Macam dan Pembagian Ibadah

26 4. Muthlaq : yang tiada diqaidkan waktunya oleh syara’ dengan sesuatu waktu yang terbatas, seperti : membayar kifarat. 5. Muwaqqat : yang diqaidkan oleh syara’ dengan waktu yang tertentu dan terbatas. Seperti sembahyang dan puasa Ramadhan. 6. Muwassa’ : yang lebih luas waktunya dari yang diperlukan oleh fardu yang empunya waktu. Seperti sembayang 5. 7. Mudlaiyaq mi’yaar : yang waktunya sebanyak atau sepanjang fardu yang difardukan di dalam waktu itu; seperti : puasa. Di dalam waktu Madlayyaq, tak boleh dikerjakan yang lain dari yang empunya waktu.takbolehdikerjakab dalam bulan ramadhan, puasa yang lain dari pada bulan ramadhan sendiri. 8. Dzusyabahain : yang mempunyai persamaan dengan muwassa’ yaitu haji 9. Muayyan : yang tertentu dituntutnya oleh syara’. 10. Mukhatyar : yang boleh dipilih mana yang disukai dari salah satu yang ditentukan. 11. Muhaddad : yang dibatasi oleh kadarnya oleh syara’ seperti shalat fardu zakat dan harga-harga pembelian.. 12. Gairu muhaddad : yang tidak dibatasi qadarnya oleh syara’. Seperti mengeluarkan harta di jalan Allah. 13. Murattab : yang harus dikerjakan menurut tertib. Yakni sesudah yang pertama tidak disanggupi, barulah dikerjakan yang kedua. Seperti kafarah jima. 14. Ma yaqbalu ta’khair wa la yaqbalut taqdiem : yang dapat di takhirkan dari waktunya, tak dapat didahulukan oleh waktunya. Seperti sembahyang dhuhur, magrib dan puasa. 15. Ma yaqbalu taqdiem wa la yaqbalut takhir : yang boleh di dahulukan dari waktunya, tak boleh di takhirkan dri waktunya. Seperti sembahyang ashar dan isya. 16. Mala yaqbalut taqdiem wa lattakhir : yang tak dapat menerima di dahulukan dan di ta’khirkan. Seperti sembahyang subuh. 27 17. Mayajibu ‘alal fauri : yang wajib terus langsung segera dilaksanakan. Seperti menyuruh ma’ruf mencegah munkar. 18. Mayajibu ‘alattarakhy : yang dibolehkan kita melambatkan pelaksanaanya. Seperti nadzar yang muthlaq dan rupa-rupa kafarah. 19. Mayaqbaluttakhula : yang dapat masuk memasuki yang dapat dengan sekali pelaksanaan hasil dua perkara. Seperti umrah, bisa masuk ke dalam haji. 20. Ma la yaqbaluttakhula : yang tak dapat masuk memasuki. Seperti shalat, zakat, shadaqah, hutang , haji dan umrah. 21. Ma ukhtulifa fie qabulit tadakhuli : yang diperseliishi para ulama tentang dapat tidaknya masuk memasuki. Seperti masuk wudhu ke dalam mandi. 22. Ma azlematuhu afdlalu min rukhshatihi : yang azimahnya lebih utama dari rukhshahnya. Seperti istinja’ dengan air 23. Ma rukhshatuhu afdlalu min azlematihi : yang rukhshahnya lebih utama dari ruhkshahnya. Seperti qashar dalam perjalanan 3 hari. 24. Mu yuqdha fie jamiil auqaat : yang boleh diselesaikan dalam segala waktu. Seperti qurban dan hadaya yang dinazarkan. 25. Ma la yuqhda illa fie waqtihi: yang tidak boleh diqadla terkecuali dalm semisal waktunya. Seperti Haji. 26. Ma yaqbalul adaa-a wal qadlaa-a : yang menerima pelaksanaan dalam waktunya dan di luar waktunya. Seperti Haji dan pausa. 27. Ma yaqbalul adaa-a walaa yaqbalul qadlaa-a : tidak menerima pelaksanaan diluar waktunya, yakni tak ada qadlanya. Seperti sembahyang jumat menurut mazhab jumhur. 28. Ma laa yushafu bi qadlaa-in wala adaa-in : yang tidak disifatkan dengan tunai dan tidak dengan qadla. Yaitu : sunnah yang kita kerjakan dengan tidak bersebab dan tidak berwaktu. Seperti Nafel muthlaq. 29. Ma yataqaddaru waqtu qadla ihi ma’a qabulihi litta’-khiery : yang berbatas waktu mengqadlanya, tetapi dapat juga dikerjakan sesudah lewat waktu qadlanya itu. Seperti qadla puasa. 28 30. Ma yakunu –uhu mutarakhian : yang boleh di qadla bila mana saja di kehendaki, yakni : tidak perlu disegerakan. 31. Ma yajibu qalauhu ‘ala fauri: yang wajib di qadla dengan segera. Seperti : Haji dan umrah yang dirusakkan. 32. Ma yadkhuluhusyarthu minal ‘ibadati : ibadah-ibadah yang bias dilaksanakan atas dasar sesuatu syarat. Seperti nadzar. 33. Ma laa yaqbalut ta’lieqa wa lasysyartha : yang tak dapat digantungkan kepada hasil ta’lieq dan hasil syarat. Sperti puasa dan shalat yang diwajibkan oleh syara’. 34. Ma yu’tabaru biwaqthi fi’lihi laa liwaqthi wujubihi : yang dipandang waktu pelaksanaannya bukan waqtu wajibnya. Seperti suci untuk bersembahyang. 35. Ma yutabaru biwaqti wujubihi : yang di I’tibarkan dengan waktu wajibnya. Seperti sembahyang yang wajib dalam hadlir lalu di qadla dalam shafar. 36. Ma ukhtulifa fie I’tibarihi bi waqthi wujubihi, aubiwaqthi adaa-ihi : yang diperselisihi tentang mana yang dii’tibarkan waktu wajibnya, atau waktu pelaksanaannya. 28

4. Motivasi Ibadah

Motivasi atau dorongan kebutuhan tentu merupakan penggerak utama dalam suatu pekerjaan. Karena itu, besar kecilnya gairah untuk melakukan suatu pekerjaan tergantung besar kecilnya motivasi terhadap pekerjaan tersebut. Adapun motivasi ibadah menurut Syahminan Zaini dalam bukunya “Problematika ibadah dalam kehidupan manusia” ada 5 macam yaitu: 1. Karena tujuan Allah menciptakan manusia adalah untuk beribadah kepadanya. Maka manusia harus menggunakan kemampuannya untuk beribadah karena dasar penciptaan tersebut. 28 M. Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah … hal 22-30 29 2. Karena manusia telah berjanji untuk taat kepada Allah. Allah berfirman, bahwa manusia sewaktu dalam arwah dahulu sudah mengadakan perjanjian dengannya. 3. Karena jasmani manusia memerlukan makanan, yaitu manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Allah berfirman bahwa jasmani manusia diciptakan dari tanah kemudian diberi roh. 4. Manusia ingin hidup bahagia, sebab hidup bahagia merupakan salah satu fitrah manusia yang pokok, karena apapun yang disahkan adalah dalam rangka mewujudkan hidup bahagia. 5. Karena manusia harus kembali kenegri asalnya surga karena jika ingin kembali ke surga manusia harus beriman dan beramal shaleh atau melaksanakn kehidupan untuk beribadah kepada Allah karena merekalah yang diberi hak oleh Allah untuk kembali kesana. 29 Dari kelima motivasi ibadah penulis setuju dengan pendapat di atas, oleh karena itu merupakan hal yang menjadi patokan mengapa kita harus beribadah? Maka menurut penulis yang lebih penting adalah niat dan keikhlasan kita dalam beribadah.

5. Hikmah Ibadah

Ibadah yang dilakukan manusia diharapkan membawa hikmah dengan membawa perubahan dalam diri manusia itu sendiri antara lain secara rasional ibadah berperan mendidik pribadi manusia agar menjadi manusia yang berakal berfikir sistematik, dan menggunakan fikirannya secara terus menerus dalam melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan diri kehidupan perasaan, ibadah dapat mendidik manusia agar mempunyai robbani yang murni dan selalu tunduk serta taat kepada perintah allah semata. Ibadah juga berfungsi menghidupkan kesadaran tauhid serta memantapkan di dalam hati menghapus kepercayaan dan ketergantungan 29 Syahminan Zaini, Problematika Ibadah Dalam Kehidupan Manusia, Jakarta : Kalam Mulya,1989 Cet-1, h.39-57 30 kepada berbagai kuasa gaib yang selalu disembah dan diseru oleh orang-orang musyrik untuk meminta pertolongan. 30 Dari segi cara dan sifatnya ibadah-ibadah itu beraneka ragam, tapi tujuannya sama. Keragaman ibadah-ibadah itu sesuai dengan potensi hidup manusia itu sendiri, potensi jiwa dan jasmaninya, sehingga masing-masing potensi itu dapat menikmati dan menghayati peribadatan itu, yang seluruhnya tertuju kepada Ilahi. Namun demikian, ibadah yang bermacam-macam tidaklah tumpang-tindih satu sama lain. Sistem peribadatan tersebut adalah suatu cara bagaimana manusia menghubungkan dirinya dengan Tuhannya. Oleh karena itu, caranya diatur sendiri oleh Allah dan utusan-Nya karena aturan ibadah bukanlah ciptaan manusia tetapi ciptaan Allah melalui rasul-Nya. 31 Sifat hubungan manusia dengan Tuhan dalam ibadah ini bukan dengan meninggalkan diri, bukan pula melalui perantara, tetapi hubungan dan kontak secara langsung manusia dengan Tuhannya dengan keadaan hakekat wujud yang tetap pada kedudukan masing-masing. Selanjutnya apakah hikmah kontak hubungan manusia dengan Tuhan dalam ibadah yang pada akhirnya seolah-olah yang merupakan ibadah-ibadah jasmaniah seperti: syahadat, shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain padahal ditunjukan kepada Allah yang bersifat rohaniah. Seperti diketahui, bahwa manusia itu terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Antara keduanya ada hubungan yang amat erat dan saling mempengaruhi. Demikianlah, semua kegiatan jasmaniah dan ibadah maaliah harta yang dilakukan secara nyata dan berlangsung secara fisik akan menimbulkan peristiwa rohaniah yang akan menuntun rohani kita untuk berhubungan dengan Allah dengan sebaik-baiknya. 32 Dengan melakukan ibadah, manusia akan tau dan selalu sadar bahwa betapa hina dan lemah dirinya bila berhadapan dengan kuasa Allah, sehingga ia menyadari benar-benar akan kedudukannya sebagai hamba Allah. jika hal 30 M. Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah … hal 20 31 Prof. Dr.H. Moh. Ardani, Fikih Ibadah Praktis … h. 43 32 Prof. Dr.H. Moh. Ardani, Fikih Ibadah Praktis, h. 44 31 ini benar-benar telah dihayati, maka berbagai manfaat akan diperoleh dengan sendirinya. Surga yang dijanjikan, tidak akan luput sebab Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. Bagaimana pun, dengan beribadah secara benar dan sempurna, pribadi seseorang akan menjadi baik taqwa, jiwanya suci, dan akhlaqnya menjadi mulia. Namun itu bukanlah tujuan yang sesungguhnya. 33 Oleh sebab itu penulis menyimpulkan hikmah ibadah ialah menjadikan manusia menjadi makhluk yang patuh menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dan menjadi hamba yang bertaqwa kepada Allah, dan juga membuat rohani menjadi bersih dan menjadi hamba yang sholeh dan taat kepada Allah SWT. 33 Drs. Lahmuddin Nasution, Fiqih Ibadah … h. 6