lipoarabinomannan urin sebagai alat diagnostik tuberkulosis paru pada pasien human immunodeficiency virus.

(1)

ABSTRAK

LIPOARABINOMANNAN URIN SEBAGAI ALAT DIAGNOSTIK TUBERKULOSIS PARU PADA PASIEN

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan saat ini. Risiko Tuberkulosis (TB) pada penderita HIV dua puluh kali lebih besar dibanding penderita yang tidak terinfeksi HIV. Semakin rendah kadar Cluster of Differentiation 4 (CD4) pada penderita HIV semakin sulit untuk menegakkan diagnosis TB paru. Pemeriksaan sputum basil tahan asam (BTA) dan Xpert Mtb/Rif merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan untuk mendiagnosis TB paru, tetapi permasalah yang sering muncul adalah sulitnya mengeluarkan sputum walaupun telah dilakukan induksi. Lipoarabinomannan (LAM) merupakan lapisan lipid yang terdapat pada dinding sel Mycobacterium. LAM yang mengalami destruksi dapat berdedar ke seluruh tubuh, termasuk ke saluran kemih, sehingga LAM dapat dideteksi melalui urin. Pemeriksaan melalui media urin diharapkan dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis koinfeksi TB-HIV terutama pada penderita dengan kadar CD4 yang rendah.

Penelitian ini merupakan uji diagnostik, studi potong lintang, dilaksanakan di RSUP Sanglah dari April hingga Agustus 2015 dengan menggunakan 66 pasien HIV dengan suspek TB paru sebagai sampel. Kriteria inklusi mencakup penderita HIV berusia 18 tahun ke atas dengan kadar CD ≤ 200 sel/µL. Pemeriksaan yang digunakan untuk menegakkan TB adalah kultur sputum Mycobacterium tuberculosis (standar baku) dengan menggunakan media Lowenstein-Jensen (LJ), identifikasi Mtb dengan Niasin dan Mycobacterium tuberculosis protein-64 (MPT-64). Lipoarabinomannan (LAM) urin merupakan uji baru, menggunakan metode

lateral flow (Alere Determine TB LAM Ag), dengan cut point +2. Uji diagnostik dengan menggunakan analisa 2x2.

Kadar CD4 rata-rata adalah 36,42 sel/µL, dengan CD4 terendah 21 sel/µL dan tertinggi 197 sel/µL . Sensitivitas LAM urin didapatkan 0,72 dan spesifisitas 0,92. Rasio kemungkinan positif sebesar 9 dan rasio kemungkinan negatif 0,3.

Pemeriksaan LAM urin dapat digunakan sebagai alternatif diagnostik pada penderita HIV suspek TB dengan kadar CD4 di bawah 100 sel/µL yang tidak dapat mengeluarkan sputum.


(2)

ABSTRACT

URINE-LIPOARABINOMANAN AS A DIAGNOSTIC TOOL FOR LUNG TUBERCULOSIS IN HUMAN IMMUNE DEFICIENCY PATIENTS.

Nowadays Human Immune Deficiency Virus (HIV) infection is a serious health problem. Patients with HIV infection prone twenty times to get tuberculosis infection compare to non HIV patients. Moreover, patients with lower Cluster of Differentiation4 (CD4) considered more difficult to diagnose their tuberculosis infection.

Sputum Acid-fast examination and Xpert Mtb/Rif are routinely conducted to diagnose lung tuberculosis, but the problem in HIV patients is the difficulty to produce sputum although induction was done. Therefore, it is important to find another method to diagnose lung tuberculosis in HIV patients.

Lipoarabinomanan (LAM) is a destructed Mycobacterium cell wall which is circulated throughout the body including the urogenital system; therefore it could be detected in urine and at the same time could be used to diagnose lung tuberculosis in TB-HIV co-infection patients with lower CD4. In order to find the sensitivity and specificity of lipoarabinomanan-urin (LAM-urine) test, a study was conducted.

A diagnostic test cross sectional study was carried out in Sanglah Hospital from April to August 2015 to follow 66 HIV patients. The patients age above 18 years old with suspected of lung tuberculosis and CD4 below 200 cells/µ L were included in the study. All of the samples were examined their sputum in

Lowenstein-Jensen (LJ) culture, Niacin and Protein-64 (MPT-64) test used to identify Mtb. Those tests were considered as gold standard in this study. In addition, lateral flow (Alere Determine TB LAM Ag), with cut point +2 was used to identify the LAM in urine.

The average of CD4 was 36.42 cells/µ L (21cells/ µL – 197 cells/ µL). Compare to the Lowenstein-Jensen (LJ) culture, Niacin and Protein-64 (MPT-64) test as a gold standard, the sensitivity of LAM-urine test was 0.72 and its specificity was 0.92. The positive and negative likelihood ratio was 9 and 0.3 respectively.

The results show that the LAM-urine test is reliable enough to diagnose lung tuberculosis in HIV patients who are difficult to produce sputum and with CD4 below 200 cells/ µL.


(3)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan masalah ... 5

1.3 Tujuan penelitian ... 6

1.3.2 Tujuan khusus ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1 Manfaat akademik ... 7

1.4.2 Manfaat praktis... 7

BAB IITINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Definisi ... 8

2.2 Epidemiologi ... 8

2.3 Patogenesis ... 10

2.3.1 Patogenesis HIV ... 10

2.3.2 Patogenesis TB ... 12

2.4 Gambaran Klinis ... 14

2.4.1 Gambaran Klinis HIV ... 14

2.4.2 Gambaran Klinis TB ... 16

2.5.1 Pemeriksaan Bakteriologi ... 18

2.5.2. Pemeriksaan Radiologi ... 23

2.5.3 Pemeriksaan Lipoarabinomannan ... 25

2.6 Hubungan LAM Urin dan Tuberkulosis ... 33

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP ... 36

3.1 Kerangka berpikir ... 36


(4)

BAB IV METODE PENELITIAN ... 38

4.1 Rancangan Penelitian ... 38

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

4.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 38

4.4 Penentuan Sumber Data ... 38

4.4.1 Populasi Target... 38

4.4.2 Populasi Terjangkau ... 38

4.4.3 Sampel ... 39

4.4.4 Besar Sampel ... 40

4.5 Variabel Penelitian ... 40

4.5.1 Variabel Uji Baru ... 40

4.5.2 Variabel Baku Emas ... 40

4.5.3 Definisi Operasional Variabel ... 40

4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian... 43

4.7 Prosedur Penelitian... 45

4.8 Analisis Data ... 46

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

5.1 Hasil ... 47

5.2 Pembahasan ... 49

5.2.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 49

5.2.2 Hasil Pemeriksaan TB Paru ... 51

5.2.3 Uji Diagnostik Kultur Sputum Mtb dan LAM Urin ... 52

5.3 Keterbatasan Penelitian ... 56

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 57

6.1 Simpulan ... 57

6.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perkiraan insiden TB rata-rata tahun 2012 ... 9

Gambar 2.2 Insiden TB 10 negara terbesar ... 9

Gambar 2.3Jumlah CD4, beban virus, dan perjalanan infeksi HIV ... 12

Gambar 2.4Alur Diagnosis TB Paru pada penderita HIV Rawat Jalan ... 19

Gambar 2.5 Alur Diagnosis TB Paru pada Penderita HIV Sakit Berat ... 20

Gambar 2.6 Diagnosis TB-HIV Berat ... 24

Gambar 2.7 Dinding sel mikobakterium ... 26

Gambar 2.8 Lipoarabinomannan pada dinding sel M tuberkulosis, M smegmatis, dan C glutamicum ... 27

Gambar 2.9 Reaksi LAM ... 29

Gambar 2.9 Tiga model pelepasan LAM ... 32

Gambar 3.1 Konsep Penelitian ... 37

Gambar 4.1 Strip tes dan skala refrensi ... 44


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Stadium Klinis HIV (Kemenkes, 2011) ... 15

Tabel 2.4 Presentasi Klinis Pasien TB-HIV (Sharma dkk, 2005) ... 16

Tabel 5.1 Karakteristik sampel ... 47

Tabel 5.2 Uji Diagnostik Kultur Sputum Mtb dan LAM Urin ... 48


(7)

DAFTAR SINGKATAN

ADA : Adenosine Deaminase

AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome

ART : AntiretroviralTherapy

ATS : American Thoracic Society

AUC : Area Under the Curve

BTA : Basil Tahan Asam

CD4 : Cluster of Differentiation 4

CFU : Colony Forming Unit

HIV : Human Immunodeficiency Virus

IDSA : Iinfectious Disease Society of America

IK : Interval Kepercayaan

IL-2 : Interleukin-2

IO : Infeksi Oportunistik KGB : Kelenjar Getah Bening

LJ : Lowenstein-Jensen

LM : Lipomannan

LAM : Lipoarabinomannan

ManLAM : Mannose-capped Lipoarabinomannan

MDGs : Millenium Development Goals

MDR-TB : Multidrug Resistant Tuberculosis

MOTT : Mycobacterium Other Than Tuberculous

MPT-64 : Mycobacterium tuberculosis protein-64

Mtb : Mycobacterium tuberculosis

NDN : Nilai Duga Negatif NDP : Nilai Duga Positif

NO : Nitrit Oxide

OAT : Obat Anti Tuberkulosis

PCR : Polymerase Chain Reaction

PI : Phosphatidylinositol

PIMs : Phosphatidylinositol Mannoside

PILAM : Phosphatidylinositol Lipoarabinomannan

PITC : Provider-Initiated Testing and Counseling

PNB : Para Nitro Benzoic Acid

PR : Prevalensi Rasio

RKN : Rasio Kemungkinan Negatif RKP : Rasio Kemungkinan Positif

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat


(8)

SPS : Sewaktu-Pagi-Sewaktu

SPSS : Statistics Package for Social Science

TB : Tuberkulosis

TNF-a : Tumour Necrotizing Factor-a

VCT : Voluntary Conselling and Testing

WHO : World Health Organization


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Keterarang Kelaikan Etik ... 65

Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian ... 66

Lampiran 3. Amandemen Perubahan Variabel ... 67

Lampiran 4. Rincian Biaya ... 68

Lampiran 5. Informasi Penelitian ... 69

Lampiran 6. Formulir Persetujuan Setelah Penjelasan ... 71

Lampiran 7. Formulir Penelitian ... 72


(10)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis (Mtb). TB umumnya menyerang paru-paru, tetapi dapat pula menyerang organ di luar paru. TB sering muncul bersamaan dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). HIV merupakan penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan di dunia saat ini. Semakin meningkatnya angka kesakitan HIV akan mempengaruhi tingg inya jumlah kasus TB. TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak yang dijumpai pada penderita HIV.

Koinfeksi TB-HIV dapat terjadi pada stadium berapa pun. Risiko berkembangnya TB pada penderita HIV dua puluh kali lebih besar dibanding penderita yang tidak terinfeksi HIV, meningkatnya koinfeksi ini sejalan dengan semakin memburuknya sistem kekebalan tubuh. Semakin rendah kadar Cluster of Differentiation 4 (CD4), risiko untuk tertular TB menjadi semakin besar, semakin meningkat pula angka kematian yang terjadi (Padmapriyadarsini, 2013).

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) terdapat 8,6 juta kasus TB baru di tahun 2012 dan 1,1 juta (13%) adalah penderita dengan HIV. Indonesia termasuk dalam sepuluh negara terbesar di dunia dengan angka insiden TB 0,4 - 0,5 juta. Prevalensi kasus koinfeksi TB-HIV terbanyak ditemukan di Afrika yaitu 75% (World Health Organization, 2013a).

Infeksi oportunistik (IO) sering menyertai penderita HIV. Semakin rendah kadar CD4, semakin banyak IO yang muncul. Sebuah penelitian yang dilakukan


(11)

oleh Damtie dkk (2013) menyebutkan TB paru (85,71%) merupakan IO yang terbanyak ditemukan di daerah Etiopia dan berturut-turut berikutnya kandidiasis oral (5%), dan diare (3,3%). Data pola IO di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2008-2009, persentase IO terbanyak adalah kandidiasis oral (50%) berikutnya TB paru (37%), dan pneumonia (16,5%) (Karjadi T, 2009). Lubis, Z (2012) melaporkan di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso TB (67,4%) merupakan IO tersering dijumpai dan berturut-turut setelahnya toxoplasmosis (22,8%) dan kandidiasis (5,4%). Data di Denpasar sendiri, yang diperoleh dari

Voluntary Counseling and Testing (VCT) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar tahun 2013 IO yang tersering adalah kandidiasis oral (25%) dan yang kedua adalah tuberkulosis (18%) pada penderita yang baru pertama kali terdiganosis HIV.

Pada umumya modalitas yang dimiliki fasilitas kesehatan untuk menegakkan TB paru adalah melalui pemeriksaan foto thoraks dan sputum basil tahan asam (BTA). Semakin rendahnya kadar CD4 penderita koinfeksi TB-HIV, gambaran radiologis dan hasil pemeriksaan sputum tidak lagi dapat menjadi acuan untuk mendiagnosis TB. Gambaran radiologis TB pada penderita koinfeksi TB-HIV tidak khas seperti pada penderita TB tanpa infeksi TB-HIV. Begitu pula dengan pemeriksaan sputum, sangat dipengaruhi oleh derajat imunodefisiensi. Mtb yang masuk ke paru membentuk granuloma sehingga pada pemeriksaan BTA memberikan hasil positif. Semakin rendah sistem imun pembentukan granuloma semakin minimal atau bahkan tidak terbentuk sama sekali sehingga pada pemeriksaan sputum BTA akan memberikan hasil negatif. Pemeriksaan standar baku untuk menegakkan diagaosis TB pada pasien HIV adalah dengan


(12)

pemeriksaan kultur sputum. Pemeriksaan kultur tidak hanya dapat menentukan

Mycobacterium, tetapi dapat pula mengidentifikasi dan menentukan resistensi obat, tetapi hasil pemeriksaan kultur sputum membutuhkan waktu hingga 28 - 42 hari karena Mycobacterium merupakan organisme yang tumbuhnya lambat (Kemenkes, 2012; WHO, 2006).

Pada tahun 2010 WHO menyarankan pemeriksaan sputum Gen Xpert Mycobacterium tuberculosis/Rifampicin (Xpert MTB/Rif) untuk mendiagnosis

multidrug resistant tuberculosis (MDR-TB). Tes ini direkomendasikan pula sebagai pemeriksaan koinfeksi TB-HIV. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sama tingginya bila dibandingkan dengan pemeriksaan kultur sputum (O'Grady, 2012). Keunggulan lain dari pemeriksaan Xpert MTB/Rif adalah kecepatannya dalam mendiagnosis TB dan dapat mendeteksi TB pada penderita HIV lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan sputum BTA (WHO, 2014). Kekerungan dari pemeriksaan ini adalah membutuhkan biaya yang cukup besar. Beberapa negara dengan angka TB yang tinggi masih mendapatkan donasi, tetapi tidak untuk negara-negara atau daerah yang angka TB tidak terlalu tinggi (Lawn, 2013). Modalitas pemeriksaan Mtb lainnya yang masih membutuhkan pengkajian lebih Ianjut adalah breathalyzer electronic nose (Lawn, 2013).

Masalah yang banyak dihadapi pada penderita koinfeksi TB-HIV adalah tidak semua penderita dapat mengeluarkan sputum dengan adekuat walaupun dengan menggunakan induksi sputum. Oleh karena itu dibutuhkan modalitas lain untuk menegakkan diagnosis TB paru pada penderita koinfeksi TB-HIV, seperti contohnya dengan menggunakan cairan tubuh. Cairan tubuh yang dapat dilakukan pemeriksaan seperti cairan pleura, cairan serebrospinal, dan urin.


(13)

Lipoarabinomannan (LAM) merupakan komponen lipopolisakarida yang terdapat pada dinding sel genus Mycobacterium. Pemeriksaan ini mendeteksi antigen Mtb yang mengalami destruksi dan dapat berdedar ke seluruh tubuh hingga ke saluran kemih. LAM merupakan pemeriksaan yang telah lama diketahui dan diharapkan dapat digunakan sebagai pilihan untuk mendignosis TB karena tidak dipengaruhi oleh sistem imun pejamu. Bahan pemeriksaan LAM menggunakan cairan tubuh, salah satunya adalah dengan menggunakan urin. Pemeriksaan melalui urin merupakan pemeriksaan diagnostik TB yang memiliki beberapa keuntungan seperti, sampel mudah didapat, aman pengerjaan laboratoriumnya, tidak membutuhkan tenaga ahli dalam pengerjaannya, dan memiliki kontaminasi bakterial yang minimal. Bahan pemeriksaan LAM lain dapat diperoleh melalui sputum, cairan pleura, dan cairan serebrospinal, tetapi memiliki spesifisitas yang rendah. Pada pemeriksaan sputum sensitivitasnya 86% dan spesifistasnya 15%, sedangkan pada cairan serebrospinal sensitivitasnya 64% dan spesifisitas 69%. Pada cairan pleura LAM dianggap tidak lebih baik dibandingkan pemeriksaan adenosine deaminase (ADA), sedangkan pada urin LAM memberikan sensitivitas 66,7% dan spesifisitas 98,6% (Patel dkk, 2009; Dheda dkk, 2010).

Hasil pemeriksaan LAM urin memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda-beda dari beberapa studi. Beberapa penelitian menyebutkan sensitivitas dan spesifisitas LAM urin lebih baik dibandingkan sputum BTA, tetapi tidak lebih baik dibandingkan Xpert Mtb/Rif, tetapi apabila pemeriksaan sputum BTA digabungkan dengan LAM urin sensitivitas dan spesifisitasnya hampir sama dengan Xpert Mtb. LAM urin memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik


(14)

pada penderita HIV dengan CD4 yang rendah. Pada beberapa penelitian lain menyebutkan sensitivitas dan spesifisitas LAM urin tidak lebih baik dibandingkan sputum BTA dan Xpert Mtb/Rif, sehingga tidak dapat digunakan dalam mendiagnosis penderita HIV dengan kecurigaan TB. (Gaunder dkk, 2011; Lawn dkk, 2012a)

Pada hasil kultur Mtb in vitro, LAM ditemukan dalam jumlah banyak (15 mg per gram bakteri). LAM secara aktif disekresikan melalui makrofag alveolar yang terinfeksi. Konsentrasi LAM yang tinggi memudahkan antigen masuk ke sirkulasi sistemik sehingga LAM dapat terdeteksi pada penderita TB paru. Konsentrasi LAM juga dapat dijumpai pada Mtb diseminata dalam aliran darah, terutama pada infeksi HIV. Antigen ini terlepas dari metabolik aktif

Mycobacterium, dan karena ukuran LAM mirip dengan mioglobin maka dapat masuk melalui sikrulasi darah dan terfiltrasi melalui tubulus renal sehingga dapat terdeteksi pada urin penderita TB aktif (Dheda dkk, 2013).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah pemeriksaan LAM urin dapat digunakan untuk mendiagnosis penderita dengan koinfeksi TB-HIV dengan kadar CD4 < 200 sel/µ L dan sebanding dengan pemeriksaan kultur sputum Mtb yang merupakan pemeriksaan standar baku. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi parameter atau acuan pemeriksaan TB-HIV untuk mendiagnosis TB-HIV disamping pemeriksaan-pemeriksaan yang telah ada.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:


(15)

penderita HIV di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, dengan parameter yang digunakan adalah:

a. Apakah LAM urin dapat memberikan sensitivitas lebih baik bandingkan kultur sputum Mtb

b. Apakah LAM urin dapat memberikan spesifistas lebih baik bandingkan kultur sputum Mtb

c. Apakah LAM urin dapat memberikan nilai duga positif lebih baik bandingkan kultur sputum Mtb

d. Apakah LAM urin dapat memberikan nilai duga negatif lebih baik bandingkan kultur sputum Mtb

e. Apakah LAM urin dapat memberikan rasio kemungkinan positif lebih baik bandingkan kultur sputum Mtb

f. Apakah LAM urin dapat memberikan rasio kemungkinan negatif lebih baik bandingkan kultur sputum Mtb

1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui nilai diagnostik uji LAM urin pada penderita koinfeksi TB-HIV

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas LAM urin dalam mendiagnosis koinfeksi TB-HIV dibandingkan dengan kultur sputum Mtb 2. Untuk mengetahui nilai duga positif dan nilai duga negatif uji LAM urin

dibandingkan dengan kultur sputum Mtb


(16)

negatif pada uji LAM urin dibandingkan dengan kultur sputum Mtb 1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademik

Sebagai masukan bagi pengembangan ilmu bahwa uji LAM urin dapat digunakan untuk mendiagnosis pasien dengan TB-HIV.

1.4.2 Manfaat praktis

Uji LAM urin dapat digunakan sebagai uji alternatif untuk menegakkan diagnosis TB pada penderita HIV, karena memiliki kelebihan antara lain: a). Pemeriksaan cara ini tidak menggunakan bahan sputum yang seringkali sulit diperoleh pada kasus-kasus tertentu (misalnya pada anak-anak, penderita koinfeksi TB-HIV), b). Hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu singkat dan c). Harganya yang relatif murah dibandingkan dengan cara pemeriksaan TB lainnya.


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sudah lama diketahui dan merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia. Penyebab dari TB adalah

Mycobacterium tuberculosis complex. Sebagian kuman TB akan menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (Smith, 2003).

Berdasarkan letak anatomi, TB diklasifikasikan menjadi 1). TB paru yaitu kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial. TB miliar diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat lesi di paru. 2). TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru, seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitourinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. TB limfadenopati intrathorakal atau TB efusi pleura tanpa adanya kelainan pada paru termasuk dalam kasus TB ekstraparu (WHO, 2013c).

HIV adalah virus RNA yang termasuk family Retroviridae, subfamili

Lentiviridae, genus Lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh pejamu. HIV akan menginfeksi tubuh dan memiliki masa inkubasi yang lama dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) (Xhilaga & Oelrichs, 2007).

2.2 Epidemiologi

TB merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia karena menyebabkan anacaman kematian yang serius, sehingga pada tahun 1992 WHO mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Pada tahun 2012 diperkirakan 8,6 juta penduduk menderita TB dan 1,3 juta meninggal akibat TB (1 juta pada


(18)

penderita dengan HIV negatif dan 0,3 juta pada penderita HIV). Kebanyakan kasus TB terjadi pada laki-laki, tetapi merupakan penyebab kematian ketiga pada wanita di seluruh dunia. Kasus terbanyak koinfeksi TB-HIV adalah di wilayah Afrika, yaitu sebesar 75%. (WHO, 2013a).

Gambar 2.1

Perkiraan insiden TB rata-rata tahun 2012 (WHO, 2013a)

Berdasarkan data dari WHO, Indonesia menduduki peringkat keempat insiden TB di dunia pada tahun 2012 ( 0,4 - 0,5 juta) setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Pada tahun 2012, WHO membuat suatu estimasi prevalensi koinfeksi TB-HIV, yaitu sebesar 0,3%. (WHO, 2013a).

Gambar 2.2.


(19)

Indonesia termasuk daerah epidemi HIV. Menurut data dari Kementerian Kesehatan RI, hingga akhir Desember 2013 dilaporkan jumlah kasus HIV sebanyak 29.037 dan AIDS sebanyak 5.608 dengan infeksi penyerta terbanyak adalah kandidiasis, yaitu sebesar 1052 kasus dan TB merupakan infeksi penyerta terbanyak kedua, yaitu sebesar 989 kasus di tahun 2013. Bali sendiri, kasus HIV/AIDS pada Desember 2013 didapatkan 8.059 kasus. Case Rate AIDS di Bali secara nasional pada tahun 2013 termasuk tertinggi kedua setelah Papua yaitu 93,4 per 100.000 penduduk. Hingga saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan gambaran koinfeksi TB-HIV. Survei prevalensi HIV diantara pasien TB baru di beberapa propinsi menunjukkan 2% di Yogyakarta (2006) dan 0,8% di Jawa Timur, 2,8% di Bali (2008) dan 14% di Papua (2008). Pravalensi koinfeksi TB-HIV di VCT RSUP Sanglah pada tahun 2014 sebesar 22% (Kemenkes, 2013; VCT Sanglah, 2014).

2.3 Patogenesis

2.3.1 Patogenesis HIV

Human Immunodeficiency Virus merupakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus

Lentivirus. HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV cenderung menyerang Iimfosit T yang memiliki reseptor CD4 pada permukaannya. Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga cara, yaitu: (1) Vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung, persalinan, dan menyusui), (2) Transeksual (homoseksual maupun heteroseksual), (3) Horizontal yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi (Xhilaga, 2007; Calles, 2010).


(20)

Berdasarkan perjalanan infeksi HIV, jumlah Iimfosit T-CD4, jumlah virus dan gejala klinis dibagi menjadi 4 stadium: (Calles, 2010; Bartlett, 2013) 1. Asimptomatik (Stadium 1)

Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion) yang jumlahnya berjuta-juta. Viremia dari virion-virion ini akan memicu munculnya sindroma infeksi akut dengan gejala seperti flu. Sebanyak 50 - 70% orang yang terinfeksi HiV mengalami sindroma infeksi akut ini selama 3 - 6 minggu dengan gejala umum seperti demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala, mual-muntah, diare, anoreksia, penurunan berat badan. Pada fase akut terjadi penurunan Iimfosit T dan kemudian terjadi kenaikan kembali karena terjadi respon imun. Jumlah Iimfosit T pada fase ini masih diatas 500 sel/µL. Fase ini dapat berlangsung 8 - 10 tahun. Pada pemeriksaan Western blot atau immunofluorescence memberikan hasil positif

2. Gejala dan tanda ringan pada HIV (Stadium 2)

Mulai timbul gejala dan tanda ringan akibat infeksi HIV. Gejala yang dapat muncul berupa kandidiasis, limfadenopati, moluskum kontagiosum, herpes zooster. Kadar viral load meningkat, kadar CD4 turun antara 350 - 499 sel/µL. 3. Gejala dan tanda lanjut pada HIV (stadium 3)

Sistem imun pada penderita HIV semakin menurun dan muncul berbagai infeksi sekunder seperti kandidiasis persisten, pneumonia berulang, demam yang berkepanjangan, penurunan berat badan. Kadar CD4 antara 200 - 349 sel/µL


(21)

4. Stadium 4

Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Respon imun tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan. Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Terjadi penurunan jumlah limfosit T hingga di bawah 200 sel/µ L. Penurunan ini menyebabkan sistem imun rentan terhadap infeksi sekunder, seperti pneumocytis carinii, tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis, ensefalitis, diare akibat kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, kandidiasis esofagus maupun trakea.

Gambar 2.3

Jumlah CD4, beban virus, dan perjalanan infeksi HIV (Pantaleo G, 1993) 2.3.2 Patogenesis TB

Mtb merupakan basil tahan asam yang tidak bergerak, tidak memiliki spora, termasuk dalam gram positif Iemah. Panjangnya 1 - 4 µm dan lebarnya 0,3 - 0,6 µm. Setengah dari beratnya terdiri dan lipid. Mtb membelah diri setiap 12 - 24 jam pada keadaan optimal. Pertumbuhannya yang lambat disebabkan karena impermeabilitas dinding sel terhadap asupan nutrien. Hal ini yang


(22)

membedakan Mtb dengan Mycobacterium lainnya. Pertumbuhannya dikatakan cepat apabila terjadi dalam 7 hari atau kurang, dan dikatakan lambat bila tumbuh lebih dari itu (Harshey dkk, 1977; Kemenkes, 2012; Sakamoto, 2012). Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup Mtb. Partikel atau droplet yang berukuran 1 - 5 µ m akan berperilaku seperti gas dan lolos dari barier mukosilier. Setelah melalui barier mukosiliser saluran nafas, basil Mtb akan masuk ke alveoli dan mengalami multiplikasi yang disebut dengan focus ghon. Makrofag alveolar merupakan pertahanan pertama melawan Mtb, jika efektif akan menyebabkan elimninasi dari Mtb melalui proses fagositosis. Tumour Necrotizing Factor α (TNF-α) dan kemokin inflamasi akan menarik leukosit yang kemudian memfagosit basil dan kembali ke peredaran darah. Proses ini akan menyebabkan penyebaran hematogen. Mtb dapat menyebar melalui sistem limfatik ke kelenjar getah bening (KGB) regional dan membentuk kompleks primer. Melalui K GB hilus menyebar ke KGB trakea dan vertebral, dan menyebar melalui darah ke apeks paru dan organ luar patu melalui duktus torasikus. Pada kebanyakan kasus respon imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi Mtb dan sebagian kecil menjadi tidak aktif. Bila makrofag yang teraktifasi tidak berespon, seperti pada imunokompromais lesi tuberkel akan semakin membesar dan membentuk suatu kavitas. Dalam kavitas tersebut Mtb dengan mudah bermultiplikasi dan menyebar melalui saluran udara (Hoffman., 2012; Ahmad., 2011).

TB merupakan IO yang sering terdapat pada penderita dengan HIV dan dapat terjadi pada stadium berapa pun dari HIV. Terdapat hubungan antara HIV dan Mtb. Makrofag dan limfosit alveolar yang terdapat di permukaan epitel alveoli adalah sel pertahanan utama parenkim paru. Terinfeksinya makrofag dan


(23)

limfosit ini merupakan proses utama patogenesis penyakit paru pada HIV. lnfeksi TB paru berat akan menurunkan kadar CD4 sehingga infeksi TB yang terjadi pada penderita HIV akan meningkatkan angka kematian dua kali lipat dalam setahun dan akan meningkatkan angka kematian tiga kali lipat pada kadar CD4 dibawah 200 sel/µ L (Lee dkk, 2000; Jeong, 2008).

2.4 Gambaran Klinis

2.4.1 Gambaran Klinis HIV

Gambaran klinis HIV beragam, mulai dari asimptomatis yang berkepanjangan hingga manifestasi AIDS berat. Manifestasi gejala dan tanda HIV dibagi menjadi empat tahap: (Bartle, 2013)

1. Infeksi akut, muncul pada 6 minggu pertama setelah paparan HIV. Gejala yang muncul berupa demam, letih, nyeri otot dan sendi, nyeri menelan, pembesran KGB

2. Tahap asimptomatis, gejala dan keluhan menghilang. Tahap ini berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah infeksi.

3. Tahap simptomatis. Berat badan turun tetapi tidak sampai 10%, pada selaput mulut terjadi sariawan berulang, peradangan sudut mulut, infeksi bakteri pada saluran nafas atas namun penderita dapat melakukan aktifitas

4. Merupakan tahap lanjut dari AIDS. Pada tahap ini terjadi penurunan berat badan lebih dari 10%, diare lebih dari satu bulan, demam yang tidak diketahui sebabnya, kandidiasi oral. Muncul berbagai infeksi sekunder, dapat juga ditemukan beberapa jenis malignansi termasuk keganasan KGB dan sarkoma kaposi.


(24)

Tabel 2.1.

Stadium Klinis HIV (Kemenkes, 2011)

Stadium I

 Tidak ada gejala

 Limfadenopati Generalisata Persisten Stadium II

 Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya (< 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

 Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis)  Herpes zoster

 Keilitis angularis

 Ulkus mulut yang berulang

 Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption)  Dermatisis seboroik

 Infeksi jamur pada kuku Stadium III

 Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)

 Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan  Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya

 Kandidiasis pada mulut yang menetap  Oral hairy leukoplakia

 Tuberkulosis paru

 Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, Infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggui yang berat)  Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis

 Anemia yang tak diketahui penyebabnya (< 8 g/dL), netropenia (< 0.5 x 10 g/dL) dan/atau trombositopenia kronis (< 50 x 10 g/dL)

Stadium IV

 Sindrom wasting HIV

 Pneumonia Pneumocystis jiroveci

 Pneumonia bacteri berat yang berulang

 Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, genital, atau norektal selama lebih dari 1 bulan atau visceral di bagian manapun)  Kandidiasis esofageal (atau

kandidiasis trakea, bronkus atau paru)

 Tuberkulosis ekstra paru  Sarkoma Kaposi

 Penyakit Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan kelenjar getah bening)

 Toksoplasmosis di sistem saraf pusat

 Ensefelopati HIV

 Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis

 Infeksi mycobacteria non uberkulosis yang menyebar

 Leukoencefalopati multifokal progresif  Kriptosporidiosis kronis

 Isosporiasis kronis

 Mikosis diseminata (histoplasmosis,  coccidiomycosis)

 Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)

 Limfoma (serebral atau Sel B non-  Hodgkin)

 Karsinoma serviks invasif  Leishmaniasis diseminata atipikal  Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV


(25)

2.4.2 Gambaran Klinis TB

Derajat imunosupresi dari HIV akan mempengaruhi gejala klinis dari TB. Gambaran klinis TB pada HIV stadium awal mirip dengan TB tanpa HIV. Batuk lama, demam, keringat malam atau penurunan berat badan merupakan gambaran klinis yang khas pada TB, dengan sensitivitas 79%, tetapi spesifisitasnya hanya 50%. Gambaran klinis TB pada kadar CD4 di bawah 200 sel/µ L menjadi tidak khas, 50% merupakan TB ekstraparu. Pada CD4 di bawah 75 sel/µL gejala infeksi paru hampir tidak ditemukan, TB diseminata dengan manifestasi tidak spesifik seperti demam lama dengan penyebaran ke organ lain lebih sering ditemukan dengan tingkat mortalitas yang tinggi (Sterling dkk, 2010). Asimptomatik TB dengan hasil pemeriksaan foto thorax dan sputum BTA negatif sering ditemukan pada TB-HIV dan 10% kasus ditemukan di negara-negara endemik TB. Hampir 25% penderita HIV tidak terdiagnosis adanya TB aktif, sehingga skrining TB direkomendasikan pada seluruh penderita HIV (Lee dkk, 2000; Zumla, 2013).

Tabel 2.4

Presentasi Klinis Pasien TB-HIV (Sharma dkk, 2005)

Karakteristik Infeksi HIV lanjut* Infeksi HIV awal

Pulmonal dan ektrapulmonal 50:50 80:20

Gejala klinis Menyerupai TB

primer Menyerupai post-TB primer Gambaran radiologis Limfadenopati intratorakal Lobus bawah Sering Sering Jarang Jarang

Cavitas Jarang Sering

Tes tuberkulin Sering Jarang

Sputum BTA Jarang positif Sering positif

Reaksi adversi obat Sering Jarang

Relaps setelah terapi Sering Jarang


(26)

Selain TB, terdapat pula Mycocabterium Other Than Tuberculosis (MOTT) yang umumnya muncul pada kadar CD4 kurang dari 100 sel/µL. MOTT dapat terdokumentasi dengan baik pada negara dengan angka TB yang rendah, tetapi negara dengan angka koinfeksi TB-HIV tinggi persentase MOTT tergolong rendah, hal ini disebabkan karena sulitnya penegakkan diagnosis (McCarthy dkk, 2011).

Gejala dan tanda infeksi MOTT mirip dengan gejala klinis TB, yaitu batuk lama, keringat malam, dan penurunan berat badan. Berdasarkan rekomendasi

American Thoracic Society (ATS)/ Infectious Disease Society of America (IDSA), penegakkan MOTT berdasarkan (1) gejala klinis atau kelainan pada foto thoraks, meliputi nodul atau kavitas, atau multifokal bronkiektasis yang disertai multiple noduk kecil pada pemeriksaan CT scan, (2) mengeksklusi diagnosis lainnya, (3) hasil kultur positif MOTT melalui dua kali pemeriksaan sputum atau melalui satu kali pemeriksaan bilasan bronkus. Beberapa penelitian yang dilakukan di Vietnam, Thailand, dan Kamboja menyebutkan kriteria yang diterapkan ATS/IDSA sering menghadap kendala terutama pada pemeriksaan kultur yang sering kali memberikan hasil negatif. Hal ini menyebabkan prevalensi MOTT paru pada pasien HIV di daerah Asia Tenggara masih tergolong rendah. Kultur yang memiliki sensitif yang tinggi untuk MOTT menurut penelitian tersebut adalah melalui kulur media cair. Sebuah penelitian di Nigeria juga mengungkapkan pernyataan yang sama, bahkan pemeriksaan Xpert/MTB-Rif yang merupakan pemeriksaan rekomendasi WHO dikatakan memiliki sensitivitas yang rendah untuk mendiagnosis MOTT di negara dengan prevalensi TB yang tinggi. Penegakkan diagnosis MOTT yang sulit inilah yang menyebabkan MOTT jarang dijumpai sebagai IO pada infeksi HIV (Restiawati dkk, 2011; McCarthy dkk, 2011).


(27)

2.5 Diagnosis

Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya (Kemenkes, 2013a).

2.5.1 Pemeriksaan Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan adanya kuman TB dapat berasal dari sputum, cairan pleura, cairan cerebrospinal, bilasan bronkus, urin, maupun jaringan biopsi. Semua pasien suspek TB dilakukan pemeriksaan spesimen sputum selama dua hari berturut-turut, yaitu sewaktu – pagi - sewaktu (SPS). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan mikroskopis memiliki keuntungan yaitu tidak membutuhkan biaya yang mahal dan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat (World Health Organization, 2007; Kemenkes, 2011).


(28)

Gambar 2.4

Alur Diagnosis TB Paru pada penderita HIV Rawat Jalan (Kemenkes, 2013a) Pemeriksaan sputum BTA memerlukan bahan spesimen Mtb sekitar 105 per mililiter untuk memberikan hasil yang positif. Pasien dengan infeksi HIV positif jarang memberikan hasil positif pada pemeriksaan BTA. Sulitnya mengeluarkan dahak merupakan alasan yang paling sering dijumpai. Semakin rendah sistem imun maka pemeriksaan sputum BTA akan memberikan hasil negatif akibat sulitnya pembentukan granuloma atau bahkan tidak terbentuk sama sekali (Swaminathan, 2002; Padmapriyadarsini dkk, 2011; Singhal, 2011). Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sputum BTA pada penderita dengan koinfeksi TB-HIV adalah 38,1% dan 74,5%. (Swai dkk, 2011).


(29)

Gambar 2.5.

Alur Diagnosis TB Paru pada Penderita HIV Sakit Berat (Kemenkes, 2013a) Kultur sputum Mtb merupakan pemeriksaan standar baku untuk menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan kultur sputum selain digunakan untuk identifikasi jenis Mycobacterium, juga dapat mengetahui resistensi OAT. WHO merekomendasikan pemeriksaan kultur sputum Mtb pada pasien dengan BTA negatif, dan lebih dianjurkan untuk pemeriksaan kultur sputum dengan media cair karena sensitivitas dan hasil yang diperoleh lebih cepat dibandingkan dengan kultur media padat. Permasalahan yang sering dihadapi dari pemeriksaan kultur sputum Mtb adalah tidak semua fasilitas kesehatan menyediakan pemeriksaan ini sehingga harus dikirim ke tempat yang memiliki fasilitias pemeriksaan kultur sputum. Desentralisasi kultur sputum merupakan pengiriman sputum yang dianjurkan


(30)

(WHO, 2006). Pada saat ini kementerian kesehatan menetapkan penggunaan media

Lowenstein-Jensen (LJ) sebagai pemeriksaan dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya. Tidak satu pun uji tunggal yang dapat membedakan Mtb dan Mycobacterium lannya, sehingga identifikasi Mtb didasarkan pada hasil pemeriksaan, kecepatan tumbuh, morfologi koloni, uji Para Nitro Benzoic Acid (PNB), dan uji niasin (Kemenkes, 2012).

Beberapa uji identifikasi yang dapat digunakan adalah: (Swapna dkk, 2011; Kemenkes 2012)

1. Uji Niasin. Semua Mycobacterium dapat menghasilkan asam nikotinal. Mtb dan beberapa spesies seperti M. simiae dan M. chelonae tidak dapat menghasilkan asam nikotinal tersebut. Jumlah asam nikotinak yang dibentuk terbanyak terbanyak ada pada media LJ, karena itu pemeriksaan ini membutuhkan media LJ. Uji niasin dengan paper strip merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan oleh WHO dengan hasil meta analisisnya paling sensitif.

2. Uji PNB. Uji ini juga menggunakan media LJ. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu 28 - 42 hari.

3. Uji mycobacterium tuberculosis protein 64 (MPT-64). MPT merupakan antigen spesifik yang disekresikan oleh Mtb saat pertumbuhan bakeri. Antigen MPT-64 tidak ditemukan pada M. bovis, M. leprae, dan

Mycobacterium Other Than Tuberculosis (MOTT). Keunggulan dari pemeriksaan ini adalah hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk mendeteksi Mtb atau MOTT, dengan sensitivitas 96,5 - 100% dan spesifisitas 100%.


(31)

Pemeriksaan diagnostik lainnya adalah Xpert MTB/Rif. Xpert MTB/Rif merupakan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) otomatis dengan menggunakan platform GeneXpert (Cepheid, Sunnyvale, CA, United States). Xpert MTB/Rif dapat mengindentifikasi Mtb serta resistensi rifampisin secara bersamaan dalam waktu dua jam. Pada Xpert MTB/Rif amplifikasi dan deteksi dari PCR tergabung dalam suatu unit yang disebut dengan Xpert Mtb/Rif cartridge. Sample pemeriksan Xpert Mtb/Rif dapat menggunakan bahan sputum yang berupa sampel sputum segar atau sedimen sputum atau bahan cairan pleura, cairan serebrospinal, atau fine needle aspiration biopsy (FNAB) dari KGB. Xpert Mtb/Rif dengan sampel sputum dapat mendeteksi Mtb 103 dan memiliki sensitifitas dan spesivisitas yang cukup tinggi yaitu 88% dan 99% dalam mendiagnosis TB-HIV khususnya yang berasal dari sputum (Kemenkes, 2013a; WHO, 2014a, O'Grady dkk, 2012).

WHO merekomendasikan pemeriksaan Xpert Mtb/Rif untuk mendiagnosis TB disamping pemeriksaan sputum BTA dan kultur untuk mendiagnosis MDR-TB atau koinfeksi TB-HIV. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi, WHO menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan molekuler seperti Xpert MTB/Rif bila fasilitasnya memungkinkan. Pemeriksaan ini dianjurkan sebagai pemeriksaan diagnostik primer pada pasien TB-HIV. Selain direkomendasikan untuk mendiagnosis TB paru, Xpert MTB/Rif direkomendasikan oleh WHO untuk mendiagnosis dengan cepat TB ekstraparu. Rekomendasi tersebut terutama pada meningitis TB yang membutuhkan diagnosis cepat dan pemeriksaan KGB atau jaringan lain, tetapi masih dengan bukti kualitas yang rendah, tetapi tidak semua daerah di Indonesia memiliki fasilitas pemeriksaan Xpert MTB/Rif. (WHO, 2014; WHO, 2014a; Kemenkes, 2013a).


(32)

2.5.2. Pemeriksaan Radiologi

Pada pemeriksaan foto thorax, TB-HIV memiliki gambaran yang beragam, tergantung dari stadium HIV. Gambaran radiologis stadium awal HIV sama dengan penderita non HIV, berupa kavitas pada lobus atas, infiltrat, dan nodul. Pada stadium lanjut 80% gambarannya mirip infeksi primer TB. Ada pula yang memberikan gambaran ekstraparu seperti efusi pleura, limfadenopati hilus bahkan normal. Penelitian yang dilakukan oleh Ong dkk (2008), gambaran radiologi pada penderita HIV dengan kadar CD < 200 sel/µL berupa gambaran infiltrat di daerah basal, tuberukulosa pneumonia, limfadenopati mediastinum dan hilus, dan miliar. Beberapa studi di Kenya menemukan 13% penderita dengan kultur BTA positif memiliki foto thorax normal (Lee dkk, 2000; Zumla, 2013; Hoffman,2014).


(33)

Gambar 2.6


(34)

2.5.3 Pemeriksaan Lipoarabinomannan

Mendeteksi antigen Mycobacterium merupakan salah satu pilihan untuk mendiagnosis TB. LAM merupakan salah satu pemeriksaan antigen yang dapat mendiagnosis TB paru (Achkar, 2011).

Dinding sel Mycobacterium merupakan struktur yang kompleks yang terdiri dari beberapa komponen penting untuk imunogenitias. Komponen tersebut terdiri dari peptidoglycan, arabinogalactan, myocolic acid lipid, yang merupakan ciri khas dari sel Mycobacterium, dan lapisan glikolipid yang merupakan lapisan teratas dari plasma membran. LAM, lipomannan (LM), dan phosphatidylinositol (PI)

mannoside (PIMs) merupakan mannose dari glikolipid yang penting pada pembungkus sel. Peptidoglycan secara umum dapat ditemukan pada bakteri, sedangkan mycolic acid hanya ditemukan pada Mycobacterium dan merupakan asam lemak yang merupakan bagian unik dari Mycobacterium. (Fukuda dkk, 2013; Cheepsattayakorn, 2005; Stronhmeier, 1999). Pembungkus dari Mtb berguna untuk pertahanan dalam tubuh pejamu yang terinfeksi dan terhadap beberapa obat anti

Mycobacterium yang menghambat biosintesis dan komponen dinding sel. LAM, merupakan melokul non-peptida yang mengatur respon imun pejamu, sedangkan

mannose-capped LAM (ManLAM) merupakan molekul anti inflamasi yang kuat (Nigou, 2003).

LAM berukuran 17.500 dalton, dilepaskan dari metabolik aktif atau sel bakteri selama infeksi TB (Peter dkk, 2010). Molekul-molekul LAM membentuk suatu ikatan non kovalen dengan plasma Mycobacterium melalui glikofosfolipid dan permukaan dinding sel. Molekul LAM memiliki tiga struktur utama yaitu glikofosfolipid, mannan, dan arabinan. Glikofosfolipid umumnya terdapat pada


(35)

semua spesies Mycobacterium. Masing-masing molekul LAM memiliki capping

yang berbeda-beda tergantung jenis spesiesnya. Molekul LAM dengn cap mannosylated (ManLAM) terdapat pada spesies Mtb, Mycobacterium lepra, Mycobacterium bovis. Molekul LAM dengan cap fosfoinositol (PILAM) terdapat pada Mycobacterium smegmatis. Sedangkan Mycobacterium chelonae tidak memiliki cap mannose atau fosfoinositol, tetapi memiliki bentuk cap molekul Ara LAM. (Lawn, 2012).

Gambar 2.7.

Dinding sel mikobakterium (Mistry., 2008)

LAM dapat menginduksi sitokin imunosupresif termasuk mengugah TGF-B, menginduksi nitric oxide (NO), TNF-A, dan melepaskan interleukin-12 (IL-12) ke dalam pembuluh darah perifer pada tuberkulosis yang baru didiagnosis (Cheepsattayakorn, 2005). Pada saat terjadi infeksi, pejamu akan mengeluarkan antibodi untuk melawan antigen mikobakterium. Antigen humoral nonprotein tersebut adalah LAM. Sirkulasi antibodi LAM dapat ditemukan pada penderita tuberkulosis aktif (Stronheimerer., 1997).


(36)

LAM tidak hanya terdapat pada Mtb tetapi juga ditemukan pada

Mycobacterium leprae, Mycobacterium bovis, Mycobacterium avium, Mycobacterium kansasii, Mycobacterium fortuitum, Mycobacterium smegmatis,

dan Mycobacterium chelonae (Mishra., 2011).

Gambar 2.8.

Lipoarabinomannan pada dinding sel M tuberkulosis, M smegmatis, dan C glutamicum (Mishra., 2011)

Selain terdapat dalam Mycobacterium, LAM juga terdapat pada genus

Rhadococcus. Rhadococcus adalah bagian dari Actinomycetes yang termasuk dalam genus Mycobacterium. Pada Rhadococcus berat LAM lebih ringan dibanding Mtb dan M bovis, serta tidak memiliki bagian arabinan (Nigou dkk, 2003; Mishra dkk, 2011). Selain itu dinding sel yang kaya akan lipid dapat juga dijumpai pada

Corynebacterium dan Nocardia (Mishra dkk, 2011; Peter dkk, 2010). Antibodi poliklonal anti-LAM memiliki reaksi silang dengan beberapa varian dari

Actinobacteria termasuk di dalamnya Nocardia, Streptomuces, dan Candida.

Kontaminan spesimen urin yang mengandung spesies Candida dan adanya MOTT memberikan nilai prediktif yang rendah pada hasil LAM yang positif. (Peter dkk, 2010; Minion dkk, 2011).


(37)

Infeksi HIV merupakan salah satu faktor predisposisi munculnya infeksi

Rhodococcus equi. Secara umum infeksi Rhodococcus equi termasuk jarang sekali terjadi. Gejala klinisnya mirip dengan pneumonia, dengan gejala tersering adalah demam, batuk yang disertai dahak. Penelitan yang dilakukan oleh Da Silva dkk (2011) menyebutkan jarang menemukan infeksi Rhodococcus equi pada penderita HIV. Pada penelitian tersebut, dari 546 penderita HIV ditemukan 17% dengan infeksi Rhodococcus equi melalui pemeriksaan sputum (Da Silva dkk, 2011; Tortosa dkk., 2003).

Boeme dkk (2005) melakukan kultur terhadap beberapa bakteri gram positif dan negatif, seperti Klebsiella pneumoniae, Streptococcus agalactiae, Stetococcus pnuemoniae, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Proteus vulgaris, Escherichia coli, Neisseria meningitidis, dan Haemophilus influenza. Tes dilakukan dengan menggunakan LAM ELISA. Pemeriksaan juga dilakukan pada beberapa Mycobacterium dengan melihat reaksinya terhadap LAM ELISA. Hasil yang diperoleh adalah LAM ELISA tidak memiliki reaksi terhadap bakteri gram positif dan negatif sedangkan pada spesies Mycobacterium, Mtb dan M. bovis


(38)

Gambar 2.9

Reaksi LAM (Boehme dkk., 2005)

A.Membandingkan antibodi LAM dengan bakteri gram positif dan gram negatif B.Reaksi LAM ELISA terhadap berbagai spesies Mycobacterium

LAM dapat dideteksi pada sputum, cairan serebrospinal, urin dan cairan pleura sehingga LAM dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi Mycobacterium


(39)

Pemeriksaan sputum LAM menunjukkan sensitivitas yang tinggi (86%; 95% CI 81, 90%) tetapi spesifisitas yang rendah (15%; 95% CI 10, 21%) bila dibandingkan dengan LAM urin (Dheda dkk, 2010). Menurut Patel dkk (2009) pada cairan serebrospinal sensitivitasnya 64% dan spesifisitasnya 69% bila dibandingkan dengan PCR. Permeabilitas LAM dalan sawar otak masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Beberapa studi menunjukkan pemeriksaan LAM merupakan pemeriksaan yang menjanjikan dalam mendiagnosis meningitis TB. Pada pemeriksaan cairan pleura, antigen LAM tidak lebih baik dibanding ADA dalam mendiagnosis TB, bahkan oleh peneliti penelitian LAM dihentikan karena tidak memberikan hasil positif terdapat dua puluh empat pertama pasien. Hal ini disebabkan karena cairan pleura memiliki kadar protein yang tinggi sehingga mengikat LAM bebas. Rendahnya deteksi antigen LAM kemungkinan disebabkan rendahnya kadar basil pada penyakit pleura (Dheda dkk, 2009a)

Pada tahun 1960 telah diketahui bahwa Mtb dapat dijumpai pada urin seroang penderita TB aktif, tetapi urin bukan pemeriksaan rutin karena hasilnya tidak memuaskan, yaitu sekitar 2%. Pada pasien yang terinfeksi HIV pemeriksaan melalui urin justru memberikan hasil yang lebih memuaskan, yaitu 70% (Peter dkk, 2010). Mekanisme LAM dapat terdeteksi melalui urin hingga saat ini masih belum dapat dijelaskan. LAM memiliki ukuran yang mirip dengan mioglobin (16.700 dalton), melalui aliran darah dapat keluar melalui urin melalui rusaknya otot pada seseorang yang tidak memiliki gangguan pada fungsi glomerulus (Lawn, 2012; Wood dkk, 2012). Hal ini yang membuat molekul LAM diyakini dapat keluar melalui urin. Secara sistematis pelepasan LAM melalui sirkulasi imun komples tidak dapat melewati glomerulus ginjal normal, tetapi pada kenyataannya LAM


(40)

antibodi kompleks yang dilepaskan Mycobacterium melalui traktus urinarius dapat melalui urin (Wood dkk, 2012). Adanya gangguan pada fungsi ginjal, seperti nefropati HIV akan mempengaruhi kemampuan LAM yang berasal dari aliran darah keluar melalui urin.

Terdapat tiga model yang mungkin terjadi pada LAM yang dilepaskan oleh

Mycobacterium tubuh.(Wood, 2012)

A. LAM dilepaskan oleh organisme dari sirkulasi sistemik (nonrenal) ke dalam sirkulasi dimana antibodi anti-LAM akan berikatan dengan imun kompleks dan keluar ke urin pada ginjal normal. Pada model ini seseorang yang memiliki fungsi ginjal normal akan memberikan hasil LAM yang negatif bila tidak dijumpai mikobakteriuria.

B. Molekul LAM bebas dilepaskan oleh organisme Mtb ke kompartemen sistemik melalui sirkulasi tetapi tidak terikat oleh antibodi dan akan dikeluarkan melalui urin pada ginjal yang normal. Pada model ini akan memberikan hasil LAM urin positif pada meskipun tidak dijumpai adanya

Mycobacterium.

C. Urin LAM dilepaskan langsung oleh organisme Mtb ke dalam urin. Mikobakteriuria dapat dijumpai pada kejadian TB ekstraparu. Pada model ini akan memberikan hasil positif pada pemeriksaan uji LAM bila ditemukan adanya Mtb di urin.


(41)

Gambar 2.9.

Tiga model pelepasan LAM (Wood R, 2012)

A.LAM yang terikat dengan antibodi dari kompleks imun dilepaskan secara sistemik ke sirkulasi dan melalui filtrasi ginjal LAM dapat melewati membran glomerulus. Pada model ini memberikan tes LAM akan negatif bila tidak dijumpai adanya Mtb. B. LAM tidak terikat dengan antibodi anti LAM, LAM bebas terfiltrasi keluar melalui urin. Pada model ini pemeriksaan LAM akan memberikan hasil positif meskipun tidak ada Mtb. C. Mtb keluar langsung melalui traktur urinarius dan melepaskan LAM ke urin. Pada model ini tes LAM positif bila dijumpai Mtb.

Sebuah studi besar di Tanzania melaporkan proteinuria memiliki hubungan dengan kadar positif dari LAM (Reither dkk, 2009). Pendapat sebaliknya diungkapkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Dheda dkk (2010), yang menyatakan tidak adanya hubungan antara LAM urin dengan proteinuria. Sensitivitas yang berbeda-beda dari tiap penelitian disebabkan oleh berbagai faktor seperti beratnya derajat HIV dari tiap pasien, tipe strain virus, populasi genetika dan malnutrisi. Suatu analisis dengan menggunakan pemeriksaan kuantifikasi


(42)

ekskresi proteinuria dilaporkan oleh Wood dkk (2012). Proteinuria yang terdeteksi pada penderita dengan LAM positif tidak berhubungan dengan dengan derajat disfungsi glomerulus Hal yang terpenting dari penelitian ini adalah Mtb ditemukan pada lebih dari setengah pasien dengan LAM positif dan tidak ditemukan pada kontrol dengan LAM negatif.

LAM urin merupakan suatu pemeriksaan imunokromatografi. Sampel urin ditambahkan pada pad sampel dimana koloid antibodi akan mengikat LAM yang terdapat pada sampel. Sampel urin pada pad akan bergerak sepanjang strip tes melalui membran nitroselulosa. Partikel koloid memberikan garis berwarna ungu bila ditemukan adanya LAM dalam sampel. Garis kontrol terdapat pada strip tes dimana cut off yang digunakan adalah pada +2 (Lawn, 2012).

2.6 Hubungan LAM Urin dan Tuberkulosis

Pemeriksaan LAM Urin merupakan pemeriksaan antigen lateral flow yang relatif murah, memiliki hasil yang cepat, sensitvitas dan spesifisitas yang tinggi pada pasien HIV. Menurut Lawn dkk (2012) yang melakukan studi di Afrika Selatan, 235 pasien ART naive dengan kadar rata-rata CD4 125 sel/µL, menunjukkan sensitivitas LAM urin sebesar 95%. Pada studi yang dilakukan oleh Shah dkk (2010) yang dilakukan di Afrika Selatan terhadap 499 penderita suspek TB (85% terinfeksi HIV) menunjukkan sensitifitas LAM 71% pada kadar CD4 50 - 100 sel/uL dan 85% pada CD4 di bawah 50 sel/µ L. Pemberian terapi obat anti tuberkulosis (OAT) akan menurukan sensitivitas hingga 33% (Shah dkk, 2010). Wood (2012) juga memaparkan hubungan LAM dengan pemberian OAT. Pada minggu pertama kadar setelah pemberian OAT kadar LAM masih stabil, tetapi setelah minggu kedua kadar LAM mulai menurun dengan drastis dan semakin turun


(43)

hingga tidak terdeteksi setelah minggu kedua puluh empat.

Studi yang dilakukan oleh Dheda dkk (2010) membandingkan pemeriksaan LAM urin, sputum BTA dan kombinasi LAM urin dan sputum BTA. Pada pemeriksaan sputum BTA tunggal sensitivitasnya 65% pada pasien TB, 49% pada pasien dengan koinfeksi HIV, dan 37% pada pasien HIV dengan kadar CD4 < 200 sel/µ L, sebaliknya pemeriksaan LAM urin sensitivitasnya justru terbalik yaitu 13%, 21%, dan 37% pada kelompok yang sama. Pemeriksaan LAM urin yang dikombinsi dengan sputum BTA pada pasien dengan kadar CD4 kurang dari 200 sel/µ L memiliki sensitivitas 53%. Menurut Gaunder dkk (2011) sensitivitas LAM urin tidak lebih baik dibanding pemeriksaan sputum BTA. Sensitivitas LAM urin hanya 32%, tidak lebih baik dibanding pemeriksaan sputum BTA yang sama-sama memberikan hasil pemeriksaan yang cepat.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bjerrum S dkk (2015) pada 469 sampel di Ghana memiliki sensitivitas 44%, spesifisitas 95%, dengan RKP 8,6 dan

RKN 0,6 pada sampel dengan kadar CD4 ≤ 100 sel/µL. Dari penelitian tersebut,

kesimpulan yang dapat ditarik adalah pemeriksaam LAM urin dapat digunakan untuk mendiagnosis penderita HIV dengan keadaan umum yang buruk.

Sebuah metaanalisis dilakkukan oleh Minion dkk (2010) menyimpulkan penggunaan LAM urin memiliki sensitivitas yang lebih baik dibanding sputum BTA terutama pada penderita TB-HIV dengan imunodefisiensi lanjut. Kendala dari pemeriksaan LAM Urin adalah adanya reaksi silang antara Mtb dengan MOTT yang memberikan positif palsu. Kontaminasi bahan urin dengan flora normal seperti kandida juga menurunkan nilai prediktif positif pada pemeriksaan LAM. Ada beberapa alasan mengapa pemeriksaan LAM lebih sensitif pada pasien dengan


(44)

imunosupresi yaitu: (Minion, 2011)

1. Suatu teori menyebutkan adanya korelasi antara sensitifitas yang tinggi dengaan banyaknya jumlah bakteri. Pada pasien imunosupresi Mtb akan berreplikasi lebih banyak di jaringan, hal ini yang menyebabkan sirkulasi LAM menjadi lebih banyak pula.

2. Kompleks antigen-antidbodi akan terbentuk lebih banyak pada pasien TB tanpa imunosupresi sehingga ekskresi LAM tidak keluar melalui urin.

3. HIV berhubungan dengan disfungsi podosit yang lebih banyak terjadi pada penderita HIV stadium lanjut, akan meningkatkan permeabilitas glomerulus sehingga kadar LAM akan terdeteksi pada urin.


(45)

BAB III

KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP 3.1 Kerangka berpikir

Diagnosis TB pada penderita HIV di negara-negara berkembang khususnya Indonesia saat ini masih berpatokan pada penggunaan sputum untuk menemukan adanya BTA. Pemeriksaan standar baku dalam menegakkan infeksi TB adalah melalui pemeriksaan kultur sputum Mtb. Pemeriksaan kultur dapat mengidentifikasi jenis kuman apakah termasuk Mtb atau MOTT, tetapi kesulitan yang dihadapi adalah hasilnya yang lama, karena pertumbuhan kuman Mtb yang lama. Beberapa tahun belakangan ini telah dikembangkan suatu pemeriksaan untuk mendiagnosa TB pada penderita HIV dengan bahan urin, yaitu pemeriksaan LAM urin. Keunggulan pemeriksaan ini adalah hasilnya dapat diperoleh dengan cepat, hanya dalam waktu beberapa menit Keunggulan lain dari LAM urin adalah menggunaakan bahan urin, dimana bahan pemeriksaan dapat diperoleh dengan mudah dan tidak membutuhkan pemeriksaan yang rumit. Penelitian ini untuk menilai sensitivitas dan spesifisitas LAM urin dibandingkan dengan kultur sputum Mtb yang menjadi standar baku pemeriksaan TB.


(46)

3.2 Konsep Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka dan permasaiahan yang dihadapi maka dibuat kerangka konsep penelitian seperti gambar di bawah ini.

Gambar 3.1 Konsep Penelitian

HIV Suspek TB

Kultur sputum Mtb

LAM Urin

= Variabel baku emas = Variabel uji baru


(47)

BAB IV

METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan desain potong lintang pada penderita HIV yang dicurigai menderita TB paru dengan melakukan pemeriksaan LAM Urin yang akan dibandingkan dengan pemeriksaan kultur sputum Mtb. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap dan poliklinik VCT serta paru, bagian penyakit dalam RSUP Sanglah. Pemeriksaan kultur sputum Mtb dilakukan di laboratorium mikrobiologi RSUP Sanglah dan identifikasi Mtb dilakukan di RSUP Dr Soetomo Surabaya. Pemeriksaan LAM urin dilakukan di ruang rawat inap RSUP Sanglah. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2015 hingga Agustus 2015.

4.3 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kedokteran dan secara spesifik merupakan penelitian untuk mengidentifikasi nilai diagnostik pemeriksaan LAM urin untuk mendiagnosis TB paru pada pasien HIV.

Penelitian ini merupakan penelitian diagnostik yang dilakukan di bagian ilmu penyakit dalam, khususnya bidang ilmu penyakit infeksi HIV dan paru. 4.4 Penentuan Sumber Data

4.4.1 Populasi Target

Populasi target adalah semua pasien HIV dewasa yang dicurigai menderita koinfeksi TB (18-60 tahun).

4.4.2 Populasi Terjangkau


(48)

menderita koinfeksi TB paru yang menjalani rawat inap maupun rawat jalan di poliklinik penyakit dalam RSUP Sanglah Denpasar yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

4.4.3 Sampel

Pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah secara consecutive sampling,

yaitu dengan mengikutsertakan semua penderita HIV dewasa yang dicurigai TB paru yang memenuhi kriteria sebagai sampel hingga mencapai jumlah yang direncanakan.

4.4.3.1 Etika Penelitian

Ethical clearance dimintakan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar. Setiap sampel diminta untuk menandatangani

informed consent.

4.4.3.2 Kriteria Inklusi

-Penderita HIV baik yang sudah mendapat terapi ART atau belum, yang dicurigai menderita koinfeksi TB paru berusia 18 - 60 tahun baik pria maupun wanita

-Bersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani informed consent

-Kadar CD4≤ 200 sel/µL

-Suspek TB kambuh -Suspek MDR TB 4.4.3.3 Kriteria Eksklusi

-Pasien putus OAT, dengan batas konsumsi OAT terakhir 2 bulan lalu -Pasien infeksi salurang kencing


(49)

-Pasien dengan infeksi candidiasis

-Pasien dengan infeksi Corynebacterium sp

4.4.4 Besar Sampel

Perkiraan besar sampel dihitung berdasarkan rumus berikut (Maldiyono dkk, 2011):

P d

sen) (1 sen Zα

N 2

2 

N = besar sampel

Za = derivat baku dari tingkat kesalahan sebesar 1,96 Sen = sensitivitas alat yang diinginkan, sebesar 78% d = simpang baku sebesar 20%

P = prevalensi HIV-TB, sebesar 25%

Berdasarkan rumus diatas didapatkan sampel sebesar 65,92. Estimasi besar sampel minimal yang diperlukan pada penelitian ini adalah 66 orang

4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Variabel Uji Baru

Variabel uji baru pada penelitian ini adalah LAM urin 4.5.2 Variabel Baku Emas

Variabel baku emas pada penelitian ini adalah kultur sputum Mtb 4.5.3 Definisi Operasional Variabel

Berdasarkan variabel-variabel yang telah diidentifikasi, maka definisi operasional variabel penelitian ini disusun sebagai berikut.

1. Infeksi HIV dikatakan positif bila tiga kali pemeriksaan dengan menggunakan reagen tes cepat adalah positif untuk ketiganya. (Kemenkes, 2011)


(50)

menentukan status imun pasien HIV dengan menghitung angka absolut (per mm3) atau persentase sel CD4, dengan cut point ≤ 200 sel/µL (Graham dkk, 1995).

3. Pasien HIV suspek TB paru dicurigai pada semua penderita HIV yang memiliki gejala klinis minimal satu seperti batuk lebih dari 2 minggu atau lebih yang disertai keringat malam, demam lebih dari satu bulan, penurunan berat badan lebih dari 10% dalam satu bulan (WHO, 2007; Patel dkk, 2011).

4. LAM urin merupakan lapisan lipid dari Mycobacterium yang dapat dideteksi melalui cairan tubuh, yaitu urin sehingga dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB paru. Pemeriksaannya dengan menggunakan metode imunokromatografi. Hasilnya berupa kualitatif +4, +3, +2, +1 , dan negatif, dengan cut-point positif diambil pada +2 (Lawn, 2012)

5. Kultur sputumMtb merupakan pemeriksaan standar baku yang digunakan untuk mendiagnosis TB paru. Pemeriksaannya dengan menggunakan bahan sputum. Pembiakan sputum dengan menggunakan media LJ. Hasil kultur yang positif menandakan adanya kuman Mycobacterium. Selanjutkan pemeriksaan dilanjutkan dengan identifikasi melalui uji niasin dan MTP-64. Hasil yang positif menunjukkan adanya Mtb (WHO, 2006; Kemenkes, 2012)

6. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) ditentukan dengan tes kliren kreatinin dengan perhitungan memakai rumus Cockroft Gault (K/DOQI, 2002)

Kliren kreatinin ml/mnt = � � � �/��� � � , � � �

Kriteria stadium PGK:


(51)

glomerulus (LFG) > 90 ml/mnt,

2. Stadium II apabila adanya penurunan fungsi ginjal dengan LFG 60 - 89 ml/mnt.

3. Stadium III apabila adanya penurunan fungsi ginjal dengan LFG 30-59ml/mnt

4. Stadium IV apabila adanya penurunan fungsi ginjal dengan LFG 15 -29 ml/mnt

5. Stadium V apabila adanya penurunan fungsi ginjal dengan LFG <15 ml/mnt 7. Infeksi saluran kencing ditentukan bila pada pemeriksaan urin sewaktu

ditemukan adanya nitrit positif dan/atau sedimen lekosit lebih dari 8-10 per lapang pandang (Nicolle, 2006)

8. Candidiasis oral didiagnosis dengan melihat plak pada daerah oral atau melalui pemeriksaan potasium hidroxide (KOH) (Reznik, 2005)

9. Corynebacterium ditegakkan bila dijumpai adanya gambaran klinis berupa faringitis dan pneumonia granulomatosa (Venezia, 2012)

10. Mycobacterium Other Than Tuberculosis (MOTT) ditentukan bila dari pemeriksaan kultur sputum Mtb didapatkan dengan uji Niasin dan MPT-64 negatif tetapi ditemukan adanya pertumbuhan kuman pada media LJ (Jones, 2002; Kemenkes, 2012; Jhonson, 2014).

11. Putus OAT adalah pasien yang tidak berobat selama dua bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai (Kemenkes, 2013b).

12. Kasus TB kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapat OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB episode rekuren (baik untuk kasus yang benar-benar


(52)

kambuh atau episode baru yang disebabkan reinfeksi) (Kemenkes, 2013b)

13. MDR TB adalah resisten OAT ganda, isolat Mtb resisten minimal terhadap isoniazid dan rifampisin (Kemenkes, 2013b)

14. Terapi ART adalah terapi yang diberikan pada individu dengan klinis HIV berat

(stadium 3 atau 4 {WHO}) dan individu dengan kadar CD4 ≤ 350 sel/µL atau pada individu dengan keadaan khusus (WHO, 2013b)

4.6 Bahan dan Instrumen Penelitian

Pada penelitian ini, semua pasien HIV akan diperiksa kadar CD4 dan yang dicurigai koinfeksi TB paru akan dilakukan pemeriksaan rontgen dada, sputum BTA dengan metode Ziehl-Nielsen, Xpert Mtb/Rif dan pemeriksaan kultur sputum Mtb. Kultur sputum Mycobacterium dengan menggunakan media LJ. Bila dari media LJ terapat pertumbuhan Mycobacterium akan dilanjutkan dengan pemeriksaan uji niasin dan MPT-64

Pemeriksaan LAM Urin menggunakan metode lateral flow, Alere Determine TB LAM Ag. Reagensia disimpan dalam suhu 2-30°C dengan masa penyimpanan sembilan bulan. Pada penelitian ini nilai LAM Urin dikatakan positif bila memberikan hasil strip tes positif yang sesuai dengan kartu skala yang ada. Cut-point yang digunakan adalah skala +2.

Prosedur pemeriksaan LAM Urin adalah sebagai berikut: -Metode pemeriksaan dengan lateral flow

-Prosedur sampling:

1. Sobek strip dan lepaskan dari penutupnya

2. Ambil spesimen urin dengan menggunakan pipet atau mikropipet sebanyak 60 µ L kemudian teteskan pada strip tes yang tersedia


(53)

3. Tunggu selama 25-35 menit

4. Cocokkan dengan skala yang telah disediakan

5. Hasil dibaca oleh minimal oleh dua orang (peneliti dan perawat ruangan tempat pemeriksaan LAM urin)

Gambar 4.1

Strip tes dan skala refrensi (Peter dkk, 2012)

Sputum yang sulit untuk dikeluarkan akan dibantu dengan induksi sputum. Prosedur induksi sputum:

- Nebulizer salbutamol 2,5 mg selama 5 menit - Tunggu 20 menit

- Nebulizer NaCl hipertonik 3% selama 5 – 20 menit dengan menggunakan

high output nebulizer dengan rata-rata 2,5 ml/menit


(54)

4.7 Prosedur Penelitian

Gambar 4.3. Prosedur Penelitian

Populasi target

Populasi terjangkau

Kriteria inklusi

SAMPEL TERPILIH Penderita HIV,

suspek TB

Kriteria eksklusi

Pemeriksaan Kultur sputum Mtb Pemeriksaan LAM Urin

Kultur sputum Mtb (+) Kultur sputum

Mtb (-)

LAM Urin (+)

LAM Urin (-)

Analisis Nilai uji diagnostik


(55)

4.8 Analisis Data

Data yang terkumpul diolah dengan program Statistics Package for Social Science (SPSS) ver 21,0 sebagai berikut :

1. Analisis tabel 2x2


(56)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil

Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2015 hingga Agustus 2015, dengan mengikutsertakan 66 pasien HIV dengan kecurigaan TB paru di RSUP Sanglah Denpasar yang telah memenuhi kriteria inklusi dan menyingkirkan kriteria eksklusi.

Tabel 5.1 Karakteristik sampel

Karakteristik Sampel (n = 66)

Usia (tahun) Median

38,06 ± 11,99 (21-79) 35 Jenis Kelamin -Laki-laki -Perempuan 43 (65,2%) 23 (34,8%) CD4(sel/µL) -0-50 -51-100 -101-150 -151-200

36,42 ± 41,72 (2-197) 50 (75,8%)

10 (15,2%) 4 (6,1%) 2 (3%) Stadium HIV (WHO)

-Stadium 3 -Stadium 4

12 (18,2%) 54 (81,8%) Status terapi ART

-Belum ART

-Sedang terapi ART

61 (92,4%) 5 (7,6%) Status TB

-Belum terapi OAT -Riwayat terapi OAT -MDR-TB

58 (87,9%) 8 (12,1%) 6 (9%)

ART, Anti retroviral therapy; OAT, obat antituberkulosis; MDR-TB, multidrug resistant tuberculosis

Data menunjukkan nilai rata-rata ± standar deviasi, nilai rentang minimum hingga maksimum, dan data proporsi sampel (%)

Enam puluh enam sampel terdiri dari 43 (65,2%) laki-laki dan 23 (34,8%) wanita. Berdasarkan usia didapatkan rerata 38,06 ± 11,99 tahun dengan usia terendah 21 tahun dan tertua 79 tahun. Dari kadar CD4, 75,8% pada kadar CD40 -


(57)

50 sel/µL. Kadar CD4 rerata 36,42 ± 41,72 sel/µL, terendah 2 sel/µL dan tertinggi 197 sel/µL. Sebagian besar sampel adalah stadium empat WHO, 54 (81,8%) dan belum mendapatkan ART 61 (92,4%). Berdasarkan status TB, yang belum mendapat terapi OAT 58 (87,9%), riwayat mendapat terapi OAT 8 (12,1%), dan dengan MDR TB 6 (9%). Karakteristik sampel secara lengkap tertera pada tabel 5.1.

Untuk mengetahui nilai diagnostik Kultur sputum Mtb dan LAM urin digunakan tabel silang 2 x 2. Hasil analisa tertera pada tabel 5.3.

Tabel 5.2.

Uji Diagnostik Kultur Sputum Mtb dan LAM Urin Kultur Mtb

Total Positif Negatif

LAM Urin

Positif 21 (87,5%) 3 (12,5%) 24 (100%)

Negatif 8 (19%) 34 (81%) 42 (100%)

Total 29 (43,9%) 37 (56,1%) 66 (100%) Sensitivitas = a / (a+c) = 21 / 29 = 0,72

Spesifisitas = d / (b+d) = 34 / 37 = 0,92 Nilai Duga Positif = a / (a+b) = 21 / 24 = 0,87 Nilai Duga Negatif = d / (c+d) = 34 / 42 = 0,8

Rasio kemungkinan positif = sensitivitas / (1-spesifisitas) = 0,72 / 0,08 = 9 Rasio kemungkinan negatif = (1-sensitivits) / spesifisitas = 0,28 / 0,92 = 0,3

Kultur Mtb merupakan pemeriksaan baku standar, maka dari tabel dapat dilihat nilai sensitivitas dan spesifisitas LAM urin adalah 72% dan 92%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa LAM urin mampu mendeteksi 72% penderita HIV-TB sebagai benar-benar menderita TB paru (sensitivitas), dan mampu mendeteksi 92% mereka yang tidak menderita TB paru sebagai benar-benar negatif TB paru (spesifisitas). Pemeriksaan LAM urin mampu menyatakan 87% hasil positif sebagai benar-benar positif (nilai duga positif) dan 80% sebagai benar-benar


(58)

negatif TB paru (nilai duga negatif). Pada pemeriksaan LAM urin didapatkan rasio kemungkinan positif 9 dan rasio kemungkinan negatif 0,3.

Sampel dengan hasil positif kultur sputum Mtb didapatkan sebanyak 29 (43,9%), positif LAM urin 24 (36,4%). Hasil pemeriksaan sputum BTA positif didapatkan sebesar 19 (28,8%) dan Xpert Mtb/Rif positif 26 (39,4%). Empat sampel (6%) dengan MOTT. Hasil pemeriksaan secara lengkap disajikan pada tabel 5.3.

Tabel 5.3

Proporsi hasil pemeriksaan tuberkulosis

Variabel N %

- Kultur sputum Mtb Positif Negatif 29 37 43,9 56,1 - LAM Urin

Positif Negatif 24 42 36,4 63,6 - Sputum BTA

Positif Negatif 19 47 28,8 71,2 - Xpert Mtb/Rif

Positif Negatif 26 40 39,4 60,6

- MOTT 4 6

LAM, Liporabinomannan; BTA, Basil Tahan Asam, MOTT, Mycobacterium other than tuberculosis

5.2 Pembahasan

5.2.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Pada penelitian ini didapatkan sampel terbanyak adalah laki-laki dengan usia rerata 38 tahun. Hasil penelitian mengenai risiko jenis kelamin pada koinfeksi TB-HIV masih bervariasi. Penelitian yang dilakukan oleh Permitasari (2012) di RSUP Dr Kariadi Semarang menunjukkan koinfeksi TB-HIV didominasi oleh laki-laki (71,1%) dengan rentang usia 15-59 tahun. Penelitian serupa dilaporkan oleh


(59)

Gunaseelan (2010) di RSUP Haji Adam Malik Medan yang menyebutkan presentasi laki-laki dengan koinfeksi TB-HIV mencapai 86,7%. Begitu juga penelitian Dheda dkk (2009) di Sub-Saharan Afrika didapatkan dominan laki-laki (66,1%) dan rerata usia 41 tahun. Sebaliknya, penelitian yang dilaporkan oleh Lawm dkk (2012) di Cape Town, Afrika Selatan dominan adalah wanita (62,7%) dengan rerata usia 32,9 tahun, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Nakiyingi dkk (2014) koinfeksi TB-HIV di Uganda dominan adalah wanita (63,1%), begitu juga di Afrika Selatan (63,3%) dengan median usia 35 tahun.

Data yang diperoleh dari WHO (2013), di Indonesia, koinfeksi TB-HIV pada laki-laki lebih banyak 1,5 kali dibandingkan dengan wanita. Data yang diperoleh dari Kemenkes (2014), penderita HIV didominasi oleh laki-laki (13.280) dan memiliki pola yang hamipir sama selama tujuh tahun terakhir. Data yang diperoleh dari VCT RSUP Sanglah juga memiliki pola yang sama, dari tahun 2004 hingga 2014 penderita HIV didominasi oleh laki-laki. Pada tahun 2014 penderita HIV dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 173 dan perempuan sebanyak 131. Berdasarkan usia, koinfeksi TB-HIV di Indonesia maupuan di beberapa negera di dunia didominasi oleh usia produktif 29 - 45 tahun. Begitu juga data yang kami peroleh dari VCT RSUP Sanglah. Jumlah kumulatif dari tahun 2004 hingga 2014 didominasi oleh usia 25 – 49 tahun, yaitu sebesar 2333 (laki-laki) dan 1181 (perempuan) (WHO, 2013a; Kemenkes, 2014; VCT Sanglah, 2014).

Berdasarkan dari kadar CD4, koinfeksi TB-HIV dominan pada kadar CD4 yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penderita dengan kadar CD4yang rendah akan lebih sering dicurigai adanya koinfeksi TB-HIV. Hal ini sesuai dengan teori


(60)

bahwa semakin rendah kadar CD4 semakin banyak muncul koinfeksi, salah satunya adalah TB Paru (Kemenkes, 2013; Padmapriyadarsini, 2011)

5.2.2 Hasil Pemeriksaan TB Paru

Pada penelitian ini, pemeriksaan TB paru menggunakan modalitas kultur sputum Mtb sebagai pemeriksaan baku emas, selain itu dilakukan pula pemeriksaan Xpert Mtb/Rif dan sputum BTA yang merupakan pemeriksaan rutin dalam menegakkan diagnosis penderita HIV dengan suspek TB paru, dan LAM urin yang merupakan uji baru. Sampel dengan positif TB dari hasil pemeriksaan Xpert Mtb/Rif sebesar 39,4%, sputum BTA dengan hasil positif 28,8%, dan LAM urin positif sebesar 36,4%. Apabila dibandingkan dengan hasil positif dari kultur sputum Mtb (43,9%), Xpert Mtb/Rif memiliki hasil positif yang menyerupai kultur sputum Mtb, dan berikutnya berturut-turut adalah LAM urin, dan yang terakhir adalah sputum BTA.

Hal ini sesuai dengan teori bahwa pemeriksaan sputum BTA memerlukan bahan spesimen sputum sekitar 105 untuk memberikan hasil positif pada

Mycobacterium, sehingga sensitivitas dan spesifisitas sputum BTA menjadi rendah sedangkan pada Xpert Mtb, bahan spesimen sputum yang diperlukan 103 untuk memberikan hasil positif Mtb, sehingga sensitivitas dan spesifisitas dari Xpert Mtb/Rif dikatakan lebih bagus, yaitu 88% dan 99%. (Kemenkes, 2013a; WHO,

2014a; O’Grady dkk, 2012; Swaminathan, 2002)

Kultur sputum Mtb merupakan pemeriksaan baku emas dalam menegakkan diagnosis TB paru. Kelemahan dari pemeriksaan kultur ini adalah hasilnya yang lama, yaitu tiga bulan. Oleh karena ini WHO merekomendasikan suatu pemeriksaan PCR dengan bahan sputum untuk mendiagnosis pasien HIV dengan kecurigaan TB


(61)

dan pada pasien dengan kecurigaan MDR TB, yaitu pemeriksaan Xpert Mtb/Rif. Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifistias yang baik, kekurangannya adalah tidak semua fasilitias kesehatan memiliki fasilitias pemeriksaan Xpert Mtb/Rif. Sputum BTA yang selama ini merupakan pemeriksaan standar dilakukan memiliki sensitivitas yang tidak sama baiknya dengan Xpert Mtb/Rif (WHO, 2014a; Kemenkes, 2012).

Pada penelitian ini selain Mtb didapatkan pula MOTT (6%) dari hasil pemeriksaan kultur sputum Mtb. Sampel dengan MOTT memiliki kadar CD4 di bawah 100 sel/µL. Hal ini sesuai dengan teori, MOTT muncul pada kadar CD4 di bawah 100 sel/µ L, tetapi persentasenya rendah di daerah dengan angka koinfeksi TB-HIV. Penelitian yang dilakukan oleh McCarthy dkk (2012) presentasi MOTT di Thailand dan Vietnam hanya sebesar 2% (Kimberly dkk, 2011; McCarthy dkk, 2011).

5.2.3 Uji Diagnostik Kultur Sputum Mtb dan LAM Urin

Beberapa penelitian mengenai validitas pemeriksaan LAM urin dalam mendiagnosis TB paru pada penderita HIV beragam. Penelitian yang dilakukan oleh Lawn dkk (2012a) membagi sampel berdasarkan kadar CD4. Pemeriksaan LAM urin untuk kadar CD4 di bawah 50 sel/µL memiliki sensitivitas 66,7%, sedangkan kadar CD4 di bawah 100 sel/µL dan 150 sel/µL berturut-turut 51,7% dan 45,7%. Spesifisitas LAM urin sebesar 98,6%. Penelitian yang dilaporkan oleh Gounder dkk (2011) dengan pemeriksaan LAM pada kadar CD4di bawah 200 sel/µL sensitivitas LAM urin adalah 32% (95% IK 16-52%), spesifisitas 98% (95% IK 96-99%), NDP 53% (95% IK 28-77%), dan NPN 95% (95% IK 93-97%). Sedangkan CD4 di bawah 50 sel/µL dengan sensitivitas 56% (21-86). Penelitian


(1)

MDR

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Ya 6 9,1 9,1 9,1

Tidak 60 90,9 90,9 100,0

Total 66 100,0 100,0

Stadium HIV

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Stadium 3 12 18,2 18,2 18,2

Stadium 4 54 81,8 81,8 100,0

Total 66 100,0 100,0

LAM Urin Pos

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Positif 24 36,4 36,4 36,4

Negatif 42 63,6 63,6 100,0

Total 66 100,0 100,0

Sputum GenExpert

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Positif 26 39,4 39,4 39,4

Negatif 40 60,6 60,6 100,0


(2)

BTA 3x

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Positif 19 28,8 28,8 28,8

Negatif 47 71,2 71,2 100,0

Total 66 100,0 100,0

Crosstab Kultur Mtb dan LAM Urin

Kultur Mycobacterium Total

Positif Negatif

LAM Urin Pos

Positif

Count 21 3 24

% within LAM Urin Pos 87,5% 12,5% 100,0%

Negatif

Count 8 34 42

% within LAM Urin Pos 19,0% 81,0% 100,0%

Total

Count 29 37 66

% within LAM Urin Pos 43,9% 56,1% 100,0%

Crosstab Kultur Mtb dan LAM Urin Pada CD4 ≤ 50

Kultur Mycobacterium Total

Positif Negatif

LAM Urin Pos

Positif 18 2 20

Negatif 5 25 30


(3)

Crosstab Kultur Mtb dan LAM Urin Pada CD4 > 50

Count

Kultur Mycobacterium Total

Positif Negatif

LAM Urin Pos

Positif 1 1 2

Negatif 2 6 8


(4)

No Usia Jenis Kelamin

CD4 Stadium HIV

Kultur Mtb

MPT64 Niasin Sputum BTA

LAM Urin Xpert Mtb/Rif

OAT ART MDR

TB

1 38 Pria 51 4 Negatif Negatif Negatif Positif ++++ Negatif Tidak Tidak Tidak

2 36 Wanita 160 3 Positif Positif Positif Positif Negatif Positif Tidak Tidak Tidak

3 50 Wanita 64 4 Positif Positif Positif Positif Negatif Positif Tidak Tidak Tidak

4 32 Pria 54 3 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

5 57 Wanita 197 3 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

6 29 Wanita 126 3 Negatif Negatif Negatif Negatif + Negatif Tidak Tidak Tidak

7 27 Pria 4 4 Positif Positif Positif Positif ++++ Positif Ya Tidak Tidak

8 25 Wanita 14 4 Positif Positif Positif Negatif ++ Positif Tidak Tidak Tidak

9 46 Wanita 94 3 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Ya Tidak

10 30 Wanita 107 3 Positif Positif Positif Positif ++ Positif Tidak Tidak Tidak

11 29 Pria 56 4 Positif Positif Positif Positif ++ Positif Tidak Tidak Tidak

12 41 Pria 21 4 Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

13 49 Pria 56 3 Positif Positif Positif Positif Negatif Positif Tidak Tidak Tidak

14 45 Pria 27 4 Positif Positif Positif Positif ++++ Positif Tidak Tidak Ya

15 35 Wanita 12 4 Positif Positif Positif Negatif Negatif Positif Tidak Tidak Tidak

16 33 Pria 4 4 Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

17 57 Pria 10 4 Positif Positif Positif Positif ++ Positif Tidak Ya Tidak

18 68 Pria 34 4 Negatif Negatif Negatif Negatif + Negatif Tidak Tidak Tidak

19 36 Pria 23 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

20 34 Wanita 15 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

21 59 Pria 4 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Ya Tidak Tidak

22 36 Pria 11 4 Negatif Negatif Negatif Negatif + Negatif Tidak Tidak Tidak

23 49 Pria 10 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Ya Ya Tidak

24 35 Pria 10 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

25 35 Pria 41 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak


(5)

27 37 Pria 4 4 Positif Negatif Negatif Negatif ++++ Negatif Tidak Tidak Tidak

28 31 Pria 28 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

29 23 Pria 15 4 Positif Positif Positif Negatif ++ Positif Tidak Tidak Tidak

30 51 Pria 22 4 Positif Positif Positif Negatif ++++ Positif Tidak Tidak Tidak

31 31 Wanita 3 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

32 25 Pria 2 4 Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

33 35 Pria 34 4 Negatif Negatif Negatif Negatif ++++ Positif Tidak Tidak Tidak

34 27 Pria 8 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

35 33 Pria 72 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

36 25 Pria 20 4 Positif Positif Positif Negatif +++ Positif Tidak Tidak Tidak

37 30 Pria 8 4 Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

38 21 Pria 3 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

39 45 Wanita 6 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

40 47 Wanita 5 4 Negatif Negatif Negatif Negatif + Negatif Tidak Tidak Tidak

41 58 Pria 18 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

42 79 Pria 80 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Ya Tidak Tidak

43 22 Wanita 10 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

44 42 Pria 50 4 Positif Positif Positif Positif ++ Positif Ya Ya Ya

45 26 Wanita 10 4 Positif Positif Positif Negatif Negatif Positif Tidak Tidak Tidak

46 27 Pria 68 3 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

47 33 Wanita 34 4 Positif Positif Positif Positif ++++ Positif Tidak Tidak Tidak

48 34 Pria 14 4 Positif Positif Positif Positif ++++ Positif Tidak Tidak Ya

49 45 Wanita 162 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Ya Tidak

50 51 Wanita 10 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

51 22 Wanita 64 4 Positif Positif Positif Negatif ++ Positif Tidak Tidak Tidak

52 21 Pria 21 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

53 46 Pria 46 3 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak


(6)

55 42 Pria 42 3 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

56 52 Wanita 25 4 Negatif Negatif Negatif Negatif + Negatif Tidak Tidak Tidak

57 29 Wanita 115 3 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

58 43 Pria 24 4 Positif Positif Positif Positif ++++ Positif Tidak Tidak Tidak

59 45 Pria 15 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

60 34 Pria 3 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak

61 56 Wanita 12 4 Positif Positif Positif Positif ++++ Positif Tidak Tidak Tidak

62 25 Pria 10 4 Positif Positif Positif Positif ++++ Positif Tidak Tidak Tidak

63 33 Pria 4 4 Positif Positif Positif Positif ++++ Positif Ya Tidak Ya

64 23 Pria 22 4 Positif Positif Positif Positif ++++ Positif Ya Tidak Ya

65 34 Wanita 4 4 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Tidak Tidak Tidak