Kajian Pustaka LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

1. Definisi Matematika Matematika sebagai ilmu mengenai struktur dan hubungan-hubungannya, simbol-simbol yang diperlukan. Simbol-simbol itu penting untuk memanipulasi aturan-aturan dengan operasi yang ditetapkan. Simbulisasi menjamin adanya komunikasi dan mampu memberikan keterangan untuk membentuk suatu konsep baru. Konsep baru terbentuk karena adanya pemahaman terhadap konsep sebelumnya sehingga Matematika itu konsep-konsepnya tersusun secara hirarkis. Simbolisasi itu barulah berarti bila suatu simbol itu dilandasi suatu ide. Jadi, ide harus dipahami yang terkandung dalam simbol tersebut. Dengan perkataan lain, ide harus dipahami terkebih dahulu sebelum ide tersebut disimbolkan. Secara singkat dikatakan bahwa Matematika berkenaan dengan ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hirarkis dan penalarannya deduktif. Menurut Susanto 2013: 183, Matematika merupakan ide-ide abstrak yang berisi simbol-simbol, maka konsep-konsep Matematika harus dipahami terlebih dahulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu. sedangkan dihalman yang berbeda menurut Susanto 2013 : 185, Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan beragumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia 7 kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Matematika merupakan ilmu mengenai struktur dan hubungan-hubungannya, simbol-simbol yang diperlukan dan dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk berfikir dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Pembelajaran Matematika a Pengertian pembelajaran Menurut Susanto 2013: 185, pembelajaran merupakan komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik. Sedangkan pendapat menurut Dimayanti dalam Susanto, 2013: 186, pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain intruksional untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Dari beberapa para ahli yang mengemukakan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan kegiatan di dalam kelas yang terdiri dari guru sebagai pendidik, serta siswa sebagai subyek yang dididik oleh guru itu sendiri. Diharapkan dalam pembelajaran di kelas siswa dapat secara aktif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar yang diajarkan oleh guru dan guru juga harus mampu menyediakan berbagai sumber untuk belajar demi terwujudnya keaktifan siswa. b Pengertian pembelajaran Matematika Sebagai sesuatu yang sifatnya praktis, Matematika merupakan ilmu tentang pola dan urutan. Matematika tidak membahas tentang molekul atau sel, tetapi membahas tentang bilangan, kemungkinan, bentuk, algoritma, dan perubahan. Sebagai ilmu dengan objek yang abstrak, Matematika bergantung pada logika, bukan pada pengamatan sebagi standar kebenarannya, meskipun menggunakan pengamatan, simulasi, dan bahkan percobaan sebagai alat untuk menemukan kebenaran Mathematical Sciences Education Board, 1989:51. Matematika adalah ilmu tentang pola dan urutan MSEB, 1989; lihat juga Schoenfeld, 1992. Pembelajaran Matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kereatifitas berfikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasa yang baik terhadap materi Matematika. Menurut Susanto 2013: 187, pembelajaran Matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang mengandung dua jenis kegiatan yang tidak terpisahkan. Kegiatan tersebut adalah belajar dan mengajar. Yang terjadi interaksi saat pembelajaran Matematika. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dengan siswa untuk membangun kemampuan berfikir siswa, meningkatkan kemampuan siswa dalam mengontruksi pengetahuan baru untuk upaya penguasaan materi Matematika dengan baik. c Tujuan pembelajaran Matematika di sekolah dasar Menurut Susanto 2013: 189, secara umum pembelajaran Matematika di sekolah dasar adalah agar siswa mampu dan terampil menggunakan Matematika. Menurut Depdiknas 2001: 9, kompetensi atau kemampuan umum pembelajaran Matematika di sekolah dasar, sebagai berikut : 1. Melakukan operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian serta operasi campurannya, termasuk yang melibatkan pecahan. 2. Menentukan sifat dan unsur berbagai bangun datar dan bangun ruang sederhana, termaksuk penggunaan sudut, keliling, luas, dan volume. 3. Menentukan sifat simetri, kesebangunan,dan sistem koordinat. 4. Menggunakan pengukuran: satuan, kesetaraan antar satuan dan penaksiran pengukuran. 5. Menentukan dan menafsirkan data sederhana. Seperti: ukuran tertinggi, terendah, rata-rata, modus, pengumpulan, dan menyajikannya. 6. Memecahkan masalah, melakukan penalaran, dan mengkomunikasikan gagasan secara Matematika. Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan dari beberapa para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran Matematika untuk tingkat Sekolah Dasar tidak lain adalah untuk meningkatkan kemampuan, keterampilan serta mengembangkan berfikir siswa dalam menggunakan konsep- konsep Matematika. 3. Proses Belajar Matematika Pembelajaran Matematika yang efektif memerlukan pemahaman tentang apa yang siswa ketahui dan perlukan untuk belajar dan kemudian memberi tantangan dan mendukung mereka untuk mempelajarinya dengan baik NCTM dalam John A, 2000:20. Matematika merupakan ide-ide abstrak yang diberi simbul-simbul, maka konsep-konsep Matematika harus dipahami lebih dulu sebelum memanipulasi simbul-simbul. Seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. karena itu, untuk mempelajari suatu materi Matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang itu akan mempengaruhi terjadinya proses belajar materi Matematika tersebut. Karena kehirarkisan Matematika itu, maka belajar Matematika yang terputus-putus akan mengganggu terjadinya proses belajar. Ini berarti proses belajar Matematika akan terjadi dengan lancar bila belajar itu sendiri dilakukan secara kontinyu. Di dalam proses belajar Matematika, terjadi juga proses berpikir, sebab seseorang dikatakan berpikir bila orang itu melakukan kegiatan mental dan orang belajar Matematika mesti melakukan kegiatan mental. Dalam berpikir, orang menyusun hubungan-hubungan antara bagian-bagian informasi yang telah direkam di dalam pikiran orang itu sebagai pengertian-pengertian. Dari pengertian tersebut terbentuklah pendapat yang pada akhirnya ditariklah kesimpulan. Tentunya kemampuan berpikir seseorang itu dipengaruhi oleh intelegensinya. Dengan demikian terlihat adanya antara intelegensi dengan proses belajar Matematika. Seperti yang telah dikemukakan, belajar itu berkenaan perubahan tingkah laku, sedang perubahan tingkah laku seseorang dipelajari melalui psikologi. Karena itu, belajar banyak disoroti dari sudut psikologi. Di dalam psikologi, para ahli psikologi kignitif mengakui adanya penstrukturan kognitif. Matematika juga mempelajari tentang struktur-struktur. Namun, sampai di mana atau seberapa jauh keselarasan antara struktur yang dimaksudkan dalam psikologi dan Matematika itu. Dari penjelasan di atas tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses belajar Matematika didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Karena itu, untuk mempelajari suatu materi Matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang itu akan mempengaruhi terjadinya proses belajar materi Matematika tersebut. Karena kehirarkisan Matematika itu, maka belajar Matematika yang terputus-putus akan mengganggu terjadinya proses belajar. Ini berarti proses belajar Matematika akan terjadi dengan lancar bila belajar itu sendiri dilakukan secara kontinyu. Di dalam proses belajar Matematika, terjadi juga proses berpikir, sebab seseorang dikatakan berpikir bila orang itu melakukan kegiatan mental dan orang belajar Matematika mesti melakukan kegiatan mental. 4. Bilangan 1. Pengertian bilangan Bilangan adalah sebuah konsep yang kompleks dan multi bentuk. Pemahaman yang kaya akan bilangan, yang merupakan pemahaman rasional, melibatkan banyak ide, hubungan, dan keterampilan yang berbeda. Sedangkan menurut pendapat Narno, dkk 2008 : 1, bilangan adalah keterangan tentang banyaknya anggota suatu himpunan. Bilangan bersifat abstrak namun dapat dikalikan, ditambah, dikalikan, dibagi maupun diurutkan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bilangan merupakan bilangan yang memiliki banyak anggota himpunan suatu himpunan serta bersifat abstrak. 2. Jenis-jenis bilangan a. Bilangan riil adalah bilangan hasil penggabungan antara bilangan rasional dan irasional. b. Bilangan imajiner adalah bilangan hasil pembagian dari dua bilangan bulat. c. Bilangan irasional adalah bilangan yang tidak bisa dinyatakan dalam suatu pembagian pada dua bilangan bulat. d. Bilangan pecahan biasa adalah bilangan pecahan biasa yang sering disebut sebagai bilangan pecahan itu sendiri, yaitu bilangan yang dapat dinyatakan dalam bentuk ab, dengan a dan b adalah bilangan bulat dan b ≠ 0. Bilangan a disebut sebagai pembilang dan bilangan b disebut sebagai penyebut. e. Bilangan bulat adalah bilangan yang terdiri atas bilangan bulat positif dan bulat negatif. f. Bilangan cacah adalah bilangan bulat positif yang dimulai dari angka nol 0 sampai positif tak terhingga. g. Bilangan asli adalah bilangan bulat positif yang dimulai dari angka 1 sampai tak terhingga. h. Bilangan prima adalah bilangan asli yang hanya tepat mempunyai 2 faktor yaitu 1 dan bilangan itu sendiri. i. Bilangan ganjil adalah bilngan asli yang tidak habis dibagi 2 dan dimulai dari 1 sampai tak terhingga. j. Bilangan genap bilngan asli yang habis dibagi 2 dan dimulai dari 2 sampai tak terhingga. k. Bilangan komposit adalah bilangan cacah yang bukan nol 0, bukan satu 1, dan bukan bilangan prima. l. Bialngan kompleks adalah bilangan yang terdiri atas bagian kongkrit nyata dan bagian imajiner tidak nyata. 5. Mengenal konsep bilangan pecahan Bilangan pecahan biasa adalah bilangan pecahan biasa yang sering disebut sebagai bilangan pecahan itu sendiri, yaitu bilangan yang dapat dinyatakan dalam bentuk ab, dengan a dan b adalah bilangan bulat dan b ≠ 0. Bilangan a disebut sebagai pembilang dan bilangan b disebut sebagai penyebut. Kegiatan mengenal konsep bilangan pecahan akan lebih berarti bila didahului dengan soal cerita yang menggunakan obyek-obyek nyata misalnya: apel, sawo, tomat, atau kue: cake, apem, dan lain-lain. Peraga selanjutnya dapat berupa daerah-daerah bangun datar beraturan misalnya persegi, persegi panjang, atau lingkaran yang sangat membantu dalam memperagakan konsep pecahan. Pecahan dapat diperagakan dengan cara melipat kertas berbentuk lingkaran atau persegi, sehingga lipatannya tepat menutupi satu sama lain. Selanjutnya bagian yang dilipat dibuka dan diarsir bagian yang dikehendaki, sehingga akan didapatkan gambar daerah yang diarsir atu diblok seperti di bawah ini. Yang diarsir adalah yang diarsir adalah Pecahan dibaca tiga per delapan. “3” disebut pembilang yaitu merupakan bagian yang diambil atau 3 bagian yang diperhatikan dari keseluruhan bagian yang sama. “8” disebut penyebut yaitu merupakan 8 bagian yang sama dari keseluruhan. 6. Operasi penjumlahan bilangan pecahan biasa adalah dengan mengubah penyebut dua pecahan menjadi KPK-nya terlebih dahulu atau dengan rumus : + = × + × × Contoh: Berapa + ? Jawab: a. Pertama, mencari KPK dari penyebut pecahan dan KPK dari 3 dan 5 adalah 15. b. Mengubah penyebut kedua pecahan menjadi 15 = × × = = × × = c. Menentukan hasil penjumlahan kedua pecahan tersebut + = + = jadi, + = 7. Operasi pengurangan bilangan pecahan biasa adalah dengan mengubah penyebut dua pecahan menjadi KPK-nya terlebih dahulu atau dengan rumus :  = ×  × × Contoh: Berapa  ? Jawab: a. Pertama, mencari KPK dari penyebut pecahan dan KPK dari 3 dan 5 adalah 15. b. Mengubah penyebut kedua pecahan menjadi 15 = × × = = × × = c. Menentukan hasil pengurangan kedua pecahan tersebut  =  = jadi,  = 8. Operasi perkalian bilangan pecahan biasa adalah dengan mengalikan langsung antar pembilang dan antar penyebut kedua pecahan tersebut. Rumus: × = × contoh: × = Hasil perkalian dua pecahan didapat dari: a. Perkalian pembilang dengan pembilang b. Perkalian penyebut dengan penyebut 9. Operasi pembagian bilangan pecahan biasa adalah dengan mengalikan pecahan dengan pecahan yang telah dibalik pembilang dan penyebutnya. Rumus: : = : Contoh: ∶ = × = Hasil perkalian dua pecahan didapat dari: a. Mengubah bentuk bilangan pecahan pembagian menjadi bentuk bilangan pecahan perkalian dengan membalikkan bilangan pecahan biasa yang bagian belakang 10. Memahami Konsep Salah satu tujuan belajar mengajar adalah usaha agar siswa memahami konsep dan tingkat keberhasilan. Beberapa indikator yang menunjukkan pemahaman seseorang akan suatu konsep antara lain: 1 dapat menyatakan pengertian konsep dalam bentuk definisi menggunakan kalimat sendiri. 2 dapat menjelaskan makna dari konsep bersangkutan kepada orang lain. 3 dapat menganalisis hubungan antara konsep dalam suatu hukum. 4 dapat menerapkan konsep untuk menganalisis dan menjelaskan gejala-gejala alam khusus, memecahkan masalah baik secara teoritis maupun secara praktis, memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi pada suatu sistem bila kondisi tertentu dipenuhi. 5 dapat mempelajari konsep lain yang berkaitan dengan lebih cepat. 6 dapat membedakan konsep yang satu dengan konsep yang lainnya yang saling berkaitan. 7 dapat membedakan konsepsi yang benar dan konsepsi yang salah, dan dapat membuat peta konsep dari konsep-konsep yang ada dalam pokok bahasan Hurt, 1970: 70-71; Martin, 1972: 138-140; Berg, 1991: 11, dan Kartika Budi, 1990. Berdasarkan bentuknya konsep dapat dibedakan menjadi 3 jenis menurut Moh. Amien Salirawati, 2010: 13, yaitu: 1 Konsep klasifikasional, mencangkup bentuk konsep yang didasarkan atas klasifikasi fakta-fakta kedalam bagan yang terogranisir. Misal mengklasifikasikan konsep segitiga atau konsep trigonometri. 2 Konsep korelasional, mencangkup kejadian-kejadian khusus yang saling berhubungan, atau observasi-observasi yang terdiri dari atas dugaan terutama berbentuk formulasi prinsip-prinsip umum. misal konsep luas persegi panjang sebagai hasil kali dari panjang kali lebar. 3 Konsep teoritik, mencangkup bentuk konsep yang mempermudah kita dalammempelajari fakta-fakta atau kejadian-kejadian dalam sistem yang terorganisir. Misalnya konsep titik, bilangan, himpunan. 11. Definisi Miskonsepsi a Miskonsepsi Novak dalam Suparno, 2005:4, mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima. Sedangkan menurut Brown dalam Suparno, 2005:4, menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu pandangan yang naif dan mendefinisikannya sebagi suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima. Beda lagi pendapat menurut Feldsine dalam Suparno, 2005:4, menemukan miskonsepsi sebagai suatu kesalahan dan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep. Tetapi menurut Suparno 2005 : 2, miskonsepsi adalah konsep awal yang mereka bawa kadang-kadang tidak sesuai atau bertentangan dengan konsep yang diterima para ahli. Konsep awal yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah. Terakhir berdasarkan pendapat Flower dalam Suparno, 2005 : 5, miskonsepsi adalah sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hirarkis konsep-konsep yang tidak benar. Kebanyakan peneliti modern lebih suka menggunakan istilah konsep alternatif daripada miskonsepsi. alasan mereka adalah: 1 Konsep alternatif lebih menunjuk pada penjelasan berdasarkan pengalaman yang dikonstruksikan oleh siswa sendiri 2 Istilah itu memberikan penghargaan intelektual kepada siswa yang mempunyai gagasan tersebut 3 Kerap kali konsep alternatif secara konstektual masuk akal dan juga berguna untuk menjelaskan beberapa persoalan yang sedang dihadapi siswa Wandersee, Mintzes, dan Novak, 1994. Beberapa peneliti masih suka menggunakan istilah miskonsepsi dengan alasan: 1 Istilah itu sudah mempunyai makna bagi orang awam 2 Dalam pendidikan sains, istilah itu sudah membawa pengertian- pengertian tertentu sesuai dengan pemikiran sainstifik saat ini 3 Istilah itu mudah dimengerti baik oleh para guru dan orang awam Wandersee, Mintzes, dan Novak, 1994. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah penggunaan konsep yang salah atau tidak akurat serta bertentangan dengan konsep para ahli atau ilmiah. 12. Alasan siswa mempunyai salah konsep a Pemikiran representatif Pemikiran representatif banyak digunakan oleh orang dalam menentukan probabilitas karena beberapa alasan, Tversky Kahneman dalam Suparno, 1998:20: 1 Pemikiran ini mudah diakses dan digunakan, 2 Dalam kenyataan seringkali kejadian-kejadian yang probable biasanya lebih representatif daripada kejadian yang tidak probable terhadap populasi. Dengan kata lain ada kaitan antara kejadian yang sering terjadi dengan probabilitas, 3 Ada kaitan antara besarnya frekuensi dengan representatifitas terhadap pupulasi. b Availabilitas Banyak siswa menentukan besarnya probabilitas berdasarkan kejadian yang mudah diingat dalam pikirannya Tversky Kahneman dalam Suparno, 1998:20. Misalnya, mereka menyatakan bahwa banyak orang kena serangan jantung pada umur setengah baya, karena teringat beberapa orang kenalan yang kebetulan sakit jantung. Orang yang sering bertemu dengan perokok di desanya akan mengatakan bahwa prosentasi perokok di Indonesia besar, sedang yang kebetulan tidak teringat bahwa ada temannya yang merokok, berpikir bahwa prosentase perokok adalah sangat kecil. Padahal secara statistis belum pasti benar. c Berpikir kausal yang tidak tepat Mereka berpikir kausal karena dari pengalaman hidup mereka, rokok dapat menyebabkan sakit kanker. Tetapi mereka lupa bahwa tidak semua yang sakit kanker karena merokok Tversky Kahneman dalam Suparno, 1998:22. d Kepercayaan deterministik Menurut Shaughnessy dalam Suparno, 1998:22, siswa yang tidak percaya akan teori probabilitas atau teori kemungkinan, tidak akan menaruh perhatian pada persoalan probabilitas di sekolah. e Kesalahan pada main undi Gamebler Fallacies Mereka memandang probabilitas sebagai proses yang selfcorrenting, dimana suatu penyimpangan pada suatu arah diimbangi dengan penyimpangan kearah yang berlainan untuk menjaga keseimbangan Tversky Kahneman dalam Suparno, 1998:22. f The law of small number Hukum jumlah kecil Hukum jumlah kecil The law of small number memberikan kepastian bahwa sampel yang sangat banyak jumlahnya akan lebih mewakili populasi. Dengan kata lain, semakin besar sampelnya, semakin hasilnya mendekati populasinya. g Kesulitan linguistik dan matematik logis Feschbein dkk dalam Suparno, 1998:23 menemukan bahwa salah pengertian siswa banyak disebabkan oleh kekurangmampuan linguistik, logika dan matematik. Banyak siswa sebelum mendapatkan pelajaran formal sudah mendengar banyak istilah yang digunakan dalam probabilitas tetapi dengan pengertian yang lain seperti: kerapkali, selalu, random, probable, kesempatan, independen, kadang-kadang dll. 13. Penyebab Miskonsepsi Menurut Suparno 2005 : 29, secara garis besar penyebab miskonsepsi dapat diringkas dalam lima kelompok, yaitu : siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar. a Miskonsepsi yang berasal dari siswa dapat dikelompokan dalam beberapa hal, antara lain : 1 Prakonsepsi atau konsep awal siswa, banyak siswa sudah mempunyai konsep awal atau prakonsepsi tentang suatu bahan sebelum siswa mengikuti pelajaran formal dibawah bimbingan guru. Konsep awal ini sering mengandung miskonsepsi. Prakonsepsi ini biasanya diperoleh orang tua, teman, sekolah awal, dan pengalaman di lingkungan siswa. 2 Pemikiran asosiatif siswa, asosiasi siswa terhadap istilah sehari- hari kadang-kadang juga membuat miskonsepsi. 3 Pemikiran Humanistik, Siswa kerap kali memandang semua benda dari pandangan manusiawi. 4 Reasoning yang tidak lengkap atau salah, miskonsepsi juga dapat disebabkan oleh reasoning atau penalaran siswa yang tidak lengkap atau salah. 5 Intiusi yang salah, intusi atau perasaan siswa yang dapat menyebabkan miskonsepsi. 6 Tahap perkembangan kognitif siswa, perkembangan kognitif siswa yang tidak sesuai dengan bahan yang digeluti dapat menjadi penyebab adanya miskonsepsi siswa. Siswa yang masih dalam tahap operasional concrete bila mempelajari bahan yang abstrak sulit menangkap dan sering salah mengerti tantang konsep bahan tersebut. 7 Kemampuan siswa, siswa yang kurang berbakat kurang mampu dalam mempelajari materi sering mengalami kesulitan menangkap konsep dalam proses belajar. 8 Minat belajar, siswa yang berminat cenderung mengalami rendah terjadi miskonsepsi dari pada yang tidak minat. b Guru atau pengajar Miskonsepsi siswa dapat terjadi pula karena miskonsepsi yang dibawa oleh guru. Tidak menguasai bahan, tidak kompeten, bukan lulusan dari bidang ilmu fisika, tida membiarkan siswa mengungkapkan gagasan atau ide, realisasi guru-siswa tidak baik. c Buku teks Buku teks juga dapat menyebarkan miskonsepsi. Entah karena bahasanya sulit atau karena penjelasan tidak benar, miskonsepsi tetap diteruskan. d Konteks a. Pengalaman siswa b. Bahasa sehari-hari c. Teman lain d. Keyakinan dan ajaran agama e Metode mengajar Beberapa metode mengajar yang digunakan guru, terlebih yang menekankan satu segi saja dari konsep bahan yang digeluti, meskipun membantu siswa menangkap bahan, tetapi sering mempunyai dampak jelek, yaitu memunculkan miskonsepsi siswa. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan penyebab miskonsepsi adalah siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar. Miskonsepsi pada siswa terjadi karena pengetahuan awal siswa, pemikiran siswa, pemahaman siswa yang berbeda, cara berfikir yang berbeda serta minat yang didalam diri siswa. Miskonsepsi pada guru terjadi karena guru kurang penguasaan dalam bahan materi serta tidak berkompeten, realisasi guru – siswa yang kurang. Buku teks terjadi karena keliruan dalam penulisan buku sehingga membuat miskonsepsi dalam salah tulis tingkat kesulitan dan yang lainnya. Konteks terjadi karena pengalaman siswa yang berbeda serta bahasa yang digunakan biasanya berbeda dengan ilmiah yang dimaksud, teman diskusi juga salah, keyakinan dan agama. Cara mengajar terjadi karena metode yang digunakan guru kebanyakan tidak mengungkap miskonsepsi siswa. 14. Kiat-Kiat Mengatasi Miskonsepsi Secara garis besar langkah yang digunakan untuk membantu mengatasi Miskonsepsi terdapat 3 cara yaitu: a Mencari atau mengungkapkan Miskonsepsi yang dilakukan siswa Secara umum kiat yang tepat dalam membantu siswa mengatasi miskonsepsi adalah mencari bentuk kesalahan yang dimiliki oleh siswa dengan cara guru harus mengetahui pemikiran siswa tersebut. Dengan mengetahui cara berpikir siswa, cara menangkap serta gagasan siswa kita dapat mengetahui letak Miskonsepsi siswa dan kita dapat membantunya. b Mencari penyebab Miskonsepsi yang dialami siswa Untuk menemukan penyebab Miskonsepsi yang dialami siswa, guru dapat melakukan wawancara secara langsung terhadap siswa tersebut. Guru juga bisa memberikan sebuah pertanyaan tertulis yang diberikan kepada siswa. c Mencari perlakuan yang sesuai untuk siswa. Para pendidik dalam pembenahan miskonsepsi pada siswa haruslah mencari dan memilih metode atau strategi yang lebih cocok dengan situasi siswa yang mereka hadapi. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kiat- kiat mengatasi miskonsepsi adalah mencari atau mengungkapkan Miskonsepsi yang dilakukan siswa yaitu dengan mencari tahu bentuk kesalahan atau miskonsepsi yang dialami siswa, mencari penyebab Miskonsepsi yang dialami siswa yaitu mencari tahu penyebab yang dialami siswa dalam menghadapi kesalahan atau miskonsepsi, mencari perlakuan yang sesuai untuk siswa yaitu mencari solusi yang bisa diberikan ke siswa yang mengalami miskonsepsi. 15. Mendeteksi Miskonsepsi Cara mendeteksi Miskonsepsi yang dialami oleh siswa dapat dilakukan dengan 5 cara yaitu: a Peta konsep Peta konsep dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi pada siswa. Untuk dapat mengetahui adanya miskonsepsi pada siswa dalam peta konsepnya perlu juga diimbangi dengan wawancara. Dalam wawancara tersebut nantinya siswa diminta untuk menjelaskan gagasannya. Melalui ungkapan siswa berkaitan dengan gagasan pada peta konsep tersebut nantinya akan terdetiksi miskonsepsi yang dialami oleh siswa. b Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka Yang dimaksud dengan tes pilihan ganda dengan pertanyaan terbuka dimana siswa harus menjawab dan menulis mengapa ia mempunyai jawaban seperti itu. c Tes Esai Tertulis Guru mempersiapkan suatu tes esay yang memuat beberapa kosep. Dari tes tersebut nantinya dapat diketahui miskonsepsi yang terjadi pada siswa melalui jawaban-jawaban yang mereka tulis. d Wawancara Diagnosis Dalam hal ini guru dapat bertanya secara bebas mengenai hal-hal yang ingin diketahui. Sedangkan siswa dapat menjawab sebebas-bebasnya. Dari jawaban itulah nantinya akan terdeteksi miskonsepsi yang dialami siswa. e Diskusi dalam kelas Dalam kelas siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep yang sudah diajarkan atau henadak diajarkan. Melalui diskusi ini dapat dideteksi juga apakah gagasan mereka tepat atau tidak. Yang perlu diperhatika oleh guru dalam hal ini adalah membantu agar setiap siswa berani untuk mengungkapkan pikiran mereka tentang persoalan yang sedang dibahas. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa mendeteksi miskonsepsi dengan peta konsep yaitu menditekasi terjadinya miskonsepsi dengan membuat peta konsepnya, tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka yaitu tes pilihan ganda untuk mengetahui pilihan jawaban anak, tes Esai Tertulis yaitu untuk mengetahui jawaban tulis anak, wawancara diagnosis yaitu melakukan wawancara untuk mengetahui kesalahan yang terjadi, diskusi dalam kelas yaitu melakukan diskusi untuk mengungkapkan gagasan siswa.

B. Penelitian yang Relevan