Teknik Analisis Data METODE PENELITIAN

70 Berbeda dengan pengertian yang disebutkan dalam Pedoman Penyelenggaraan Madrasah Diniyah Diniyah Taklimiyah yang menyebutkan bahwa Madrasah Diniyah merupakan lembaga pendidikan keagamaan bagi peserta didik berusia 7 sampai dengan 19 tahun, Madrasah Diniyah di Pondok Pesantren Wahid Hasyim adalah lembaga pendidikan keagamaan yang diselenggarakan bagi mahasiswa yang belajar perguruan tinggi agama maupun umum, baik yang berdomisili di Pondok Pesantren Wahid Hasyim maupun yang berdomisili di luar Pondok Pesantren Wahid Hasyim.

2. Sejarah Berdirinya Madrasah Diniyah di Pondok Pesantren Wahid Hasyim

Dalam buku profil Madrasah Diniyah di Pondok Pesantren Wahid Hasyim disebutkan bahwa pada tahun 1925 Dusun Gaten, Condongcatur, Depok, Sleman didatangi oleh seorang mubaligh yang berasal dari Godean, Sleman yang bernama KH. Abdul Madjid. Beliau menetap di Dusun Gaten selama kurang lebih 8 delapan tahun. Selama itu pula KH. Abdul Madjid menyiarkan dan mengembangkan agama Islam. Pada tahun 1933 beliau wafat tanpa meninggalkan wasiat apapun mengenai pengganti beliau sebagai imam dan pengasuh masjid. Atas kesepakatan bersama, masyarakat setempat mengangkat seorang pria bernama Haryo Prawiro untuk menggantikan peran KH. Abdul Madjid yang telah wafat. Kemudian Haryo Praw iro mengikuti Jama’ah Thariqah Al-Khalwatiyah dengan tujuan untuk memantapkan kemampuannya sebagai imam dan 71 pengasuh masjid D usun Gaten. Setelah Haryo Prawiro dibai’at secara resmi menjadi Mursyid, beliau mengganti namanya menjadi Muhammad Syafi’i. Beliau merupakan tokoh yang merintis berdirinya Pondok Pesantren Wahid Hasyim Gaten. Kyai Muhammad Syafi’i menghendaki putranya meneruskan perjuangannya memakmurkan masjid dan membimbing umat. Oleh karena itu, beliau memasukkan puteranya yang bernama Walidi nama kecil KH. Abdul Hadi ke Sekolah Rakyat SR hingga kelas V lima. Selanjutnya, salah seorang pembantu Kyai Muhammad Syafi’i bernama Harun mengajak Walidi untuk melaksanakan silaturrahim serta menetap mondok di beberapa pondok pesantren, seperti di Krapyak DIY, Grobogan Jawa Tengah, Mlangi Sleman, DIY, serta di Wonokromo Bantul, DIY. Setelah merasa cukup menguasai ilmu agama dan memiliki pengalaman, maka Walidi kembali menuju kampung halamannya untuk melakukan syiar agama. Seiring dengan hal tersebut, perkembangan Masjid Gaten semakin baik dengan indikasi meningkatnya jumlah anak-anak dan pemuda dusun Gaten yang mengikuti pengajian di masjid tersebut. Pada saat itu, pengajian menggunakan sistem tradisional, hal ini dapat diidentifikasi dari berbagai aspek, di antaranya adalah belum terdapat kurikulum yang baku untuk dilaksanakan serta belum adanya sistem administrasi yang baik. Namun demikian tidak mengurangi esensi pengajian tersebut, bahkan secara resmi pengajian tersebut telah memperoleh pengakuan dari