Menurut Hukum Islam Pengertian Sanksi Pidana 1. Menurut Hukum Positif

Ahmad Hanafi mengkatagorikan jarimah kepada tiga macam bentuk, yaitu: 26 a. Jarimah Hudud, adalah jarimah yang diancamkan hukuman had, yaitu hukuman yang telahditentukan macam dan jumlahnya serta menjadi hak Tuhan. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, dan pengertian hak tuhan ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh perorangan yang menjadi korban jarimah, ataupunoleh masyarakat yang diwakili oleh Negara sultan. b. Jarimah Qisas-diyat, adalah perbuatan-perbuatan yang diancamkan hukuman qisas atau hukuman diyat kepada pelakunya. Baik qisas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasannya, dan tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian bahwa si korban bisa memaafkan si pembuat dan apabila dimaafkan, maka hukuman tersebut menjadi hapus. c. Jarimah Ta’zir, yaitu perbuatan-perbuatan yang diancamkan dengan satu atau beberapa hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir itu sendiri ialah memberikan pengajaran at-ta’dib. Syara tidak menentukan macam- macamnya hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi hanya 26 Hanafi, h. 7-8. menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai kepada yang seberat-beratnya hukuman. Dalam hal ini hakim diberikan kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah ta’zir serta keadaan si pembuat juga. Jadi hukuman ta’zir tidak mempunyai batas tertentu. Ahmad Fathi Bahasi sebagaiman dikutip oleh Ahmad Ratomi Zain dalam skripsinya memberikan definisi sanksi uqubah, adalah balasan berbentuk ancaman yang ditetapkan oleh syar’i Allah untuk mencegah terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarangnya dan perbuatan meninggalkan yang ia perintah. Menurut A. Djazuli bahwa maksud pokok hukuman sanksi adalah untuk memelihara adalah untuk memelihara dan meciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga hal-hal dari mafsadat, serta memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia. 27 Begitu juga menurut Ahmad Hanafi, bahwa tujuan dari pada penjatuhan hukuman sanksi menurut syariat Islam adalah pencegahan ar-radu waz-jazru dan pengajaran serta pendidikan al-islah wat taahdzib. 28 Tujuan sanksi pidana adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian maka terdapat 27 A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan, cet.II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, h. 25. 28 Hanafi., h. 1. prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Selain mencegah dan menakut-nakuti, syariat Islam tidak lalai untuk memberikan perhatian terhadap diri pembuat. Bahkan memberikan pelajaran dan pengusahaan kebaikan kepada diri pembuat merupakan tujuan utama, sehingga menjauhkan manusia terhadap jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran dalam diri sendiri dan kebenciannya terhadap melakukan jarimah kejahatan. Di samping segi kebaikan pribadi pembuat jarimah, syariat Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggota masyarakat dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya masing-masing. 29

C. Pengertian Umum Pungutan Liar

30 Istilah Pungli merupakan perbuatan-perbuatan yang disebut sebagai perbuatan pungli sebenarnya merupakan suatu gejala sosial yang telah ada di Indonesia, sejak Indonesia masih dalam masa penjajahan dan bahkan jauh sebelum itu. Namun penamaan perbuatan itu sebagai perbuatan pungli, secara nasional baru diperkenalkan pada bulan September 1977, yaitu saat Kaskopkamtib yang bertindak selaku Kepala Operasi Tertib bersama Menpan 29 Ibid., h. 191-192. 30 Legalitas.org, “Pungutan Liar Pungli”, artikel diakses pada 27 Juni 2011 dari http:www.legalitas.org?q=node239 dengan gencar melancarkan Operasi Tertib OPSTIB, yang sasaran utamanya adalah pungli. Istilah pungli sebenarnya hanyalah merupakan istilah politik yang kemudian dipopulerkan lebih lanjut oleh dunia jurnalis. Di dalam dunia hukum pidana, istilah ini tidak dijumpai. Belum pernah kita mendengar adanya tindak pidana pungli atau delik pungli. Jika kita bersikeras menggunakan istilah pungli, maka secara hukum pidana, pelaku pungli tidak dapat dihukum. Karena memang tidak ada ketentuan hukumnya yang mengatur secara tegas perbuatan pungli tersebut. Bertolak dari uraian di atas, penulis merasa perlu untuk meluruskan penggunaan istilah pungli tersebut. Pungli merupakan kependekan dari Pungutan Liar. Semua bentuk pungutan yang tidak resmi, yang tidak mempunyai landasan hukum, maka tindakan pungutan tersebut dinamakan sebagai pungutan liar pungli. Dalam bekerjanya, pelaku pungli selalu diikuti dengan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap korban. Jika kita sepakat dengan konsep pungli seperti diuraikan di atas, maka sesungguhnya pungli itu tidak lain adalah merupakan pemerasan. pemerasan dalam dunia hukum pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang, sehingga termasuk dalam kategori tindak pidana. Rumusan tindak pidana pemerasan dituangkan dalam Pasal 368 ayat 1 KUHP yang secara tegas menetapkan: 1 “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”