PENGARUH STRATEGI THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) TERHDAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMP.

(1)

vii PENGARUH STRATEGI THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING

(TAPPS) TERHDAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMP

Oleh : Fitriana Nurhidayati

12301241027 ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) terhadap kemampuan komunikasi matematis dan

prestasi belajar siswa SMP. Penelitian ini adalah quasi experiment dengan desain penelitian Pretest Posttest Control Group Design. Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 1 Berbah. Sampel yang diberikan perlakuan adalah kelas VII A yang mendapatkan perlakuan pembelajaran dengan strategi TAPPS sebagi kelas eksperimen dan kelas VII B yang mendapatkan perlakuan pembelajaran dengan strategi ekspositori sebagai kelas kontrol. Instrumenn yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes kemampuan komunikasi matematis dan prestasi belajar, serta lembar observasi untuk mengamati keterlaksanaan pemeblejaran yang digunakan peniliti.

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut : (1) pembelajaran dengan strategi TAPPS berpengaruh tinggi terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa, (2) pembelajaran dengan strategi TAPPS berpengaruh sedang terhadap prestasi belajar siswa, (3) pembelajaran dengan strategi ekspositori berpengaruh sedang terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa, (4) pembelajaran dengan strategi ekspositori berpengaruh sedang terhadap prestasi belajar siswa, (5) pembelajaran dengan strategi TAPPS lebih berpengaruh daripada pembelajaran dengan strategi ekspositori terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa, (6) pembelajaran dengan strategi TAPPS lebih berpengaruh daripada pembelajaran dengan strategi ekspositori terhadap prestasi belajar siswa.


(2)

1 BAB I

PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat penting dan merupakan landasan dari berbagai mata pelajaran lainnya. Bisa dikatakan bahwa matematika merupakan ilmu yang harus dikuasai oleh manusia untuk memudahkan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Erman Suherman (2001: 29) matematika merupakan ratu atau sumber ilmu daripada ilmu yang lain, dengan kata lain matematika tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri sebagai suatu ilmu, serta dapat melayani kebutuhan ilmu pengetahuan dalam pengembangan operasionalnya. Sehingga bisa dikatakan jika matematika penting untuk dipelajari disemua jenjang pendidikan, karena matematika dapat membantu mempelajari ilmu lainnya.

Pembelajaran matematika di sekolah merupakan salah satu pembelajaran yang wajib diikuti oleh siswa sejak dini. Bahkan, matematika sudah diberikan semenjak usia anak-anak dengan pembelajaran mengikuti tingkat kognitif siswa. Pembelajaran matematika pun masih diberikan hingga perguruan tingga mengingat diperlukannya matematika ketika melakukan perhitungan data statistik. Sehingga, seharusnya siswa memiliki pemahaman matematika yang baik jika dilihat dari pembelajaran matematika yang diberikan secara ajeg ketika di sekolah.

Namun pada kenyataannya, pembelajaran matematika yang dilakukan di sekolah belum memberikan hasil yang maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan hasil rata-rata nilai Ujian Nasional (UN) matematika SMP khususnya Kabupaten


(3)

2 Sleman pada tahun 2015. Berdasarkan laporan dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Sleman menempati peringkat keempat dengan rata-rata nilai UN 269,84. Nilai rata-rata untuk mata pelajaran matematika sendiri di Kabupaten Sleman yaitu 60,46 (dari skala 1-100). Dari pemaparan hasil di atas, dapat dijadikan sebagai tolak ukur bahwa pembelajaran matematika di sekolah belum memberikan hasil yang maksimal.

Semenjak tahun ajaran 2013/2014, Pemerintah mewajibkan sekolah untuk menerapkan kurikulum 2013. Seluruh guru harus mengubah perangkat pembelajaran menyesuaikan dengan kurikulum 2013. Akan tetapi pada tahun ajaran 2015/2016, kurikulum yang digunakan berubah mengikuti Permendikbud yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Perubahan ini terjadi dikarenakan adanya permasalahan yang muncul ketika penerapan kurikulum 2013 sehingga mengharuskan Pemerintah untuk mengeluarkan keputusan penundaan penerapan kurikulum 2013 di sekolah. Sekolah yang baru menggunakan kurikulum 2013 selama satu semester kembali menerapkan KTSP 2006, sedangkan sekolah yang telah menerapkan kurikulum 2013 selama tiga semester tetap menggunakan kurikulum 2013. Terdapat perbedaan penempatan materi khususnya matematika pada Kurikulum 2013 dan KTSP 2006. Akan tetapi bisa dikatakann bahwa keduanya memiliki tujuan pembelajaran yang sama.

Pembelajaran matematika di sekolah memiliki tujuan dan materi yang telah disesuaikan dengan kemampuan kognitif siswa tiap levelnya. Akan tetapi, tujuan dan materi yang baik belum tentu memberikan hasil yang baik pula. Banyak


(4)

3 faktor yang bisa mempengaruhi hasil belajar siswa. diperlukan perencanaan pembelajaran yang baik agar tujuan yang diinginkan tercapai. Menurut M. Sobry Sutikno (2008), komponen pembelajaran itu terdiri atas tujuan pembelajaran, materi pelajaran, kegiatan belajar mengajar, metode, media, sumber belajar dan evaluasi. Dari penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa dengan metode atau strategi pembelajaran yang tepat, kegiatan belajar mengajar akan menyenangkan dan siswa akan memiliki pemahaman materi yang baik sehingga hasil belajar akan lebih baik pula.

Menurut Sudjana (2009: 76) metode mengajar adalah cara yang digunakan guru dalam melakukan interaksi dengan siswa pada saat pelajaran berlangsung. Proses interaksi ini akan berjalan dengan baik pabila siswa aktif dala mengikuti pembelajaran. Oleh karena itu, diperlukan metode pembelajaran yang mampu menumbuhkan kegiatan belajar siswa. Guru harus memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi lapangan.

Penentuan metode atau strategi pembelajaran yang digunakan disesuaikan dengan kurikulum, materi ajar, karakteristik, kondisi serta kemampuan siswa. Penerapan metode atau strategi belajar yang tepat akan berpengaruh pada kualitas proses belajar mengajar serta prestasi belajar siswa. Dengan menggunakan metode atau strategi yang tepat, maka akan menumbuhkan rasa senang siswa akan pembelajaran matematika sehingga siswa lebih termotivasi dan aktif dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran yang bermakan diharapakan akan diperoleh siswa dan mampu meningkatkan kemampuan dan pemaham siswa dalam pembelajaran matematika.


(5)

4 . Pembelajaran matematika memiliki standar kelulusan yang harus dicapai oleh siswa. Dengan metode atau strategi pembelejaran yang tepat, siswa dapat mencapai standar yang telah ditetapkan Melalui Permen 23 Tahun 2006, Pemerintah mengeluarkan 5 standar kompetensi lulusan untuk pelajaran matematika, salah satunya adalah siswa diharapkan mampu mengomunikasikan gagasan dalam simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Dari penjeleasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan komunikasi matematis sangat penting untuk dimiliki siswa. Menurut Wardhani (2011: 16) salah satu aspek kemampuan yang digunakan dalam penilaian proses matematika Program for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh Organization Economic Cooperation and Development (OECD) yaitu komunikasi matematis. Hasil dari PISA

menunjukkan bahwa kompetensi siswa Indonesia masih dibawah standar PISA. Hasil PISA pada tahun 2012, Indonesia menempati peringkat 64 dari 65 negara peserta. Dengan skor siswa Indonesia yang hanya 375 menunjukkan bahwa siswa Indonesia berada pada kemampuan matematika level 1, dari soal aspek

mathematical communication yang diujikan Indonesia mendapat skor yang

rendah. Oleh karena itu kemungkinan salah satu penyebab rendahnya peringkat Indonesia di PISA dikarenakan rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa.

Hasil survei Trends in International Math and Science Study (TIMSS) yang dilakukan oleh Global Institute juga menunjukkan hal yang sama. Hasil TIMSS


(6)

5 Indonesia yaitu 386, dimana skor rata-rata internasional yaitu 500, menempatkan siswa Indonesia pada peringkat ke 38 dari 42 negara peserta. Prestasi Indonesia masih jauh di bawah negara-negara Asia lainnya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa untuk sebuah soal yang mengukur kemampuan komunikasi matematis dengan kategori soal sulit yaitu secara internasional soal tersebut dijawab benar oleh 27% siswa, tetapi di Indonesia hanya 14%.

Hasil observasi yang dilakukan peneliti di SMP Negeri 1 Berbah di kelas VII tahun ajaran 2015/2016 menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di kelas masih menggunakan metode ceramah dan masih menggunakan KTSP 2006 sebagai kurikulum yang digunakan. Hasil lain yang diperoleh yaitu peserta masih cenderung pasif dan enggan menjawab pertanyaan dari guru ketika bertanya kepada siswa. Kurangnya variasi soal yang digunakan serta kurangnya kemauan siswa dalam penyelesaian masalah yang diberikan oleh guru juga ditemukan ketika proses pembelajaran berlangsung. Prestasi siswa diketahui juga masih rendah sehingga diperlukan penerapan pembelajaran yang tepat agar prestasi belajar siswa bisa menjadi lebih baik.

Pembelajaran kolaboratif menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan matematis siswa. Pembelajaran kolaboratif terjadi jika terdapat dua orang atau lebih bekerja sama memecahkan masalah bersama untuk mencapai tujuan tertentu (Ali Hamzah dan Muhlisrarini, 2013: 157). Pembelajaran kolaboratif menarik perhatian siswa dengan tugas atau pertanyaan yang menantang. Kegiatan pembelajaran kolaboratif sering diawali dengan permasalahan, dimana siswa harus menyusun hubungan anatar fakta dan ide,


(7)

6 daripada dimulai dengan fakta dan ide kemudian beralih ke aplikasinya (Smith dan MacGregor,1993: 1).

Salah satu strategi pembelajaran kolaboratif yang bisa digunakan adalah strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) yang diperkenalkan oleh

Claparade (Lochhead & Whimbey, 1987: 75). Kegiatan TAPPS ini dilakukan dalam kelompok kecil yang heterogen hal ini memungkinkan terjadiya interaksi positif antar siswa sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah matematika. Setiap kelompok terdiri atas sepasang siswa. Seorang siswa bertugas memecahkan masalah bersama temannya yang secara tidak lagsung membantu proses pemecahan masalah dengan cara meminta penjelasan seluruh langkah pemecahan masalah yang dilakukan siswa tersebut. Hal ini membuat siswa untuk terus menggunakan kemampuan komunikasi matematikanya dalam penyelesaian masalah. Dimana salah satu kemampuan komunikasi matematis siswa yang dapat diukur adalah ketika siswa memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, merefleksikan benda-benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika.

Dalam penerapannya, strategi TAPPS menuntut siswa untuk saling bekerja sama dalam meyelesaikan permasalahan yang diberikan. Selain itu, siswa dituntut untuk terus mengomunikasikan hasil yang telah diperoleh kepada temannya sehingga siswa yang biasa cenderung pasif di kelas menjadi lebih aktif ketika pembelajaran berlangsung. Kemudian pemberian LKS juga membantu siswa untuk mengorganisir ide-ide yang dimiliki sehingga pemikiran siswa akan


(8)

7 lebih terstruktur. Oleh karena itu, penerapan strategi TAPPS dalam pembelajaran akan memberikan dampak positif bagi siswa yang cenderung pasif ketika pembelajaran.

Namun demikian, strategi TAPPS ini belum pernah diujicobakan di SMP Negeri 1 Berbah. SMP Negeri 1 Berbah adalah salah satu contoh sekolah dengan karakter siswa yang cenderung pasif ketika pembelajaran. Selain itu, kemampuan komunikasi matematis dan prestasi belajar siswa juga masih rendah. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengujicobakan pembelajaran menggunakan strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dan

strategi ekspositori untuk melihat seberapa besar pengaruh strategi pembelajaran tersebut terhadap kemampuan komunikasi matematis dan prestasi belajar siswa kelas VII SMP Negeri 1 Berbah serta membandingkan hasilnya untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pengaruh.

B. Identifikasi masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka teridentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran di kelas yang masih didominasi metode ceramah.

2. Siswa cenderung pasif, salah satu contohnya adalah ketika guru bertanya tidak ada siswa yang mau menjawab.

3. Guru masih jarang memberikan soal-soal dengan tipe problem solving.

4. Kurangnya kemauan siswa dalam menjelaskan ide situasi menggunakan metode lisan, tertulis, konkrit, grafik dan aljabar.


(9)

8 5. Prestasi belajar siswa di kelas VII pada pelajaran matematika masih perlu

ditingkatkan. C. Pembatasan masalah

Penelitian ini fokus dalam mendeskripsikan pengaruh strategi pembelajaran TAPPS dan strategi ekspositori sebagai perbandingan serta membandingkan kedua strategi tersebut untuk mengetahui manakah strategi pembelajaran yang lebih berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis dan prestasi belajar siswa kelas VII di SMP Negeri 1 Berbah. Materi yang diberikan adalah segiempat dikarenakan waktu penelitian bertepatan dengan pemberian materi segiempat di sekolah. Kemampuan komunikasi matematis dan prestasi belajar siswa dapat dilihat dari hasil pretest dan posttest

yang diberikan. D. Rumusan masalah

1. Apakah strategi pembelajaran Thinking Aloud Pairs Problem Solving (TAPPS) berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa

SMP?

2. Apakah strategi pembelajaran Thinking Aloud Pairs Problem Solving (TAPPS) berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa SMP?

3. Apakah strategi pembelajaran ekspositori berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa SMP?

4. Apakah strategi pembelajaran ekspositori berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa SMP?


(10)

9 5. Apakah pembelajaran dengan strategi TAPPS lebih berpengaruh daripada pembelajaran dengan strategi ekspositori terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa SMP?

6. Apakah pembelajaran dengan strategi TAPPS lebih berpengaruh daripada pembelajaran dengan strategi ekspositori terhadap prestasi belajar siswa SMP?

E. Tujuan penelitian

1. Mendeskripsikan pengaruh strategi pembelajaran Thinking Aloud Pairs Problem Solving (TAPPS) terhadap kemampuan komunikasi matematis

siswa SMP.

2. Mendeskripsikan pengaruh strategi pembelajaran Thinking Aloud Pairs Problem Solving (TAPPS) terhadap prestasi belajar siswa SMP.

3. Mendeskripsikan pengaruh strategi pembelajaran ekspositori tehadap kemampuan komunikasi matematis siswa SMP.

4. Mendeskripsikan pengaruh strategi pembelajaran ekspositori terhadap prestasi belajar siswa SMP.

5. Mengetahui strategi pembelajaran manakah yang lebih berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa SMP.

6. Mengetahui strategi pembelajaran manakah yang lebih berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa SMP.


(11)

10 F. Manfaat

1. Bagi siswa

Diharapkan siswa lebih aktif dalam pembelajaran matematika, sehingga komunikasi matematis siswa semakin meningkat.

2. Bagi guru

Diharapkan guru menjadi termovitasi untuk melaksanakan pembelajaran yang inovatif sehingga akan tercipta suasana belajar yang lebih menyenangkan.

3. Bagi sekolah

Memberikan kepada sekolah sumbangan yang baik dalam rangka perbaikan proses pembelajaran matematika sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.


(12)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Teori yang Relevan

1. Belajar

Skinner, seperti yang dikutip Barlow (Muhibbin Syah, 2004: 90) dalam bukunya Educational Psychology: The Teaching-Learning Process,

berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Pendapat ini diungkapkan dalam pernyataan ringkasnya bahwa belajar adalah “a process of progressive behavior adaption”.

Chaplin dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan

dua macam rumusan. Rumusan pertama berbunyi “acquisition of any relatively permanent change in behavior as a result of practice and experience”. Rumusan keduanya, “process of acquiring responses as a result of special practices”. Dari penjelasan tersebut dapat diartikan

bahwa Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman serta belajar ialah proses memperoleh respons sebagai akibat adanya latihan khusus.

Belajar adalah seperangkat kegiatan, terutama kegiatan mental intelektual, mulai dari kegiatan yang paling sederhana sampai kegiatan yang rumit (W GulÖ, 2002: 73). Menurut Daryanto dkk (2012: 16), belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada disekitar individu. Dalam belajar terjadi adanya perubahan tingkah laku yang bersifat relatif permanen. Kemudian arti belajar menurut Oemar


(13)

12 Hamalik (1990: 21) adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan.

Dari beberapa definisi belajar yang sudah disebutkan di atas, secara sederhana bisa disimpulkan bahwa belajar merupakan proses perubahan tingkah laku individu untuk menjadi lebih baik serta menambah pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya yang dapat bermanfaat bagi individu itu sendiri maupun lingkungannya.

a. Prinsip belajar

Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan belajar menurut Oemar Hamalik (1990: 28), yaitu:

1) Belajar adalah suatu proses aktif dimana terjadi hubungan saling mempengaruhi secara dinamis antara siswa dan lingkungannya.

2) Belajar senantiasan harus bertujuan, terarah dan jelas bagi siswa. Tujuan akan menuntunnya dalam belajar untuk mencapai harapannya.

3) Belajar yang paling efektif apabila didasari oleh dorongan motivasi yang murni dan bersumber dari dalam dirinya sendiri.

4) Senantiasa ada rintangan dan hambatan dalam belajar, karena itu siswa harus sanggup mengatasinya secara tepat.


(14)

13 5) Belajar memerlukan bimbingan. Bimbingan itu baik dari

guru/dosen atau tuntunan dari buku pelajaran sendiri.

6) Jenis belajar yang paling utama ialah belajar untuk berpikir kritis, lebih baik daripada pembentukan kebiasaan-kebiasaan mekanis.

7) Cara belajar yang paling efektif adalah dalam bentuk pemecahan masalah melalui kerja kelompok asalkan masalah-masalah tersebut telah disadari bersama.

8) Belajar merupakan pemahaman atas hal-hal yang dipelajari sehingga diperoleh pengertian-pengertian.

9) Belajar memerlukan latihan dan ulangan agar apa-apa yang telah dipelajari dapat dikuasai.

10) Belajar harus disertai keinginan dan kemauan yang kuat untuk mencapai tujuan/hasil.

11) Belajar dianggap berhasil apabila si pelajar telah sanggup men-transferkan atau menerapkannya ke dalam bidang praktek sehari-hari.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar

Menurut Oemar Hamalik (2001: 32), belajar yang efektif sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor kondisional yang ada. Faktor-faktor itu adalah sebagai berikut:

1) Faktor kegiatan, penggunaan dan ulangan; siswa yang belajar melakukan banyak kegiatan baik kegiatan neural system,


(15)

14 seperti melihat, mendengar, merasakan, berpikir, kegiatan motoris, dan sebagainya maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan sikap, kebiasaan, dan minat. Apa yang telah dipelajari perlu digunakan secara praktis dan diadakan ulangan secara kontinu di bawah kondisi yang serasi, sehingga penguasaan hasil belajar menjadi lebih mantap.

2) Belajar memerlukan latihan, dengan jalan: relearning,

recalling, dan reviewing agar pelajaran yang terlupakan

dapat dikuasai kembali dan pelajaran yang belum dikuasai akan dapat lebih mudah dipahami.

3) Belajar siswa lebih berhasil, belajar akan dapat lebih berhasil jika siswa merasa berhasil dan mendapatkan kepuasannya. Belajar hendaknya dilakukan dalam suasana yang menyenangkan.

4) Siswa yang belajar perlu mengetahui apakah ia berhasil atau gagal dalam belajarnya. Keberhasilan akan menimbulkan kepuasan dan mendorong belajar lebih baik, sedangkan kegagalan akan menimbulkan frustasi.

5) Faktor asosiasi besar manfaatnya dalam belajar, karena semua pengalaman belajara antara yang lama dengan yang baru, secara berurutan diasosiasikan, sehingga menjadi satu kesatuan pengalaman.


(16)

15 6) Pengalaman masa lampau (bahan apersepsi) dan

pengertian-pengertian yang telah dimiliki oleh siswa, besar peranannya dalam proses belajar. Pengalaman dan pengertian itu menjadi dasar untuk menerima pengalaman-pengalaman baru dan pengertian-pengertian baru.

7) Faktor kesiapan belajar. Murid yang telah siap belajar akan dapat melakukan kegiatan belajar lebih mudah dan lebih berhasil. Faktor kesiapan ini erat hubungannya dengan masalah kematangan, minat, kebutuhan, dan tugas-tugas perkembangan.

8) Faktor minat dan usaha. Belajar dengan minat akan mendorong siswa belajar lebih baik daripada belajar tanpa minat. Minat ini timbul apabila murid tertarik akan sesuatu sesuai dengan kebutuhannya atau merasa bahawa sesuatu yang akan dipelajari dirasakan bermakna bagi dirinya. Namun demikian, minat tanpa adanya usaha yang baik maka belajar juga sulit untuk berhasil.

9) Faktor-faktor fisiologis. Kondisi badan siswa yang belajar sangat berpengaruh dalam proses belajar. Badan yang lemah, lelah akan menyebabkan perhatian tak mungkin akan melakukan kegiatan belajar yang sempurna. Karena itu faktor fisiologis sangat menentukan berhasil atau tidaknya murid yang belajar.


(17)

16 10) Faktor intelegensi. Murid yang cerdas akan lebih berhasil dalam kegiatan belajar, karena ia lebih mudah menangkap dan memahami pelajaran dan lebih mudah berpikir kreatif dan lebih cepat mengambil keputusan. Hal ini berbeda dengan siswa yang kurang cerdas, para siswa yang lamban. Dari uraian di atas, dapat terlihat bahwa metode dan pendekatan yang digunakan guru dalam pembelajaran akan mempengaruhi pemahaman dan hasil belajar siswa.

2. Pembelajaran Matematika

Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Erman Suherman (2001: 55) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran matematika para siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dari sekumpulan subjek.

Adapun fungsi pembelajaran matematika menurut Erman Suherman, dkk (2003: 56) adalah sebagai: (1) alat;(2) pola pikir;(3) ilmu atau pengetahuan. Fungsi pembelajaran matematika sebagai alat berarti bahwa siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami dan menyampaikan suatu informasi. Sedangkan pembelajaran matematika sebagai pola pikir artinya belajar matematika bagi para siswa merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian


(18)

17 maupun dalam penalaran suatu hubungan di antara pengertian-pengertian itu. Serta pembelajaran matematika berfungsi sebagai ilmu atau pengetahuan yang dimaksud adalah dengan belajar matematika siswa dapat mengembangkan penemuan-penemuan yang diperoleh sepanjang mengikuti pola pikir yang sah.

Pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif tertentu (Husain Usman, 2006: 4). E. Mulyasa (2005: 164) mengatakan bahwa proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Berdasarkan pendapat di atas menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran tidak lepas dari komponen yang saling terkait, yaitu guru dan siswa.

Salah satu hakekat matematika adalah sifatnya abstrak, untuk itu seorang guru harus dapat menanamkan konsep matematika dengan baik agar siswa dapat membangun daya nalarnya secara logis, sistematik, konsisten, kritis, dan disiplin. Kemampuan guru dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran dan mengorganisir komponen-kompenen dalam pembelajaran sangat diperlukan. Dengan kemampuan guru yang baik, diharapkan tujuan pembelajaran dapat tercapai secara maksimal. Selain itu, pelajaran matematika berperan meningkatkan daya nalar para siswa. Oleh karena itu agar proses pembelajaran matematika dapat berlangsung secara efektif dan efisien, maka pembelajaran harus dirancang dan


(19)

18 didesain dengan baik, misalnya dengan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan proses komunikasi antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir agar siswa memiliki kemampuan, pengetahuan dan keterampilan matematis yang bertujuan mempersiapkan siswa menghadapi perubahan di sekelilingnya yang selalu berkembang.

3. Tujuan pembelajaran matematika

Diungkapkan dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) dalam Erman Suherman (2001: 56) bahwa tujuan umum diberikannya matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah meliputi dua hal yaitu:

1) Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif dan efisien. 2) Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan

pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

Secara rinci, GBPP menjabarkan tujuan khusus pembelajaran matematika di SMP adalah agar:


(20)

19 1) Siswa memiliki kemampuan yang dapat dialihgunakan melalui

kegiatan matematika;

2) Siswa memiliki pengetahuan matematika sebagai bekal untuk melanjutkan ke pendidikan menengah;

3) Siswa memiliki keterampilan matematika sebagai peningkatan dan perluasan dari matematika sekolah dasar untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari;

4) Siswa memiliki pandangan yang cukup luas dan memilki sikap logis, kritis, cermat, dan disiplin serta menghargai kegunaan matematika.

Pemamparan tujuan pendidikan matematika di atas menjelaskan bahwa betapa pentingnya pembelajaran matematika di sekolah khususnya di SMP. Siswa diharapkan memiliki kemampuan yang telah dipaparkan pada tujuan di atas setelah mendapatkan pembelajaran matematika. Oleh karena itu, dibutuh pembelajaran yang membantu siswa untuk bisa memperoleh kemampuan sesuai dengan apa yang diharapkan dengan adanya pembelajaran matematika di sekolah.

4. Efektivitas Pembelajaran

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan merupakan keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan. Dalam hal ini, efektivitas dapat dilihat dari tercapai tidaknya tujuan unstruksional khusus yang telah direncanakan. Hamzah B. Uno (2008: 138), menyatakan


(21)

20 bahwa keefektifan proses pembelajaran diukur dengan tingkat pencapaian siswa pada tujuan pembelajaran yang telah diterapkan.

Secara ideal pembelajaran yang diharapkan adalah pembelajaran yang efektif. Nana Sudjana (2004: 34-35) mengungkapkan bahwa suatu pembelajaran yang efektif dapat ditunjai dari proses dan hasilnya. Prosesnya sesuai dengan yang direncanakan dan hasilnya sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Menurut Slavin (2006: 277), keefektifan pembelajaran ditentukan oleh empat kriteria, yaitu: 1) kualitas pembelajaran, 2) kesesuaian tingkat pebelajaran, 3) intensif, 4) waktu. Sementara Arends (2012: 90) berpendapat bahwa pembelajaran yang efektif dapat dicapai apabila dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang baik untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Efektivitas pembelajaran merupakan suatu konsep yang lebih luas untuk mencakup berbagai faktor di dalam maupun di luar diri siswa. Kemmis & Mc. Taggrat (1990: 179) juga menjelaskan bahwa untuk menentukan keefektifan pembelajaran dapat dilakukan dengan 4 cara berikut:

1) Through measures of student achievement or success

2) Through observation of teaching

3) Through student evaluations of teachings

4) Through formal and specially designed program evaluation.

Dari keempat pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kefektifan pembelajaran dapat ditentukan dengan 4 cara yaitu melalui skor tes siswa,


(22)

21 observasi pembelajaran, evaluasi proses pembelajaran, dan melalui tes formal dan telah dirancang khusus. Menurut Sadiman (Trianto, 2009: 20) keefektifan pembelajaran adalah hasil guna yang diperoleh setelah pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Keefektifan pembelajaran dapat diketahui dengan memberikan tes kepada siswa setelah diberikan pembelajaran, karena dengan hasil tes dapat digunakan untuk mengevaluasi aspek-aspek dalam pengajaran.

Pada penelitian ini, keefektifan pembelajaran dilihat sebagai perbandingan hasil N-gain score dari kedua kelas setelah diberikan strategi pembelajaran. Kemudian akan diuji sebesar besar pengaruh strategi yang diberikan terhadap kemampuan komunikasi matematis dan prestasi belajar siswa. Strategi pembelajaran yang diterapkan yaitu strategi TAPPS dan strategi ekspositori.

5. Prestasi Belajar

Pengertian hasil belajar sebagaimana yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 895), adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. Hasil belajar dapat bersifat tetap dalam sejarah kehidupan manusia karena sepanjang kehidupannya selalu mengejar hasil menurut bidang dan kemampuan masing-masing. Hasil belajar dapat memberikan kepuasan kepada orang yang bersangkutan, khususnya orang yang sedang menuntut ilmu di sekolah.


(23)

22 Menurut Gagne & Briggs (1979: 51), kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa sebagai akibat perbuatan belajar dan dapat diamati melalui penampilan siswa (learner’s performance). Dijelaskan pula bahwa terdapat lima tipe hasil belajar yaitu intellectual skill, cognitive strategy, verbal information, motor skill, attitude.

Reigeluth (1983: 14) berpendapat bahwa hasil belajar atau pembelajaran dapat juga dipakai sebagai pengaruh yang memberikan suatu ukuran nilai dari metode (strategi) alternatif dalam kondisi yang berbeda. Reigeluth juga mengatakan secara spesifik bahwa hasil belajar adalah suatu kinerja (performance) yang diindikasikan sebagai suatu kapabilitas

(kemampuan) yang telah diperoleh. Hasil belajar selalu dinyatakan dalam bentuk tujuan (khusus) perilaku (unjuk kerja).

Hasil belajar sangat erat kaitannya dengan belajar atau proses belajar. Hasil belajar meliputi segenap ranah kejiwaan yang berubah sebagai akibat daripengalaman dan proses belajar siswa yang bersangkutan. Menurut M. Ngalim Purwanto (2009: 26), hasil belajar dapat dinilai sebagai berikut:

1. Penilaian formatif, merupakan kegiatan penilaian yang bertujuan untuk mencari umpan balik (feedback), yang selanjutnya hasil penilaian tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar-mengajar yang sedang atau yang sudah dilaksanakan. 2. Penilaian sumatif, merupakan penilaian yang dilakukan untuk


(24)

23 pencapaian belajar siswa terhadap bahan pelajaran yang telah dipelajarinya selama jangka waktu tertentu.

Pada prinsipnya pengungkapan hasil belajar ideal meliputi segenap ranah psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa. Yang dapat dilakukan guru dalam hal ini adalah mengambil cuplikan perubahan tingkah laku yang dianggap penting yang dapat mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar siswa baik yang berdimensi cipta dan rasa maupun karsa. Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa adalah mengetahui garis-garis besar indikator (penunjuk adanya hasil belajar) dikaitkan dengan jenis-jenis hasil yang hendak diukur (Muhibbin Syah, 2007: 150).

6. Kemampuan Komunikasi Matematis

Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah menurut Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 adalah kemampuan komunikasi matematis. Komunikasi matematis adalah kemampuan menerjemahkan suatu gambar, tabel, grafik, atau merumuskan suatu masalah guna memperjelas masalah tersebut.

Kemampuan komunikasi matematis dalam pembelajaran matematika sangat penting untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan melalui komunikasi matematis, siswa mampu mengorganisasikan pemikiran matematikannya baik secara lisan maupun tertulis. Hal senada juga disampaikan NCTM (2000: 2) mengenai pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika yaitu:


(25)

24

a. Organize and consolidate their mathematical thinking through communication;

b. Communicate their mathematical thinking coherently and clearly to peers, teachers, and others;

c. Analyze and evaluate the mathematical thinking and strategies of others;

d. Use the language of mathematics to express mathematical ideas precisely.

Proses komunikasi juga membantu siswa alam membangun pemahaman dan keyakinan atau suatu ide. Relevan dengan ini dinyatakan dalam Principle and Standard for School Matehmatics NCTM (2000: 60)

bahwa komunikasi adalah bagian penting dalam matematika dan pendidikan matematika. Komunikasi merupakan salah satu cara untuk menjelaskan ide-ide dan memperdalam pemahaman siswa. Melalui komunikasi, ide-ide yang dimiliki menjadi bahan refleksi, perbaikan, diskusi, dan perubahan. Proses komunikasi juga membantu dalam membangun pembelajaran bermakna, pendalaman materi dan kemudian menjelaskan ide-ide kepada orang lain. Ketika siswa tertantang untuk berpikir dan menjelaskan mengenai matematika dan mengomunikasikan kepada orang lain, siswa belajar untuk menjadi lebih jelas dan meyakinkan dalam hal menjelaskan pada orang lain.

Selanjutnya NCTM (2000: 61) juga menyebutkan bahwa “Communication can support student’ learning of new mathematical concepts as they act out a situation, draw, use objects, give verbal accounts and explanations,use diagrams, write and use mathematical symbols”. Dari penjelasan tersebut, dapat diartikan bahwa komunikasi


(26)

25 peran, menggambar, menggunakan simbol matematika dalam menjelaskan suatu ide matematika.

Kemudian juga dijelaskan oleh Kennedy et al (2008: 21) bahwa pembelajaran matematika yang bermkana pada masa kini yaitu dengan berbicara, membaca, menulis, bermain peran dan menggambar. Namun permasalahannya, kegiatan yang disebutkan diatas pada kenyataanya sangat berlawanan dengan pembelajaran konvensional/tradisional dimana guru sebagai pengontrol dan pembuat keputusan dalam pembelajaran. Mereka menganggap siswa sebagai empty vessel yang siap diisi.

Singkatnya, dalam pembelajaran konvensional guru merupakan pusat dari pembelajaran (Novak, 1998).

Pentingnya komunikasi matematika dalam pembelajaran tidak hanya dinyatakan dalam NCTM (2000), melainkan telah ditetapkan dalam standar-standar sebelumnya. Dalam NCTM (1989: 22) disebutkan “Communication and discourse are central to the current vision of desirable mathematics teaching”. Ini memberikan makna bahwa

komunikasi dan percakapan merupakan fokus yang menjadi orientasi langsung dalam mengajar matematika.

Menurut Olivares (1996: 219), komunikasi matematika mempunyai karakteristik yang membedakan dengan komunikasi pada umumnya, yaitu:

a. Dalam berkomunikasi matematika, diperlukan abstraksi dan notasi.


(27)

26 b. Konsep matematika seringkali menjadi dasar untuk memahami

konsep matematika selanjutnya atau bahkan seluruhnya. c. Sebuah dalil matematika seringkali bersifat spesifik.

Adanya karakteristik yang membedakan antara komunikasi matematika dengan komunikasi pada umumnya, menjadikan pengertian komunikasi matematika juga berbeda dengan komunikasi pada umumnya. Disamping itu berkaitan dengan komunikasi, Greenes dan Schulman (NCTM,1996: 159) menyatakan bahwa tidak hanya matematika namun sebagian besar dari berbagai disiplin ilmu dan juga dalam dunia kerja membutuhkan kemampuan untuk berkomunikasi. Kemampuan komunikasi yang dibutuhkan dalam berbagai bidang ilmu dan juga dunia hiburan diantaranya kemampuan untuk:

a. Menjelaskan ide dengan berbicara, menulis, demonstrasi, menunjukkannya dengan cara-cara lainnya.

b. Memahami, menggambarkan, dan mengevaluasi ide yang disampaikan secara lisan, tulisan, dan atau dalam bentuk visual. c. Mengkonstruksi, menginterpretasikan, dan menghubungkan

berbagai gagasan serta mencari keterhubungannya.

d. Melakukan observasi dan kesimpulan, merancang pertanyaan, serta mengevaluasi berbagai informasi

e. Menghasilkan dan mempresentasikan argumentasi yang bersifat membangun.


(28)

27 Kompetensi komunikasi dalam matematika (communication competence in mathematics) sangat diperlukan dalam pembelajaran

matematika. Kompetensi komunikasi dalam pembelajaran matematika terdiri dari empat aspek (Olivares, 1996: 220), yaitu:

a. Kemampuan gramatikal (grammatical competence)

Kemampuan gramatikal meliputi kemampuan siswa menggunakan kosa kata dan struktur dalam matematika. Indikator dari kemampuan gramatikal diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Menuliskan penyelesaian suatu permasalahan dengan notasi matematika.

2) Menuliskan penyelesaian suatu permasalahan dengan runtut.

b. Kemampuan sosiolinguistik (sociolinguistic competence)

Kemampuan sosiolinguistik berkaitan dengan penggunaaan bahasa yang disesuaikan dengan konteks permasalahan dalam matematika. Indikator dari kemampuan sosiolinguistik diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Menyatakan bahasa atau simbol matematika menggunakan bahasa sehari-hari.

2) Menyatakan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika

3) Menarik kesimpulan atas permasalahan yang diberikan. 4) Membaca notasi matematika dengan benar.


(29)

28 c. Kemampuan strategi (strategic competence)

Kemampuan strategi yaitu kemampuan untuk menerjemahkan dan menguraikan kode-kode dalam pesan matematika. Indikator dari kemampuan ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Menuiliskan informasi dari permasalahan yang diberikan 2) Mendeskripsikan strategi yang digunakan dalam

pemecahan masalah.

3) Mengevaluasi proses yang telah dilakukan. d. Kemampuan diskusi (discourse competence)

Kemampuan diskusi adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam pembahasan yang sama yaitu tentang matematika. Indikator dari kemampuan diskusi diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Memberikan respon positif terhadap permasalahan yang diberikan.

2) Membuat konjektur dari permasalahan yang diberikan. 3) Membuat soal yang berkaitan dengan materi.

Cai et al. (1996: 140) membuat rubik penskoran untuk menilai kemampuan komunikasi matematis siswa. Rubrik tersebut sebagai berikut: Tabel 1. Kriteria Penskoran Kemampuan Komunikasi Matematis

Level

Skor Kriteria

0

Komunikasi tidak efektif, diagram atau notasi yang tidak dapat menjelaskan permasalahan, penggunaan kata yang tidak dapat menjelaskan permasalahan.


(30)

29 1

Memiliki beberapa unsure yang sudah ada teteapi menghilangkan bagian-bagian penting dari masalah. Diagram tidak jelas atau sulit diinterpretasikan dan penjelasan sulit untuk dipahami.

2

Memiliki unsur yang cukup lengkap dalam penyelesaian masalah, tetapi penjelasan kurang jelas termasuk diagram. Pemilihan bahasa kurang komunikatif. Penjelasan tidak lengkap atau mungkin kurang logis.

3

Respons cukup lengkap dengan penjelasan cukup jelas, diagram atau notasi yang digunakan sesuai. Bahasa yang digunakan cukup efektif dan dapat dipahami oleh orang lain. Penjeasan yang digunakan cukup logis, akan tetapi mungkin mengandung beberapa celah kecil.

4

Respon lengkap dengan penjelasan yang jelas dan penggunaan diagram yang tepat dan lengkap. Bahasa yang digunakan cukup efektif serta dapat dipahami oleh orang lain. Penjelasan yang digunakan kuat dan logis, serta dilengkapi dengan contoh.

Dalam penelitian ini, untuk mengukur kemampuan komunikasi matematika, siswa diberikan tes berupa soal-soal tentang materi yang diajarkan. Adapun standar evaluasi untuk mengukur kemampuan komunikasi matematika siswa menurut NCTM (1989: 214), dapat diukur dari:

a. Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikan serta menggambarkannya secara visual.

b. Kemampuan memahami, mengintrepretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya.

c. Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika, dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide,


(31)

30 menggambarkan hubungan-hubungan dengan berbagai model situasi.

7. Metode Pembelajaran Kolaboratif

Pembelajaran kolaboratif atau yang Bernard et al (2000) katakan sebagai "hubungan timbal balik antar siswa dalam proses pembelajaran daripada pembagian tugas untuk mencapai tujuan kelompok", menjadi terkenal sebagai strategi mengajar di seluruh penjuru dunia (Johnson & Johnson, 1996; Moolenaar, Sleegers, & Daly, 2012) baik untuk pendidikan dasar dan menengah (Johnson & Johnson, 2009) maupun perguruan tinggi (Bell et al., 2010; Vaughan et al., 2011).

Menurut Dillenbourg (1999: 1), pembelajaran kolaboratif secara luas dapat didefinsikan sebagai "sebuah situasi dimana dua orang atau lebih belajar atau mencoba untuk belajar sesuatu bersama-sama" dan khususnya sebagai pemecahan masalah bersama. Van Boxtel et al (2000: 312) juga menjelaskan bahwa kegiatan pembelajaran kolaboratif memberikan kesempatan pada siswa untuk memberikan penjelasan tentang pemahaman mereka yang dapat membantu siswa menguraikan dan menyusun kembali pemahaman mereka.

Pembelajaran kolaboratif adalah suatu interaksi sosial yang melibatkan komunitas siswa dan guru, dimana anggotanya memperoleh dan membagikan pengalaman atau pengetahuan mereka (Zhu, 2012: 128). Pembelajaran kolaboratif melibatkan penyusunan makna bersama melalui interaksi dengan anggota lainnya. Interaksi kolaboratif ditandai dengan


(32)

31 tujuan bersama, simetri terstruktur, serta negosisasi, interaksi, dan saling ketergantungan yang tinggi. Pembelajaran kolaborasi dapat memiliki efek yang kuat pada pembelajaran siswa, terutama untuk siswa dengan pencapaian hasil belajar rendah (Lai, 2011: 39).

Dalam pembelajaran kolaboratif, siswa bekerja sama untu pembelajaran dirinya sendiri dan lingkungannya (Parveen, Mahmood, Mahmood, & Arif, 2011). Pembelajaran kolaboratif terbukti memberikan keuntungan dalam kerja sama dimana terdapat asimetri pengetahuan, memungkinkan teman sebaya untuk memberikan dan memperoleh pengetahuan dalam hubungan timbal balik (Saleh et al., 2007; Stump et al., 2011). Dengan meningkatnya partisipasi siswa, pembelajaran kolaboratif di kelompok kecil dan menuntun ke meningkatnya pembelajaran siswa (Saleh et al.,2007).

Berbeda dengan metode pembelajaran lainnya, pembelajaran kolaboratif diplih sebagian besar guru untuk pembelajaran pedagogik sejak tahun 1980an (Johnson & Johnson, 2009). Hal ini terjadi karena pembelajaran kolaboratif memberikan keuntungan dalam pengajaran dan pembelajaran dan hal ini didukung oleh berbagai penelitian (Ding & Harskamp, 2011; Miller & Benz, 2008; Parveen & Batool,2012; Zhu, 2012).

Penelitian menemukan bahwa pembelajaran kolaboratif memberikan keuntungan untuk pengajaran dan pembelajaran, termasuk menngkatkan motivasi siswa, perasaan sukses, saling ketergantungan antar siswa (Miller


(33)

32 & Benz, 2008: 1), komunikasi, tingkat kepuasan (Zhu,2012: 128), peningkatan kognitif dan emosi sosial atau afeksi (Parveen & Batool,2012). Kolaborasi sudah terbukti sebagai praktik pendidikan efektif dalam memenuhi kebutuhan bermacam-macam siswa dengan kebutuhan, kepribadian, pengalaman, tujuan dan level yang berbeda (Miller & Benz, 2008) dengan cara menyediakan kesempatan untuk tampil dalam pengajaran dan pembelajaran.

8. Strategi Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving

Salah satu strategi pembelajaran yang dipandang dapat mengembangkan kemampuan berpikir dan pemecahan masalah adalah strategi pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS).

Secara bahasa, pengertian Thinking Aloud artinya berpikir keras, Pair

artinya berpasangan dan Problem Solving berarti pemecahan masalah. Maka TAPPS dapat diartikan sebagai teknik berfikir keras secara berpasangan dalam menyelesaikan masalah, yang merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat menciptakan kondisi belajar aktif terhadap siswa.

Strategi ini pertama kali diperkenalkan oleh Claparade (Lochhead & Whimbey, 1987: 75). Arthur Ehimbey dan Jack Lochhead pada tahun 1987 telah menggunakan strategi ini lebih jauh dengan maksud mendorong ketrampilan memecahkan masalah dengan cara membicarakan hasil pemikiran dalam menyelesaikan masalah pada pengajaran matematika dan fiiska.


(34)

33 Menurut Jonassen (2003), menjelaskan bahwa TAPPS adalah sebuah kombinasi dari berpikir keras dan teknik pengajaran kembali. Strategi TAPPS adalah strategi pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari jawaban dari permasalahan yang ada secara berkelompok. Dengan menerapkan strategi ini, siswa bisa berdiskusi dan saling bertukar ide atau pendapat dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

Strategi TAPPS tidak hanya melihat pemahaman siswa melalui cara berpikirnya dalam memecahkan masalah, tetapi juga melalui cara mengajarkan kembali apa yang telah mereka pelajari kepada orang lain. Menurut MacGregor (Cooper, 2006: 14) strategi TAPPS membantu siswa membangun kerangka konseptual yang diperlukan untuk pemahaman. Demikian juga, strategi TAPPS memungkinkan siswa untuk berlatih konsep, menghubungkan dengan kerangka kerja yang ada, dan menghasilkan pemahaman materi yang lebih mendalam.

Pada strategi TAPPS, siswa dikelas dikelompokkan berpasangan. Satu siswa menjadi Problem Solver dan seorang lagi menjadi Listener. Peran

tersebut memiliki aturan-aturan tertentu. Strategi ini menggambarkan pasangan yang bekerja sama sebagai problem solver dan listener untuk

memecahkan suatu permasalahan dan nantinya mereka akan bertukar peran. Setiap siswa memiliki tugas masing-masing dan guru dianjurkan untuk mengarahkan siswa sesuai prosedur yang telah ditentukan. Hal pertama yang harus dilakukan oleh seorang problem solver adalah


(35)

34 membaca soal yang dilanjutkan dengan mengungkapkan semua hal yang terpikirkan untuk menyelesaikan masalah dalam soal tersebut. Kemudian tugas seorang listener adalah memahami setiap langkah maupun kesalahan yang dibuat oleh problem solver. Seorang listener yang bagus tidak hanya

mengetahui langkah yang diambil problem solver tetapi juga memahami

alasan yang digunakan untuk memilih langkah tersebut. Listener harus

berusaha untuk tidak menyelesaikan masalah milik problem solver. Listener sebaiknya dianjurkan untuk menunjukkan bila telah terjadi kesalahan tetapi tidak menyebutkan dimana letak kesalahannya. Kemudian setelah suatu masalah terpecahkan, siswa akan berganti peran. Anang Jatmiko (2014: 19) secara rinci memaparkan tugas tiap peran sebagai berikut:

a. Menjadi seorang problem solver

1) Menyiapkan buku catatan, alat tulis, kalkulator, dan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. 2) Membacakan masalah dengan suara keras.

3) Mulai untuk memecahkan masalah sendiri. Problem solver

mengemukakan semua pendapat serta gagasan yang terpikirkan, mengemukakan semua langkah yang akan dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut serta menjelaskan apa, mengapa, dan bagaimana langkah tersebut diambil agar listener mengerti penjelasan yang dilakukan problem solver.


(36)

35 4) Problem solver harus lebih berani dalam mengungkapkan

segala hasil pemikirannya. Anggaplah bahwa listener tidak

sedang mengevaluasi.

5) Mencoba untuk tetap menyelesaikan masalah tersebut sekalipun problem solver menganggap masalah tersebut

mudah.

b. Menjadi seorang listener

1) Memahami secara detail langkah yang diambil problem solver.

2) Menuntun problem solver untuk terus berbicara, tetapi tidak

menganggu problem solver ketika bepikir.

3) Memastikan bahwa langkah dari solusi permasalahan yang diungkapan oleh problem solver tidak ada yang salah, dan tidak ada langkah dari solusi tersebut yang hilang.

4) Membantu problem solver agar lebih teliti dalam

mengungkapkan solusi permasalahannya.

5) Memastikan diri bahwa listener mengerti setiap langkah dari

solusi tersebut.

6) Jangan biarkan problem solver melanjutkan pemamparannya

jika listener tidak mengerti apa yang dipaparkan problem solver dan jika listener berpikir terdapat suatu kekeliruan. 7) Memberikan isyarat pada problem solver, jika problem


(37)

36 dalam perhitungannya, tetapi listener tidak diperbolehkan

memberikan jawaban yang benar.

Dalam strategi TAPPS terdapat beberapa keunggulan. Menurut Barkley (2012: 264), strategi TAPPS meningkatkan kemampuan analisa siswa dengan cara membantu siswa merumuskan pendapat, melatih konsep, mengerti tahapan-tahapan berpikir mereka, dan mengidentifikasi kesalahan-kesalahan dalam penalaran seseorang. TAPPS juga dapat membantu dalam mengembangkan kesadaran metakognitif sebagaimana disediakan satu struktur agar siswa mengobservasi dengan baik pemahamannya sendiri.

Selain itu, melalui strategi TAPPS siswa belajar untuk bertanggung jawab dalam kegiatan belajar, tidak sekedar menjadi penerima informasi yang pasif namun juga aktif mencari informasi yang diperlukan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Strategi ini menuntut siswa untuk aktif dalam bertanya dan mengemukakan pendapat, menemukan informasi yang relevan dari berbagai sumber, mencari cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah, sehingga dari hal-hal tersebut dapat terlihat jelas aktivitas yang dilakukan siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi ketika proses belajar berlangsung.

Berikut akan dijelaskan lebih lanjut dari kegiatan think aloud dan problem solving.


(38)

37 a. Think aloud

Dalam strategi think aloud terdapat langkah-langkah yang

meliputi empat pertanyaan (Du Toit & Kotze, 2009: 61), (1) Apa masalahnya?; (2) Bagaimana cara menyelesaikannya?; (3) Rencana apa yang saya gunakan?; dan (4) Bagaimana dengan cara yang telah saya lakukan? Pertanyaan tersebut sangat berhubungan dengan empat keterampilan pemecahan masalah matematis siswa.

Pada strategi ini, guru mendorong kebiasaan siswa dalam berpikir dengan sungguh-sungguh ketika menyelesaikan masalah. Dengan berpikir sungguh-sungguh akan membantu siswa dalam mengenal kemampuan berpikir mereka. Apabila mereka telah mampu mengenal kemampuan berpikir, maka akan terjadi proses pengontrolan dalam diri. Pengontrolan diri ini dapat merangsang kesadaran, sehingga memunculkan strategi berpikir lanjutan, untuk membantu membimbing pikirannya menyelesaikan permasalahan.

Proses pembelajaran dalam strategi ini, siswa mengucapkan secara lisan apa yang mereka pikirkan dan menyelesaikan setiap permasalahan yang diberikan. Ketika siswa mengungkapkan kembali pikirannya secara lisan, maka siswa akan mendapat pemahaman yang lebih baik, dibanding dengan siswa yang hanya memikirkan tanpa mengungkapkan kembali pikirannya. Apabila


(39)

38 siswa telah memiliki pemahaman yang baik terhadap suatu permasalahan, maka siswa akan siap untuk mengajukan pertanyaan yang tepat, guna meningkatkan pemahaman mereka terhadap permasalahan yang diberikan (Lisa & Lincoln, 2007: 11).

Pelaksanaan strategi think aloud pada strategi TAPPS

tercermin pada saat siswa menjelaskan penyelesaian yang telah didapatkan kepada pasangannya. Think aloud yang pada awalnya dijelaskan sebagai strategi dimana siswa mengungkapkan kembali pikirannya secaea lisan, dipadukan dengan strategi TAPPS dimana siswa menjelaskan kepada temannya. Siswa yang berperan sebagai problem solver menjelaskan dengan lantang kepada temannya sehingga selain memperdalam pemahaman siswa sendiri, siswa tersebut juga melatih mengomunikasikan ide-ide yang dimilikinya.

b. Problem Solving

Pemecahan masalah (problem solving) adalah proses

mengorganisasikan konsep dan keterampilan ke dalam pola aplikasi baru untuk mencapai suatu tujuan (Akbar Sutawidjaja dkk, 1991: 22). Kemampuan pemecahan masalah memerlukan suatu keterampilan dan kemampuan khusus yang dimiliki masing-masing siswa, yang mungkin akan berbeda antar siswa dalam menyelesaikan suatu masalah. Menurut Selcuk, Caliskan


(40)

39 dan Erol (2008: 151), kemampuan pemecahan masalah mengacu pada upaya yang diperlukan siswa dalam menentukan solusi atas masalah yang dihadapi.

Sedangkan menurut Gok dan Silay (2010: 13), kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan siswa menggunakan informasi yang ada untuk menentukan apa yang harus dikerjakan dalam suatu keadaan tertentu. Ciri utama dari proses pemecahan masalah adalah berkaitan dengan masalah-masalah yang tidak rutin.

Menurut John Dewey (dalam Sujono, 1988: 215), langkah-langkah yang harus dilakukan dalam memecahan masalah yaitu: (1) tahu bahwa ada masalah; (2) mengenali masalah; (3) menggunakan pengalaman yang lalu; (4) menuliskan kemungkinan-kemungkinan penyelesaian; (5) mengevaluasi penyelesaian dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti yang ada. Dalam memecahkan masalah langkah pertama harus mengetahui masalah tersebut. Selanjutnya siswa diharapkan mengenali masalah dengan mengklasifikasi soal dan menggunakan pengalaman yang lalu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan membuat kemungkinan penyelesaiannya. Solusi dari permasalahan tersebut tidak mutlak mepunyai satu jawaban yang benar artinya peserta didik dituntut pula untuk belajar secara kritis. Langkah terakhir yaitu


(41)

40 mengevaluasi penyelesaian dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti yang ada.

Menurut Hudiono (2007) terdapat beberapa ciri atau kriteria yang biasanya menyertai soal-soal jenis problem solving, diantaranya: (1) Tidak ada metode penyelesaian yang pasti, (2) Tidak ada jawaban yang pasti atau memiliki kemungkinan beberapa jawaban, (3) Dapat diselesaikan dengan berbagai cara dan berbagai tingkat kemampuan, (4) Mengembangkan penalaran dan keterampilan komunikasi, (5) Terbuka untuk siswa berkreasi dan berimaginasi sesuai dengan pengalamannya, (6) Ada kesempatan mengambil keputusan dengan caranya sendiri dan berfikir dengan cara matematik yang alami.

Dalam penelitian ini, pemecahan masalah yang dimaksud adalah pemecahan masalah sebagai sebuah kegiatan. Melalui pemecahan masalah ini, siswa akan memiliki kemampuan dasar yang bermakna, lebih dari sekedar kemampuan berpikir, sebab dalam proses pemecahan masalah, siswa dituntut untuk terampil dalam menyeleksi informasi yang relevan, kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti hasilnya. Masalah yang digunakan adalah masalah non-rutin. Dalam prosesnya berpedoman pada langkah-langkah Polya dengan indikator sebagai berikut:


(42)

41 1) Menunjukkan pemahaman masalah dengan

mengidentifikasi kecukupan data

2) Merencanakan penyelesaian masalah secara tepat 3) Melaksanakan rencana penyelesaian untuk menemukan

solusi

4) Memeriksa kembali kebenaran hasil atau jawaban. Kegiatan guru dalam pemecahan masalah lebih jelasnya akan dijelaskan pada tabel dibawah ini.

Tabel 2. Tahapan Pemecahan Masalah

No Tahap Aktivitas Guru

Tahap 1. Memahami Masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.

Tahap 2.

Merencanakan Penyelesaian

Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

Tahap 3.

Menyelesaikan Masalah

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

Tahap 4. Melakukan Pengecekan

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan siswa dan proses-proses yang siswa gunakan. Pengukuran keberhasilan dari strategi ini adalah ketika siswa mampu melaksanakan semua tahapan yang diberikan dan juga dilihat dari perbandingan pretest dan posttest yang diberikan


(43)

42 9. Strategi Pembelajaran Ekspositori

Strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal (Wina Sanjaya,2006: 175). Dari penjelasan tersebut bisa diartikan bahwa materi pelajaran disampaikan langsung oleh guru dan siswa tidak dituntut untuk menemukan materi sendiri. Karena strategi ekspositori lebih menekankan kepada penjelasan guru, maka sering juga dinamakan strategi chalk and talk.

Menurut Depdiknas (2008), karakteristik strategi pembelajaran ekspositori adalah sebagai berikut:

a. Strategi ekspositori dilakukan dengan cara menyampaikan materi pelajaran secara verbal, artinya bertutur secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan strategi ini, oleh karena itu sering orang mengidentikannya dengan ceramah.

b. Biasanya materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi, seperti data atau fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk berpikir ulang.

c. Tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri. Artinya, setelah proses pembelajaran berakhir siswa diharapkan dapat memahaminya dengan benar dengan cara dapat mengungkapkan kembali materi yang telah diuraikan.


(44)

43 Dalam penggunaan strategi pembelajaran ekspositori terdapat beberapa prinsip berikut ini, yang harus diperhatikan oleh setiap guru, yaitu:

a. Berorientasi pada Tujuan b. Prinsip Komunikasi c. Prinsip Kesiapan d. Prinsip Berkelanjutan

Menurut Wina Sanjaya (2006: 177) pembelajaran ekspositori akan berhasil jika adanya kesiapan antara ke dua belah pihak, yaitu guru dan siswa. Pihak guru harus menguasai materi yang akan disampaikan secara maksimal, sehingga dalam penyampaiannya guru dapat lebih jalas dipahami oleh siswa. Pihak siswa harus memiliki motivasi yang tinggi untuk menyimak materi yang diberikan oleh guru, serta adanya kesiapan untuk menerima kesimpulan dari guru. Oleh karena itu pada metode ekspositori peranan kualitas guru mutlak dibutuhkan, baik dalam penyampaian dan menguasaan materi, atau memotivasi siswa untuk menyimak meteri yang disampaikan.

Di samping memiliki keunggulan, strategi ekspositori memiliki kelemahan, di antaranya disebutkan di bawah ini:

a. Strategi pembelajaran ekspositori hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik. Untuk siswa yang tidak memiliki kemampuan mendengar dan menyimak dengan baik perlu diterapkan strategi pembelajaran lain.


(45)

44 b. Strategi pembelajaran ekspositori tidak mungkin dapat melayani perbedaan setiap siswa baik perbedaan kemampuan, perbedaan kemampuan, minat, bakat serta gaya belajar.

c. Karena strategi pembelajaran ekspositori lebih banyak diberikan melalui ceramah, maka akan sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisasi, hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir kritis.

d. Keberhasilan strategi pembelajaran ekspositori sangat tergantung kepada kemampuan yang dimiliki guru. Seperti persiapan, pengetahuan, rasa percaya diri, semangat, antusiasme, motivasi, berbagai kemampuan berkomunikasi dan kemampuan mengelola kelas.

e. Karena gaya komunikasi strategi pembelajaran lebih banyak terjadi satu arah maka kesempatan untuk megontrol pemahaman siswa akan materi pembelajaran akan sangat terbatas pula. Selain itu komunikasi satu arah dapat mengakibatkan pengetahuan yang dimiliki siswa akan terbatas pada apa yang disampaikan guru. Menurut Wina Sanjaya (2006: 178) pengukuran keberhasilan metode pembelajaran ekspositori didasarkan pada keberlanjutan, atau siswa dapat menangkap materi yang disampaikan oleh guru. Hal ini dapat dilihat dari evalusai hasil belajar, baik ulangan harian, nilai tugas, keaktifan siswa.


(46)

45 B. Penelitian yang Relevan

Ada beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan terhadap penelitian yang dilaksanakan.

Penelitian yang dilakukan oleh Yuniawatika pada tahun 2008 terhadap siswa kelas VIII SMPN 1 Bandung, dengan judul Penerapan Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Untuk Meningkatkan Kemampuan

Komunikasi Matematik Siswa SMP. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan komuniaksi matematika siswa SMP melalui pembelajaran matematika dengan menggunakan metode TAPPS secara signifikan lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan metode non-TAPPS.

Penelitian relevan selanjutnya yaitu penelitian Heti Nurhayati pada tahun 2012 di Bali dengan judul Penerapan Metode Thinking Aloud Pair Problem

Solving (TAPPS) Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik

Siswa SMP melalui pembelajaran matematika dengan menggunakan metode TAPPS secara signifikan lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan metode non-TAPPS (metode pembelajaran diskusi).

Penelitian relevan selanjutnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh M.Anang Jatmiko pada tahun 2014 terhadap siswa kelas VIII SMPN 178 Jakarta dengan judul Pengaruh Metode TAPPS Terhadap kemampuan Komunikasi Matematik Siswa. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa


(47)

46 strategi pembelajaran TAPPS berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.

Peneltian relevan berikutnya yaitu penelitian yang dilakuan Mairanti Pratiwi pada tahun 2013 terhadap siswa kelas MTs Hidayatul Umam Cinere dengan judul Pengaruh Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)

Terhadap Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa strategi pembelajaran TAPPS cocok/sesuai untuk semua level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa.

C. Kerangka Pikir

Dalam belajar matematika tidak dipungkiri bahwa siswa yang cerdas dan memiliki pengetahuan matematika yang baik akan lebih mudah untuk mempelajari matematika. Siswa yang memiliki kemampuan berpikir yang baik tidaklah cukup dalam memahami atau mempelajari matematika. Siswa harus bisa mengomunikasikan apa yang mereka pikirkan. Siswa menjelaskan kembali pengetahuan yang ia peroleh merupakan salah satu cara bagi mereka untuk meperdalam kembali pengetahuan mereka akan suatu materi tertentu. Kemudian menganalisis dan menilai serta mampu mengoreksi pendapat teman mereka dengan mengutarakan kembali hal yang benar akan semakin meperdalam pengetahuan mereka.

Telah dijelaskan pula dalam Permen No 23 Tahun 2006 bahwa kemampuan komunikasi matematis merupakan SKL pembelajaran matematika di sekolah. Hal ini semakin memperkuat alasan bagi guru untuk meningkatkan


(48)

47 kemampuan komunikasi matematis siswa. Sehingga guru harus menerapkan strategi yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dibutuhkan strategi yang mampu meningkatkan kemampuan matematis siswa secara maksimal.

Guru sebagai fasilitator perlu memilih dan menentukan metode pembelajaran yang tepat. Pemilihan metode pembelajaran disesuaikan dengan kurikulum, kemampuan, karakteristik serta kondisi siswa. Penerapan metode pembelajaran yang tepat dapat berpengaruh pada proses belajar mengajar dan prestasi belajar siswa. Salah satunya dengan menerapkan metode pembelajaran kolaboratif.

Metode pembelajaran kolaboratif merupakan salah satu metode yang bisa membantu siswa dalam pemahaman konsep dan interaksi sosial. Kemudian, Strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) merupakan salah satu strategi dalam pembelajaran kolaboratif yang bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa dalam penyampaian pemahaman matematis siswa.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti menyusun hipotesis bahwa pembelajaran menggunakan strategi TAPPS akan meningkatkan kemampuan komunikasi matematis serta memberikan hasil belajar siswa yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran menggunakan strategi ekspositori.

D. Hipotesis penelitian

1. Strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) berpengaruh


(49)

48 2. Strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) berpengaruh

terhadap prestasi belajar siswa SMP.

3. Strategi eskpositori berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa SMP.

4. Strategi ekspositori berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa SMP. 5. Pembelajaran dengan strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS) lebih berpengaruh daripada pembelajaran dengan strategi ekspositori terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa SMP. 6. Pembelajaran dengan strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS) lebih berpengaruh daripada pembelajaran dengan strategi ekspositori terhadap prestasi belajar siswa SMP.


(50)

49 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian semu (quasi experiment). Menurut Campbell & Stanley (1972: 47) penelitian dikatakan semu karena tidak semua variabel yang muncul dan kondisi eksperimen dapat diatur dan dikontrol secara ketat oleh peneliti.

Adapun desain penelitian yang digunakan adalah Pretest-PosttestControl Group Design. Menurut Sugiyono (2015: 113), dalam desain in terdapat dua

kelompok yang dipilih secara random kemudian diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal adakah perbedaan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berikut ilustrasi desain penelitiannya:

Tahap-tahap penelitian ini sebagai berikut:

1. Kelas VII SMP N 1 Berbah memiliki 4 kelas paralel. Dua kelas diambil secara acak dari empat kelas yang ada untuk dijadikan kelas kontrol dan kelas eksperimen.

Kelas

Kontrol Pretest

Pretest

Posttest

Kelas Eksperimen

Pembelajaran dengan strategi ekspositori

Pembelajaran dengan

strategi Thinking Aloud

Pair Problem Solving


(51)

50 2. Pretest diberikan untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis

dan prestasi belajar siswa sebelum diberikan perlakuan.

3. Pembelajaran matematika dilakukan dengan strategi pembelajaran ekspositori untuk kelas kontrol dan strategi pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving untuk kelas eksperimen.

4. Memberikan posttest untuk mengukur kemampuan komunikasi

matematis dan prestasi belajar siswa setelah diberikan perlakuan. B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2015/2016.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP N 1 Berbah tahun pelajaran 2015/2016 yang terdiri dari 4 kelas. Pengambilan sampel sebanyak 2 kelas dilakukan secara acak untuk menentukan kelas kontrol dan kelas eksperimen.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas (faktor perlakuan)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah strategi pembelajaran. Perlakuan untuk kelas kontrol yaitu dengan menggunakan strategi pembelajaran ekspositori, dan perlakuan untuk kelas eksperimen yaitu dengan menggunakan strategi pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving.


(52)

51 2. Variabel terikat (respon yang diamati)

Variabel terikat yang diamati dalam penelitian ini adalah kemampuan komunikasi matematis dan prestasi belajar siswa.

3. Variabel kontrol (respon yang dikontrol)

Variabel kontrol dari penelitian ini adalah guru, materi yang diajarkan, mata pelajaran dan jumlah waktu perlakuan. Pembelajaran pada kelas kontrol dan kelas eksperimen dilakukan dengan jumlah jam pelajaran yang sama, soal tes yang sama, guru yang sama, dan materi yang sama yaitu segiempat.

E. Definisi Operasional Variabel

Untuk menghindari perbedaan penfasiran terhadap istilah–istilah pada variabel penelitian perlu adanya definisi operasional variabel yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Strategi pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)

adalah strategi pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari jawaban dari permasalahan yang ada secara berpasangan atau berkelompok. Dengan menerapkan strategi ini, siswa bisa berdiskusi dan saling bertukar ide atau pendapat dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Dalam strategi ini, pasangan siswa menerima sejumlah masalah dan juga peran khusus yakni problem solver (penyelesai masalah) dan listener (pendengar). Siswa bergantian dalam melaksanakan peran tersebut.


(53)

52 2. Strategi pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal (Wina Sanjaya,2006: 175). Dari penjelasan tersebut bisa diartikan bahwa materi pelajaran disampaikan langsung oleh guru dan siswa tidak dituntut untuk menemukan materi sendiri. Karena strategi ekspositori lebih menekankan kepada penjelasan guru, maka sering juga dinamakan strategi chalk and talk.

3. Kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud salam penelitian ini adalah kemampuan untuk mengomunikasikan ide secara tertulis yaitu penggunaan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara tertulis dengan menggunakan simbol matematis dalam menyelesaikan masalah. Indikator yang digunakan adalah penyajian informasi dalam simbol dan bahasa matematika dan menguraikan penyelesaian masalah yang terorganisir dan terstruktur. Data kemampuan komunikasi matematis siswa diperoleh dari hasil

pretest dan posttest.

4. Prestasi belajar siswa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah prestasi yang diperoleh siswa sebelum dan setelah diberikan suatu pembelajaran. Lazimnya, prestasi belajar ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru. Data prestasi belajar siswa diperoleh dari hasil pretest dan posttest.


(54)

53 F. Pengembangan Perangkat pembelajaran

Untuk memperlancar proses pembelajaran, perlu dikembangkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa (LKS).

1. RPP

Penelitian ini menggunakan 2 RPP, yaitu RPP untuk kelas kontrol dengan menggunakan strategi pembelajaran ekspositori dan RPP untuk kelas eskperimen menggunakan strategi pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving.

2. LKS

LKS merupakan salah satu alat bantu pembelajaran berupa lembaran kertas yang berisi informasi maupun pertanyaan yang harus dikerjakan oleh siswa. LKS ini dikerjakan oleh siswa kelas eksperimen. LKS yang digunakan berupa LKS yang didesain oleh peneliti dan dikonsultasikan kepada dosen pembimbing dan validator. G. Teknik Pengumpulan Data

Penulis membutuhkan beberapa teknik pengumpulan data untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi dan tes tertulis.

1. Observasi

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan pengamatan secara langsung selama pembelajaran untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran dengan strategi TAPPS dan strategi ekspositori.


(55)

54 2. Tes Tertulis

Tes merupakan teknik pengumpulan data dengan cara memberikan beberapa soal untuk diujikan kepada siswa. Pada penilitian ini, dilakukan dua kali tes yaitu Pretest dan Posttest. Prestest dilakukan untuk mengetahui kemampuan komunikasi

matematis dan prestasi belajar siswa sebelum diberikan perlakuan, sedangkan posttest dilakukan untuk mengetahui kemampuan

komunikasi matematis dan prestasi belajar siswa setelah diberikan perlakuan. Berdasarkan hasil pretest dan posttest siswa, nantinya

dapat diketahui perkembangan kemampuan komunikasi matematis dan prestasi belajar.

H. Instrumen Penelitian 1. Intrumen tes

Instrumen tes yang digunakan pada penelitian ini berupa soal pilihan ganda dan uraian. Tes diberikan pada kelas kontrol dan kelas eksperimen yang dilakukan sebelum dan sesudah diberikan perlakuan (pretest dan

posttest). Pretest dilaksanakan untuk memperoleh data kemampuan

komunikasi matematis dan prestasi belajar siswa sebelum diberikan perlakuan, sedangkan posttest dilaksanakan untuk memperoleh data

kemampuan komunikasi matematis dan prestasi belajar siswa setelah diberi suatu pembelajaran.


(56)

55 2. Lembar observasi

Lembar observasi diperlukan untuk mendeskripsikan keterlaksanaannya suatu pembelajaran. Lembar observasi ini berisi langkah-langkah pembelajaran yang sesuai, baik untuk kelas kontrol maupun untuk kelas eksperimen. Lembar observasi ini dapat memudahkan

observer ketika mengobservasi apakah pembelajaran di kelas sudah sesuai

dengan langkah-langkah yang seharusnya atau belum. I. Validitas dan Reliabilitas

1. Validitas

Suatu instrumen dapat dikatakan valid jika instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2013: 121). Instrumen tes diuji validitasnya dengan cara validitas isi dan validitas konstruk. Yang dimaksud dengan validitas isi yaitu validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat profesional judgment (Saifuddin, 2003: 45), sehingga baik lembar

observasi maupun instrumen tes divalidasi oleh beberapa dosen ahli. Validitas konstruk mengacu pada sejauh mana suatu instrumen mengukur konstruk teoritik yang hendak diukurnya. Setelah mendapat persetujuan dari para ahli, maka tes dicobakan pada paling sedikit 30 orang responden (siswa) yang memiliki kemampuan setara dengan sampel penelitian. Data yang diperoleh dari hasil uji coba dianalisis dengan menggunakan rumus rxy. Hasil yang didapatkan dari perhitunga rxy yang


(57)

56 nilai signifkasi 5% dan n sesuai jumlah siswa. Apabila rhitung > rtabel , maka

butir soal tersebut dikatakan valid dan kemudian akan diuji kereliabilitasnya.

2. Reliabilitas

Reliabilitas suatu tes berhubungan dengan kepercayaan dan keajegan hasil tes. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai tingkat reliabilitas tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap.

Peneliti menggunakan metode Alpha-Cronbach untuk pengujian reliabilitas soal uraian. Berikut rumus Alpha-Cronbach

= − −∑ �

Rumus Alpha-Cronbach.

Keterangan: r : reliabilitas

: banyaknya soal

∑ σi : jumlah varians skor tiap butir soal σt : varians total

Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 90), untuk mengetahui ketepatan suatu tes apabila diteskan kepada subjek yang sama (reliabilitas) pada dasarnya dapat dilihat dari kesejajaran hasil. Artinya, kriteria reliabilitas sama seperti kriteria koefisien korelasi product moment yang digunakan untuk menguji validitas, yaitu sebagai berikut.

Tabel 3. Kriteria Reliabilitas Nilai

Reliabilitas Makna > , Sangat tinggi

, < , Tinggi

, < , Cukup

, < , Rendah


(58)

57 Berdasarkan kriteria di atas, penulis memutuskan bahwa instrumen tes yang digunakan pada penelitian ini hanya yang memiliki kriteria reliabilitas tinggi atau sangat tinggi.

J. Hasil Uji Coba Soal Pretest dan Posttest

Soal pretest dan posttest sebelum digunakan diujicobakan terlebih dahulu terhadap kelas selain kelas sampel. Dalam hal ini, kelas yang digunakan sebagai kelas uji coba adalah kelas VIIC. Soal pretest dan posttest yang telah diujicobakan kemudian dianalisis kevaliditan konstruk serta reliabilitasnya. Dalam soal pretest dan posttest terdiri dari soal pilihan ganda dan soal esai. Soal pilihan ganda sebagai instrument untuk mengukur prestasi belajar siswa sedangkat soal esai digunakan sebagai instrumen untuk mengukur kemampuan komuunikasi matematis siswa.

Analisis yang dilakukan terhadap hasil uji coba berupa uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas soal menggunakan analisis butir soal menggunakan korelasi product moment. Sedangkan untuk uji reliabilitas menggunakan uji alpha cornbach. Berikut hasil analisis yang telah dilakukan.

1. Uji Validitas Dan Reliabilitas Soal Pretest a. Uji Validitas Soal Pretest

Soal pretest yang diujicobakan adalah soal pretest yang akan

digunakan dalam pengambilan data penelitian hasil pretest dari kelas

kontrol dan eksperimen. Soal pretest terdiri dari soal pilihan ganda sebanyak 20 soal dan soal uraian sebanyak 5 soal. Soal ini diujicobakan kepada 27 siswa.


(59)

58 Uji validitas soal pilihan ganda menggunakan uji validitas butir soal dengan rtabel= 0,381. Soal tersebut valid apabila rxy > rtabel. Hasil

validitas adalah sebagai berikut.

Tabel 4. Hasil Uji Validitas Soal Pretest Pilihan Ganda

No Soal rxy rtabel Keterangan

1 0,317 0,381 Tidak Valid

2 0,345 0,381 Tidak Valid

3 0,474 0,381 Valid

4 0,502 0,381 Valid

5 0,409 0,381 Valid

6 0,230 0,381 Tidak Valid

7 0,265 0,381 Tidak Valid

8 0,380 0,381 Valid

9 0,525 0,381 Valid

10 0,051 0,381 Tidak Valid

11 0,685 0,381 Valid

12 0,184 0,381 Tidak Valid

13 0,493 0,381 Valid

14 0,262 0,381 Tidak Valid

15 0,331 0,381 Tidak Valid

16 0,406 0,381 Valid

17 0,451 0,381 Valid

18 0,327 0,381 Tidak Valid

19 0,471 0,381 Valid

20 0,414 0,381 Valid

Dari uji validitas butir soal di atas, soal yang valid adalah soal nomor 3,4,5,8,9,11,13,16,17,19,20. Soal yang tidak valid seharusnya tidak bisa digunakan dan harus diperbaiki kemudian diujicobakan ulang. Dikarenakan tidak memungkinkan untuk mengujicobakan


(60)

59 kembali soal maka soal tidak valid dengan ≈ diperbaiki dan dianggap valid untuk dipergunakan. Soal-soal yang digunakan telah mewakili setiap indikator sesuai dengan kisi-kisi soal. Sehingga didapatkan soal yang valid yaitu soal nomor 1,2,3,4,5,8,9,11,13,15,16,17,18,19,20. Pengujian hasil validitas soal dapat dilihat pada lampiran halaman 279. Selanjutnya akan ditelaah mengenai ketidakvalidan soal dan perbaikan yang dilakukan.

Tabel 5. Analisis Soal Pretest Pilihan Ganda Nomor

Soal

Kekurangan Perbaikan

1 Tidak adanya gambar persegi panjang sehingga maksud soal kurang jelas. Menambahkan gambar persegi beserta informasi yang diperlukan untuk memperjelas soal.

2 Tidak adanya gambar persegi panjang sehingga maksud soal kurang jelas. Diperlukan juga arah putar sehingga siswa mengerti maksud soal.

Menambahkan gambar persegi beserta informasi yang diperlukan untuk memperjelas soal.

6 Informasi tambahan tidak diperlukan dan kurang lengkapnya gambar persegi yang disediakan.

Dibuang

7 Tidak adanya gambar jajargenjang pada soal sehingga siswa kurang mendapatkan informasi tambahan.

Dibuang

10 Gambar terlalu kecil dan tidak ada informasi tambahan pada


(1)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 8

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat ... 10

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ... 11

A. Teori yang Relevan ... 11

1. Belajar ... 11

2. Pembelajaran Matematika ... 16


(2)

xi

4. Efektivitas Pembelajaran ... 19

5. Prestasi Belajar ... 21

6. Kemampuan Komunikasi Matematis ... 23

7. Metode Pembelajaran Kolaboratif ... 30

8. Strategi Pembelajaran Think Aloud Pair Problem Solving ... 32

9. Strategi Pembelajaran Ekspositori ... 42

B. Penelitian yang Relevan ... 45

C. Kerangka Pikir ... 46

D. Hipotesis Penelitian ... 47

BAB III. METODE PENELITIAN... 49

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 49

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 50

C. Populasi dan Sampel ... 50

D. Variabel Penelitian ... 50

E. Definisi Operasional Variabel ... 51

F. Pengembangan Perangkat Pembelajaran ... 53

G. Tenik Pengumpulan Data ... 53

H. Instrumen Penelitian ... 54

I. Validitas dan Reliabilitas ... 55

J. Hasil Uji Coba Soal Pretest dan Posttest ... 57

K. Teknik Analisis Data ... 65

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 76

A. Hasil Penelitian ... 76

B. Pembahasan... 98

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

A. Kesimpulan ... 109

B. Saran ... 110

C. Keterbatasan Penelitian ... 110


(3)

xii DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kriteria Penskoran Kemampuan Komunikasi Matematis ... 28

Tabel 2. Tahapan Pemecahan Masalah ... 41

Tabel 3. Kriteria Reliabilitas... 54

Tabel 4. Hasil Uji Validitas Soal Pretest Pilhan Ganda ... 58

Tabel 5. Analisis Soal Pretest Pilihan Ganda ... 59

Tabel 6. Hasil Uji Validitas Soal Pretest Uraian ... 60

Tabel 7. Hasil Uji Validitas Soal Posttest Pilihan Ganda ... 62

Tabel 8. Analisis Soal Posttest Pilihan Ganda... 63

Tabel 9. Hasil Uji Validitas Soal Posttest Uraian ... 64

Tabel 10. Kriteria N-Gain Score ... 69

Tabel 11. Waktu Pelaksanaan Penilitian ... 76

Tabel 12. Rekap Nilai Keterlaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen ... 78

Tabel 13. Deskripsi Data Kemampuan Komunikasi Matematis Awal Dan Akhir Pada kelas Eksperimen Dan Kelas Kontrol ... 84

Tabel 14. Deskripsi Data Prestasi Belajar Awal Dan Akhir Pada Kelas Eksperimen Dan Kelas Kontrol ... 85

Tabel 15. Hasil Uji Normalitas ... 87


(4)

xiii DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tahap Think ... 80 Gambar 2. Tahap Pair ... 80 Gambar 3. Tahap Aloud ... 81


(5)

xiv DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Instrumen Penelitian ... 118

1.1 RPP Kelas Eksperimen ... 119

1.2 Lembar Kegiatan Siswa (LKS) ... 144

1.3 RPP Kelas Kontrol ... 178

1.4 Kisi-Kisi Soal Pretest dan Posttest ... 199

1.5 Soal Pretest... 205

1.6 Kunci Jawaban Soal Pretest ... 210

1.7 Soal Posttest ... 213

1.8 Kunci Jawaban Soal Posttest ... 218

Lampiran 2. Contoh Hasil Pekerjaan Siswa ... 221

2.1Lembar Kegiatan Siswa (LKS) ... 222

2.2Lembar Jawaban Pretest ... 234

2.3Lembar Jawaban Posttest ... 240

Lampiran 3. Keterlaksanaan Pembelajaran ... 246

3.1Lembar Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran Dengan Strategi Pembelajaran TAPPS ... 247

3.2Lembar Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran Dengan Strategi Pembelajaran Ekspositori ... 265

3.3Rekapitulasi Lembar Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran Dengan Strategi Pembelajaran TAPPS ... 277


(6)

xv 3.4Rekapitulasi Lembar Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran

Dengan Strategi Pembelajaran Ekspositori ... 280

Lampiran 4. Analisis Data... 282

4.1 Validitas Konstruk ... 283

4.2 Reliabilitas Instrumen ... 291

4.3 Analisis Deskripsi Data ... 294

4.4 Rekapitulasi Hasil Kemampuan Komunikasi Matematis ... 298

4.5 Rekapitulasi Hasil Prestasi Belajar ... 299

4.6 Uji Prasyarat Analisis ... 300

4.7 Uji Hipotesis ... 307

Lampiran 5. Surat-Surat ... 311

5.1 Surat Keterangan Validasi Instrumen ... 312

5.2 Lembar Validasi Instrumen ... 314

5.3 Surat Keterangan Penunjukan Dosen Pembimbing ... 367

5.4 Surat Ijin Penelitian Fakutas ... 368

5.5 Surat Ijin Penelitian BAPPEDA ... 369


Dokumen yang terkait

PENGARUH METODE TAPPS TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA

3 27 213

Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematik Siswa Dengan Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (Tapps)

8 37 157

Pengaruh Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (Tapps) Terhadap Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik Siswa (Penelitian Quasi Eksperimen Di Kelas Xi Ipa Sma Muhammadiyah 25 Pamulang)

3 26 192

Pengaruh Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (Tapps) Terhadap Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa Di Mts Hidayatul Umam

2 14 203

PENGARUH METODE THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) DAN GENDER TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIKA SISWA

34 139 204

Pengaruh metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dan gender terhadap kemampuan berpikir kritis matematika siswa

2 17 0

PENERAPAN STRATEGI THINK ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI Penerapan Strategi Think Aloud Pair Problem Solving (Tapps) Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis (PTK Bagi Siswa Kelas VIII Semester Ganjil S

0 2 18

PENERAPAN STRATEGI THINK ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI Penerapan Strategi Think Aloud Pair Problem Solving (Tapps) Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis (PTK Bagi Siswa Kelas VIII Semester Ganjil S

0 1 13

PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI DAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PENERAPAN THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING DISERTAI HYPNOTEACHING (HYPNO-TAPPS.

7 24 42

STRATEGI THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KELANCARAN BERPROSEDUR DAN KOMPETENSI STRATEGIS MATEMATIS SISWA SMP.

2 8 62