PENGARUH LATIHAN FLEKSI WILLIAM TERHADAP SKALA NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA PENGRAJIN UKIRAN.

(1)

SKRIPSI

PENGARUH LATIHAN FLEKSI WILLIAM TERHADAP

SKALA NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA

PENGRAJIN UKIRAN

Studi Dilakukan di Banjar Puaya, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH:

OLEH:

NI LUH MADE DWI PADMA SARI NIM. 1102105026

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015


(2)

i

PENGARUH LATIHAN FLEKSI WILLIAM TERHADAP

SKALA NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA

PENGRAJIN UKIRAN

Studi Dilakukan di Banjar Puaya, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH:

OLEH:

NI LUH MADE DWI PADMA SARI NIM. 1102105026

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015


(3)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Ni Luh Made Dwi Padma Sari NIM : 1102105026

Fakultas : Kedokteran Program Studi : Ilmu Keperawatan

menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dpat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Denpasar, Juni 2015 Yang membuat pernyataan


(4)

(5)

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul

“Pengaruh Latihan Fleksi William terhadap Skala Nyeri Punggung Bawah pada Pengrajin Ukiran”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada:

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp. OT, M. Kes., sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF., sebagai ketua PSIK Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang memberikan pengarahan dalam proses pendidikan. 3. Ns. Ni Ketut Guru Prapti, S.Kep, MNS, sebagai pembimbing utama yang telah

memberikan bantuan sehingga dapat menyelesaikan proposal ini tepat pada waktunya.

4. Ns. Ni Made Dian S., S.Kep, M.Kep, Sp.Kep.J, sebagai pembimbing pendamping yang telah memberikan bantuan sehingga dapat menyelesaikan proposal ini tepat pada waktunya.

5. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan proposal ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan proposal ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis membuka diri untuk menerima segala saran


(7)

vi

dan kritik yang membangun. Akhirnya, semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Denpasar, Juni 2015


(8)

vii ABSTRAK

Sari, Ni Luh Made Dwi Padma. 2015. Pengaruh Latihan Fleksi William terhadap

Skala Nyeri Punggung Bawah pada Pengrajin Ukiran. Skripsi, Program

Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. Pembimbing (1) Ns. Ni Ketut Guru Prapti, S.Kep, MNS, (2) Ns. Ni Made Dian S., S.Kep, M.Kep, Sp.Kep.J.

Nyeri punggung bawah (NPB) merupakan gangguan muskuloskeletal yang paling sering dialami oleh pekerja khususnya pengrajin ukiran. Penatalaksanaan yang tepat untuk penderita NPB adalah dengan melakukan back exercise. Back

exercise memberikan manfaat signifikan terhadap penurunan kemampuan

fungsional dan NPB. Latihan Fleksi William merupakan salah satu back exercise yang dapat digunakan untuk menurunkan skala NPB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan Fleksi William terhadap skala nyeri punggung bawah pada pengrajin ukiran. Penelitian ini menggunakan rancangan quasi

experimental yaitu pretest-posttest with control group yang dilakukan terhadap 30

responden yang dipilih secara purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara lisan terhadap skala NPB dan karakteristik responden. Hasil penelitian pada 15 sampel kelompok perlakuan terdapat penurunan yang signifikan pada skala NPB, sedangkan pada kelompok kontrol tidak terdapat perubahan yang signifikan pada skala NPB antara pretest dan posttest. Berdasarkan hasil uji independent sample t-test terdapat perbedaan yang signifikan antara skala NPB posttest pada kedua kelompok dengan nilai p=0,000, yang berarti ada pengaruh latihan Fleksi William terhadap skala NPB pada pengrajin ukiran. Berdasarkan hasil temuan tersebut, maka disarankan kepada pemerintah dan tenaga kesehatan untuk mensosialisasikan program penatalaksanaan NPB melalui back exercise khususnya latihan Fleksi William sebagai latihan sehari-hari.


(9)

viii ABSTRACT

Sari, Ni Luh Made Dwi Padma. 2015. The Effect of William Flexion Exercise on

Low Back Pain Scale at Craftsman Carving. Undergraduate Thesis,

Nursing Department, Faculty Of Medicine, Udayana University. Advisor (1) Ns. Ni Ketut Guru Prapti, S.Kep, MNS, (2) Ns. Ni Made Dian S., S.Kep, M.Kep, Sp.Kep.J.

Low back pain (LBP) is the most common musculoskeletal disorders experienced by workers, especially craftsman carving. Appropriate treatment for low back pain is to do a back exercise. Back exercise provide significant benefits to a decrease in functional ability and low back pain. One of those back exercises that can be usefull to reduce low back pain is William Flexion exercise. The goal of this research is to determine the effect of William Flexion exercise on low back pain scale in craftsman carving. This research used a quasi-experimental design that pretest-posttest control group were conducted on 30 respondents that have been selected by purposive sampling method. Data collection was done through interviews of the low back pain scale and characteristics of respondents. The results of this research on 15 samples of the treatment group contained a significant reduction in the scale of low back pain, whereas in the control group there were no significant changes in the low back pain scale between pretest and posttest. Based on the independent sample t-test, this differences is statistically significant with a significance level of p = 0.000, it means there is an influence of William Flexion exercises on low back pain scale of craftsman carving. Based on those result, it is suggested to governments and health professionals to promote the management of low back pain program through a back exercise, especially William Flexion exercise as a daily exercise.


(10)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.1Rumusan Masalah ... 7

1.2Tujuan Penelitian ... 8

1.3Manfaat Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Pengrajin Ukiran 2.1.1Definisi ... 10

2.1.2Posisi dan Pola Kerja ... 10

2.1.3Masalah Kesehatan yang Sering Terjadi pada Pengrajin Ukiran... 11

2.2Nyeri 2.2.1Definisi ... 12

2.2.2Pengukuran Skala Nyeri ... 13

2.2.3Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri ... 14

2.2.4Reaksi terhadap Nyeri ... 16

2.2.5Penatalaksanaan Nyeri ... 19

2.3Nyeri Punggung Bawah (NPB) 2.3.1Definisi NPB ... 22

2.3.2Faktor Risiko Terjadinya NPB... 22

2.3.3Tanda dan Gejala... 28

2.3.4Klasifikasi NPB... 30

2.3.5Patofisiologi Terjadinya NPB ... 34


(11)

x

2.3.7Penatalaksanaan NPB ... 40

2.4Latihan Fleksi William 2.4.1Definisi ... 43

2.4.2Teknik Pelaksanaan Latihan Fleksi William ... 44

2.4.3Mekanisme Latihan Fleksi William dalam Menurunkan Nyeri .... 46

2.4.4Dosis Latihan ... 48

2.4.5Kontraindikasi ... 49

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1Kerangka Konsep ... 50

3.2Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 51

3.3Hipotesis Penelitian ... 53

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1Jenis Penelitian ... 54

4.2Kerangka Kerja ... 55

4.3Tempat dan Waktu Penelitian 4.3.1Tempat Penelitian ... 56

4.3.2Waktu Penelitian ... 56

4.4Populasi, Sampel dan Teknik Sampling Penelitian 4.4.1Populasi Penelitian ... 56

4.4.2Sampel Penelitian ... 56

4.4.3Teknik Sampling ... 58

4.5Jenis dan Cara Pengumpulan Data 4.5.1Jenis Data yang Dikumpulkan ... 58

4.5.2Cara Pengumpulan Data ... 59

4.5.3Instrumen Pengumpulan Data ... 61

4.5.4Etika Penelitian ... 62

4.6Pengolahan dan Analisa Data 4.6.1Teknik Pengolahan Data ... 63

4.6.2Teknik Analisis Data ... 65

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1Hasil Penelitian 5.1.1Kondisi Lokasi Penelitian ... 68

5.1.2Karakteristik Responden... 68

5.1.3Hasil Pengamatan terhadap Responden sesuai Variabel Penelitian 70 5.1.4Hasil Analisis Data Skala Nyeri Punggung Bawah ... 72


(12)

xi 5.2Pembahasan Hasil Penelitian

5.2.1Karakteristik Responden Penelitian ... 75 5.2.2Analisis Skala Nyeri Punggung Bawah Pretest pada Kelompok

Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 78 5.2.3Analisis Skala Nyeri Punggung Bawah Posttest pada Kelompok

Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 79 5.2.4Perbedaan Skala Nyeri Punggung Bawah Pretest dan Posttest

pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 80 5.2.5Perbedaan Skala Nyeri Punggung Bawah Posttest pada

Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 81 5.3Keterbatasan Penelitian ... 86 BAB VI PENUTUP

6.1Simpulan ... 87 6.2Saran... 88 DAFTAR PUSTAKA


(13)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 54 Tabel 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia pada Kelompok

Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Banjar Puaya Desa Batuan Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar Tahun 2015 ... 69 Tabel 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan pada

Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Banjar Puaya Desa Batuan Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar Tahun 2015 ... 69 Tabel 5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Bekerja dalam

Sehari pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Banjar Puaya Desa Batuan Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar Tahun 2015 ... 70 Tabel 5.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Skala Nyeri Punggung

Bawah Pretest pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Banjar Puaya Desa Batuan Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar Tahun 2015 ... 71 Tabel 5.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Skala Nyeri Punggung

Bawah Posttest pada Kelompok Perlakuan dan Kontrol di Banjar Puaya Desa Batuan Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar Tahun 2015 ... 71


(14)

xiii

Tabel 5.6 Hasil Uji Normalitas Shapiro Wilks Data Skala Nyeri Punggung Bawah Pretest dan Posttest pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 72 Tabel 5.7 Hasil Analisis Perbedaan Skala Nyeri Punggung Bawah Pretest

dan Posttest pada Kelompok Perlakuan di Banjar Puaya Desa

Batuan Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar Tahun 2015 .. 73 Tabel 5.8 Hasil Analisis Perbedaan Skala Nyeri Punggung Bawah Pretest

dan Posttest pada Kelompok Kontrol di Banjar Puaya Desa Batuan Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar Tahun 2015 .. 74 Tabel 5.9 Hasil Analisis Perbedaan Skala Nyeri Punggung Bawah Posttest

pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol di Banjar Puaya Desa Batuan Kecamatan Sukawati Kabupaten Gianyar Tahun 2015 ... 75


(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Skala Pengukuran Nyeri ... 14

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 50

Gambar 4.1 Desain Penelitian ... 54


(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Jadwal Kegiatan Penelitian Lampiran 2 : Biaya Penelitian

Lampiran 3 : Penjelasan Penelitian

Lampiran 4 : Surat Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 5 : Lembar Identitas Responden

Lampiran 6 : Instrument Pengumpulan Data Lampiran 7 : Prosedur Latihan Fleksi William Lampiran 8 : Tabel Induk Responden Penelitian Lampiran 9 : Hasil Analisis Karakteristik Resnponden Lampiran 10 : Hasil Uji Normalitas Data Penelitian Lampiran 11 : Hasil Analisis Data Penelitian Lampiran 12 : Leaflet Nyeri Punggung Bawah

Lampiran 13 :Surat Rekomendasi Melakukan Penelitian oleh Pemerintah Provinsi Bali

Lampiran 14 : Surat Ijin Penelitian, Survey, Studi Perbandingan, KKL/KKN, Kersos, PKL, Studi Wisata, Pengabdian Masyarakat oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar

Lampiran 15 : Surat Ijin Penelitian, Survey, Studi Perbandingan, KKL/KKN, Kersos, PKL, Studi Wisata, Pengabdian oleh Pemerintah Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar

Lampiran 16 : Surat Ijin Penelitian, Survey, Studi Perbandingan, KKL/KKN, Kersos, PKL, Studi Wisata, Pengabdian Masyarakat oleh


(17)

xvi

Pemerintah Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar

Lampiran 17 : Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Lampiran 18 : Lembar Konsultasi


(18)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

CT-scan : Computerized Tomography Scanner Depkes : Departemen Kesehatan

Disperindag : Dinas Perindustrian dan Perdagangan HNP : Hernia Neukleus Pulposus

IKAPI : Ikatan Penerbit Indonesia

ILO : International Labour Organization

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia LED : Laju Endap Darah

LGS : Lingkup Gerak Sendi

MRI : Magnetic Resonance Imaging NPB : Nyeri Punggung Bawah NRS : Numerical Rating Scale

NSAID : Non Steroid Anti-Inflamatory Drugs OAINS : Obat-Obatan Anti Inflamasi Non Steroid PAK : Penyakit Akibat Kerja

RI : Republik Indonesia RS : Rumah Sakit SD : Sekolah Dasar

SMA :Sekolah Menengah Atas SMP : Sekolah Menengah Pertama

TENS : Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation VAS : Visual Analog Scale


(19)

xviii VDS : Verbal Descriptor Scale WHO : World Health Organization


(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyelenggaraan kesehatan kerja merupakan salah satu upaya pembangunan kesehatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional. Adapun tujuan dari penyelenggaraan kesehatan kerja adalah untuk mewujudkan derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya, baik buruh, petani, nelayan, pegawai negeri, atau pekerja-pekerja bebas sehingga mampu meningkatkan produktivitas kerja. Upaya penyelenggaraan kesehatan kerja tersebut dilakukan secara menyeluruh melalui usaha-usaha preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif (Efendi & Makhfludi, 2009). Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan ketentuan mengenai kesehatan kerja dalam pasal 164 yang menyebutkan bahwa upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan (IKAPI, 2009).

Upaya kesehatan kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja. Hal ini dilaksanakan agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat disekelilingnya (Buchari, 2007). Kapasitas, beban, dan lingkungan kerja merupakan tiga komponen utama dalam kesehatan kerja. Hubungan interaktif dan serasi antara ketiga komponen tersebut akan menghasilkan kesehatan kerja yang baik dan optimal. Namun, jika kapasitas kerja tidak baik, beban kerja yang terlalu berat, dan kondisi lingkungan kerja yang tidak kondusif, dapat mengakibatkan


(21)

2

seorang pekerja menderita gangguan atau Penyakit Akibat Kerja (PAK) (Efendi & Makhfludi, 2009).

Menurut International Labour Organization (ILO) tahun 2007, setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh PAK serta kecelakaan kerja. Data tersebut juga menyebutkan bahwa terdapat 300.000 kematian yang terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian karena penyakit akibat kerja. Selain penyakit akibat kerja yang menyebabkan kematian, juga terdapat masalah kesehatan lain yang perlu mendapat perhatian antara lain ketulian, gangguan muskuloskeletal, gangguan reproduksi, penyakit jiwa, sistem syaraf dan sebagainya (Umami, Hartanti, & Dewi, 2009).

WHO dalam Depkes RI (2007) melaporkan bahwa faktor risiko pekerjaan memberikan kontribusi pada kejadian beberapa penyakit antara lain penyakit punggung atau gangguan muskuloskeletal (37%), kehilangan kemampuan pendengaran (16%), penyakit paru obstruksi kronis (13%), asma (11%), kecelakaan (10%), kanker paru (9%), leukemi (2%). Gangguan muskuloskeletal adalah gangguan pada bagian otot rangka yang disebabkan karena otot menerima tekanan dalam jangka waktu yang lama sehingga menyebabkan keluhan pada sendi, ligamen, dan otot (Umami, Hartanti, & Dewi, 2014: 73). Hal tersebut menunjukkan bahwa berbagai bagian tubuh dapat mengalami gangguan otot rangka dengan lokasi tersering pada pinggang (Depkes RI, 2007).

Nyeri Punggung Bawah(NPB) adalah salah satu gangguan otot rangka yang paling sering dialami oleh masyarakat (Rogers, 2006: 30). NPB merupakan nyeri dan ketidaknyamanan, yang terlokalisasi di bawah sudut iga terakhir (costal


(22)

3

margin) dan di atas lipat bokong bawah (gluteal inferior fold), dengan atau tanpa

nyeri pada tungkai (Smeltzer & Bare, 2005). Penyebab LBP yang paling umum adalah ketegangan otot atau postur tubuh yang tidak tepat. Hal-hal yang dapat mempengaruhi timbulnya NPB adalah kebiasaan duduk, bekerja membungkuk dalam waktu yang relatif lama, mengangkat dan mengangkut beban dengan sikap yang tidak ergonomis, tulang belakang yang tidak normal, atau akibat penyakit tertentu seperti penyakit degeneratif (Widyastuti, 2009).

Prevalensi NPB setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Kejadian NPB di Amerika Serikat dilaporkan terjadi sekitar 15% sampai 45% setiap tahunnya dan angka kejadian terbanyak didapatkan pada usia 35-55 tahun (Vira, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Putri, Saftarina, dan Wintoko (2009) diperoleh hasil yaitu dari 42 pekerja pembersih kulit bawang, 24 diantaranya pekerja yang bekerja dengan posisi duduk dan mengalami NPB. Penelitian yang dilakukan oleh Umami (2013) pada 36 pekerja batik tulis juga memberikan hasil yang sama yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara sikap kerja duduk dengan keluhan NPB.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zaki (2008) di Pulau Jawa dan Bali, ditemukan sebanyak 161 kasus NPB. Penelitian ini menunjukkan bahwa, responden yang melakukan aktivitas fisik berat (bekerja lebih dari lima jam) dalam jangka waktu yang lama memiliki risiko 2,03 kali untuk mengalami NPB dibandingkan dengan kelompok yang tidak melakukan aktivitas fisik berat. Menurut Soewarno (2005) dalam penelitiannya pada pengrajin ukiran kelongsong peluru di Kabupaten Klungkung, didapatkan hasil yaitu seluruh responden yang


(23)

4

bekerja dengan sikap paksa (posisi kerja duduk dan membungkuk) mengalami keluhan pada pinggang.

Bali sebagai daerah pariwisata mengakibatkan kebanyakan masyarakatnya bekerja disektor wiraswasta, salah satunya dengan menjual kerajinan tangan khas Bali seperti ukiran. Kabupaten Gianyar merupakan salah satu kabupaten dengan industri kerajinan terbesar di Bali. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Bali tahun 2013, jumlah industri agro jenis komoditi industri kerajinan kayu di Kabupaten Gianyar yaitu 286 unit dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 5335 orang. Desa Batuan merupakan salah satu desa dengan kerajinan ukiran yang terkenal di Kabupaten Gianyar. Sebagian besar masyarakat di Desa Batuan bekerja sebagai pengrajin ukiran. Posisi kerja yang dilakukan oleh pengrajin ukiran di daerah Gianyar sebagian besar dengan sikap kerja paksa, yaitu sikap kerja membungkuk dengan lutut menekuk dengan menyentuh dada, sehingga terjadi iklinasi kepala, dan leher condong ke depan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Risyanto (2008), posisi kerja yang tidak ergonomis akan meningkatkan risiko terjadinya NPB. Posisi tersebut akan menimbulkan kontraksi otot secara isometris (melawan tahanan) pada otot-otot utama yang terlibat dalam pekerjaan. Akibatnya beban kerja bertumpu di daerah pinggang dan menyebabkan otot pinggang sebagai penahan beban utama akan mudah mengalami kelelahan dan selanjutnya akan terjadi nyeri pada otot sekitar pinggang atau punggung bawah.

Sikap kerja paksa yang terlalu lama dapat menimbulkan keluhan atau gangguan pada sistem muskuloskeletal dan terjadi tekanan cukup besar pada


(24)

5

discus intervebralis sehingga dapat menimbulkan NPB (Radiawan, 2009). Sikap

kerja membungkuk dapat menyebabkan slipped disc, tekanan yang berlebih menyebabkan kerusakan pada sisi belakang dan penekanan pembuluh saraf. Posisi yang salah juga dapat mengakibatkan pengrajin ukiran mengalami skoliosis. Hal ini terjadi karena pengrajin selalu memposisikan tubuhnya ke arah yang lebih nyaman tanpa mempedulikan sikap tubuh normal (Kusiyono, 2004).

NPB apabila tidak dilakukan penanganan dengan baik akan berdampak negatif pada pekerjaan penderitanya. Diperkirakan dalam setahun, lebih dari 80 juta hari kerja produktif yang hilang karena gangguan kerja akibat NPB dengan kerugian finansial mencapai enam juta poundsterling pertahunnya (Zaki, 2008). Menurut Pratiwi, Setyaningsih, Kurniawan, dan Martini, (2009: 62) menyatakan bahwa dalam satu bulan rata-rata 23% pekerja tidak bekerja dengan benar dan absen kerja selama delapan hari karena NPB. NPB juga mengakibatkan penurunan produktivitas kerja sebesar 40%. Berdasarkan data tersebut, maka diperlukan suatu penanganan NPB yang tepat untuk menghilangkan nyeri yang dirasakan oleh perkerja. Penanganan tersebut juga diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap produktivitas kerja dari para pekerja.

Penatalaksanaan NPB dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara farmakologis dan nonfarmakologis. Secara farmakologis terdapat dua jenis obat-obatan bebas yang disarankan untuk mengurangi NPB, yaitu asetaminofen dan obat-obatan anti inflamasi non steroid (OAINS). Asetaminofen dimetabolisme oleh hepar, apabila mengkonsumsi lebih dari 1000 mg setiap empat jam (dosis maksimal yang dianjurkan), maka hepar akan berisiko mengalami kerusakan. Hal


(25)

6

ini terjadi karena dosis lebih tinggi tidak memberikan efek anti nyeri tambahan dan akan memperberat kerja hepar. Penggunaan OAINS dalam jangka waktu yang lama (enam bulan atau lebih) akan berdampak buruk pada ginjal, sehingga pasien memerlukan pemeriksaan darah secara rutin untuk mendeteksi tanda-tanda awal kerusakan ginjal. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan jika penatalaksanaan NPB dengan terapi farmakologis memiliki efek samping apabila digunakan dalam jangka waktu yang lama (Sa’adah, 2013).

Strategi utama untuk mengatasi keluhan muskuloskletal adalah tindakan non farmakologis, yang dapat dilakukan dengan cara exercise, memperbaiki postur tubuh, dan pengaturan nutrisi yang baik (Wulandari, 2005). Terapi non farmakalogis untuk mengurangi NPB dapat dilakukan dengan pemberian terapi pemanasan dalam (diatermi gelombang pendek, diatermi ultrasonik), elektroterapi, serta manipulasi atau traksi, sedangkan untuk memulihkan mobilitas lumbal, aktivitas fungsional, dan mengurangi nyeri diperlukan suatu program back

exercise (Kurniawan, 2004).

Berbagai metode back exercise telah dikembangkan, salah satunya adalah

william’s flexion exercise. Latihan Fleksi William merupakan suatu latihan yang ditujukan pada otot fleksor di daerah lumbosakral, khususnya muskulus abdominalis dan gluteus maksimus (Fisioterapi ID, 2011). Latihan ini meningkatkan stabilitas di daerah lumbal (mengurangi gaya kompresi pada sendi faset serta meregangkan (stretching) fleksor hip dan ekstensor lumbal), meningkatkan aliran darah ke kapiler, serta mengaktivasi pelepasan hormon endorfin dalam darah (Jiwa, 2012). Menurut penelitian yang dilakukan Sa’adah


(26)

7

(2013) yang berjudul “Pengaruh Latihan Fleksi William (Stretching) terhadap Tingkat Nyeri Punggung Bawah pada Lansia di Posyandu Lansia RW 2 Desa Kedungkandang Malang” dapat disimpulkan bahwa latihan Fleksi William mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penurunan tingkat nyeri punggung bawah pada lansia dengan nilai p < 0,05.

Studi pendahuluan yang dilakukan di Desa Batuan, didapatkan bahwa Banjar Puaya adalah daerah dengan jumlah pengrajin terbanyak di Desa Batuan. Mayoritas penduduk di banjar ini bekerja sebagai pengrajin ukiran, yaitu sekitar 80%. Hasil wawancara yang dilakukan pada 10 pengrajin ukiran, didapatkan data bahwa NPB merupakan keluhan yang paling sering dialami oleh pengrajin. Di mana delapan orang pengrajin (80%) menyatakan selalu mengalami nyeri pada area punggung bawah yang terjadi saat bekerja. Upaya yang dilakukan pengrajin untuk mengatasi NPB adalah dengan melakukan istirahat, namun cara ini belum mampu menurunkan nyeri yang dirasakan pengrajin. Rata-rata jam bekerja efektif pengrajin ukiran dalam sehari adalah dua sampai delapan jam.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh latihan Fleksi William terhadap skala nyeri punggung bawah pada pengrajin ukiran di Banjar Puaya, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka dapat dibuatkan rumusan masalah yaitu: Adakah pengaruh latihan Fleksi William terhadap skala


(27)

8

nyeri punggung bawah pada pengrajin ukiran di Banjar Puaya, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan Fleksi William terhadap skala nyeri punggung bawah pada pengrajin ukiran.

1.3.2Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik responden pada pengrajin ukiran (umur, pendidikan, dan lama bekerja dalam sehari).

b. Mengidentifikasi skala nyeri punggung bawah pada pengrajin ukiran sebelum diberikan intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

c. Mengidentifikasi skala nyeri punggung bawah pada pengrajin ukiran setelah diberikan intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

d. Menganalisis perbedaan skala nyeri punggung bawah pengrajin ukiran sebelum dan setelah diberikan intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

e. Menganalisis pengaruh latihan Fleksi William terhadap skala nyeri punggung bawah pada pengrajin ukiran setelah diberikan intervensi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.


(28)

9

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1Manfaat Praktis a. Bagi Masyarakat

Memberikan pengetahuan mengenai cara penanganan NPB yang dapat dilakukan di rumah secara mandiri guna mencegah penurunan produktivitas kerja pada pekerja khususnya pengrajin ukiran.

b. Bagi Rumah Sakit

Penelitian ini dapat digunakan bagi rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk mengembangkan program latihan Fleksi William bagi pasien nyeri punggung bawah serta dapat digunakan untuk menyusun SOP tentang pelaksanaan latihan Fleksi William pada pasien NPB.

c. Bagi Praktisi Keperawatan

Menjadi bahan pertimbangan dalam memilih modalitas terapi fisik yang bermanfaat bagi pemulihan aktivitas pasien dengan NPB.

1.4.2Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu keperawatan medikal bedah khususnya dalam perawatan NPB.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan latihan Fleksi William terhadap skala NPB pada pekerja.


(29)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengrajin Ukiran 2.1.1Definisi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengrajin adalah seseorang yang pekerjaannya atau profesinya membuat barang kerajinan (Departemen Pendidikan Nasional, 2005). Sedangkan pengrajin ukiran merupakan orang yang pekerjaan sehari-harinya menghasilkan barang-barang ukiran atau hiasan artistik (Radiawan, 2009).

2.1.2Posisi dan Pola Kerja

Sikap tubuh dalam beraktivitas merupakan sikap tubuh dalam keadaan pasif tanpa melakukan aktivitas atau pekerjaan. Sikap-sikap tubuh yang diaplikasikan pada pekerjaan disebut sikap kerja. Contoh sikap kerja yaitu sikap berdiri, berbaring, jongkok, dan duduk. (Radiawan, 2009).

Sikap seseorang dipengaruhi oleh empat faktor yaitu (Radiawan, 2009): a. Fisik, umur, jenis kelamin, ukuran antropometri, berat badan, kesegaran

jasmani, kemampuan gerakan sendi sistem musculoskeletal, tajam penglihatan, masalah kegemukan, riwayat penyakit.

b. Jenis keperluan tugas, pekerjaan memerlukan ketelitian, kekuatan tangan, ukuran tempat duduk, giliran tugas, waktu istirahat dan lain-lain.

c. Desain tempat kerja, seperti ukuran tempat duduk, ketinggian landasan kerja, kondisi bidang pekerjaan, dan faktor-faktor lingkungan.


(30)

11

d. Lingkungan kerja (environment): intensitas penerangan, suhu lingkungan, kelembaban udara, kecepatan udara, kebisingan, debu, dan getaran.

Berdasarkan empat faktor di atas, sikap kerja yang terjadi pada pengrajin ukiran adalah sikap bersila di lantai dan telapak kaki mencengkram benda, punggung agak membungkuk, dengan tangan kiri memegang pahat, dan yang kanan memegang palu kayu (pengotok). Pekerjaan mengukir yang selalu dilakukan di Banjar Puaya, Desa Batuan adalah sikap membungkuk dengan lutut menekuk dengan menyentuh dada, hal ini terjadi sikap yang memaksa terjadinya iklinasi kepala, tubuh condong ke depan. Sikap kerja paksa yang terlalu lama dapat menimbulkan keluhan pada sistem muskuloskeletal dan terjadi tekanan cukup besar pada diskus interverbralis sehingga menimbulkan NPB (Radiawan, 2009).

2.1.3Masalah Kesehatan yang Sering Terjadi pada Pengrajin Ukiran

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Depkes RI (2014) pada bulan Desember di wilayah Jabodetabek, pengrajin yang mengaku sakit selama 1 bulan terakhir sebanyak 43,55%. Pengrajin yang menderita gangguan saluran pernafasan sebesar 31,40%, dan keluhan terbanyak diderita adalah pegal linu yaitu sebesar 36,77%. Kecelakaan kerja selama 1 bulan terakhir dialami oleh 16.95% pengrajin, kebanyakan akibat terkena benda tajam 59,63%, mengenai anggota tubuh 94,49%, menyebabkan luka terbuka 64,22%, masih dapat bekerja 79,82%, ditanggulangi dengan pengobatan sendiri 68,81%.

Pekerjaan mengukir menimbulkan sikap paksa (membungkuk atau mendongak) selama bekerja. Sikap paksa ini mengakibatkan adanya keluhan


(31)

12

subjektif pada sistem otot rangka (muskuloskeletal). Pada penelitian yang dilakukan oleh Soewarno (2005) pada pengrajin Kelongsong Peluru di Kabupaten Klungkung diperoleh hasil yaitu 100%pengrajin mengalami keluhan pada leher, keluhan pada bahu kiri 33,3%, keluhan pada bahu kanan 66,6%, keluhan pada punggung 100%, keluhan pada pinggang 100%, dan keluhan pada pantat 66,6%.

Data tersebut menunjukkan bahwa keluhan pada leher terjadi karena tumpuan untuk menyangga berat kepala. Keluhan pada bahu terjadi karena tangan menahan beban pada saat bekerja, dimana tangan kanan lebih dominan digunakan dari tangan kiri, sehingga keluhan lebih dominan diderita adalah pada bahu kanan. Posisi duduk yang tidak ergonomis menimbulkan keluhan pada pinggang, pantat, dan punggung (Soewarno, 2005). Berdasarkan hal tesebut maka dapat disimpulkan bahwa sikap paksa (membungkuk) pada pengrajin ukiran sangat berpengaruh terhadap munculnya gangguan sistem otot rangka.

2.2 Nyeri 2.2.1Definisi

Nyeri merupakan suatu kondisi perasaan yang tidak nyaman disebabkan oleh stimulus tertentu. Stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang bersifat fisik, maupun mental. Nyeri bersifat subjektif, sehingga respon setiap orang tidak sama saat merasakan nyeri (Potter & Perry, 2006: 1502). Menurut Corwin (2009) nyeri adalah sensasi subyektif rasa tidak nyaman yang biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Nyeri dirasakan apabila reseptor nyeri spesifik teraktivasi. Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh. Nyeri sering dijelaskan dalam istilah proses


(32)

13

destruktif jaringan seperti ditusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, dirobek-robek dan atau suatu reaksi badan atau emosi (perasaan takut, mual, mabuk) (Fauci, et al, 2009).

2.2.2Pengukuran Skala Nyeri

Penilaian nyeri dapat menggunakan beberapa metode, yaitu secara subjektif dan objektif. Penilaian secara subjektif didasari oleh jawaban pasien secara langsung. Metode pemeriksaan ini merupakan indikator yang paling dipercaya untuk penilaian intensitas nyeri. Metode yang biasa digunakan untuk mengukur nyeri ada dua, yaitu unidimensi yang mempunyai satu variabel pengukur intensitas nyeri dan multidimensi. Metode multidimensi dapat dilakukan dengan mencatat pengalaman nyeri dan perilaku pasien, penggunaan gambar tubuh manusia dimana pasien diminta untuk menandainya sesuai dengan nyeri yang dialami, serta penggunaan skala wajah. Metode unidimensi meliputi pemeriksaan nyeri dengan menggunakan Verbal Ratting Scales (VRS), Numerical Rating Scale (NRS), Visual Analogue Scale (VAS). Metode sederhana ini biasa digunakan secara efektif di rumah sakit, klinik dan pada saat memberikan informasi mengenai nyeri (Wijayanti, 2014).

Skala nyeri nurmerik (Numerical Rating Scale/NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Skala tersebut paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik (Potter & Perry, 2006: 1519). Penilaian skala nyeri dengan NRS menggunakan skala 0 sampai 10, dimana 0 dideskripsikan sebagai tidak ada nyeri dan semakin meningkatnya skala nyeri, semakin meningkat pula sensasi nyeri yang dirasakan.


(33)

14

Skala Nyeri Deskriptif/Verbal Descriptor Scale (VDS)

Skala Nyeri Analog/Visual Analog Scale (VAS)

Skala Nyeri Numerik/Numerical Rating Scale (NRS)

Gambar 2.1 Skala Pengukuran Nyeri (Tamsuri, 2007)

2.2.3Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Menurut Potter dan Perry (2006: 1511-1515), faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri adalah sebagai berikut.

1) Usia

Usia sangat mempengaruhi pemahaman tentang nyeri. Toleransi terhadap nyeri meningkat sesuai dengan pertambahan usia, misalnya semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin bertambah pula pemahaman tentang nyeri dan usaha mengatasinya.

2) Jenis Kelamin

Umumnya, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin, misalnya menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak

Tidak ada nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri hebat Nyeri sangat hebat Nyeri paling hebat

Tidak ada nyeri Nyeri paling hebat


(34)

15

harus menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama. Toleransi nyeri sejak lama telah menjadi subjek penelitian yang melibatkan pria dan wanita. Akan tetapi, toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap individu, tanpa memperhatikan jenis kelamin.

3) Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka.

4) Makna Nyeri

Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan.

5) Perhatian

Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan yang dilakukan dengan memfokuskan perhatian dan konsentrasi pada stimulus lain dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.

6) Ansietas

Individu yang sehat secara emosional biasanya lebih mampu mentoleransi nyeri sedang hingga berat daripada individu yang memiliki status emosional


(35)

16

kurang stabil. Klien yang mengalami cedera atau menderita penyakit kronis, seringkali mengalami kesulitan mengontrol lingkungan dan perawatan diri dapat menimbulkan tingkat ansietas yang tinggi. Nyeri yang tidak kunjung hilang menyebabkan gangguan psikosis dan kepribadian.

7) Keletihan

Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka waktu yang lama.

8) Pengalaman Sebelumnya

Klien yang sudah pernah mengalami nyeri cenderung mampu untuk mengatasi nyeri yang dirasakan atau beradaptasi dengan nyeri yang dialami saat ini. 9) Gaya Koping

Nyeri dapat menyebabkan ketidakmampuan, baik sebagian maupun keseluruhan. Berbagai sumber koping yang dapat digunakan antara lain dengan dukungan dari keluarga, melakukan latihan atau menyanyi. Koping tersebut bermanfaat untuk mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu.

10)Dukungan Keluarga dan Sosial

Individu yang mengalami nyeri akan bergantung pada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau perlindungan.

2.2.4Reaksi Terhadap Nyeri

Reaksi terhadap nyeri menurut Potter & Perry (2006: 1508-1510) merupakan respons fisiologis dan perilaku yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri.


(36)

17

1) Respon Fisiologis

Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan

thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon

stress. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi flight atau fight yang merupakan sindrom adaptasi umum.

Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus menerus, berat, atau dalam, dan secara tipikal melibatkan organ-organ viseral (seperti nyeri pada infark miokard, kolik akibat kandung empedu atau batu ginjal), sistem saraf parasimpatis menghasilkan suatu reaksi. Respon fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan individu. Kecuali pada kasus-kasus nyeri traumatik yang berat, yang menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu mencapai tingkat adaptasi yaitu tanda-tanda fisik kembali normal. Dengan demikian klien yang mengalami nyeri tidak akan selalu memperlihatkan tanda-tanda fisik.

2) Respon Perilaku

Pada saat nyeri dirasakan, pada saat itu juga dimulai suatu siklus yang apabila tidak diobati atau tidak dilakukan upaya untuk menghilangkannya, dapat mengubah kualitas kehidupan individu secara bermakna. Menurut Meinhart dan McCaffery (1983) dalam Potter dan Perry (2006) mendeskripsikan 3 fase pengalaman nyeri antara lain:


(37)

18

a. Fase Antisipasi

Fase ini terjadi sebelum mempersepsikan nyeri. Seorang individu mengetahui nyeri akan terjadi. Fase antisipasi biasanya akan mempengaruhi dua fase lain. Antisipasi terhadap nyeri memungkinkan individu untuk belajar memahami nyeri dan mengontrol ansietas sebelum nyeri terjadi. Perawat berperan penting dalam membantu klien selama fase antisipatori. Penjelasan yang benar membantu klien memahami dan mengontrol ansietas yang mereka alami. Pada situasi klien merasa terlalu takut atau terlalu cemas, maka antisipasi terhadap nyeri dapat meningkatkan persepsi keparahan nyeri.

b. Fase Sensasi

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. Individu bereaksi terhadap nyeri dengan cara yang berbeda-beda. Toleransi individu terhadap nyeri merupakan titik yaitu terdapat suatu ketidakinginan untuk menerima nyeri dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama. Klien yang memiliki toleransi tinggi terhadap nyeri, mampu menahan nyeri tanpa bantuan. Seringkali seorang perawat harus mendorong pasien dengan karakteristik tersebut untuk menerima upaya-upaya mengatasi nyeri supaya aktivitas dan asupan nutrisinya tidak menurun secara drastis. Sebaliknya, seorang klien yang memiliki toleransi nyeri yang rendah dapat mencari upaya untuk menghilangkan nyeri sebelum nyeri terjadi. Misalnya seorang klien meminta aspirin dalam upaya untuk mengantisipasi nyeri kepala.


(38)

19

Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi wajah yang mengindikasikan nyeri meliputi menggerakkan gigi, memegang bagian tubuh yang terasa nyeri, postur tubuh membengkok, dan ekspresi wajah yang menyeringai. Seorang klien mungkin menangis atau mengaduh, gelisah, atau sering memanggil perawat.

c. Fase Akibat (Aftermath)

Fase akibat merupakan fase ketika nyeri berkurang atau berhenti. Setelah mengalami nyeri, klien mungkin memperlihatkan gejala-gejala fisik, seperti menggigil, mual, muntah, marah, atau depresi. Jika klien mengalami serangkaian episode nyeri yang berulang, maka respon akibat

(aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.

2.3.5Penatalaksanaan Nyeri

Menurut Potter dan Perry (2006) penanganan nyeri dapat dilakukan secara farmakologis dan dengan tindakan nonfarmakologis.

1) Terapi Nyeri Farmakologis

Analgesik merupakan metode yang paling umum digunakan untuk megatasi nyeri. Terdapat tiga jenis analgesic yang yang digunakan untuk mengatasi nyeri yaitu, analgesik non-narkotik dan OAINS, analgesik narkotik atau opiat, dan koanalgesik atau obat tambahan. Analgesik non-narkotik dan OAINS umumnya digunakan untuk menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang, seperti nyeri yang terkait dengan artritis rheumatoid, prosedur pengobatan gigi dan prosedur bedah minor, episiotomy, dan masalah pada punggung bawah. OAINS berkerja dengan


(39)

20

menghambat sintesis prostaglandin dan menghambat respon selular selama inflamasi.

Analgesik opiat atau narkotik umumnya diberikan pada nyeri sedang sampai berat, seperti nyeri pasca operasi dan nyeri maligna. Analgesik jenis ini bekerja pada system saraf pusat untuk menghasilkan kombinasi efek yang mendepresi dan menstimulasi. Koanalgesik atau analgesik tambahan diberikan untuk mengatasi cemas, meningkatkan kontrol nyeri atau mengatasi gejala lain yang menyertai nyeri, misalnya depresi dan mual. Agen koanalgesik diberikan dalam bentuk tunggal atau disertai analgesik. Obat sedatif juga merupakan salah satu contoh dari koanalgesik, dan digunakan untuk mengatasi nyeri kronik. Obat-obatan ini dapat menimbulkan rasa kantuk dan kerusakan koordinasi, dan kewaspadaan mental.

2) Tindakan Peredaan Nyeri Nonfarmakologis

Tindakan nonfarmakologis yang digunakan untuk mengatasi nyeri mencakup intervensi perilaku-kognitif dan penggunaan agen-agen fisik. Tujuan intervensi perilaku-kognitif adalah mengubah persepsi klien tentang nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberikan klien rasa pengendalian yang lebih besar. Agen-agen fisik bertujuan memberikan rasa nyaman, memperbaiki disfungsi fisik, mengubah respons fisiologis, dan mengurangi rasa takut yang terkait imobilisasi. Beberapa contoh teknik nonfarmakologis adalah sebagai berikut.


(40)

21

a. Distraksi

Distraksi adalah metode untuk mengalihkan perhatian pasien pada hal-hal yang lain sehingga pasien akan lupa terhadap nyeri yang dialami (Alfarini & Sukmasari, 2012). Distraksi mengalihkan perhatian klien ke hal lain dan dengan demikian menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri serta meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Distraksi bekerja memberikan pengaruh paling baik untuk jangka waktu yang singkat, untuk mengatasi nyeri intensif hanya berlangsung beberapa menit (Potter & Perry, 2006).

b. Biofeedback

Biofeedback merupakan terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi tentang respon fisiologis dan cara untuk melatih ontrol volunter terhadap respon tersebut. Terapi ini digunakan untuk menghasilkan relaksasi dalam dan sangat efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan migren (Potter & Perry, 2006).

c. Hipnosis Diri

Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif. Suatu pendekatan holistic, hypnosis diri menggunakan sugesti diri dan kesan tentang perasaan yang rileks dan damai. Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan stress karena individu berkonsentrasi hanya pada satu pikiran (Potter & Perry, 2006).

d. Stimulasi Kutaneus

Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri. Stimulasi ini akan menyebabkan pelepasan hormon


(41)

22

endorfin, sehingga memblok tranmisi stimulasi nyeri. Berdasarkan teori gate

control, stimulasi kutaneus mengantifkan transmisi serabut saraf sensori

A-beta yang lebih besar dan lebih cepat. Contoh dari stimulasi kutaneus yaitu masase, kompres dingan dan panas, dan stimulasi saraf elektrik transkutaneus (Potter & Perry, 2006).

2.3 Nyeri Punggung Bawah (NPB) 2.3.1Definisi NPB

NPB merupakan nyeri dan ketidaknyamanan, yang terlokalisasi di bawah sudut iga terakhir (costal margin) dan di atas lipat bokong bawah (gluteal inferior fold), dengan atau tanpa nyeri pada tungkai (Smeltzer & Bare, 2005). NPB adalah nyeri yang dirasakan daerah punggung bawah, dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikuler atau keduanya (Sadeli & Tjahjono, 2001 dalam Kantana, 2010). NPB adalah suatu sindroma nyeri yang terjadi pada regio punggung bagian bawah yang merupakan akibat dari berbagai sebab yaitu kelainan tulang punggung sejak lahir, trauma, perubahan jaringan, pengaruh gaya berat (Vira, 2009).

2.3.2Faktor Risiko Terjadinya NPB

Menurut Septiawan (2013), faktor risiko terjadinya NPB dibagi menjadi tiga yaitu sebagai berikut.


(42)

23

1) Faktor Personal a. Usia

Pada umumnya keluhan otot sekeletal mulai dirasakan pada usia kerja 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada usia 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur (Tarwaka, dkk 2004:120). Menurut Olviana, Saftarina, dan Wintoko (2013) pada usia ≥ 30 terjadi degenerasi yang berupa kerusakan jaringan, pergantian jaringan menjadi jaringan parut, pengurangan cairan.

b. Masa Kerja

Masa kerja menunjukkan lamanya seseorang terkena paparan di tempat kerja. Semakin lama masa kerja seseorang, semakin lama terkena paparan di tempat kerja sehingga semakin tinggi resiko terjadinya penyakit akibat kerja. Pekerja yang memiliki masa kerja lebih dari lima tahun memiliki tingkat resiko 7,26 kali lebih besar menderita nyeri punggung dibanding dengan yang memilki masa kerja kurang dari lima tahun (Septiawan, 2013: 21).

c. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarwaka, dkk (2004) didapatkan hasil bahwa jenis kelamin menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat risiko keluhan otot, di mana wanita lebih berisiko. Hal ini disebabkan karena wanita mempunyai kekuatan fisik tubuh yang lebih rendah dari laki-laki.


(43)

24

d. Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merokok menyebabkan penurunan pasokan oksigen dan berkurangnya oksigen dalam darah, sehingga seorang pekerja akan mudah merasa lelah. Hal tersebut juga menyebabkan pembakaran karbohidrat menjadi terhambat, terjadi penumpukan asam laktat, dan akhirnya menimbulkan nyeri otot (Latif, 2007; Septiawan, 2013; Tarwaka, dkk, 2004).

e. Berat Badan

Berat badan merupakan salah satu faktor ekspresi dari gaya hidup. Semakin tidak teratur gaya hidup dengan tidak mengontrol pola makan, semakin tinggi resiko terkena obesitas. Hal ini membawa konsekuensi akan meningkatnya resiko terkena penyakit-penyakit lain salah satunya adalah NPB (Purnamasari, Gunarso, & Rujito, 2010: 26-27). Kelebihan berat badan meningkatkan beban pada tulang belakang dan tekanan pada diskus, struktur tulang belakang, serta herniasi pada diskus lumbalis (Elders, 2007). Menurut Zamna (2007) seseorang dengan obesitas atau dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) > 25 kg/m2), memiliki risiko mengalami NPB.

f. Kebugaran Jasmani

Pekerja dengan kebugaran jasmani yang lemah akan berisiko mengalami cedera punggung. Menurut Jiwa (2012) dalam penelitian prospektif terhadap 1.652 pemadam kebakaran, didapatkan hasil bahwa frekuensi cedera yang dialami kelompok pekerja yang kurang bugar


(44)

25

sebanyak 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pekerja yang sebagian masih bugar. Jadi dapat disimpulkan, kebugaran jasmani berperan dalam mencegah terjadinya cedera punggung.

2) Faktor Pekerjaan a. Beban Kerja

Beban kerja adalah beban pekerjaan yang ditanggung oleh pelakunya baik fisik, mental, maupun sosial (Septiawan, 2013: 24). Penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2004) tentang hubungan antara beban kerja dengan keluhan punggung bawah (NPB) pada perawat RS. Roemani Semarang menunjukan adanya hubungan antara beban kerja dengan keluhan nyeri punggung bawah pada perawat RS. Roemani Semarang dengan nilai p = 0,003.

b. Lama Kerja

Lamanya seseorang bekerja sehari secara baik pada umumnya enam sampai delapan jam. Sisanya (16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan dalam keluarga atau masyarakat, istirahat, tidur, dan lain-lain. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan tersebut biasanya tidak disertai efisiensi yang tinggi, bahkan biasanya terlihat penurunan produktivitas serta kecenderungan untuk timbulnya kelelahan, penyakit, dan kecelakaan (Septiawan, 2013: 25). Menurut Kantana (2010), pengemudi yang bekerja selama lebih dari empat jam sehari, enam kali lebih beresiko absen dari pekerjaannya karena NPB daripada orang yang mengemudi kurang dari dua jam.


(45)

26

c. Sikap Kerja

Sikap kerja yang sering dilakukan oleh manusia dalam melakukan pekerjaan antara lain berdiri, duduk, membungkuk, jongkok, berjalan, dan lain-lain. Sikap kerja yang salah, canggung, dan di luar kebiasaan akan menambah resiko cidera pada bagian sistem muskuloskeletal (Astuti, 2007). Terdapat 3 macam sikap dalam bekerja, yaitu:

(1) Sikap Kerja Duduk

Posisi duduk pada otot rangka dan tulang belakang terutama pada pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari nyeri dan cepat lelah (Septiawan, 2013: 26). Tekanan tulang belakang akan meningkat dibanding berdiri atau berbaring, jika posisi duduk tidak benar dan akan semakin meningkat apabila saat duduk diikuti dengan posisi tubuh membungkuk (Santoso, 2004: 26).

(2) Sikap Kerja Berdiri

Sikap kerja berdiri merupakan salah satu sikap kerja yang sering dilakukan ketika melakukan sesuatu pekerjaan (Astuti, 2007). Sikap kerja berdiri merupakan sikap kerja yang posisi tulang belakang vertikal dan berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki. Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus menyebabkan penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki. Sikap kerja berdiri dapat menimbulkan keluhan subjektif dan juga kelelahan bila


(46)

27

sikap kerja ini tidak dilakukan bergantian dengan sikap kerja duduk (Septiawan, 2013: 27).

(3) Sikap Kerja Membungkuk

Membungkuk merupakan salah satu posisi yang tidak nyaman untuk diterapkan saat bekerja. Pada saat membungkuk tulang punggung bergerak ke sisi depan tubuh. Otot bagian perut dan sisi depan invertebratal disk pada bagian lumbar mengalami penekanan, sedangkan pada bagian ligamen sisi belakang dari invertebratal disk mengalami peregangan atau pelenturan. Kondisi ini akan menyebabkan rasa nyeri pada punggung bagian bawah (Astuti, 2007).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Samara (2005) tentang sikap membungkuk dan memutar selama bekerja sebagai faktor resiko nyeri punggung bawah menunjukan bahwa sikap kerja membungkuk memperbesar resiko nyeri punggung bawah sebesar 2,68 kali dibandingkan dengan pekerja dengan sikap badan tegak.

3) Faktor Lingkungan a. Tekanan

Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap (Tarwaka dkk, 2004:119).


(47)

28

b. Getaran

Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat, dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Tarwaka dkk, 2004:119).

2.3.3Tanda dan Gejala

Pasien biasanya mengeluh nyeri punggung akut maupun nyeri punggung kronis (berlangsung lebih dari enam bulan tanpa perbaikan) dan kelemahan. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya spasme otot paravertebralis (peningkatan tonus otot tulang postural belakang yang berlebihan) disertai hilangnya lengkungan lordotik lumbal yang normal dan mungkin ada deformitas tulang belakang. Bila pasien diperiksa dalam keadaan tengkurap, otot spinal akan relaksasi dan deformitas yang diakibatkan oleh spasme akan menghilang (Smeltzer & Bare, 2005).

Bila pasien menderita radikulopati (gangguan serabut saraf) atau nyeri punggung kronik, diperlukan pemeriksaan diagnostik multipel. Kadang-kadang dasar organik nyeri punggung tak dapat ditemukan. Kecemasan dan stress dapat membangkitkan spasme otot dan nyeri. Nyeri punggung bawah bisa merupakan manifestasi depresi atau konflik mental atau reaksi terhadap stressor lingkungan dan kehidupan (Smeltzer & Bare, 2005).

Menurut Tholib (2010), tanda dan gejala klinis dari NPB adalah sebagai berikut.


(48)

29

1) Nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai perasaan tidak menyenangkan dan merupakan pengalaman emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial atau dideskripsikan sebagai istilah adanya kerusakan jaringan. Nyeri pada NPB dirasakan akan bertambah saat melakukan aktivitas dan rasa kaku pada punggung bawah.

2) Spasme Otot

Pada pemeriksaan ditemukan kelainan yang ringan berupa spasme ringan pada otot-otot punggung bawah dan otot-otot perut serta gangguan pergerakan tulang belakang. Spasme otot biasanya mengenai m. erector

spine dan pada m. quadratus lumborum

3) Kelemahan Otot

Kekuatan otot-otot punggung menjadi menurun tergantung daerah nyeri dan dikarenakan adanya nyeri yang membatasi terjadinya gerakan yang akan dilakukan pasien, sehingga terjadi kecenderungan kelematan otot karena pasien enggan bergerak. Biasanya otot-otot yang mengalami kelemahan adalah m. quadratus lumborum.

4) Ganggung Fungsional

Terganggunya seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pengukuran kemampuan fungsional bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan terganggunya pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari.


(49)

30

2.3.4Klasifikasi NPB

NPB disebabkan oleh berbagai kelainan atau perubahan patologik yang mengenai berbagai macam organ atau jaringan tubuh. Klasifikasi NPB menurut Harsono (2009) adalah sebagai berikut.

1) NPB Viserogenik

NPB yang disebabkan oleh adanya proses patologik di ginjal atau visera di daerah pelvis serta tumor retroperitoneal. Nyeri viserogenik tidak bertambah berat dengan aktivitas tubuh dan sebaliknya tidak berkurang dengan istirahat. Penderita NPB viserogenik akan mangalami nyeri hebat dan untuk meredakan perasaan nyeri penderita akan menggeliat.

2) NPB Vaskulogenik

Aneurisma atau penyakit vascular perifer dapat menimbulkan nyeri punggung atau menyerupai iskalgia. Aneurisma abdominal dapat menimbulkan NPB di bagian dalam dan tidak ada hubungannya dengan aktivitas tubuh.

3) NPB Neurogenik

Merupakan keadaan patologi pada saraf yang menyebabkan NPB, yang terdiri dari:

a. Neoplasma

Neoplasma interkanalis spinal sering ditemukan adalah neurioma hemangloma, ependimoma, dan meningioma. Pada umumnya gejala pertama adalah rasa nyeri, kemudian timbul gejala neurologik yaitu gangguan motorik, sensibilitas dan vegetatif. Nyeri akan berkurang dengan berjalan.


(50)

31

b. Araknoditis

Pada araknoiditis terjadi perlengketan-perlengketan. Nyeri timbul bila terjadi penjepitan terhadap radiks oleh perlengketan tersebut.

c. Stenosis Kanalis Spinalis

Menyempitnya kanalis spinalis disebabkan oleh karena proses degenerasi diskus intervertebralis dan biasanya disertai oleh ligamentum. Gejala klinik yang timbul ialah adanya klauikasio intermiten yang disertai rasa kesemutan dan pada saat penderita istirahat maka rasa nyeri masih tetap ada. Bedanya dengan klausdikasio intermiten pada penyumbatan arteri ialah disini denyut nadi hilang dan tidak ada rasa kesemutan.

4) NPB Spondilogenik

NPB Spndilogenik ialah suatu nyeri yang disebabkan oleh berbagai proses patologik di kolumna vertebralis yang terdiri dari unsur tulang (osteogenik), diskus intervetebralis (diskogenik), miofasial (miogenik), dan proses patologik di artikulasio sakroiliaka.

a. NPB Osteogenik

NPB ini sering disebabkan oleh radang atau infeksi dan trauma. Radang atau infeksi misalnya osteomielitis vertebral dan spondilitis tuberkulosa, yang masih sering dijumpai meskipun jarang ditemui di daerah lumbal, karena predileksinya di daerah torakal. Trauma, yang dapat mengakibatkan fraktur maupun spondilolistesis (bergesernya korpus vertebra terhadap korpus vertebra dibawahnya).


(51)

32

b. NPB Diskogenik

(1) Spondilitis, disebabkan oleh proses degenarasi yang progresif pada diskus vertebralis, yang mengakibatkan menyempitnya jarak diantara vertebra sehingga menyebabkan terjadinya osteofit, penyempitan kanalis spinalis dan forameninter vertebrale, serta iritasi persendian posterior. Rasa nyeri spondilitis ini disebabkan oleh terjadinya osteoartritis dan tertekannya radiks oleh kantong durameter yang mengakibatkan iskemi dan radang.

(2) Hernia Neukleus Pulposus (HNP) ialah keadaan dimana nekleus purposes keluar menonjol untuk kemudian menekan ke arah kanalis spinal melalui annulus fibrosus yang robek. Penonjolan dapat terjadi di bagian lateral disebut HNP lateral, dapat pula terjadi dibagian tengah dan disebut HNP sentral. Dasar terjadinya HNP ini adalah proses degenarasi diskus intervertebralis, maka banyak terjadi pada usia pertengahan.

(3) Spondilitis ankilosa, proses ini biasanya mulai dari sendi sakroiliaka, yang kemudian menjalar ke atas. Gejala permulaan berupa rasa kaku di punggung bawah waktu bangun tidur dan hilang setelah mengadakan gerakan. Pada foto rontgen terlihat gambaran yang mirip dengan ruas-ruas bambu sehingga disebut bamboo spine

c. NPB miogenik, disebabkan oleh ketegangan otot, spame otot, defisiensi otot dan hipersensitif


(52)

33

(1) Ketegangan otot, disebabkan oleh sikap tegang yang konstan atau berulang-ulang pada posisi yang sama akan memendekkan otot, yang akhirnya akan menimbulkan perasaan nyeri. Keadaan ini tidak akan terlepas dari kebiasaan buruk atau sikap tubuh yang tidak atau kurang fisiologi.

(2) Spasme otot, disebabkan oleh gerakan yang tiba-tiba dimana jaringan otot sebelumnya dalam kondisi yang tegang atau kaku atau kurang pemanasan. Spasme otot ini memberikan gejala khas, ialah dengan adanya kontraksi otot yang disertai nyeri yang hebat. Setiap gerakan akan memperberat rasa nyeri sekaligus menambah kontraksi.

(3) Defisiensi otot, dapat disebabkan oleh kurang latihan sebagai akibat dari mekanisasi yang berlebihan, tirah baring yang terlalu lama maupun karena imobilisasi.

(4) Otot yang hipersensitif akan menciptakan satu daerah kecil apabila dirangsang akan menimbulkan rasa nyeri dan menjalar ke daerah tertentu (target area). Daerah kecil ini disebut noctah picu (tirgger point).

5) NPB Psikogenik

Nyeri jenis ini tidak jarang ditemui, tetapi biasanya ditemukan setelah dilakukan pemeriksaan yang lengkap dan hasilnya tidak memberikan jawaban yang pasti. Hal ini memang bersifat legeartis, dimana semua kemungkinan faktor organik tidak dapat dibuktikan sebagai faktor etiologi


(53)

34

NPB. NPB psikogenik pada umunya disebabkan oleh ketegangan jiwa atau kecemasan dan depresi atau campuran keduanya.

2.3.5Patofisiologi Terjadinya NPB

Kolumna vertebralis dapat dianggap sebagai sebuah batang elastik yang tersusun atas banyak unit rigid (vertebrae) dan unit fleksibel (diskus intervertebralis) yang diikat satu sama lain oleh kompleks sendi faset, berbagai ligamen dan otot paravertebralis. Kontruksi punggung yang unik tersebut memungkinkan fleksibilitas sementara di sisi lain tetap dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap sumsum tulang belakang. Lengkungan tulang belakang akan menyerap goncangan vertikal pada saat berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang belakang. Otot-otot abdominal dan toraks sangat penting pada aktivitas mengangkat beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung ini. Obesitas, masalah postur, masalah struktur, dan peregangan berlebihan pendukung tulang belakang dapat berakibat nyeri punggung (Smeltzer & Bare, 2005).

Diskus vertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah tua., Diskus terutama tersusun atas fibrokartilago dengan matriks gelatinus pada orang muda, kemudian akan menjadi kartilago yang padat dan tidak teratur pada saat lansia. Degenerasi diskus merupakan penyebab nyeri punggung yang biasa. Diskus lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1, menderita stres mekanis paling berat dan perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus (herniasi nukleus pulposus) atau kerusakan sendi faset dapat mengkibatkan penekanan pada saraf ketika keluar dari


(54)

35

kanalis spinalis, yang mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf tersebut (Smeltzer & Bare, 2005).

2.3.6Penetapan Diagnosis NPB

Menurut Huldani (2012), penetapan diagnosis NPB dibagi dalam beberapa tahap yaitu sebagai berikut.

A. Anamnesis

Dalam anamnesis NPB perlu diketahui: 1) Awitan

NPB yang disebabkan oleh faktor mekanis akan menimbulkan nyeri mendadak yang terjadi setelah posisi mekanis yang tidak ergonomis. Kondisi ini kemungkinan terjadi robekan otot, peregangan fasia atau iritasi permukaan sendi. Keluhan karena penyebab lain timbul secara bertahap.

2) Lama dan Frekuensi Serangan

NPB akibat faktor mekanik berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan, sedangkan herniasi diskus membutuhkan waktu delapan hari. Degenerasi diskus dapat menyebabkan rasa tidak nyaman kronik yang terjadi selama dua sampai empat minggu.

3) Lokasi dan Penyebaran

Kebanyakan NPB terjafi akibat gangguan mekanis, terutama di daerah lumbosakral. Nyeri yang menyebar ke tungkai bawah atau hanya di tungkai bawah mengarah ke iritasi akar saraf. Nyeri yang menyebar ke tungkai juga dapat disebabkan peradangan sendi sakroiliaka. Nyeri psikogenik tidak mempunyai pola penyebaran yang tetap.


(55)

36

4) Faktor yang Memperberat atau Memperingan

Pada lesi mekanis, keluhan berkurang saat istirahat dan bertambah saat aktivitas, sedangkan pada penderita HNP duduk dengan posisi membungkuk akan memperberat nyeri. Batuk, bersin atau manuver valsava akan memperberat nyeri. Pada penderita tumor, nyeri lebih berat atau menetap jika berbaring.

5) Kualitas atau Intensitas

Penderita diminta untuk menggambarkan intensitas nyeri serta dapat membandingkannya dengan berjalannya waktu. Bila nyeri punggung lebih berat daripada nyeri tungkai, tidak menunjukkan adanya suatu kompresi radiks dan tidak memerlukan tindakan operatif. Gejala nyeri punggung yang sudah lama dan intermiten, diselingi oleh periode tanpa gejala merupakan gejala khas dari suatu NPB yang terjadinya secara mekanis. Suatu tindakan atau gerakan yang mendadak dan berat, yang berhubungan dengan pekerjaan, bisa menyebabkan suatu NPB, namun sebagian besar episode herniasi diskus terjadi setelah suatu gerakan yang relatif sederhana, seperti membungkuk atau memungut barang yang ringan. Gerakan-gerakan yang dapat menyebabkan bertambahnya nyeri NPB, yaitu duduk dan mengendarai mobil. Nyeri akan berkurang bila tiduran (bed rest) atau berdiri, dan setiap gerakan yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdominal akan memperberat nyeri. Nyeri juga dapat disebabkan oleh faktor nonmekanik. Nyeri pada malam hari bisa merupakan suatu peringatan, karena bisa menunjukkan adanya suatu kondisi keganasan ataupun infeksi.


(56)

37

B. Pemeriksaan Fisik 1) Inspeksi

Gerakan aktif pasien harus dinilai, diperhatikan gerakan mana yang membuat nyeri dan juga bentuk kolumna vertebralis, berkurangnya lordosis serta adanya skoliosis. Berkurang sampai hilangnya lordosis lumbal dapat disebabkan oleh spasme otot paravertebral.

Gerakan-gerakan yang perlu diperhatikan pada penderita: a. Keterbatasan gerak pada salah satu sisi atau arah.

b. Ekstensi ke belakang (back extension) seringkali menyebabkan nyeri pada tungkai bila ada stenosis foramen intervertebralis di lumbal dan artritis lumbal. Gerakan ini akan menyebabkan penyempitan foramen sehingga menyebabkan suatu kompresi pada saraf spinal fleksi ke depan (forward

flexion) yang secara khas akan menyebabkan nyeri pada tungkai bila ada

HNP. Hal ini terjadi akibat ketegangan pada saraf yang terinflamasi di atas suatu diskus protusio sehingga meningkatkan tekanan pada saraf spinal tersebut dengan cara meningkatkan tekanan pada fragmen yang tertekan di sebelahnya (jackhammer effect).

c. Lokasi dari HNP dapat ditentukan bila pasien disuruh membungkuk ke depan, ke lateral kanan dan kiri. Fleksi ke depan, ke suatu sisi atau ke lateral yang meyebabkan nyeri pada tungkai yang ipsilateral menandakan adanya HNP pada sisi yang sama.

d. Nyeri pada ekstensi ke belakang pada seorang dewasa muda menunjukkan kemungkinan adanya suatu spondilolisis atau spondilolistesis.


(57)

38

2) Palpasi

Adanya nyeri (tenderness) pada kulit menunjukkan adanya kemungkinan suatu keadaan psikologis di bawahnya (psychological overlay). Pemeriksaan ini dapat menentukan letak segmen yang menyebabkan nyeri dengan memberi tekanan pada ruangan intervertebralis atau dengan cara menggerakkan prosesus spinosus ke kanan ke kiri sambil melihat respons pasien. Spondilolistesis yang berat dapat diketahui dengan cara meraba adanya ketidakrataan (step-off) di tempat yang terkena. Penekanan dengan ibu jari pada prosesus spinosus dilakukan untuk mencari adanya fraktur pada vertebra.

3) Pemeriksaan Motoris

Pemeriksaan ini dilakukan dengan membandingkan kedua sisi untuk menemukan abnormalitas motoris dan memperhatikan miotom yang mempersarafinya.

4) Pemeriksaan Sensorik

Pemeriksaan sensorik akan sangat subjektif karena membutuhkan perhatian dari penderita dan tak jarang keliru, tapi tetap penting arti diagnostiknya dalam membantu menentukan lokalisasi lesi HNP sesuai dermatom yang terkena. Gangguan sensorik lebih bermakna dalam menunjukkan informasi lokalisasi dibanding motoris.

5) Tanda-Tanda Rangsangan Meningeal a. Tanda Laseque

Menunjukkan adanya ketegangan pada saraf spinal khususnya L5 atau S1 (Huldani, 2012). Tes ini dilakukan dengan cara meluruskan


(58)

39

kedua kaki kemudian mengangkat satu tungkai secara lurus (straight leg

raising) dengan fleksi pada sendi panggul. Tanda Laseque bernilai

positif apabila dirasakan nyeri di sepanjang bagian belakang saat tungkai diangkat. Tes ini positif pada penderita HNP (Muttaqin, 2008). Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri sepanjang n. ischiadicus (Juwono, n.d).

b. Tanda Laseque Kontralateral (Contralateral Laseque Sign)

Dilakukan dengan cara yang sama, namun bila tungkai yang tidak nyeri diangkat akan menimbulkan suatu respons yang positif pada tungkai kontralateral yang sakit dan menunjukkan adanya suatu HNP.

C. Pemeriksaan Penunjang 1) Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin, dilihat laju endap darah (LED) dan morfologi darah tepi (mengidentifikasi infeksi atau mieloma), kalsium, fosfor, asam urat, alkali fosfatase, asam fosfatase, antigen spesifik prostat (jika ada kecurigaan metastasis karsinoma prostat), elektroforesis protein serum (protein mieloma), dalam kasus khusus, dapat dilakukan tes tuberculin atau tes Brucella, dan tes faktor rheumatoid.

2) Pemeriksaan Radiologis

Foto rontgen pada posisi anteroposterior, lateral, dan oblique dilakukan untuk pemeriksaan rutin NPB dan sciatica. Gambaran radiologis sering terlihat normal atau kadang-kadang dijumpai penyempitan ruang diskus intervertebral, osteofit pada sendi faset, penumpukan kalsium pada vertebrae,


(59)

40

pergeseran korpus vertebrae (spondilolistesis), dan infiltasi tulang oleh tumor. Penyempitan ruangan intervertebral serta dapat terlihat bersamaan dengan suatu posisi yang tegang dan melurus dan suatu skoliosis akibat spasme otot paravertebral.

CT scan adalah sarana diagnostik yang efektif bila vertebra dan status neurologis telah jelas dan kemungkinan karena kelainan tulang. MRI (akurasi 73-80%) biasanya digunakan saat vertebra dan level neurologis belum jelas, kecurigaan kelainan patologis pada medula spinalis atau jaringan lunak, untuk menentukan kemungkinan herniasi diskus post operasi, kecurigaan karena infeksi atau neoplasma.

Menurut Alfred (2013), gejala-gejala riwayat medis, dan hasil pemeriksaan fisik dapat diperkirakan penyebab NPB. Pada pemeriksaan fisik, penderita dapat diminta untuk bergerak dengan cara tertentu untuk memastikan jenis nyeri. Jika penyebab nyeri pada NPB adalah ketegangan otot, maka tidak diperlukan pemeriksaaan tambahan untuk mendiagnosa. Jika diduga penyebab NPB oleh sebab lain, maka diperlukan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosa nyeri.

2.3.7Penatalaksanaan NPB

Menurut Harsono (2009), penatalaksanaan NPB dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap konservatif dan operatif.

1) Terapi Konservatif

Cara konservatif meliputi bed rest (tirah baring), medikamentosa dan fisioterapi.


(60)

41

a. Bed Rest

Penderita harus tetap berbaring di tempat tidur selama beberapa hari dengan sikap tertentu. Tempat tidur tidak boleh memakai pegas atau peer. Tempat tidur harus dari papan yang lurus dan ditutup dengan lembar busa tipis. Tirah baring ini sangat bermanfaat untuk nyeri punggung mekanik akut, fraktur, dan HNP. Pada HNP sikap terbaring paling banyak ialah dalam posisi setengah duduk dimana tungkai dalam sikap fleksi pada sendi panggul atau lutut. Lama tirah baring bergantung pada berat ringannya gangguan yang dirasakan penderita.

b. Mendikamentosa

Ada dua jenis obat dalam tatalaksana NPB ini, ialah obat yang bersifat simptomatik dan yang bersifat kausal. Obat-obat simptomatik antara lain: salisilat, paracetamol, kortikosteroid, anti-inflamasi non steroid (AINS), antidepresan, diazepam, dan klordiasepoksid. Obat-obatan kausal misalnya antituberkulosis, antibiotika untuk spondilitis piogenik, nukleolisis misalnya khimopapain, kolagenase (untuk HNP).

c. Fisioterapi

Biasanya dalam bentuk diatermi (pemanasan dengan jangkauan permukaan yang lebih dalam) misalnya pada HNP, trauma mekanik akut, serta traksi pelvis untuk relaksasi otot dan mengurangi lordosis.

(1) Terapi Panas

Terapi menggunakan kantong dingin-kantong panas. Dengan menaruh sebuah kantong dingin di tempat daerah punggung yang terasa nyeri atau


(61)

42

sakit selama 5-10 menit. Jika selama dua hari atau 48 jam rasa nyeri masih terasa gunakan heating pad (kantong hangat).

(2) Elektro Stimulus (3) Akupuntur

(4) Traction, helaan atau tarikan pada badan (punggung) untuk kontraksi otot

(5) Ultrasound

(6) Radiofrequency Lesioning, dengan menggunakan impuls listrik untuk

merangsang saraf, seperti :

a) Spinal Endoscopy, dengan memasukkan endoskopi pada kanalis spinalis untuk memindahkan atau menghilangkan jaringan scar.

b) Percutaneous Electrical Nerve Stimulation (PENS).

c) Elektro Thermal Disc Decompression

d) Trans Cutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS), menggunakan

alat dengan tegangan kecil. (7) Alat Bantu

a) Back corsets.

Penggunaan penahan pada punggung sangat membantu untuk mengatasi NPB yang dapat membungkus punggung dan perut.

b) Tongkat jalan.

(8) Back Exercise

Back exercise mempunyai manfaat untuk memperkuat otot-otot perut dan

otot-otot punggung sehingga tubuh dalam keadaan tegak secara fisiologis.


(62)

43

yang relatif lama akan meningkatkan kekuatan otot secara aktif sehingga disebut stabilisasi aktif. Peningkatan kekuatan otot juga mempunyai efek peningkatan daya tahan tubuh terhadap perubahan gerakan atau pembebanan secara statis dan dinamis. Contoh back exercise yaitu latihan Fleksi William (latihan penguatan otot-otot fleksor) dan latihan Mc Kenzis (latihan penguatan otot-otot ekstensor) (Dachlan, 2009).

2) Terapi Operatif

Pada dasarnya terapi operatif dikerjakan apabila dengan tindakan konservatif selama tiga sampai minggu tidak memberikan hasil yang nyata atau terhadap kasus fraktur yang langsung mengakibatkan defisit neurologis, ini memerlukan tindakan segera (cito). Defisit neurologis yang dapat diketahui adalah gangguan fungsi otonom dan paraplegia. Pada kasus HNP, tindakan operatif perlu dikerjakan apabila terapi konservatif tidak memberi hasil atau kambuh berulang-ulang, atau telah terjadi defisit neurologik (Harsono, 2009).

2.4 Latihan Flexi William 2.4.1Definisi

William Flexion Exercise adalah suatu latihan yang ditujukan pada otot

fleksor pada daerah lumbosakral, khususnya m. abdominalis dan gluteus maksimus (Fisioterapi ID, 2011). Latihan Fleksi William salah satu bentuk latihan yang bertujuan mengurangi nyeri punggung bawah. Caranya adalah dengan menguatkan (strengthening) otot-otot abdomen dan gluteus maksimus, serta mengulur (stretching) otot-otot ekstensor punggung. Bentuk latihannya berupa fleksi lumbosakral (Dachlan, 2009).


(1)

2.4.2Teknik Pelaksanaan Latihan Flexi William

Latihan metode william (William Felxion) menurut Posture Committee of

the American Academy of Orthopaedic Surgery dalam Sa’adah (2013) dan

Priyambodo (2008) yaitu: 1) Gerakan Satu (Pelvic Tilting)

Posisi awal: tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk, dan kedua kaki rata pada permukaan matras.

Gerakan: ratakan pinggang dengan menekankan pinggang ke dasar lantai atau matras dengan cara mengkontraksikan otot-otot perut dan otot pantat, kontraksi otot dilakukan selama delapan hitungan (ulangi empat kali)

Tujuan dari gerakan ini adalah penguluran otot-otot ekstensor trunk, mobilisasi sendi panggul, dan penguatan otot-otot perut.

2) Gerakan Dua (Partial Sit-Up)

Posisi awal: posisi tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk, dan kedua kaki rata pada permukaan matras.

Gerakan: pasien mengkontraksikan otot perut dan memfleksikan kepala sehingga dagu menyentuh dada dan bahu terangkat dari matras. Gerakan dilakukan selama delapan hitungan (delapan detik) dengan empat kali pengulangan.

Tujuan: penguluran otot-otot ekstensor trunk, penguatan otot-otot perut, dan otot sternokleidomastoideus.


(2)

3) Gerakan Tiga (Single Knee to Chest)

Posisi awal: posisi tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk, dan kedua kaki rata pada permukaan matras.

Gerakan: memfleksikan satu lutut ke arah dada sejauh mungkin, kemudian kedua tangan mencapai paha belakang dan menarik lutut ke dada. Pada waktu besamaan angkat kepala hingga dagu menyentuh dada dan bahu lepas dari matras. Latihan diulangi pada tungkai yang lain, setiap gerakan dilakukan dan ditahan selama delapan hitungan (delapan detik) dengan empat kali pengulangan.

Tujuan: merapatkan lengkungan pada lumbal, penguluran otot-otot ekstensor trunk, sendi panggul, sendi sakroiliaka, dan otot-otot hamstring.

4) Gerakan Empat (Double Knee to Chest)

Posisi awal: posisi tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk, dan kedua kaki rata pada permukaan matras.

Gerakan: memfleksikan kedua lutut ke arah dada sejauh mungkin, kemudian kedua tangan mencapai paha belakang dan menarik lutunya ke dada. Pada waktu besamaan angkat kepala hingga dagu menyentuh dada dan bahu lepas dari matras. Gerakan ditahan selama delapan hitungan (delapan detik) dengan empat kali pengulangan.

Tujuan: merapatkan lengkungan pada lumbal, penguluran otot-otot ekstensor trunk, sendi panggul, sendi sakroiliaka, dan otot-otot hamstring.


(3)

5) Gerakan Lima

Posisi awal: posisi start awal saat akan berlari

Gerakan: memfleksikan satu tungkai dalam fleksi maksimal pada sendi lutut dan paha, sedang tungkai yang lain dalam keadaan lurus di belakang. Posisi kepala terangkat hingga pandangan ke depan, otot-otot perut ditekan pada paha dengan mengkontraksikan otot-otot punggung. Kemudian pada posisi tersebut tekan badan ke depan dan ke bawah, setiap gerakan dilakukan dan ditahan selama delapan hitungan (delapan detik) dengan empat kali pengulangan.

Tujuan: mengulur atau stretching otot-otot fleksor hip dan fascia latae.

6) Gerakan Enam (Wall Squat)

Posisi awal: berdiri menempel dan membelakangi dinding dengan tumit 10-15 cm di depan dinding, lumbal rata dengan dinding.

Gerakan: satu tungkai melangkah ke depan tanpa merubah posisi lumbal pada dinding hingga sendi lutut membentuk sudut 90o dan dengan

mengkontraksikan otot-otot perut, tahan delapan hitungan dan ulangi sebanyak empat kali

Tujuan: penguatan otot quadriceps, otot perut, ekstensor trunk.

2.4.3Mekanisme Latihan Fleksi William dalam Menurunkan Nyeri

Prinsip dari latihan Fleksi William adalah untuk mengurangi nyeri punggung bawah dan membentuk stabilitas batang tubuh bagian bawah (Wahyuni, 2012). Latihan ini mengurangi tekanan oleh beban pada sendi faset (articular


(4)

weight-bearing stress), meregangkan otot dan fasia (meningkatkan ekstensibilitas jaringan lunak) di daerah dorsolumbal, serta bermanfaat untuk mengoreksi postur tubuh yang salah (Kurniawan, 2004).

Latihan fleksi ini juga meningkatkan stabilitas di dearah lumbal karena secara aktif melatih otot-otot abdominal, gluteus maximus, dan hamstring. Latihan fleksi akan meningkatkan tekanan intra abdominal yang mendorong kolumna vertebralis lumbal dan mengurangi tekanan pada diskus intervertebralis. Secara teoritis, latihan fleksi ini dapat membantu mengurangi nyeri dengan cara mengurangi gaya kompresi pada sendi faset, serta meregangkan (stretching) fleksor hip dan ekstensor lumbal. (Kurniawan, 2004)

Gerakan-gerakan pada terapi latihan Fleksi William juga dapat membuka foramen intervertebralis, meregangkan struktur ligamen dan distraksi sendi apophyseal. Gerakan pelvic tilt berfungsi untuk menguatkan otot-otot penyokong di sekitar punggung bawah terutama otot-otot abdomen. Gerakan pelvic tilt juga memberi sedikit efek massage pada punggung sehingga dapat mengurangi spasme otot. Gerakan selanjutnya dari latihan Fleksi William adalah single and double

knee to chest berfungsi untuk meregangkan otot-otot punggung bawah. Partial sit

up bertujuan untuk mengurangi lordosis lumbal (Wahyuni, 2012).

Mekanisme pengurangan nyeri sendiri berasal dari gerakan yang disadari yang dilakukan secara perlahan dan berirama. Gerakan tersebut dilihat dari sistem neurofisiologis, yang akan menstimulasi afferent (serabut saraf sensoris) berpenampang tebal untuk menghambat aktivasi reseptor nyeri (nociceptor).


(5)

Gerak yang dilakukan juga dapat membantu memberikan “pumping action” sehingga aliran darah menjadi lancar dan nyeri akan berkurang.

Mekanisme latihan Fleksi William dalam peningkatan kekuatan otot didapatkan dari gerak aktif yang dilakukan akan meningkatkan kekuatan otot karena gerakan tubuh selalu disertai oleh kontraksi otot. Apabila tahanan diberikan pada otot yang berkontraksi, otot akan beradaptasi dan memaksa otot bekerja, sehingga bergerak untuk melawan gerakan tersebut dan secara tidak langsung kekuatan otot akan meningkat. Hal ini juga didukung dengan adanya pengurangan nyeri, maka kerja otot untuk berkontraksi semakin kuat (Safitri, 2009).

2.4.4Dosis Latihan

Dosis latihan dinyatakan dalam jumlah repetisi dan durasi tiap sesi latihan, intensitas (bila menggunakan tahanan atau beban), frekuensi (berapa kali dalam seminggu) dan lamanya atau periode latihan. Untuk meningkatkan mobilitas atau fleksibilitas lumbal pada pasien-pasien dengan NPB, tidak dibutuhkan latihan dengan peningkatan tahanan atau dengan pemberian tahanan yang besar, melainkan dengan latihan peningkatan ROM bertahap atau dengan latihan

stretching (meningkatkan ROM dengan mengulur struktur jaringan lunak (otot

dan tendon)). Latihan peningkatan mobilitas dapat dilakukan latihan sebanyak tiga sampai lima repetisi setiap sesi latihan, durasi latihan selama 15-30 menit, dalam sehari satu sampai sesi latihan, dan frekuensi latihan tiga kali dalam seminggu. Evaluasi dapat dilakukan setelah dua sampai empat minggu menjalani progam latihan (Kurniawan, 2004). Waktu yang efektif digunakan untuk melakukan


(6)

latihan adalah pada sore hari, karena otot-otot tubuh cenderung sudah hangat akibat aktivitas sebelumnya, fleksibel, dan tidak kaku, sehingga risiko cedera dapat diturunkan (Jiwa, 2012).

2.4.5Kontraindikasi

Kontraindikasi dari latihan fleksi punggung ini adalah instabilitas atau hipermobilitas segmental dari kolumna vertebralis lumbal, misalnya pada keadaan spondilolistesis, spondilolitis, herniasi diskus, peningkatan nyata dari nyeri punggung bawah, penjalaran nyeri ke tungkai bawah (nyeri radikuler). Karena latihan fleksi punggung ini meningkatkan tekanan intra abdominal, maka sebaiknya latihan fleksi dihindari oleh pasien dengan gangguan kardiovaskuler, seperti hipertensi yang tidak terkontrol, riwayat infark miokard akut, dan riwayat stroke (Jiwa, 2012).


Dokumen yang terkait

PENGARUH CORE STABILITY DAN WILLIAM EXERCISE TERHADAP PENURUNAN NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA KULI Pengaruh Core Stability Dan William Exercise Terhadap Penurunan Nyeri Punggung Bawah Pada Kuli Panggul Beras Di Daerah Jati Kurung Kabupaten Karanganyar.

0 2 13

PENGARUH CORE STABILITY DAN WILLIAM EXERCISE TERHADAP PENURUNAN NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA KULI Pengaruh Core Stability Dan William Exercise Terhadap Penurunan Nyeri Punggung Bawah Pada Kuli Panggul Beras Di Daerah Jati Kurung Kabupaten Karanganyar.

0 2 13

PENGARUH CORE STABILITY EXERCISE TERHADAP PENGURANGAN NYERI PUNGGUNG BAWAH MYOGENIC Pengaruh Core Stability Exercise Terhadap Pengurangan Nyeri Punggung Bawah Myogenic Pada Pengrajin Batik Tradisional PT. Danar Hadi Surakarta.

0 3 17

PENGARUH CORE STABILITY EXERCISE TERHADAP PENURUNAN NYERI PUNGGUNG BAWAH MYOGENIC PADA PENGRAJIN BATIK Pengaruh Core Stability Exercise Terhadap Pengurangan Nyeri Punggung Bawah Myogenic Pada Pengrajin Batik Tradisional PT. Danar Hadi Surakarta.

0 3 15

PENGARUH HYDROTHERAPY EXERCISE DAN WILLIAM’S Pengaruh Hydrotherapy Exercise Dan William’s Flexion Exercise Terhadap Nyeri Punggung Bawah.

0 1 16

PENDAHULUAN Pengaruh Hydrotherapy Exercise Dan William’s Flexion Exercise Terhadap Nyeri Punggung Bawah.

0 1 4

PENGARUH LATIHAN PILATES TERHADAP KEMAMPUAN FUNGSIONAL PADA PASIEN NYERI PUNGGUNG BAWAH Pengaruh latihan pilates terhadap kemampuan fungsional pada pasien nyeri punggung bawah kronik akibat spondyloarthrosis lumbalis di rs. dr. soeradji tirtonegoro kla

1 1 15

PENGARUH WILLIAM FLEXION EXERCISE DAN CORE Pengaruh William Flexion Exercise Dan Core Stabilization Exercise Terhadap Nyeri Punggung Bawah Miogenik.

2 17 19

PENDAHULUAN Pengaruh William Flexion Exercise Dan Core Stabilization Exercise Terhadap Nyeri Punggung Bawah Miogenik.

0 2 4

PENGARUH WILLIAM FLEXION EXERCISE DAN CORE STABILIZATION Pengaruh William Flexion Exercise Dan Core Stabilization Exercise Terhadap Nyeri Punggung Bawah Miogenik.

0 7 15