Kromatografi lapis tipis Kromatografi

19

2.6.1 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis KLT dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium atau plat plastik Rohman, 2009. Fase diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penjerap kromatografi cair-padat atau berfungsi sebagai penyangga untuk lapisan zat cair kromatografi cair-cair. Fase diam yang umum dipakai adalah silika gel asam silikat, alumina aluminium oksida, kieselgur tanah diatom dan selulosa Saifudin, 2014. Eluen pengembang dapat berupa pelarut tunggal ataupun campuran pelarut dengan susunan tertentu Pelarut-pelarut pengembang harus mempunyai kemurnian yang tinggi. Terdapatnya sejumlah kecil air atau zat pengotor lainnya dalam pengembang dapat menghasilkan kromatogram yang tidak diharapkan Hahn-Deinstrop, 2007. Menurut Hahn-Deinstrop 2007, cara mengamati bercak pada KLT dapat digolongkan menjadi dua: a. Cara pertama dengan menyemprotkan pereaksi penanda. Banyak pereaksi- pereaksi yang digunakan dapat dilihat dalam literatur. Contoh pereaksi semprot yang umum untuk senyawa organik adalah asam sulfat dalam metanol, selanjutnya bercak dipanaskan di dalam oven, sebaiknya digunakan oven yang ada jendela kacanya sehingga dapat diikuti perubahan bercak selama pemanasan menjadi bercak warna hitam. Universitas Sumatera Utara 20 b. Cara ke dua, menggunakan lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm atau 366 nm untuk melihat fluoresensi. Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi lapis tipis sangat lazim menggunakan harga Rf Retordation Factor. Rf = Jarak titik pusat bercak dari titik awal Jarak garis depan pelarut dari titik awal Angka Rf memiliki interval antara 0,00 hingga 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 h, menghasilkan nilai antara 0 - 100. Jika keadaan luar misalnya sifat penjerap yang agak menyimpang maka profil kromatogram juga akan menyimpang, yang secara umum ditunjukkan dengan angka Rf lebih rendah atau lebih tinggi, maka sistem pelarut harus diganti dengan yang lebih sesuai. Jika angka hRf lebih tinggi dari hRf yang dinyatakan, kepolaran pelarut harus dikurangi, jika hRf lebih rendah maka komponen polar pelarut harus dinaikkan Hahn-Deinstrop, 2007.

2.6.2 Kromatografi kertas

Dokumen yang terkait

Karakterisasi simplisia, skrining fitokimia dan uji aktivitas antioksidan ekstrak etanol kulit buah duku (Lansium domesticum Correa) dengan metode DPPH

7 76 83

Karakterisasi Skrining Fitokimia Simplisia serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Kari (Murraya koenigii L)Dengan Metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhidrazyl)

16 53 77

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol dan Fraksi n-Heksana serta Etilasetat Daun Ketepeng (Senna alata (L.)Roxb.)

1 11 77

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Ketepeng (Senna alata (L.) Roxb.) Dengan Metode DPPH

4 7 16

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Ketepeng (Senna alata (L.) Roxb.) Dengan Metode DPPH

0 0 2

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Ketepeng (Senna alata (L.) Roxb.) Dengan Metode DPPH

0 0 4

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Ketepeng (Senna alata (L.) Roxb.) Dengan Metode DPPH

5 17 20

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Ketepeng (Senna alata (L.) Roxb.) Dengan Metode DPPH

0 2 4

Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia Serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Ketepeng (Senna alata (L.) Roxb.) Dengan Metode DPPH

0 0 38

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN SKRINING FITOKIMIA SERTA UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK ETANOL DAUN CINCAU PERDU (Premna oblongifolia Meer.) DENGAN METODE DPPH SKRIPSI

0 0 14