaan perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban yang termuat dalam skripsi ini. Sehingga skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam melihat permasalahan hukum; dalam hal ini tinjauan secara antropologi hukum. Tulisan ini diharapkan dapat memperkaya literatur dan wawasan pengetahuan antropologi yang dikaitkan dengan hukum.

Manfaat penelitian ini sendiri diharapkan secara akademis dapat menambah wawasan keilmuan terutama dalam melihat realita dan permasalahan di tengah masyarakat untuk dijadikan sebuah kajian dan pembelajaran. Dalam hal ini tentu saja akan menambah wawasan berpikir terutama dalam bidang antropologi dan kaitannya dengan judul dan permasalahan dalam tulisan ini yaitu mendeskripsikan kasus sengketa tanah yang terjadi antara masyarakat KTPH-S dengan perusahaan perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban.


(33)

1.5. Tinjauan Pustaka

Menurut Joyo Winoto (2008), tanah memiliki keterkaitan erat dengan kebangsaan dan pembangunan. Lebih lanjut lagi Joyo Winoto mengatakan ada empat hal yang harus diketahui sebelum masuk kepada persoalan tanah. Pertama, tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagaimana tertera dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa ujung cita-cita negara Indonesia adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi, apa yang dikatakan Joyo Winoto tentang tanah untuk kemakmuran rakyat adalah mengacu kepada Pembukaan UUD 1945 yang secara nyata harusnya diusahakan sedemikian rupa oleh negara untuk pencapaian tujuannya tersebut. Kedua, tanah sebagai identitas kebangsaan. Identitas kebangsaan yang dimaksud di sini adalah bahwa tanah merupakan kekayaan nasional yang diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, sejatinya menjadi hak dari bangsa Indonesia dan bukan semata‐mata aset pemiliknya. Bagi bangsa Indonesia, hubungan dengan tanah merupakan hak yang sangat mendasar dan asasi. Hubungan ini sangat menentukan dalam membentuk kesejahteraan, keadilan, sekaligus harmonisasi bangsa. Namun, jika hubungannya tidak tersusun baik, sudah dapat diduga yang akan muncul adalah penderitaan panjang bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Kemiskinan serta konfllk berkepanjangan akan terus berlangsung. Ketiga, tanah harus memiliki fungsi keadilan sosial. Fungsi keadilan sosial yang digambarkan Joyo Winoto yaitu pemegang hak atas tanah tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan tanahnya untuk kepentingan pribadi semata. Penggunaan dan pemanfaatan tanah harus sesuai dengan keadaan dan


(34)

sifat haknya, sehingga memberikan manfaat sebesar‐besarnya bagi pemegang hak, masyarakat, dan negara. Hal ini bukan berarti kepemilikan serta kepentingan perseorangan terabaikan oleh kepentingan umum. Berkaitan dengan ini Joyo Winoto menambahkan bahwa jika konsentrasi akses terhadap tanah secara berlebihan dan hanya tertumpu pada segelintir orang, ini indikasi “tidak sehat”. Namun, pada kenyataannya sekarang ini hal yang “tidak sehat” seperti yang dikatakan Joyo Winoto inilah yang sering mengisi bangsa ini. Keempat, tanah untuk kehidupan. Terbukanya akses rakyat kepada tanah dan kuatnya hak rakyat atas tanah memberikan kesempatan pada rakyat untuk memperbaiki sendiri kesejahteraan sosial ekonominya, hakhak dasarnya terpenuhi, martabat sosialnya meningkat, rasa keadilannya tercukupi, dan akan tercipta harmoni sosial. Apa yang diungkapkan Joyo Winoto ini merupakan ucapan formal yang masih harus diuji secara empiris untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya terjadi di “lapangan” itu seperti apa.

Bagi sebagian orang Jawa yang masih menggantungkan hidupnya dari bertani pastilah memandang tanah sebagai aset penting dalam menunjang keberlangsungan pertaniannya. Hal ini dikarenakan tanah bagi mereka berfungsi sebagai aset produksi untuk dapat menghasilkan komoditas hasil pertanian, baik untuk tanaman pangan ataupun tanaman perdagangan. Posisi penting tanah dalam masyarakat pedesaan Jawa terlihat dari istilah "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati" yang berarti sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati22

22

. Istilah tersebut menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat Jawa dalam


(35)

memaknai tanah, bahkan dalam mempertahankan tanah harus dibela meskipun sampai mati. Hal ini menunjukkan bahwa tiap jengkal tanah berselimutkan kehormatan dan martabat pemiliknya. Tanah dengan demikian merupakan persoalan hidup mati (survival), kepentingan, harga diri, eksistensi, ideologi, dan nilai (Sastroatmodjo, 2007:28). Apa yang dikatakan Sudijono Sastroatmodjo ini tentu sangat mendukung pendapat bahwa orang Jawa memiliki pandangan mereka sendiri atas tanah. Permasalahan tanah inilah yang menurut Sartono Kartodirdjo pada akhirnya mampu menggerakan masyarakat, dalam hal ini adalah petani, untuk melakukan gerakan protes petani, sebuah gerakan protes menentang pemaksaan oleh tuan tanah maupun pemerintah dan permasalahan tanah ini pulalah yang dapat memicu gerakan petani lainnya, yakni gerakan messianistis, yaitu gerakan yang menginginkan terciptanya dunia baru serba adil, dan gerakan

revivalis yaitu gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan masa lampau (Padmo, 2000:1). Keadaan yang seperti ini mungkin akan banyak terjadi melihat kondisi saat ini, nilai tanah semakin lama semakin tinggi. Ini jugalah yang menjadi pemicu terjadinya sengketa tanah.

Begitu juga yang terlihat pada masyarakat Madura. Bagi orang Madura, tanah pertanian merupakan aset kekayaan yang tidak ternilai harganya. Seperti yang dikatakan A. Latief Wiyata, kehidupan mereka amat bergantung sekaligus ditopang secara dominan oleh tanah. Lebih penting lagi, A. Latief Wiyata menambahkan bahwa tanah yang mereka miliki hampir pasti merupakan warisan orangtua atau kakek-nenek secara turun-temurun. Status pemilikan tanah seperti


(36)

ini dalam bahasa Madura tana sangkolan memiliki makna dan kekuatan sakralitas23

a. Pra-konflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang. .

Pentingnya arti tanah bagi orang Jawa dan Madura dalam uraian di atas menandakan bahwa tanah adalah sumber kehidupan yang akan membuat orang berlomba-lomba untuk memiliki tanah seluas-luasnya. Berkaitan dengan hal ini, saat ini kebutuhan akan sebidang tanah di zaman modernisasi ini akan semakin bernilai jual tinggi bahkan sangat mahal ketika tanah itu memiliki letak yang strategis untuk didirikan sebuah bangunan, unsur hara yang baik untuk lahan pertanian, nilai sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, yang pada akhirnya memiliki nilai ekonomi yang dapat menghasilkan uang. Melihat dari fisik tanah yang di bumi ini terbatas, tetapi kebutuhan manusia yang tidak terbatas sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya perebutan kekuasaan atas tanah atau terjadinya sengketa tanah.

Tinjauan di atas menyatakan bahwa konflik maupun sengketa akan sangat sering terjadi. Untuk lebih jauh lagi memahami proses-proses itu Nader dan Todd (Ihromi, 1993:225) mengemukakan pandangan mengenai adanya tiga fase dalam sengketa, yaitu:

b. Konflik adalah keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut.

c. Sengketa adalah keadaan di mana konflik tersebut dinyatakan di muka umum atau dengan melibatkan pihak ketiga.

tanggal 10 Oktober 2011)


(37)

Saya akan mencoba menguraikan apa yang saya tangkap dari tiga fase dalam sengketa Nader dan Todd ini sebagai berikut: tahap pra-konflik terjadi pada kondisi di mana seseorang maupun kelompok merasa bahwa telah terjadi suatu ketidakadilan yang didasari atas rasa ketidakpuasan terhadap suatu masalah yang melibatkannya sehingga muncul suatu keluhan. Biasanya hal-hal yang demikian ini sering terjadi pada kondisi di mana ada yang dipermasalahkan atau dengan kata lain ada kasus yang terjadi baik itu sifatnya individu maupun kolektif, intinya ada pihak yang merasa dirugikan. Tetapi, perasaan tidak puas tersebut tidak atau mungkin belum disadari atau dengan kata lain belum diungkapkan dan masih dipendam sendiri. Pada saat rasa tidak puas akan ketidakadilan ini disadari oleh pihak-pihak tersebut maka tahap pra-konflik telah berubah menjadi konflik. Sebenarnya tahap pra-konflik bisa saja selesai jika terjadi perdamaian. Tetapi, sepertinya yang lebih akan sering terjadi adalah konflik yang berkepanjangan yang akhirnya konflik dipublikasikan dan melibatkan pihak ketiga dan pada saat kondisi seperti ini maka tahapan konflik telah masuk ke tahap sengketa. Pihak ketiga di sini baik individu maupun kelompok akan mulai aktif dalam permasalahan yang terjadi. Sebenarnya ketiga tahap di atas tidak harus terjadi secara berurutan, karena bisa saja pihak-pihak yang merasa dirugikan akan langsung meneruskan keluhan dan rasa ketidakadilan yang didapatnya ke tahap sengketa tanpa harus melalui tahap konflik.


(38)

Sedangkan menurut Comaroff dan Roberts (Ihromi, 1993:225) sengketa dapat timbul di antara:

1. Individu -individu dari :

a. Kelompok yang berbeda, misalnya pada sengketa tanah yang terjadi antara individu dari klen yang berbeda.

b. Satu kelompok (within group and inter group), misalnya pada sengketa tanah waris antar individu dari satu klen. Oleh Comarroff dan Roberts bentuk sengketa ini dinamakan ‘interhouse’ atau ‘intergenerational’. 2. Kelompok-kelompok (antar kelompok atau intra group), yaitu sengketa antar

sub-sub kelompok yang otonom dalam satu kelompok atau antar kelompok yang besar yang otonom dalam masyarakat yang dinamakan sengketa

intrahouse.

Jika mengacu kepada pendapat Comaroff dan Roberts di atas, maka dalam permasalahan sengketa tanah yang terjadi di Padang Halaban adalah sengketa intrahouse karena melibatkan sebuah kelompok yang mewakili masyarakat dengan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta. Tentunya tinjauan ini akan membantu saya dalam proses mengetahui sengketa-sengketa seperti apa saja yang sebenarnya dapat terjadi di dalam kenyataan empirisnya.

Permasalahan sengketa yang terjadi tentunya akan sampai kepada bagaimana proses yang akan ditempuh untuk menyelesaikannya dan penggunaan hukum lokal, hukum-hukum hybrid (hybrid law), hukum negara; dalam hal ini hukum peradilan, maupun hukum-hukum lain yang hidup sebagai mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) atau juga hukum-hukum tidak bernama


(39)

(unnamed law), merupakan tahapan terhadap proses penyelsaian terhadap masalah sengketa yang ada. Hal ini akan dapat diketahui jika yang diteliti adalah kasus-kasus sengketa. Kemudian jika ditelusuri dari apa yang terjadi pada kasus-kasus-kasus-kasus sengketa tersebut siapakah yang melakukan pelanggaran terhadap norma yang ada, maka, hal itu akan dapat menunjukkan struktur dari masyarakat yang bersangkutan.

Kemudian saya meminjam apa yang dinamakan oleh Laura Nader

disputing process untuk memahami masalah sengketa tanah. Berbeda dengan Hoebel yang menyatakan bahwa dalam penerapan metode kasus sengketa memaksudkan kajiannya sebagai alat untuk mengungkapkan hukum substantif dan juga prosedur-prosedur yang ditempuh serta untuk dapat memperlihatkan nilai-nilai dalam hukum dan postulat-postulat hukum (Ihromi, 1993:207). Nader lebih menekankan pada kajian tentang proses yang berlangsung mulai dari adanya keluhan-keluhan, ungkapan perasaan, adanya perlakuan yang tidak adil, selanjutnya melihat apakah sengketa mengalami proses eskalasi atau tidak, bagaimana penanganan selanjutnya dan adakah penyelesaian atau tidak (Ihromi, 1993:207). Maka, dari sini dapat dilihat bahwa Hoebel masih terpaut terhadap pandangan bahwa hukum itu sebagai perangkat aturan sedangkan Nader lebih cenderung memaknai hukum sebagai sebuah proses. Kedua pendapat para ahli ini akan saya terapkan dalam usaha saya mencari jawaban apa sebenarnya yang terjadi pada kasus sengketa tanah yang melibatkan KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban dalam skripsi ini. Namun, saya pribadi memang lebih cenderung kepada apa yang dikatakan Nader bahwa hukum itu bukan hanya


(40)

sebuah tatanan yang berisi tentang peraturan-peraturan itu saja tetapi, lebih dari itu proses berjalannya hukum itu adalah merupakan hukum.

Roscoue Pound mengungkapkan bahwa hukum adalah alat untuk rekayasa sosial (Ihromi, 1993:148). Sejalan dengan ini, Moore mengatakan pokok yang mendasari pandangan rekayasa sosial ini adalah bahwa hubungan-hubungan sosial rentan terhadap kontrol manusia yang terkendali dan bahwa alat yang digunakan untuk mencapai kontrol ini adalah hukum (Ihromi, 1993:149). Kemudian dari sini Moore merumuskan bahwa hukum merupakan sebuah istilah ringkasan yang menggambarkan suatu himpunan yang kompleks dari prinsip-prinsip, norma-norma, ide-ide, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan, dan untuk kegiatan-kegiatan dari alat-alat perlengkapan negara yang berkenaan dengan perundang-undangan, pemerintahan, peradilan dan pelaksanaan putusannya yang didukung oleh kekuatan politik dan legitimasi (Ihromi, 1993:149). Di masyarakat sekitar perkebunan Padang Halaban sendiri yang mayoritas penduduknya adalah masyarakat Jawa tentunya mempunyai prinsip-prinsip, norma-norma, ide-ide, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan yang merupakan hukum-hukum yang berjalan dalam segi-segi kehidupan mereka. Kemudian hukum-hukum seperti hukum lokal, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya yang tidak tertulis mungkin saja tetap ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat sekitar perkebunan Padang Halaban.

Kehadiran pluralisme hukum pada dasarnya dimunculkan sebagai tanggapan terhadap adanya paham sentralisme hukum, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa hukum sudah seharusnya merupakan hukum negara, berlaku


(41)

seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari semua hukum yang lain dan dijalankan oleh seperangkat lembaga-lembaga negara “...law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions” Griffith (Ihromi, 1993:243). Bahkan Griffith berpendirian bahwa pluralisme hukum dan sentralisme hukum merupakan dua kutub yang secara tegas saling berhadapan (Ihromi, 1993:243).

“Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion”, “Pluralisme hukum adalah fakta. Sentralisme hukum adalah mitos, ideal, klaim, ilusi” Griffith (Ihromi, 1993:243). Sedangkan konsepsi pluralisme hukum menurutnya adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial “By ‘legal pluralism’ I mean the presence in a social field of more than one legal order” Griffith (Ihromi, 1993:243). Pandangan pluralisme hukum menolak pandangan sentralisme hukum yang berpendapat bahwa hukum itu hanya hukum yang berasal dari negara saja atau hukum positif.

Pendekatan prosesual dapat digunakan untuk menjelaskan masalah hukum yang mendominasi perkembangan antropologi hukum sampai saat ini. Masalah pluralisme hukum dalam pandangan prosesual yaitu setiap orang menanggapi suatu aturan hukum tertentu dengan cara yang berbeda, karena mereka tentunya memiliki pengetahuan, harapan-harapan, dan kepentingan-kepentingan, atau lebih tepat lagi kita sebut budaya hukum yang berbeda. Hal ini dapat kita lihat ketika seseorang dihadapkan pada pilihan-pilihan terhadap pranata hukum, maka, seseorang itu akan memilih suatu pranata hukum yang dianggapnya paling bisa memungkinkan ia untuk mendapat akses yang lebih terhadap pemenuhan


(42)

kepentingannya. Dalam hal ini ia bisa memilih satu jalur hukum tertentu atau boleh jadi ia akan melakukan kombinasi atau memilih lebih dari satu aturan hukum untuk proses penyelesaian yang tentunya akan menguntungkannya.

Berkaitan dengan hal ini, saya mengikuti temuan-temuan dari Keebet von Benda-Beckmann dalam bukunya berjudul Goyahnya Tangga Menuju Mufakat

(2000) bahwa seseorang akan memilih suatu hukum atau kombinasi lebih dari satu aturan hukum. Suatu konsep yang dimunculkan untuk menggambarkan hal tersebut yaitu konsep forum shopping yang menerangkan bahwa orang-orang yang bersengketa dapat memilih berbagai lembaga dan mendasarkan pilihannya pada hasil akhir apakah yang diharapkan dari sengketa tersebut (K. von Benda-Beckmann, 2000:64). Sebaliknya, sebagaimana para pihak, institusipun (sebenarnya yang lebih tepat bukanlah institusinya, tetapi fungsionarisnya) mempunyai pilihan untuk menolak atau menerima suatu perkara berdasarkan kepentingan politik. Hal itu tertuang dalam konsep shopping forums yang menerangkan bahwa bukan orang-orang yang bersengketa saja yang memilih-milih lembaga penanganan sengketa, melainkan lembaga yang terlibat itu juga menggunakan sengketa untuk tujuannya sendiri, terutama untuk tujuan politik lokal (K. von Beckmann, 2000:65). Kemudian Keebet von Benda-Beckmann juga menambahkan lembaga-lembaga tersebut dengan para pejabat yang ada di dalamnya, biasanya memiliki kepentingan yang berbeda dari kepentingan pihak yang bersengketa dan biasanya mereka menggunakan jalur penanganan sengketa ini untuk mencapai kepentingan mereka.


(43)

Jadi, setiap norma tersebut lengkap dengan pranatanya, sehingga memungkinkan untuk memilih pranata hukum mana yang dapat memberikan peluang untuk mencapai keinginan mereka (forums shopping) dan sebaliknya juga tidak tertutup kemungkinan bahwa pranata hukum yang ada juga ikut memilih kasus mana yang akan mereka tampung dan mana yang ditolak, berdasarakan kepentingan lembaga itu sendiri (shopping forums). Seperti apa yang dikemukakan oleh Keebet von Benda-Beckmann tentang forum shopping dan

shopping forums ini, dalam menjelaskan pola pilihan hukum dan pranatanya itu tidak dapat dilepaskan dari sitem kebudayaan, sistem kepercayaan, dan sistem hukum yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam tinjauan antropologi hukum kajian mengenai kasus-kasus sengketa pada dasarnya dimaksudkan untuk mengungkapkan latar belakang dari munculnya kasus-kasus tersebut, cara-cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa, mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang digunakan, dan sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada pihak yang dipersalahkan, sehingga dapat diungkapkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, prosedur-prosedur yang ditempuh, dan nilai-nilai budaya yang mendukung proses penyelesaian sengketa tersebut. Nader dan Todd mengatakan bahwa materi kasus sengketa yang dapat dikaji untuk memahami hukum yang berlaku dalam masyarakat meliputi kasus-kasus sengketa yang dapat dicermati mulai dari awal sampai sengketa diselesaikan; kasus-kasus sengketa yang dapat dikaji melalui dokumen keputusan-keputusan pemegang otoritas yang diberi wewenang menyelesaikan sengketa; kasus-kasus sengketa yang dapat direkam dari ingatan-ingatan para tokoh masyarakat atau para


(44)

pemegang otoritas; dan kasus-kasus sengketa yang masih bersifat hipotetis (Ihromi, 1993:200). Dengan menggunakan tinjauan ini maka, seluk beluk permasalahan sengketa tanah yang terjadi antara pihak KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban yang menjadi objek dalam penelitian ini akan dapat mengungkap proses-proses apa saja yang berlangsung dari awal sekali sampai keadaan yang terjadi pada saat ini.

Kemudian meminjam apa yang dirumuskan oleh Nader dan Todd (Ihromi, 1993:210-212) yang mengungkapkan bahwa ada berbagai cara yang dilakukan dalam menyelesaikan sengketa yaitu:

a. Membiarkan saja atau lumping it. Pihak yang merasakan perlakuan yang tidak adil, gagal dalam upaya untuk menekankan tuntutannya. Dia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalah atau isu-isu yang menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan hubungan-hubungannya dengan pihak yang ia rasakan merugikannya.

b. Mengelak atau avoidance. Pihak yang merasa dirugikan, memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya bahkan sama sekali menghentikan hubungan tersebut.

c. Paksaan atau coercion, satu pihak memaksakan pemecahan pada pihak lain. Ini bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat memaksakan ini atau ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi kemungkinan penyelesaian secara damai.


(45)

d. Perundingan atau negotiation. Dua pihak yang berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan dari masalah yang mereka hadapi dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat, tanpa adanya pihak ketiga yang mencampurinya.

e. Mediasi atau mediation. Dalam cara ini ada pihak ketiga yang membantu kedua pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan.

f. Arbitrase. Dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk meminta perantara pihak ketiga, arbitrator, dan sejak semula telah setuju bahwa mereka akan menerima keputusan dari arbitrator itu.

g. Peradilan atau adjudication. Pihak ketiga mempunyai wewenang untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan itu artinya berupaya bahwa keputusan dilaksanakan.

Karakter khas lain dari antropologi hukum adalah berbagai sistem hukum dalam masyarakat di berbagai belahan dunia dipelajari dengan memfokuskan pada proses-proses mikro yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, metode holistik dalam mengkaji pluralisme hukum dalam masyarakat sangat membantu menjelaskan mekanisme, prosedur, dan institusi-institusi hukum dan bekerjanya hukum serta keterkaitannya dengan aspek politik, ekonomi, religi, organisasi sosial, dan ideologi.

Berkaitan dengan ini saya meminjam pandangan Sulistyowati Irianto yang menyatakan, hal yang sebenarnya tidak boleh terlewat dalam pluralisme hukum yaitu bahwa interaksi sistem-sistem hukum yang saling berbeda antara hukum


(46)

negara dengan hukum-hukum lainnya terjadi dalam arena sosial (Ihromi, 1993:243). Sulistyowati Irianto menyatakan bahwa arena sosial inilah yang merupakan tempat di mana terjadi transaksi ekonomi, kontak-kontak kekerabatan dan sosial, hubungan-hubungan politik dan keagamaan, dan hubungan-hubungan lain (Ihromi, 1993:243). Di sinilah terjadi interaksi hukum, karena menurut Sulistyowati Irianto bahwa letak hukum adalah dalam masyarakat. Dengan kata lain, bahwa yang dinamakan hukum itu bukan hanya sebuah peraturan saja melainkan proses interaksi yang terjadi dalam kancah peraturan itu sendiri adalah merupakan sebuah hukum. Jadi, di dalam hukum itu sendiri akan sering terjadi pelanggaran-pelanggaran. Meminjam apa yang dikatakan Sulistyowati Irianto tentang arena sosial ini maka, dalam penelitian yang saya lakukan bisa dengan mudah memahami dan mengungkap apa sebenarnya yang terjadi di dalam kasus sengketa tanah antara pihak KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban.

Kemudian, mengutip tulisan Martin Ramstedt yang berjudul Menafsirkan Kembali Tata Norma Bali Pasca-Orde Baru: Reformasi Negara dan Kegalauan Makna Ke-Bali-an. Dalam tulisan ini pada satu bagian Ramstedt manggambarkan bahwa hukum dijadikan sebagai alat untuk membentengi Bali. Lebih jauh lagi dalam penggambarannya Ramstedt menguraikan bahwa di Bali setelah masa Orde Baru berakhir dan memasuki era otonomi daerah dibuat Perda-perda yang sengaja dibuat untuk mengatur agar mereka bisa tetap eksis dalam identitas ke-Balian mereka. Salah satu contohnya yaitu membentuk Perda Provinsi Bali No. 3/2001 untuk “Desa Pakraman” isinya sebagai berikut:


(47)

“Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga [tiga rumah ibadah yang dipersembahkan kepada Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai ketiga aspek Tuhan Yang Maha Esa, M.R.] atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.” Windia (Ramstedt, 2011:60).

Dari hal ini memberikan gambaran kepada saya tentang situasi hukum yang sedang berjalan di Indonesia terlebih lagi tinjauan pustaka Ramstedt ini tentunya mendukung kepada topik penelitian saya dan ini akan saya pakai dalam melihat situasi dan kondisi hukum pada sengketa tanah yang terjadi antara KTPH-S dengan PT. KTPH-SMART Tbk. Padang Halaban.

Kemudian yang berkenaan dengan sengketa tanah di Padang Halaban dalam kajian kasus yang akan saya teliti saya meminjam pendapat Noer Fauzi tentang pola sengketa tanah yang pokok terjadi di Indonesia sebagi berikut:

1. Sengketa tanah karena penetapan fungsi tanah sebagai sumber eksploitasi, seperti hutan untuk eksploitasi kayu dan eksploitasi tambang. Contoh yang terkenal adalah tanah adat suku Amungme - Irian yang diambil oleh PT. Freeport dalam rangka eks- ploitasi tambang emas dan tembaga; Tanah suku Dayak Bentian - Kalimantan Timur yang diambil oleh PT. Kahold Utama untuk Hutan Tanaman Industri. Variasinya, terjadi pula di Jawa; Perhutani memaksa petani keluar dari wilayah hutan produksi yang mereka klaim, seperti yang terjadi di Sagara - Jawa Barat.


(48)

2. Sengketa tanah akibat program swasembada beras (revolusi hijau). Prakteknya mengakibatkan penguasaan tanah yang terkonsentrasi di satu pihak dan membengkaknya jumlah petani tak bertanah. Gejala ini terjadi di pantai utara Jawa: penguasaan sawah lebih dari 50 ha di tangan satu orang, lebih dari 50% petani tak bertanah -- seperti yang terjadi di Subang pantai utara Jawa Barat. Dalam rangka revolusi hijau, pem- bangunan waduk-waduk besar juga menggusur tanah-tanah petani seperti di Kedung Ombo - Jawa Tengah dan Saguling di Jawa Barat.

3. Perkebunan-perkebunan mengambil alih tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai

rakyat. Contoh historisnya adalah tanah rakyat Penunggu (Jaluran) Sumatera Utara, yang dijadikan lokasi perkebunan. Sengketa yang baru-baru ini meledak terjadi di Jenggawah - Jawa Timur. Variasi sengketa ini adalah konflik pihak perkebunan dengan petani dalam hubungan Inti-Plasma dalam program Perusahaan Inti Rakyat - Perkebunan (PIR-Bub) -- seperti yang terjadi di Arso - Irian Jaya, Sei Lepan Sumatera Utara, PIRLOK di Silau Jawa Kabupaten Asahan - Sumut, dan Cimerak - Jawa Barat.

4. Penggusuran tanah untuk industri jasa, seperti untuk perumahan mewah, hotel-hotel dan fasilitas swasta. Di Jabotabek, luas tanah yang dikuasai oleh perusahaan- perusahaan real estate sudah lebih luas dari kota Jakarta itu sendiri. Di Bali, terjadi peng- gusuran dan pengalihan fungsi lahan pertanian untuk pembangunan sarana dan prasarana pariwisata. Di pesisir Lombok, terjadi penggusuran rakyat di Pemongkong dan Gilitrawangan untuk kawasan wisata. Di Jawa Barat saja terdapat setidaknya 21 lapangan golf.


(49)

5. Penggusuran tanah untuk "program pembangunan" oleh pemerintah sendiri. Tanah dibutuhkan untuk pembangunan jalan, gedung-gedung pemerintah, sarana militer, dan lainlain. Sengketa tanah Blangguan di Jawa Timur merupakan contoh penetapan tanah rakyat untuk tempat latihan marinir.

6. Pencaplokan tanah untuk pabrik-pabrik di dalam maupun di luar kawasan

industri. Sengketa tanah ini merebak di kawasan Jabotabek dan "pusat- pusat pertumbuhan ekonomi" lainnya. Calo-calo tanah mereguk uang dengan cara menekan harga pembelian ke rakyat, kemudian menjualnya ke pemodal besar dengan harga tinggi.

7. Pencabutan hak tanah rakyat atas nama kelestarian lingkungan. Rakyat di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat - Jambi dan Pulo Panggung - Lampung harus tersingkir karena pemerintah menetapkan lokasi perumahan dan kebun rakyat untuk hutan lindung, kawasan suaka marga satwa, taman nasional dan sejenisnya.

Jika mengacu pada pengelompokkan ini maka sengketa tanah di Padang Halaban antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban masuk ke dalam bagian yang nomor 3. Ini akan coba saya terapkan dan buktikan di lapangan secara empiris yang terjadi sebenarnya seperti apa.

1.6. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode etnografi24

24

Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Istilah “etnografi” digunakan untuk menunjuk aktifitas mempelajari kebudayaan dan dengan produk akhir “sebuah etnografi” (Spradley, 1997:21).

. Ada dua cara yang sering digunakan dalam penelitian etnografi untuk memperoleh


(50)

data yaitu melalui observasi partisipasi (participant observer)25

Dengan melakukan observasi partisipasi, maka yang saya lakukan sebagai peneliti yang akan menulis sebuah skripsi adalah tinggal dan menetap di lokasi penelitian saya. Hal ini perlu dilakukan dengan tujuan data yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan atau bahasa ilmiahnya valid. Dengan tinggal dan menetap bersama masyarakat yang diteliti, menjalin komunikasi dan mengakrabkan diri dengan masyarakat akan menjadi lebih mudah dan akhirnya dari situasi dan kondisi seperti ini, hubungan yang baik (rapport) dengan masyarakat setempat akan lebih mudah tercapai. Tahapan untuk menjalin hubungan yang baik tentunya berbeda-beda tiap peneliti dalam melakukannya sesuai dengan objek penelitian yang dilakukan tentunya. Sehubungan dengan ini saya hanya lebih banyak bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat setempat terutama terhadap masyarakat Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPH-S). Dalam usaha saya untuk dapat diterima oleh masyarakat setempat saya tinggal dan menetap di lokasi penelitian selama satu bulan sehingga secara sadar saya dapat lebih dalam untuk proses memahami apa sebenarnya yang terjadi di desa tersebut terkait dengan topik yang akan saya tulis yaitu yang berkenaan dengan kasus sengketa tanah antara kelompok KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban. Keadaan di

dan wawancara. Dengan observasi partisipasi peneliti bisa ikut serta dalam mengamati langsung serangkaian kegiatan masyarakat, melihat, dan memahami masalah yang menjadi objek dalam penelitian.

25

Observasi partisipasi yang dimaksud adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktifitas kehidupan objek pengamatan. Dengan demikian, pengamat betul-betul menyelami kehidupan objek pengamatan dan bahkan tidak jarang pengamat kemudian mengambil bagian dalam kehidupan mereka (Bungin, 2008:116).


(51)

mana berinteraksi dengan masyarakat yang sedang bersengketa memang sangat sensitif sekali jika tidak dapat menempatkan diri dengan benar. Namun, selama satu bulan penuh berinterkasi dengan mereka tidak begitu banyak kendala yang saya dapatkan.

Hubungan yang baik sangat perlu dilakukan agar apa yang didapat dari informan merupakan suatu data yang benar-benar valid. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa kita telah diterima oleh masyarakat setempat yaitu pada saat terjadi keadaan di mana : 1) ketika informasi-informasi yang mengenai penelitian kita mereka kumpulkan untuk kita tanpa ada kita minta. 2) ketika kita tidak lagi dianggap sebagai orang asing di tempat mereka. Hal-hal yang demikian ini bisa kita jadikan sebuah indikator bahwa data yang akan kita dapat adalah suatu data yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Banyak kegiatan yang saya lakukan pada saat tinggal dan menetap di lokasi penelitian. Tentunya kesemua itu saya lakukan dengan tujuan untuk bisa menciptakan hubungan yang baik dengan masyarakat setempat karena menurut saya jika belum terwujudnya suatu hubungan yang baik antara peneliti dan yang diteliti maka tidak akan dapat diperoleh suatu gambaran yang nyata tentang suatu objek yang akan diteliti sehingga data yang diperoleh akan sulit untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal yang pertama sekali saya lakukan dalam proses pengumpulan data yaitu ikut serta dengan masyarakat setempat meng-angon hewan ternak (lembu dan kambing). Biasanya mereka melakukannya dengan rombongan dan berkumpul di satu tempat yang memang banyak terdapat rerumputan untuk makanan lembu dan kambing. Dari aktivitas ini saya banyak berkenalan dengan


(52)

warga setempat. Selama beberapa hari saya melakukan hal ini, agar bisa mengakrabkan diri dengan masyarakat. Kemudian, saya juga ikut terlibat langsung pada acara-acara perwiritan yang seminggu sekali diadakan bergiliran dari rumah ke rumah. Kemudian saya juga ikut melakukan gotong royong membersihkan desa yang diadakan masyarakat setempat setiap Sabtu sore. Saya juga beberapa kali mengikuti rapat desa yang diadakan di Balai Desa Sidomulyo. Namun, dari kesemua itu yang paling penting menurut saya adalah hal di mana saya bisa menghadiri secara langsung rapat yang dilakukan KTPH-S. Dengan demikian, semakin banyak data yang bisa saya peroleh tanpa harus melakukan wawancara karena dalam antropologi informasi-informasi yang sifatnya sensitif bisa didapatkan melalui observasi partisipasi. Hal-hal yang demikian inilah yang saya lakukan dalam usaha saya untuk dapat menjalin rapport dengan masyarakat yang diteliti. Setelah saya diterima maka, penelitian akan dapat dilakukan dengan mudah mengingat posisi saya bagi mereka tidak lagi merupakan orang asing.

Menjalin rapport merupakan hal yang paling penting dalam melakukan penelitian di manapun penelitian itu berlangsung, jadi yang ingin saya tekankan pada bagian metode penelitian ini adalah bahwa hubungan yang baik dengan objek yang akan diteliti adalah merupakan hal mutlak yang harus dilakukan agar data yang kita peroleh menjadi suatu etnografi yang utuh karena dalam etnografi sendiri hal-hal sekecil apapun dalam proses penelitian yang berlangsung akan menjadi sangat penting untuk keberhasilan penelitian yang dilakukan.


(53)

Setiap penelitian lapangan yang dilakukan tentunya mempunyai kendala-kendala yang dihadapi dalam proses pengumpulan data yang dilakukan dan secara pribadi saya juga menemukan hal itu dalam penelitian proses mengumpulkan data di lapangan. Terhadap masyarakat setempat sebenarnya tidak ada kendala yang begitu berarti karena masyarakat sejauh saya menerangkan dari mana asal saya dan untuk apa tujuan saya datang ke desa mereka, saya dapat diterima dengan baik dan sepertinya mereka menyambut positif setiap mahasiswa yang datang ke desa mereka untuk melakukan penelitian karena pada saat saya ke lapangan ternyata ada juga beberapa orang mahasiswa yang sedang Praktek Kerja Lapangan (PKL) di desa ini dan saya melihat bahwa mereka juga diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Bagian yang paling menjadi kendala bagi saya adalah ketika masuk ke wilayah kantor Perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban. Begitu banyak prosedur yang harus saya penuhi agar dapat bisa melakukan wawancara dengan staf mereka maupun dengan karyawan-karyawan PT. SMART Tbk. Padang Halaban. Hal yang paling membuat saya bingung pada saat itu adalah pada saat bertemu dengan bagian HUMAS PT. SMART Tbk. Padang Halaban, saya diperintahkan untuk kembali ke Medan mendatangi kantor administrasi mereka untuk mengurus surat izin untuk dibawa kembali ke perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban sebagai syarat untuk bisa melakukan observasi di wilayah kantor PT. SMART Tbk. Padang Halaban dan melakukan wawancara kepada staf-staf maupun karyawan mereka. Namun, yang saya lakukan pada waktu itu adalah bukan mengurus surat izin yang mereka minta sebagai prosedur, tetapi yang saya lakukan adalah melakukan wawancara dengan para


(54)

karyawan-karyawan PT. SMART Tbk. Padang Halaban dengan menemui mereka di rumah mereka masing-masing. Akhirnya, dengan sedikit usaha lagi dengan memberikan keyakinan kepada bagian HUMAS PT. SMART Tbk. Padang Halaban bahwa saya adalah seorang mahasiswa dan bukan seorang wartawan seperti yang mereka pikirkan, saya bisa mewawancarai Bapak Rusliyanto (jabatannya adalah sebagai manager di perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban) walaupun waktu yang diberikan sangat singkat. Setelah selesai melakukan wawancara, saya mendapatkan semacam buku laporan tahunan dari PT. SMART Tbk. Padang Halaban dari hasil wawancara tersebut. Saya tidak mengetahui pasti kenapa PT. SMART Tbk. Padang Halaban begitu tertutup dengan orang-orang yang ingin mengetahui tantang sejarah perkebunan mereka. Tetapi, dalam pandangan saya pihak perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban sepertinya tidak ingin rahasia perusahaan mereka bocor atau dengan kata lain mereka sedang menghadapi gugatan dari pihak KTPH-S yang dengan demikian membuat mereka menjadi tertutup dengan tamu yang datang.

Kemudian, dalam proses pengumpulan data juga dilakukan wawancara26

26

Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab, sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Burhan Bungin, 2007).

yang tentunya diawali dengan membina hubungan baik dengan para pelaku sengketa tanah yang terjadi. Para pelaku yang dimaksud di sini adalah semua orang atau semua pihak yang terlibat dalam sengketa tanah yang terjadi. Alasan saya mewawancarai para pelaku sebagai yang utama adalah karena saya


(55)

beranggapan bahwa para pelaku sengketa itu sendirilah yang benar-benar mengetahui seluk-beluk permasalahan sengketa mulai dari kronologis terjadinya sengketa sampai kepada proses yang sudah terjadi sampai saat ini. Selain itu, tentunya wawancara juga dilakukan terhadap mereka-mereka yang mengetahui tetapi, tidak merupakan pelaku sengketa yang terjadi yang tentunya untuk melengkapi hasil yang valid dalam tulisan ini. Pada waktu terjadi perkembangan atau perubahan yang menyangkut situasi dan kondisi pada objek penelitian di lapangan saya menyesuaikannya terhadap apa yang harus saya lakukan sampai data dalam tulisan ini terpenuhi dengan baik dan sesuai dengan kejadian yang berkembang di dalam objek tersebut. Lebih jauh lagi, yang dimaksud objek penelitian di sini yaitu hukum-hukum yang bekerja di dalam kasus sengketa yang terjadi dan apa sebenarnya yang terjadi di dalam hukum yang katanya sebagai proses pengendalian sosial dan untuk menjaga keteraturan sosial. Untuk mencapai itu pembinaan atau menjalin hubungan yang baik (rapport) dengan para informan27

27

Informan adalah orang yang diwawancarai, dimintai informasi oleh pewawancara. Informan adalah orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi, ataupun fakta dari objek penelitian (Burhan Bungin, 2007).

seperti yang telah saya uraikan adalah sebuah keharusan. Karena informan sebaiknya dijadikan tempat untuk saling berbagi, tidak hanya dijadikan tempat untuk menggali informasi. Karena dalam antropologi sendiri informan itu adalah sebagai “guru” di lapangan dan peneliti; dalam hal ini peneliti antropologi tidak boleh menggurui dan harus meletakkan posisinya sebagai murid yang sedang belajar kepada gurunya.


(1)

Dengan demikian inilah yang ingin saya tunjukkan melalui tulisan ini bahwa dari sengketa tanah yang terjadi di Padang Halaban antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban bisa menunjukkan adanya suatu proses hukum yang tidak berjalan semestinya karena adanya kepentingan-kepentingan di dalam sebuah aturan yang bernama hukum karena sebetulnya hukum itu tidak mentok pada satu titik saja melainkan pada banyak titik yang semuanya terangkum dalam proses interaksi yang terjadi di dalam manusia yang mengakui (membuat dan menjalankan) aturan itu sendiri. Dari sengketa tanah yang bisa kita katakan hanya terjadi di sebuah daerah di Indonesia ini sebenarnya bisa menggambarkan bahwa ada suatu proses hukum dan kepentingan yang terjadi di antara pemerintah dan pihak-pihak yang “dekat” dengan pemerintah yang dalam hal ini sebagai pemegang kekuasaan birokrasi di suatu negara.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Benda-Beckmann, F. von

1993 "Dari Hukum Manusia Primitif sampai ke Penelaahan Sosio-Hukum Masyarakat-Masyarakat Kompleks" dalam Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Benda-Beckmann, K. von

2000 Goyahnya Tangga Menuju Mufakat. Jakarta: Grasindo. Bohannan, Paul, J.

2000 "Hukum dan Pranata Hukum" dalam Ihromi (ed), Antropologi dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Brewer Jeffrey, D.

1985 “Penggunaan Tanah Tradisional dan Kebijaksanaan Pemerintah di Bima, Sumbawa Timur” dalam Dove (ed), Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Budiman, Arief

1996 “Fungsi Tanah Dalam Kapitalisme” dalam Jurnal Analisis Sosial. Bandung: AKATIGA.

Bungin, Burhan

2008 Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Dove, Michael, R.

1985 Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Fauzi, Noer

1999 Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Jogjakarta: Insist KPA bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.

1996 Gue Perlu, Lu Jual Dong! dalam Jurnal Analisis Sosial. Bandung: AKATIGA.

Harsono, Boedi


(3)

Ihromi, T.O.

1993 "Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa yang Digunakan dalam Antropologi Hukum" dalam Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

1993 Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

2000 Antropologi dan Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Irianto, Sulistyowati

1993 “Kesejahteraan Sosial Dalam Sudut Pandang Pluralisme Hukum (Suatu Tema Non-Sengketa dalam Perkembangan Terakhir Antropologi Hukum Tahun 1980-1990-an)” dalam Ihromi (ed), Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kriekhoff, Valerine, J.L.

1993 "Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum)" dalam Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Moleong, Lexy, J.

2005 Metodologi Penelitian Kualitatif: edisi revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Moore, Sally, F.

1993 “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Semi Otonom sebagai Suatu Topik Studi yang Tepat” dalam Ihromi (ed), Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Padmo, Soegijanto

2000 Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965. Yogyakarta: Media Pressindo dan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Pelzer, Karl, J.

1991 Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Ramstedt, Martin

2011 Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca-Orde Baru. Jakarta: Grasindo.


(4)

Sastroatmodjo, Sudijono

2007 Sedumuk Bathuk Senyari Bumi, Regulasi Tanah dan Demo Rakyat (Petani) dalam Menyoal Hak Atas Tanah”. Kompas Mahasiswa.

Spradley, James, P.

1997 Metode Etnografi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. Suhendar, Endang

1996 “Menjadikan Tanah Sebagai Komoditas” dalam Jurnal Analisis Sosial. Bandung: AKATIGA.

Zuska, Fikarwin

2008 Relasi Kuasa Antar Pelaku Dalam Kehidupan Sehari-hari (Studi Kasus di Kancah Pengelolaan Sampah Kota). Medan: FISIP USU Press.

Sumber-sumber lain:

tanggal 6 Desember 2011.

tanggal 10 Agustus 2011.

tanggal 20 November 2011.

November 2011.


(5)

2011.

September 2011.

Oktober 2011.

10 Agustus 2011.

Oktober 2011.

2011.

Agustus 2011.

2011.

2011.

Diakses pada tanggal 10 Agustus 2011.


(6)

Agustus 2011.

http://www.depdagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/12/name/sumatera utara/detail/1210/labuhan-batu. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2011.

tanggal 7 Desember 2011.

pada tanggal 10 Agustus 2011.

Diakses pada tanggal 10 Oktober 2011.

id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_(1942-1945). Diakses pada tanggal 20 November 2011.