Penetapan Kadar Famotidin dalam Tablet Magard FA dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

(1)

PENETAPAN KADAR FAMOTIDIN DALAM

TABLET MAGARD FA DENGAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

TUGAS AKHIR

Oleh:

REZEKI DEWI ASTUTI NASUTION NIM 092410010

PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.

Pada dasarnya Tugas Akhir ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Tugas Akhir ini disusun berdasarkan apa yang penulis lakukan pada praktek kerja lapangan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

Selama menyusun Tugas Akhir ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda Afrial Latif Nasution dan Ibunda Ngatini dan seluruh keluarga yang telah memberikan dorongan baik moril maupun materil sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan.

2. Bapak Drs. Ismail, M.Si., Apt., yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan Tugas Akhir ini.

3. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU.

4. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku Ketua Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi USU. 5. Bapak Drs. Agus Prabowo, M.S., Apt., selaku Kepala Balai Besar


(4)

6. Ibu Dra. Nina Refida, Apt., selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

7. Ibu Zakiah Kurniati, S.Farm., Apt., selaku Koordinator Pembimbing PKL (Praktek Kerja Lapangan) di Balai Besar POM di Medan.

8. Seluruh staf dan karyawan Balai Besar POM di Medan yang telah membantu kami selama melaksanakan PKL (Praktek Kerja Lapangan). 9. Sahabatku Suci dan Nur yang selalu mendoakan dan memberikan

semangat. Khusus untuk Widio yang selalu memberi bantuan, dukungan, motivasi, semangat dan menghibur ku saat jenuh dan lelah. Bang Denny dan Bang Yopi makasih banyak untuk bantuan dan sarannya. Untuk Yuli, Zizi, dan Fauzi yang membantu dalam pelaksanaan PKL.

10.Seluruh teman-teman mahasiswa dan mahasiswi Analis Farmasi dan Makanan angkatan 2009 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi arti keberadaan mereka.

Dalam menulis Tugas Akhir ini penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan. Harapan kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya penulis berharap semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2012 Penulis


(5)

Penetapan Kadar Famotidin dalam Tablet Magard FA dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Abstrak

Telah dilakukan penetapan kadar famotidin dalam tablet Magard FA produksi PT. Soho Industri Farmasi secara kromatografi cair kinerja tinggi dengan menggunakan KH2PO4

Puncak direkam dengan detektor UV–Vis, pada panjang gelombang 275nm yang ditunjukan pada waktu retensi 5,589 dengan luas area 2550990 pada penyuntikan I dan waktu retensi 5,582 dengan luas area 2546936 pada penyuntikan II.

sebagai pelarut, fase geraknya campuran Buffer:Acetonitril (93:7) dan fase diamnya kolom L1 ODS (4,6 mm x 15 cm) dengan laju alir 1,4 ml/menit dan volume injeksi 20 µl. Menggunakan metode KCKT fase balik, yaitu fase gerak lebih polar dari pada fase diam.

Hasil penetapan kadar didapatkan bahwa tablet Magard FA mengandung famotidin dengan kadar 100,41% (10,04 mg/tablet). Hasil ini memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam United States Pharmacopeia 32 (2009), yaitu kadar famotidin dalam tablet tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0%.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Abstrak ... v

Daftar Isi ... vi

Daftar Lampiran ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Tujuan ... 2

1.3Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat ... 3

2.2 Sediaan Tablet ... 4

2.3 Maag dan Tukak Peptikum (Ulcus Peptikum) ... 5

2.3.1 Maag ... 5

2.3.2 Tukak Peptikum (Ulcus Peptikum) ... 6

2.3.2.1 Ulkus Duodeni ... 7


(7)

2.4 Histamin, Antihistamin, dan Antagonis Histamin Reseptor H2

2.4.1 Histamin ... 8

... 8

2.4.2 Antihistamin ... 9

2.4.3 Antagonis Histamin Reseptor H2 2.5 Famotidin ... 11

... 10

2.5.1 Struktur Famotidin ... 11

2.5.2 Farmakologi Famotidin ... 11

2.5.3 Farmakokinetika ... 12

2.5.4 Penggunaan Famotidin ... 13

2.5.5 Efek Toksik ... 13

2.5.6 Interaksi Obat ... 13

2.6 Penetapan Kadar Famotidin dalam Tablet Magard FA dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 14

2.6.1 Instrumen KCKT ... 15

BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat Pengujian ... 17

3.2 Sampel ... 17

3.3 Penetapan Kadar Famotidin dalam Tablet Magard FA dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 17

3.3.1 Alat ... 17

3.3.2 Bahan ... 18


(8)

3.3.3.1 Pengaturan Kondisi Sistem ... 18

3.3.3.2 Mengaktifkan Sistem ... 18

3.3.3.3 Penentuan Garis Alas (Base Line) ... 18

3.3.3.4 Penyuntikan Fase Gerak ... 19

3.3.4 Prosedur ... 19

3.3.4.1 Pelarut ... 19

3.3.4.2 Fase Gerak ... 19

3.3.4.3 Larutan Uji ... 19

3.3.4.4 Larutan Baku ... 19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 21

4.2 Pembahasan ... 21

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 23

5.2 Saran ... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 25


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Perhitungan ... 28 Kromatogram HPLC Baku Pembanding Famotidin ... 30 Kromatogram HPLC Sampel ... 31


(10)

Penetapan Kadar Famotidin dalam Tablet Magard FA dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Abstrak

Telah dilakukan penetapan kadar famotidin dalam tablet Magard FA produksi PT. Soho Industri Farmasi secara kromatografi cair kinerja tinggi dengan menggunakan KH2PO4

Puncak direkam dengan detektor UV–Vis, pada panjang gelombang 275nm yang ditunjukan pada waktu retensi 5,589 dengan luas area 2550990 pada penyuntikan I dan waktu retensi 5,582 dengan luas area 2546936 pada penyuntikan II.

sebagai pelarut, fase geraknya campuran Buffer:Acetonitril (93:7) dan fase diamnya kolom L1 ODS (4,6 mm x 15 cm) dengan laju alir 1,4 ml/menit dan volume injeksi 20 µl. Menggunakan metode KCKT fase balik, yaitu fase gerak lebih polar dari pada fase diam.

Hasil penetapan kadar didapatkan bahwa tablet Magard FA mengandung famotidin dengan kadar 100,41% (10,04 mg/tablet). Hasil ini memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam United States Pharmacopeia 32 (2009), yaitu kadar famotidin dalam tablet tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0%.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keadaan sehat dan sakit adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, ini berlaku bagi semua mahluk hidup. Salah satu kebiasaan manusia yang diwarisi dari nenek moyangnya, ialah melakukan pengobatan sendiri jika menderita sakit. Pengobatan sendiri di Indonesia dilakukan dengan menggunakan obat tradisional atau jamu, dan obat-obatan yang dijual bebas baik dari golongan Obat Bebas maupun golongan Obat Bebas Terbatas dengan berbagai merek dagang (Joenoes, 1990).

Obat akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis yang tepat, namun ketika salah menggunakan atau berlebihan dosis maka akan menimbulkan keracunan, sebaliknya ketika dosisnya kecil tidak akan diperoleh kesembuhan (Anief, 2000).

Namun tidak jarang obat yang beredar di masyarakat tidak memenuhi persyaratan baik dalam hal identitas bahan baku ataupun kadarnya di dalam obat. Sebagai salah satu obat yang beredar di pasaran, famotidin merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas pada reseptor H2, sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi asam lambung, sehingga pengawasan terhadap zat berkhasiatnya perlu dilakukan agar aman untuk dikonsumsi (Siswandono dan Soekardjo, 2000).


(12)

Mengetahui adanya obat–obatan yang tidak memenuhi syarat beredar dapat memberikan dampak yang tidak baik bagi konsumen, maka penulis memutuskan untuk mengambil judul tugas akhir "Penetapan Kadar Famotidin dalam Tablet Magard FA dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)". Pengujian dilakukan ketika penulis melalukan praktek kerja lapangan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

Pemilihan metode kromatorafi cair kinerja tinggi untuk uji penetapan kadar famotidin dalam tablet karena analisis dengan KCKT dapat memisahkan molekul dalam campuran, daya pisahnya baik, kecepatan dan kepekaannya tinggi dan dapat dihubungkan dengan bermacam detektor.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari penetapan kadar famotidin dalam tablet Magard FA adalah untuk mengetahui apakah kadar famotidin dalam sediaan tersebut memenuhi persyaratan yang dipersyaratkan dalam United States Pharmacopeia 32.

1.3 Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari penetapan kadar famotidin dalam sediaan tablet Magard FA adalah agar dapat mengetahui bahwa sediaan tablet Magard FA yang beredar di pasaran memenuhi persyaratan yang dipersyaratkan dalam United States Pharmacopeia 32 sehingga aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.


(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.193/Kab/B.VII/71 memberikan defenisi berikut untuk obat: “Obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan lainnya (Joenoes, 1990).

Obat akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis yang tepat, namun ketika salah menggunakan atau berlebihan dosis maka akan menimbulkan keracunan, sebaliknya ketika dosisnya kecil tidak akan diperoleh kesembuhan (Anief, 2000).

Banyak macam dan jenis obat yang bekerja pada saluran cerna, tergantung pada tujuan penggunaan obat, tiap obat mempuyai cara kerja, tempat kerja dan kegunaan yang berbeda–beda. Salah satunya adalah antagonis histamin reseptor H2 yang dapat menekan sekresi asam lambung. Kerjanya secara kompetitif terhadap reseptor H2 yang terdapat pada sel parietal lambung. Antagonis histamin reseptor H2 yang sering digunakan adalah simetidin, ranitidin, famotidin dan nizatidin (Anwar, 2000).


(14)

2.2 Sediaan Tablet

Compressi atau tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa–cetak, berbentuk pipih dengan kedua permukaan rata atau cembung, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan (Joenoes, 1990).

Keunggulan sedian tablet menurut Lachman, dkk., (1994) yaitu:

1. Merupakan bentuk sediaan yang utuh dan menawarkan kemampuan terbaik dari semua bentuk sediaan oral untuk ketepatan ukuran

2. Ongkos pembuatannya paling rendah

3. Bentuk sediaan oral yang paling ringan dan paling kompak 4. Paling murah dan paling mudah dikemas serta dikirim 5. Mudah diberi tanda pengenal pada produk

6. Paling mudah ditelan dan paling kecil kemungkinan tertinggal ditenggorokan

7. Dapat dijadikan produk dengan profil pelepasan khusus 8. Paling mudah diproduksi secara besar–besaran

9. Merupakan sediaan obat yang memiliki sifat pencampuran kimia mekanik, stabilitas mikrobiologi yang paling baik.

Syarat–syarat tablet adalah harus memenuhi keseragaman ukuran, memenuhi keseragaman bobot, memenuhi uji waktu hancur, memenuhi keseragaman kandungan dan uji disolusi (Anief, 2000).


(15)

2.3 Maag dan Tukak Peptikum (Ulcus Peptikum)

Fungsi saluran cerna adalah untuk mencerna makanan, menyerap sari makanan dan mengeluarkan yang tidak diserap. Fungsi ini dapat terganggu karena mual dan muntah, nyeri hingga terjadi ulkus bila asam lambung berlebihan dan gangguan pencernaan yang lain (Djamuri, 1995).

Penyakit lambung biasanya bersifat menahun dan serangan sakit dapat hilang timbul. Perasaan sakit seperti ada yang menggigit di daerah lambung (Oswari, 2009).

2.3.1 Maag

Dalam ilmu kedokteran, penyakit Maag dikenal sebagai dispepsia (Dyspepsia). Dyspepsia yang paling dikenal adalah radang lambung (gastritis) maupun tukak lambung (peptic ulcer). Gastritis terjadi apabila penyakit tersebut hanya manimbulkan radang pada lambung. Penyakit maag menyerang lambung-organ yang terletak disebelah kiri rongga dada dengan posisi miring ke bawah (Yuliarti, 2009).

Dispepsia sendiri didefenisikan sebagai rasa nyeri atau rasa tidak nyaman di sekitar ulu hati. Dalam kehidupan sehari–hari, kita sering mendengar banyak orang mengeluh akan rasa tidak enak pada perut bagian atas, misalnya rasa perut selalu penuh, mual, perasaan panas pada perut, rasa pedih sebelum atau sesudah makan. Selain itu keluhan lain, seperti kembung, nafsu makan berkurang dan sering sendawa juga bisa muncul (Yuliarti, 2009; Hadi, 1986).


(16)

Menurut Yuliarti (2009) pengobatan penyakit maag tergantung pada penyebabnya, umumnya dilakukan dengan pemberian obat–obatan untuk menetralkan asam lambung, seperti:

1. Antasida, menetralkan asam lambung dan meringankan maag jenis gastritis.

2. Acid–Blockers, ketika antasida tidak cukup meredakan sakit maag, umumnya dokter akan memberikan obat jenis simetidin, ranitidine, nizatidin, ataupun famotidin.

3. Dengan pemberian obat lain seperti, omeprazole, lansoprazole, rabeprazole dan esomepazol.

2.3.2 Tukak Peptikum (Ulcus Peptikum)

Oleh satu dan lain sebab, cairan lambung bisa menjadi begitu asam sehingga dapat mengiritasi mukosa bahkan mengikis lapisan ini hingga terjadi suatu luka yang dikenal sebagai ulkus peptikum. Ulkus peptikum merupakan diskontinuitas sampai bawah epitel (jaringan mukosa, gaster, duodenum dan jejunum) yang disebabkan oleh asam lambung dan pepsin (Anwar, 2000; Suratun dan Lusianah, 2010).

Dikatakan ulkus apabila terjadi robekan mukosa lambung dengan diameter ≥ 5 mm hingga ke lapisan submukosa. Lapisan mukosa lambung pada ulkus peptikum tidak utuh, sehingga jaringannya terbuka dan kontak terhadap asam lambung sehingga akan terasa nyeri seperti terbakar pada ulu hati, mual dan muntah, terutama saat lambung kosong. Ulkus peptikum selain memberikan


(17)

keluhan nyeri perut, juga dapat mengakibatkan pendarahan yang fatal (Suratun dan Lusianah, 2010; Djamuri, 1995).

Tukak peptikum kebanyakan dijumpai di daerah lambung dan duodenum, terjadi sekitar 98%, sementara ulkus esofagus dan jejunum sangat jarang terjadi. Tukak duodeni lebih banyak dibandingkan tukak lambung yaitu 4:1 (Anwar, 2000; Tambunan, 1994; Suratun dan Lusianah, 2010).

Morfologi tukak duodeni dan tukak ventrikuli (lambung) hanya berbeda pada lokalisasi, namun studi genetik menunjukkan bahwa keduanya mungkin sekali merupakan penyakit yang berbeda (Tambunan, 1994).

2.3.2.1 Ulkus Duodeni

Menurut Tambunan (1994) teori produksi asam lambung berlebihan yang merupakan faktor utama penyebab tukak duodeni diperkuat bahwa tukak duodeni meningkat pada keadaan defek:

- jumlah sel parietal meningkat

- sel parietal peka terhadap sekresi asam lambung

- kapasitas sel parietal untuk sekresi asam lambung bertambah - pengosongan lambung lebih cepat.

Pada penderita tukak duodeni, kadar asam lambung rata–rata meningkat dua kali lebih tinggi dari normal, berbeda dengan kadar asam pada penderita tukak lambung. Tukak duodeni cenderung bersifat familial dari pada tukak lambung dan pada golongan darah O lebih sering terjadi dibanding golongan darah A, B, dan AB. Kemungkinan terjadinya adalah 38%. Peranan obat dalam konteks etiologi ulkus duodeni masih kontroversial, golongan obat Non–Steroid Anti Inflammatory


(18)

(NSAI) dapat menimbulkan mukosa lambung pada binatang percobaan, namun sulit dibuktikan hubungannya dengan tukak duodeni (Tambunan, 1994; Hadi, 1986).

2.3.2.2 Ulkus Ventrikuli

Patogenesis tukak lambung lebih sulit dipahami, sekresi asam lambung pada penderita kurang lebih sama dengan keadaan normal atau sedikit lebih rendah (Tambunan, 1994).

Sekresi asam lambung yang relatif rendah pada gastritis ada kaitannya dengan penurunan resistensi mukosa yang merupakan salah satu faktor terjadinya tukak lambung. Berbeda dengan tukak doudeni, golongan obat NSAI mungkin merupakan faktor penyebab tukak lambung. Kemungkinan terjadinya tukak lambung lebih sering dialami oleh golongan darah A, B dan AB. Pada golongan darah O hanya 19% (Tambunan, 1994; Hadi, 1986).

2.4 Histamin, Antihistamin dan Antagonis Histamin Reseptor H 2.4.1 Histamin

2

Histamin merupakan senyawa normal yang ada dalam jaringan tubuh, yaitu pada sel mast dan peredaran basofil, yang berperan pada berbagai proses fisiologis penting. Histamin dikeluarkan dari tempat pengikatan ion pada kompleks heparin–protein dalam sel mast sebagai hasil reaksi antigen–antibodi bila terdapat rangsangan dari senyawa alergen (Siswandono dan Soekarjdo, 2000). Histamin adalah 2-(4-imidazol)etilamin, didapatkan dari tanaman ataupun jaringan hewan yang merupakan komponen dari beberapa racun dan sekresi sengat. Histamin dibentuk dari dekarboksilasi asam amino L-histidin, yang


(19)

reaksinya dikatalis oleh enzim histidin dekarboksilase dan memerlukan piridoksal posfat sebagai kofaktor (Gunawan, 2007; Katzung, 2001).

Hisatmin bekerja dengan menduduki reseptor tertentu pada sel yang terdapat pada permukaan membran. Saat ini ada tiga jenis reseptor histamine yaitu H1, H2 dan H3. Aktivasi reseptor H1 terdapat pada sel otot polos menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan sekresi mukus. Histamin juga berperan sebagai neurotransmitter dalam susunan saraf pusat. Reseptor H2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot jantung, dan beberapa sel imun. Aktivasi reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung, sedangkan antihistamin H2 menghambat efek tersebut. Pada otot polos bronkus aktivasi reseptor H1 oleh antihistamin menyebabkan bronkokonstriksi, sedangkan aktivasi reseptor H2 oleh agonis reseptor H2 akan menyebabkan relaksasi. Meskipun agonis reseptor H3 berpotensi untuk gastroprotektif dan antagonis reseptor H3 berpotensi untuk anti obesitas, sampai saat ini belum ada agonis maupun antagonis reseptor H3

2.4.2 Antihistamin

yang diizinkan untuk digunakan di klinik (Gunawan, 2007).

Sewaktu diketahui bahwa histamin dapat mempengaruhi banyak proses fisiologik dan patologik, maka dicari obat yang dapat melawan atau menghambat efek histamin tersebut. Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi ataupun dapat menghilangkan kerja histamin dalam tubuh dengan mekanisme penghambatan secara bersaing dari sisi reseptor khas yaitu H1, H2 dan H3. Efek dari antihstamin bukan suatu reaksi antigen–antibodi karena tidak dapat


(20)

menetralkan atau mengubah efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak dapat mencegah produksi histamin (Gunawan, 2007)

Menurut Siswandono dan Soekardjo (2000) berdasarkan hambatan pada reseptor khas, antihistamin dibagi menjadi:

- Antagonis H1 - Antagonis H

digunakan untuk pengobatan gejala akibat reaksi alergi 2

- Antagonis H

digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobatan penderita tukak lambung

3

2.4.3 Antagonis Histamin Reseptor H

masih dalam penelitian lebih lanjut sebagai pengaturan sistem kardiovaskular, pengobatan alergi dan kelainan mental.

Antagonis histamin raseptor H 2

2 adalah senyawa yang dapat menghambat secara bersaing interaksi histamin dengan reseptor H2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung. Secara umum digunakan untuk pengobatan tukak lambung akibat sekresi asam lambung dan tukak usus. Perkembangan antagonis reseptor H2 berdasar pada pengamatan bahwa antagonis histamin H1 tidak mempunyai efek pada sekresi asam lambung yang terjadi pada induksi histamin. Obat–obat dari golongan ini yang sekarang masih sering digunakan antara lain simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin dan roksatidin. Karena H2 reseptor banyak terdapat di jaringan lain selain lambung, maka efek samping potensial yang diakibatkan oleh blokade histamin H2 sistemik mungkin saja terjadi. Efek samping yang biasa terjadi antara lain nyeri otot, pusing dan kegelisahan (Siswandono dan Soekardjo, 2000; Katzung, 2001; Radde dan Macleod, 1998).


(21)

2.5 Famotidin

Famotidin (facid, famocid, gester, regastin, restadin) merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas pada reseptor H2, sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi asam lambung. Famotidin merupakan antagonis histamin reseptor H2

2.5.1 Struktur Famotidin

yang kuat dan sangat selektif dengan masa kerja panjang (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Rumus bangun:

Nama kimia : 3-([2-(diaminomethyleneamino)thiazol-4-yl]methylthio-N- sulfamoylpropanimidamide

Rumus molekul : C8H15N7O2S Berat Molekul : 337,43

3

Kandungan : Famotidin tablet mengandung tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% C8H15N7O2S3

2.5.2 Farmakologi Famotidin

dari jumlah yang tertera pada etiket (United States Pharmacopeia 32, 2009).

Seperti halnya simetidin dan ranitidin, famotidin merupakan antagonis histamin reseptor H2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada


(22)

keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin lebih efektif dalam hal mengurangi produksi asam lambung, tiga kali lebih poten dari pada ranitidin dan dua puluh kali lebih poten dari pada simetidin (Gunawan, 2007; Anwar, 2000).

Famotidin merupakan antagonis histamin reseptor H2 yang yang kuat dan sangat selektif dengan masa kerja panjang, dan digunakan untuk pengobatan tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang patologis misal sindrom Zollinger–Ellison, meskipun dalam keadaan ini Imperazol merupakan obat yang dipilih. Famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum. Efektivitas famotidin untuk profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis dan pencegahan tukak setres hampir sama dengan antagonis histamin reseptor H2

2.5.3 Farmakokinetika

lainnya (Siswandono dan Soekardjo, 2000; Gunawan, 2007).

Famotidin sebagai salah satu antihistamin penghambat reseptor H2

Kadar plasma tertinggi dicapai kira–kira 2 jam setelah penggunaan secara oral. Waktu paruh eliminasi 3 – 8 jam dan bioavailabilitas 40 – 50%. Metabolit utama adalah famotidin–S–oksida. Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat waktu paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam (Gunawan, 2007).

yang merupakan senyawa thiazol (cincin–5 dengan S dan N), mirip ranitidin bila mengenai sifat farmakokinetik dan tentang efek sampingnya (Tjay dan Rahardja, 2002).


(23)

2.5.4 Penggunaan Famotidin

Untuk pengobatan tukak duodenal aktif atau duodenum, dosis penghambat H2

2.5.5 Efek Toksis

yang diberikan pada waktu malam menjelang tidur adalah efektif. Hal yang sama dilakukan pada penderita tukak lambung. Pada tukak duodenum atau tukak lambung dosis yang diberikan 40 mg sehari, atau pun yang paling umum adalah 20 mg diberikan dua kali sehari, umumnya 90% tukak sembuh setelah 8 minggu pengobatan. Dosis pemeliharaan untuk tukak duodenum 20 mg. Untuk pasien sindrom Zollinger–Ellison dan keadaan hipersekresi asam lambung lainnya, dosis harus diinduvidualisasikan. Dosis awal peroral yang dianjurkan adalah 20 mg tiap 6 jam (Katzung, 2001; Gunawan, 2007; Anwar, 2000).

Obat penghambat H2

Efek samping famotidin biasanya ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik dari pada simetidin karena tidak menimbulkan efek antiandrogenik (Gunawan, 2007).

ditoleransi dengan sangat baik dan efek sampingnya dilaporkan hanya terjadi pada 1 – 2% kasus. Efek yang paling sering terjadi adalah diare, pening, mengantuk, sakit kepala dan ruam. Efek samping lainnya termasuk sembelit, muntah, dan nyeri sendi (Katzung, 2001).


(24)

Famotidin tidak mengganggu oksidasi diazepam, warfarin, atau fenitoin di hati. Kurang efektif apabila diberikan bersama ketokonazol, sebab ketokonazol memerlukan pH asam untuk bekerja (Gunawan, 2007).

2.6 Penetapan Kadar Famotidin dalam Tablet Magard FA dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi cair kinerja tinggi merupakan cara yang paling baik untuk penatapan kadar famotidin dalam tablet selain dengan menggunakan spektrofotometri.

Kromatografi cair kinerja tinggi atau yang sering juga disebut dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) dikembangkan pada tahun 1960 – 1970–an. Sekarang KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisa bahan obat (Rohman, 2009).

Dalam beberapa tahun terakhir ini teknologi KCKT dan pemakaiannya telah sangat berkembang dan walaupun mahal, KCKT telah menjadi analisis rutin dan bahkan preparatif pada banyak laboratorium (Gritter, dkk., 1991).

Keuntungan utama KCKT dibandingkan dengan KC tradisional menurut Jhonson dan Stevenson (1991) yaitu:

1. cepat

2. daya pisah baik 3. peka, detektor unik

4. kolom dapat dipakai kembali 5. ideal untuk molekul besar dan ion.


(25)

2.6.1 Instrumen KCKT a. Wadah fase Gerak

Wadah fase gerak harus bersih dan lembam. Wadah pelarut kosong ataupun wadah laboratorium bisa digunakan sebagai wadah yang biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 – 2 liter (Rohman, 2009).

b. Pompa

Pompa yang digunakan dalam sistem KCKT harus dapat menghantarkan aliran pelarut yang tetap dan terulangkan ke kolom. Pompa harus tahan terhadap semua jenis pelarut. Bahan yang umum dipakai adalah gelas, baja tahan karat, teflon dan batu nilam. Sebaiknya mampu memberikan tekanan 5000 – 6000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan 3 mL/menit. Untuk tujuan preparatif, pompa yang digunakan harus mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan 20 mL/menit (Rohman, 2009; Gritter, dkk., 1991).

Ada tiga jenis pompa yang sering dipakai untuk KCKT menurut Munson (1991), yaitu:

1. Pompa kecepatan tetap 2. Pompa tekanan tetap

3. Pompa untuk elusi landaian. c. Kolom


(26)

Seperti lazimnya kromatografi cair, fase diam dapat berupa permukaan zat padat yang berfungsi sebagai medium penjerap, atau permukaan cair yang terdapat pada sejenis zat padat. Banyak fase diam baru telah dikembangkan untuk KCKT, dan pemakaian bahan tersebut sangat meningkatkan keefisienan dan kemampuan metode tersebut (Gritter, dkk., 1991).

Menurut Gritter, dkk (1991) jika berbicara tentang kepolaran fase diam dan fase gerak, kita dapat membedakan jenis metode kromatografi cair kinerja tinggi, yaitu:

1. Fase normal, yaitu jika fase diam lebih polar dari pada fase geraknya 2. Fase balik, yaitu jika fase diamnya lebih non polar dari pada fase gerak. d. Injektor

Sampel–sampel cair dan larutan disuntikan secara langsung ke dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan lekuk sampel internal atau eksternal (Rohman, 2009).

e. Detektor

Detektor adalah gawai pemasok sinyal keluaran sebagai tanggapan terhadap cuplikan. Alat ini disambungkan keluaran kolom untuk memantau efluen kolom dalam waktu sebenarnya (Jhonson dan Stevenson, 1991).

Menurut Rohman (2009) detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu:


(27)

1. Detektor universal, yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik dan tidak selektif. Seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri massa.

2. Detektor spesifik yang hanya akan mendeteksi analit secara spesifik dan selektif. Seperti detektor UV–Vis, detektor flourosensi dan elektrokimia.

BAB III METODOLOGI

3.1 Tempat Pengujian

Tempat pengujian penetapan kadar famotidin dalam tablet Magard FA dengan kromatografi cair kinerja tinggi dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Medan di Jalan Wiliem Iskandar Pasar V Barat I No. 2 Medan.

3.2 Sampel

Nama sampel : Magard FA

Komposisi : - Famotidin 10 mg - Ca karbonat 800 mg - Mg hidroksida 165 mg

No. Reg : DTL 0724223663 A1

Daluarsa : Juni 2013

Nama industri : PT. Soho Industri Farmasi

3.3 Penetapan Kadar Famotidin dalam Tablet Magard FA dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.


(28)

Alat–alat yang digunakan adalah HPLC Shimadzu LC 20 AD, kolom L1

3.3.2 Bahan

(berukuran 4,6 mm x 15 cm), timbangan analitik, pipet volum, bola karet, labu tentukur (1000 ml, 100 ml, 50 ml), batang pengaduk, beker glass, gelas ukur, mortir dan stamper, pipet tetes, Ultrasonic Cleaner Brandsonic, penyaring wathmann porositas 0,45 µm, pH meter.

Bahan–bahan yang digunakan adalah baku pembanding famotidin BPFI no.203141 5 mg, fase gerak, pelarut (KH2PO4

3.3.3 Sistem Kromatografi

), aquabidest, methanol grade for HPLC, KOH 1M, alumunium foil, kertas perkamen.

3.3.3.1Pengaturan Kondisi Sistem

Sistem diperiksa dan dicek untuk meyakinkan apakah sistem pengalir pelarut telah disambungkan dengan baik, kolom telah dipasang, tersedia cukup pelarut di dalam botol pelarut, sistem pengawasan (penggeser) pelarut bekerja dengan baik untuk menghilangkan gelembung udara, penyaring pelarut telah dipasang, dan detektor yang sesuai sudah terpasang dengan benar.

3.3.3.2 Mengaktifkan Sistem

Setelah masing–masing sistem diatur, hubungkan setiap sistem dengan sumber arus listrik. Tekan tombol POWER pada pompa, detektor UV-VIS ke posisi ON dan CBM (Communication Bus Module) ke posisi ON.


(29)

Bila nilai absorbansi yang ditampilkan pada detector UV-VIS telah menunjukkan 0,000, biarkan beberapa menit sampai diperoleh garis alas yang relatif cukup lurus yang menandakan sistem telah stabil.

3.3.3.4 Penyuntikan Fase Gerak

Dimasukkan fase gerak ke dalam injektor dengan menggunakan mikroliter syringe, putar injektor keposisi INJECT.

3.3.4 Prosedur 3.3.4.1Pelarut

Timbang 6,38 gram KH2PO4

3.3.4.2Fase Gerak

larutkan dalam 750 ml air, cek pH dan tambahkan KOH 1M sampai pH 6,0. Tambahkan air sampai 1 liter.

Timbang 13,6 gram natrium asetat dihidrat, larutkan dalam 700 ml air, tambahkan 1 ml trietilamin dan 70 ml acetonitril. Cek pH dan tambahkan asam asetat galsial sampai pH 6. Tambahkan air sampai 1 liter.

3.3.4.3Larutan Uji

Timbang dan serbukkan tidak kurang dari 10 tablet, timbang sebuk tablet setara dengan ± 10 mg famotidin, masukkan dalam labu ukur 100 ml, kemudian tambahkan ± 20 ml pelarut dan tambahkan 20 ml methanol, shaker selama 1 jam,


(30)

kemudian tambahkan pelarut sampai garis tanda. Kocok dan saring dengan penyaring whattman porositas 0,45 µm ke dalam vial.

3.2.4.4 Larutan Baku

Timbang ± 5 mg famotidin BPFI, masukkan dalam labu 50 ml, tambahkan 10 ml metanol. Sonikasi selama 5 menit, dinginkan lalu tambahkan pelarut sampai garis tanda, kocok dan saring menggunakan penyaring whattman dengan porositas 0,45 µm ke dalam vial.

Setelah itu lakukan pengujian dengan KCKT, injeksikan larutan uji dan larutan baku secara terpisah ke dalam kolom fase terbalik L1 (4,6 mm x 15 cm), puncak direkam menggunakan detektor UV–Vis dengan panjang gelombang 275nm, laju alir 1,4 ml/menit, volume injeksi 20 µl, dengan fase gerak campuran Buffer:Acetonitril (93:7).


(31)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Pada penetapan kadar famotidin dalam tablet Magard FA dengan kromatografi cair kinerja tinggi, diperoleh hasil bahwa tablet Magard FA yang diuji mengandung famotidin dengan kadar 100,41% atau 10,04 mg/tablet.

Perhitungan dan kromatogram dari hasil pengujian dengan kromatografi cair kinerja tinggi dapat dilihat pada lampiran.

4.2 Pembahasan

Dari hasil penetapan kadar famotidin dalam tablet Magard FA dengan kromatografi cair kinerja tinggi, diperoleh bahwa tablet tersebut mengandung famotidin dengan kadar 100,41% (10,04 mg/tablet), kadar tersebut memenuhi persyaratan seperti yang tertera pada United States Pharmacopeia 32 (2009), yaitu


(32)

rentang kadar yang di perbolehkan adalah tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0%.

Penetapan kadar famotidin dalam tablet menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). KCKT dipilih karena merupakan analisa yang memiliki banyak kelebihan yaitu, daya pisahnya baik, mudah melaksanakan dan menyiapkan sampel, kepekaan yang tinggi, waktunya cepat dan dapat menggunakan macam–macam detektor.

Pada penetapan kadar famotidin dalam tablet Magad FA digunakan metode kolom fase terbalik, yaitu fase gerak lebih polar dari pada fase diam (kolom). Fase gerak yang digunakan adalah campuran Buffer:Acetonitril (93:7), dan fase diam yang digunakan adalah kolom C18 (4,6 mm x 15 cm). Panjang gelombang yang digunakan adalah 275 nm, karena pada panjang gelombang tersebut famotidin akan memberikan respon puncak yang baik. Kandungan famotidin dalam tablet ditunjukkan dengan adanya puncak yang terjadi pada waktu retensi 5,589 dengan luas area 2550990 pada penyuntikan I dan waktu retensi 5,582 dengan luas area 2546936 pada penyuntikan II.


(33)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil percobaan penetapan kadar famotidin dalam tablet Magard FA dengan kromatografi cair kinerja tinggi, diketahui bahwa tablet Magard FA yang diuji mengandung famotidin dengan kadar 100,41% (10,04 mg/tablet), hasil ini memenuhi persyaratan yang tertera dalam United States Pharmacopeia 32 (2009), yaitu famotidin tablet mengandung tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket.

5.2 Saran

- Untuk mengetahui apakah sediaan obat yang beredar di pasaran sudah memenuhi persyaratan atau tidak, maka sebaiknya pengujian yang dilakukan tidak hanya identifikasi dan penetapan kadar saja tapi juga


(34)

pengujian lain seperti keseragaman bobot atau kandungan, uji disolusi, friabilitas dan uji untuk sediaan tablet lainnya. Sehingga obat terjamin mutunya dan dapat dikonsumsi dengan aman oleh masyarakat.

- Sebaiknya masyarakat berhati–hati ketika mengkonsumsi obat, sebab banyak produsen obat nakal yang memproduksi obat–obatan palsu atau pun obat yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Apabila menemukan kecurigaan yang memungkinkan ketika menggunakan obat, agar bertanya ataupun melaporkan pada instansi yang terkait.

- Untuk mengurangi dan mencegah adanya produsen yang membuat obat yang tidak memenuhi syarat, para instansi terkait harus terus melakukan pengawasan dan memberikan sanksi yang tegas. Agar tidak ada lagi obat-obatan yang tidak memenuhi syarat dan berbahaya, yang beredar di pasaran.


(35)

Daftar Pustaka

Anief, M. (2000). Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 214 – 216.

Anief, M. (2000). Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 3.

Anwar, J. (2000). Farmakologi dan Terapi: Obat – Obat Saluran Cerna. Jakarta: Hipokrates. Hal. 22, 30, 38.

Djamuri, A. (1995). Sinopsis Farmakologi dengan Terapan Khusus di Klinik dan Perawatan. Jakarta: Hipokrates. Hal. 97, 98.

Gritter, R.J., Bobbit, J.M., dan Schwarting, A.E. (1991). Pengantar Kromatografi. Bandung: ITB Press. Hal. 186, 197, 221.

Gunawan, S.G. (2007). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 273 – 274, 283 – 284.

Hadi, S. (1986). Gastroenterologi. Bandung: Penerbit Alumni. Hal. 86, 107. Joenoes, N.Z. (1990). Ars Prescribendi (Resep Yang Rasional). Surabaya:

Airlangga University Press. Hal. 25, 142.

Johnson, E.L., dan Stevenson, R. (1991). Dasar Kromatografi Cair. Bandung: ITB Press. Hal. 97, 278.


(36)

Katzung, B.G. (2001). Farmakologi Dasar dan Klinik Buku I. Jakarta: Salemba. Medika. Hal. 467 – 468, 483 – 486.

Lachman, L., Hebbet, A.L., dan Joseph, L.K. (1994). Teori dan Praktik Farmasi Industri. Jakarta: UI Press. Hal. 645.

Munson, J.W. (1991). Analisis Farmasi Parwa B. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 28 - 29.

Oswari, E. (2009). Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 231.

Raddle, I.C., dan Stuart, M.M. (1998). Farmakologi dan Terapi Pediatri. Jakarta: Hipokrates. Hal. 288 – 290.

Rohman, A. (2009). Kromatografi untuk Analisis Obat. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 111 – 115.

Siswandono, dan Soekardjo, B. (2008). Kimia Medisinal jilid 1. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 185 – 187, 200, 203 – 204.

Suratun dan Lusianah. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media. Hal. 59, 67.

Tambunan, G.W. (1994). Patologi Gastroenterologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG. Hal. 53 – 54.

The United States Pharmacopeial Convention. (2009). United States Pharmacopeia 32 and National Folmulary 18 vol 2. Rookville: United Book Press, Baltimore, MD. Hal. 2342.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K. (1998). Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Ke IV. Cetakan I. Jakarta: Penerbit Gramedia. Hal. 256.

Yuliarti, N. (2009). Maag, Kenali, Hindari dan Obati. Yogyakarta: ANDI. Hal. 1, 11.


(37)

Lampiran Perhitungan

Baku Pembanding BPFI Famotidin: Kadar : 99,80%

Susut Pengeringan : 0,10% No.Kontrol : 203141 Berat yg Ditimbang : mg

Berat Kertas + Zat = 14,103 mg Berat Kertas + Sisa =

Berat Zat = 5,175 mg 8,928 mg -

Kadar Baku = Kadar Baku Yang Ditimbang x

% 100 %) 10 , 0 % 100 ( −

= 99,80% x

% 100 %) 10 , 0 % 100 ( −


(38)

Penimbangan Zat Uji :

Bobot Rata-rata Tablet (Br) : 1,5535 gram Kadar Etiket (Ke) : 10 mg

Zat Uji : ∞

Ke

10 x Br

x gram

mg mg 5535 , 1 10 10

= 1,5535 gram

Penimbangan I : Penimbangan II :

K + Z = 1,7595 gram K + Z = 1,7553 gram K + S = 0,1965 gram K + S = 0,1923 gram Zat = 1,563 gram Zat = 1,563 gram

Rumus Perhitungan :

xKadarBaku u enceranBak FaktorPeng enceranUji FaktorPeng x t KadarEtike rata BobotRata x BobotUji BobotBaku x AreaBaku AreaUji

PK1 99,70%

50 100 10 5535 , 1 5630 , 1 175 , 5 2603728 2550990 x x mg gram x gram mg x

= = 100,49%

PK2 99,70%

50 100 10 5535 , 1 5630 , 1 175 , 5 2603728 2546936 x x mg gram x gram mg x

= = 100,33%

PK Rata-rata = 2 2 1 PK PK + = 2 )% 33 , 100 49 , 100 ( + = 100,41%

= x10mg

100 41 , 100


(39)

(40)

(41)

(1)

Katzung, B.G. (2001). Farmakologi Dasar dan Klinik Buku I. Jakarta: Salemba. Medika. Hal. 467 – 468, 483 – 486.

Lachman, L., Hebbet, A.L., dan Joseph, L.K. (1994). Teori dan Praktik Farmasi Industri. Jakarta: UI Press. Hal. 645.

Munson, J.W. (1991). Analisis Farmasi Parwa B. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 28 - 29.

Oswari, E. (2009). Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 231.

Raddle, I.C., dan Stuart, M.M. (1998). Farmakologi dan Terapi Pediatri. Jakarta: Hipokrates. Hal. 288 – 290.

Rohman, A. (2009). Kromatografi untuk Analisis Obat. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 111 – 115.

Siswandono, dan Soekardjo, B. (2008). Kimia Medisinal jilid 1. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 185 – 187, 200, 203 – 204.

Suratun dan Lusianah. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media. Hal. 59, 67.

Tambunan, G.W. (1994). Patologi Gastroenterologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG. Hal. 53 – 54.

The United States Pharmacopeial Convention. (2009). United States Pharmacopeia 32 and National Folmulary 18 vol 2. Rookville: United Book Press, Baltimore, MD. Hal. 2342.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K. (1998). Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Ke IV. Cetakan I. Jakarta: Penerbit Gramedia. Hal. 256.

Yuliarti, N. (2009). Maag, Kenali, Hindari dan Obati. Yogyakarta: ANDI. Hal. 1, 11.


(2)

Lampiran

Perhitungan

Baku Pembanding BPFI Famotidin:

Kadar : 99,80%

Susut Pengeringan : 0,10% No.Kontrol : 203141 Berat yg Ditimbang : mg

Berat Kertas + Zat = 14,103 mg Berat Kertas + Sisa =

Berat Zat = 5,175 mg 8,928 mg -

Kadar Baku = Kadar Baku Yang Ditimbang x

% 100

%) 10 , 0 % 100

( −

= 99,80% x

% 100

%) 10 , 0 % 100

( −


(3)

Penimbangan Zat Uji :

Bobot Rata-rata Tablet (Br) : 1,5535 gram Kadar Etiket (Ke) : 10 mg Zat Uji : ∞

Ke 10

x Br

x gram

mg mg 5535 , 1 10 10

= 1,5535 gram

Penimbangan I : Penimbangan II :

K + Z = 1,7595 gram K + Z = 1,7553 gram K + S = 0,1965 gram K + S = 0,1923 gram

Zat = 1,563 gram Zat = 1,563 gram

Rumus Perhitungan :

xKadarBaku u enceranBak FaktorPeng enceranUji FaktorPeng x t KadarEtike rata BobotRata x BobotUji BobotBaku x AreaBaku AreaUji

PK1 99,70%

50 100 10 5535 , 1 5630 , 1 175 , 5 2603728 2550990 x x mg gram x gram mg x

= = 100,49%

PK2 99,70%

50 100 10 5535 , 1 5630 , 1 175 , 5 2603728 2546936 x x mg gram x gram mg x

= = 100,33%

PK Rata-rata = 2 2 1 PK PK + = 2 )% 33 , 100 49 , 100 ( + = 100,41%

= x10mg 100

41 , 100


(4)

(5)

(6)