Dalam situasi biasa, keberadaan penjamin tidak diperlukan karena oleh orang tua sendiri, bayi tersebut akan dibesarkan dan dididik imannya secara
Katolik dan itu sesuai dengan maksud baptisan yang telah diterimanya. Berdasarkan kasus-kasus seperti itu, kehadiran penjamin sangat penting dan
diperlukan dalam peristiwa pembaptisan.
4 Umat
Pentingnya kehadiran umat dalam peristiwa pembaptisan selain menunjukkan aspek perhatian dan cintanya kepada mereka yang hendak
menerima sakramen baptis dan meneguhkan pengakuan iman yang dilakukan oleh orang tua dan wali baptis, juga sebagai perwujudan pengakuan iman Gereja. Umat
Allah ikut serta secara aktif untuk menampakkan penerimaan para baptisan baru ke dalam Gereja. Dengan demikian, iman yang menjadi dasar pembaptisan bukan
hanya milik keluarganya saja, melainkan milik seluruh Gereja Prasetya, 2008: 29.
B. TUGAS DAN PERAN WALI BAPTIS
Pada bagian ini penulis akan memaparkan mengenai pokok-pokok wali baptis. Penulis akan mengajak melihat beberapa pendapat tentang wali baptis.
Pada bagian awal ini penulis akan membahas mengenai sejarah wali baptis, pengertian wali baptis, peran-tugas dan partisipasi wali baptis.
1. Sejarah Wali Baptis
Adanya wali baptis atau saksi baptis dalam sakramen pembaptisan tidak menjadi syarat mutlak bagi sahnya sakramen baptis. Dalam keadaan darurat,
baptisan tetap sah bila dilakukan tanpa ada wali baptis. Namun, adanya wali baptis atau saksi baptis ini merupakan kebiasaan lama yang sudah mengakar
dalam tradisi katolik. Oleh karena itu, keberadaan wali baptis atau saksi baptis tetap diusahakan Irwanto, 2005: 25.
Sejarah wali baptis bermula dari adanya penjamin dalam tradisi pembaptisan Gereja Purba. Sebelum menjadi wali baptis para penjamin saat
upacara pelantikkan katekumen disebut sebagai penobat Komisi Liturgi MAWI, 48. Sebagai penobat, penjamin bertindak sebagai saksi para calon baptis. Setelah
upacara pelantikkan para penjamin dapat menjadi wali baptis. Mereka dapat bertindak sebagai wali baptis terutama karena mereka telah menjadi saksi untuk
Gereja dan untuk Kristus di hadapan manusia. Nama wali baptis dalam masa awal Gereja disebut dengan
penjaminsponsor. Peran wali baptis sebagai penjaminsponsor dilakukan oleh St. Barnabas terhadap St. Paulus yang baru bertobat Kis 9:27. Peran wali baptis
sebagai penjaminsponsor seperti St. Barnabas sudah berkembang pada awal sejarah Gereja, terlebih ketika Gereja mengalami masa penganiayaan dari
kekaisaran Romawi sampai munculnya Edict Milan 313 M. Pada masa itu menjadi Kristen berarti mesti siap untuk menjadi martir, dibunuh demi iman,
karena kekristenan dianggap sebagai musuh negara yang harus ditumpas. Maka ibadahpun dilakukan secara sembunyi-sembunyi di katakombe-katakombe.
Pewartaan Injil tidak bisa dilakukan secara terang-terangan Bagiyowinadi, 2009: 20. Untuk mengetahui apakah lawan bicara juga Kristen digunakan gambar ikan
sebagai sandi Yun, ikan = ICHTUS singkatan dari Yesus Kristus, Anak Allah, Penyelamat. Bila ada seseorang yang tertarik menjadi Kristen, dia akan
menghadap Uskup setempat. Dan Uskup meminta dia mencari teman seorang Kristen yang menjadi penjaminsponsor baginya Bagiyowinadi, 2009: 21.
Sebelum abad IX beberapa orang tua sudah memilih orang lain bertindak sebagai wali baptis anaknya. Baru pada abad IX ada peraturan resmi sponsor
haruslah di luar kedua orang tuanya. Maka muncullah istilah latin patrinus bapa baptis dan Matrina ibu baptis. Melalui kelahiran baru dalam pembaptisan itu
mereka menjadi orang tua spiritual bagi anak baptisnya. Dengan adanya wali baptis yang bukan orang tuanya, pembinaan iman bisa berkelanjutan, kalaupun
orang tua tiba-tiba meninggal. Sejak awal relasi spiritual antara wali baptis dan anak baptis sedemikian erat sehingga Kaisar Yustinus abad VI mengeluarkan
larangan penikahan antara wali baptis dengan anak baptis Bagiyowinadi, 2009: 22.
Dalam liturgi pembaptisan bayi masa itu, wali baptis berperan untuk menerimakan anak baptis dari bejana baptis. Selanjutnya Karel Agung, raja Frank
yang memerintah tahun 751-758, berusaha menjadikan institusi wali baptis sebagai pendidikan iman bagi kaum awam. Dia menggaris bawahi tugas wali
baptis sebagai pendidik iman bagi anak baptisnya termasuk untuk mengajarkan doa-doa dasar kepada mereka Bagiyowinadi, 2009: 23.
Dari penjelasan tersebut di atas, gereja Katolik tetap mempertahankan bahwa setiap calon baptis yang akan dibaptis sedapat mungkin diberi wali baptis
yang mendampingi calon baptis menghayati hidup Kristiani yang sesuai dengan baptisannya dan memenuhi dengan setia kewajiban-kewajiban yang melekat pada
baptis itu.
2. Pengertian Wali Baptis
Kamus Liturgi mendefiniskan bahwa wali baptis adalah orang beriman Katolik yang dipilih oleh katekumen untuk menjadi pendampingnya dalam tahap-
tahap terakhir inisiasi Ktisten. Sesudah katekumen dibaptis, ia tetap harus memperhatikan perkembangan hidup baptisan baru tersebut. Wali baptis
berkewajiban menolong anak baptis sebaik mungkin dengan kata dan teladan dalam perkembangan hidup rohani. Kewajiban seorang wali baptis sangat penting
terlebih-lebih jika orang tua anak baptis tidak mau mengembang tanggung jawabnya dan dengan demikian wali baptis dapat menjadi orang tua kedua bagi
anak baptis tersebut. Wali baptis wajib berusaha supaya orang anak baptis yang mendapat pendampingan darinya menerima pembinaan dan pendidikan Katolik
dan tetap setia pada janji baptis Ernest Mariyanto, 2004: 226. Wali baptis adalah seorang beriman Katolik, baik laki-laki maupun
perempuan, yang sudah dewasa usia dan imannya yang ditunjuk untuk mendampingi proses perkembangan iman orang yang dibaptis, baik kanak-kanak
maupun orang dewasa. Menurut Prasetya 2011: 49, wali baptis adalah orang yang dianggap tepat untuk menjadi penjamin pada sakramen penguatan ketika
anak sudah cukup besar untuk menerimanya. Apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau sesuatu yang menghalangi orang tua untuk membesarkan anaknya
dalam iman Katolik, wali baptis mempunyai tanggung jawab untuk memastikan bahwa anak memperoleh pendidikan iman yang diperlukan. Dengan demikian,
keberadaan dan tugas wali baptis tidak hanya penting pada saat pembaptisan, tetapi juga bertugas untuk mendampingi calon baptis terus menerus sampai dapat
hidup secara kristiani dan setia melaksanakan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan baptisan yang telah diterimanya Prasetya, 2011: 49.
Wali baptis oleh Yohanes Chrysostomus yang dikutip dalam buku Bina liturgia 5
juga disebut “Bapa rohani” hal ini mau menunjukkan sifat kemesraan seorang ayah yang mendidik anak-anaknya dalam hal-hal rohani dan mendorang
mereka kepada kebajikan MAWI, 1986: 49. Dari pengertian di atas, Kitab Hukum Kanonik 874 menuliskan syarat-
syarat untuk menjadi seorang wali baptis yakni: 1.
Ditunjuk oleh calon baptis atau orang tuanya atau oleh orang yang mewakili mereka, atau bila mereka itu tidak ada, oleh pastor paroki atau pelayan baptis,
serta memiliki kecakapan dan maksud untuk melaksanakan tugas itu; 2.
Telah berumur genap enambelas tahun, kecuali jika umur lain ditentukan oleh Uskup diosesan, atau pastor paroki ataupun pelayan baptis menilai bahwa
kekecualian atas alasan wajar dapat diterima; 3.
Seorang Katolik yang telah menerima penguatan dan sakramen Ekaristi Maha Kudus, lagi pula hidup sesuai dengan iman dan tugas yang diterimanya;
4. Tidak dijatuhi atau dinyatakan ternoda oleh suatu hukuman kanonik;
5. Bukan ayah atau ibu dari calon baptis; seseorang yang telah dibaptis dalam
suatu jemaat gerejawi bukan Katolik hanya dapat diizinkan tampil hanya bersama dengan seorang wali baptis Katolik, dan itu sebagai saksi baptis.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa wali baptis adalah orang yang sungguh mempunyai kewajiban penting untuk menjaga,
mendampingi dan membantu orang tua dalam mendampingi anak sehingga semakin hari anak semakin memiliki iman yang kokoh sehingga tidak mudah
untuk mengikuti arus zaman yang semakin deras serta semakin hari semakin aktif dalam mengikuti kegiatan menggereja. Kunci utama mengemban tanggungjawab
sebagai wali baptis adalah kemauan dan kerelaan.
3. Peran, Tugas, dan Partisipasi Wali Baptis
a. Peran Wali Baptis
Setiap calon baptis hendaknya mempunyai wali baptis namun bukan demi sahnya pembaptisan karena tanpa wali wali baptis, pembaptisan tetap sah. Dalam
keadaan darurat, baptisan tetap sah bila dilakukan tanpa adanya wali baptis. Namun adanya wali baptis atau saksi baptis ini merupakan kebiasaan lama yang
sudah mengakar dalam tradisi Katolik. Oleh karena itu, keberadaan wali baptis atau saksi baptis sebaiknya tetap diusahakan Irwanto, 2005: 25. Dalam Kitab
Hukum Kanonik ditegaskan bahwa: “Calon baptis sedapat mungkin diberi wali baptis yang berkewajiban
mendampingi calon baptis dewasa dalam inisiasi Kristiani, dan bersama orangtua mengajukan calon baptis bayi untuk dibaptis menghayati hidup
Kristiani yang sesuai dengan baptisannya dan memenuhi kewajiban yang melekat pada baptis itu
” KHK 872.
Dengan demikian wali baptis diharapkan dapat menunjukkan jalan kepada katekumen untuk mewujudkan menerapkan Injil dalam hidupnya sendiri dan
dalam hubungannya dengan masyarakat. Wali baptis diharapkan dapat mendampingi dalam keragu-raguan dan kebimbangan, memberi kesaksian dan
menjaga perkembangan hidup Kristiani para baptis baru agar tetap setia pada janji baptis. Dengan melihat begitu besarnya tugas seorang wali baptis, seorang wali
baptis tidak begitu saja lepas dari tanggungjawabnya karena hal ini sangat berpengaruh bagi perkembangan iman anak baptis KWI, 1996: 426. Supaya
rahmat pembaptisan dapat berkembang, bantuan orang tua dan wali baptis sangat penting. Mereka harus turut bertangung jawab dan harus menjadi orang Kristiani
yang baik, yang mampu dan siap mendampingi anak dan orang dewasa yang baru dibaptis pada jalan kehidupan Kristiani. Tugas mereka adalah jabatan gerejani
yang sebenarnya officium KGK 1255. Bila yang dibaptis adalah seorang bayi atau anak kecil yang orang tuanya
adalah umat beriman Katolik, wali baptis membantu orang tuanya di mana orang tua tetap merupakan pengajar iman utama bagi anaknya Gravissimus
Educationis, GE 3. Bila yang dibaptis adalah seorang bayi atau anak kecil yang orang tuanya bukan Katolik, atau yang dibaptis adalah seorang dewasa, wali
baptis harus menjadi teladan utama dalam pertumbuhan spiritual anak baptisnya. Pertolongan yang dapat diberikan oleh seorang wali baptis adalah teladan iman.
Seorang wali baptis tidak dapat memberikan teladan iman bila ia tidak berbagi sharing mengenai imanya. Dengan demikian, wali baptis harus mengusahakan
kebajikan dalam dirinya sendiri dan memberikan teladan dalam hidup doa kepada
seluruh umat. Karena seorang wali baptis telah berjanji untuk membantu orang yang baru dibaptis dan setuju untuk mewakili komunitas iman dan mendorong
anak baptisnya untuk tetap berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik sendiri.
b. Tanggung Jawab Wali Baptis
Berdasarkan penegasan diatas, Herman Yosef Ga I dalam buku Sakramen dan Sakramentali menurut Kitab Hukum Kanonik 2011: 125 memaparkan apa
yang merupakan tanggung jawab ibubapa wali baptis itu sendiri yaitu: 1
Mengajar atau mendidik dengan memperlihatkan kepada calon baptis dewasa, atau membantu orang tua calon baptis bayi, bagaimana
mempraktekkan ajaran Allah dan Injil Suci dalam hidup pribadi dan sosial. Di samping itu, ibubapa wali baptis bertugas juga serentak sebagai pembawa
dan pemberi kesaksian Kristiani dan menjadi pelindung atas pertumbuhan hidup beriman calon baptis sebagai buah dari sakramen baptis.
2 Membantu calon baptis dewasa atau orang tua calon baptis bayi yang
sekurang-kurangnya dilakukan pada tahap akhir persiapan pembaptisan masa pemurnian.
3 Menyertai calon baptis dewasa dalam mengajukan diri menjadi calon wali
baptis dan serantak berdiri sebagai seorang saksi atas hidup dan perilaku iman, moral, dan maksud baik calon baptis.
4 Mewakili Gereja dalam meneriman calon baptis menjadi anggota baru
Keluarga Kerajaan Allah secara spiritualitas dan memainkan peran nyata
Gereja kepada calon baptis sebagai seorang bunda. Ibubapa wali baptis menjadi anggota baru dari keluarga spiritual baptisan baru.
Konferensi Wali Gereja Indonesia dalam Iman Katolik menjelaskan bahwa p
eran wali baptis adalah mendampingi katekumen pada hari “pemilihan”, dalam perayaan sakramen-
sakramen inisiasi dan pada “mistagogi”, artinya wali baptis menunjukkan jalan kepada katekumen supaya menerapkan Injil dalam
kehidupannya sendiri dan dalam hubungannya dengan masyarakat. Wali baptis pun harus memberi kesaksian dan menjaga perkembangan hidup Kristianinya
Iman Katolik, 1996: 426. Melihat keberadaan peran wali baptis yang berlangsung selama hidup ini,
sebaiknya ditanggapi dengan upaya pencarian wali baptis secara bijaksana, jangan asal-asalan, sesuai dengan syarat wali baptis. Khususnya untuk baptisan anak-
anak, tidaklah bijaksana jika orang tua memilih wali baptis yang sudah lanjut usianya karena yang sering terjadi adalah wali baptis tersebut sakit-sakitan,
bahkan meninggal dunia, pada saat anak sangat memerlukan kehadirannya itu. Itulah sebabnya, keberadaan wali baptis jangan dipahami sebatas formal saja,
tetapi harus ditempatkan dalam kerangka pendampingan terus-menerus bagi anak dalam menatap masa depannya yang masih panjang dengan segala tantangan dan
kesulitan zamannya Prasetya, 2011: 51.
c. Partisipasi Wali Baptis dalam Liturgi Pembaptisan
Di atas telah diuraikan apa yang menjadi peran dan tanggung jawab wali baptis. Bagiyowinadi 2009: 63-74 dalam buku Wali Baptis peran dan tanggung
jawabnya, menguraikan apa saja yang merupakan partisipasi wali baptis dalam liturgi pembaptisan, antara lain yaitu:
1. Partisipasi Wali Baptis dalam Pembaptisan Bayi dan Kanak-Kanak
a. Mengikuti pembekalan bersama dengan orangtua anak baptis
Bersama dengan orangtua anak yang dibaptis, wali baptis mengikuti pembekalan. Kegiatan pembekalan ini cukup penting bagi wali baptis karena akan
dibicarakan tanggung jawab mendidik anak setelah pembaptisan serta dalam pembekalan akan disampaikan bagaimana pelaksanaan liturgi pembaptisan
misalnya: siapa yang memasang busana putih pada baptisan baru, siapa yang menyalakan lilin baptis pada lilin paska, dan lain sebagainya Bagiyowinadi,
2009: 64.
b. Pada saat upacara pembaptisan
Sama halnya dengan orangtua anak yang dibaptis, wali baptis dalam upacara pembaptisan mempunyai peran Bagiyowinadi 2009: 66, yakni:
1 Pada saat upacara pembaptisan secara puplik wali baptis menyatakan
kesanggupannya untuk membantu orang tua menjalankan tugasnya, 2
Wali baptis ikut membubuhkan tanda salib pada dahi calon baptis setelah orangtua,
3 Bersama orangtua memperbaharui janji baptis dengan menolak setan dan
mengakui iman. Kemudian masih dimungkinkan dengan: 4
Ikut memegang anak baptis setelah penuangan air baptis, 5
Menyeka kepala anak baptis dengan handuk sesudah penuangan air baptis,
6 Membantu memasangkan busana putih pada anak baptis,
7 Membantu menyalakan lilin baptis pada lilin Paskah.
2. Partisipasi Wali Baptis dalam Pembaptisan Dewasa
a. Upacara Pemilihan Calon Baptis
Pada upacara pemilihan calon baptis untuk baptis dewasa yang juga
disebut sebagai inisiasi tahap ke dua, wali baptis mulai ambil peran dalam liturgi.
Pada bagian awal upacara pemilihan calon baptis dewasa, wali baptis akan diminta kesaksiannya apakah calon baptis dewasa tersebut sudah siap untuk
menerima baptisan.
b. Pada Saat Upacara Pembaptisan
Pada saat upacara pembaptisan dewasa, setelah calon baptis mengucapkan janji baptis, wali baptis mempunyai peran Bagiyowinadi: 2009: 71-72, yakni:
1 Pada penuangan air baptis pada kepala calon baptis, salah satu atau kedua
wali baptis mendampinginya dengan tangan kanan memegang bahu anak baptis OICA 226 B.
2 Wali baptis membantu memasangkan busana putih pada anak baptisnya
OICA 229. 3
Wali baptis menyalakan lilin baptis dari api lilin paskah dan memberikan kepada anak baptisnya OICA 230.
4 Bila upacara pembaptisan ini dilanjutkan dengan penerimaan sakramen
Krisma, salah satu atau kedua wali baptis mendampingi anak baptis dengan
tangan kanan memegang pundaknya dan menyebutkan nama krismanya kepada pelayan baptis-krisma.
3. Pasca Pembaptisan Mistagogi dan Krisma
Setelah penerimaan sakramen inisiasi, para baptisan baru memasuki masa mistagogi, yakni masa pembinaan lebih lanjut setelah pembaptisan yang
diselenggarakan baik dalam liturgi tujuh kali misa mistagogi selama masa Paskah hingga hari raya Pentakosta maupun dalam pertemuan kateketis. Wali baptis
diharapkan ikut mendampingi anak baptisnya selama masa mistagogi, khususnya dalam rangkaian misa mistagogi Bagiyowinadi, 2009: 73.
Dari teori di atas penulis melihat bahwa adanya wali baptis meskipun tidak merupakan syarat mutlak bagi sebuah sakramen baptis dalam Gereja Katolik,
namun menjadi seorang wali baptis adalah tugas penting dalam Gereja Katolik. Maka orangtua dan wali baptis sendiri harus menjadi orang Kristiani yang baik
yang mampu dan siap mendampingi anak dan orang dewasa yang baru dibaptis pada jalan kehidupan Kristen KGK 1255. Melalui perkataan dan terlebih
teladan hiduplah orang tua dan wali baptis membina anak baptis mereka dalam iman dan praktek kehidupan Kristani KHK, kan. 774 §2.
C. PERKEMBANGAN IMAN