Pengaruh Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (Tapps) Terhadap Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik Siswa (Penelitian Quasi Eksperimen Di Kelas Xi Ipa Sma Muhammadiyah 25 Pamulang)

(1)

(Penelitian Quasi Eksperimen di Kelas XI IPA SMA Muhammadiyah 25 Pamulang)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh Yulisa Desriyanti NIM : 109017000099

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

Aloud Pair problem Solving (TAPPS) Terhadap Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik Siswa”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Desember 2013

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS) terhadap kemampuan penalaran adaptif matematik siswa. Penelitian ini dilakukan di SMA Muhammadiyah 25 Pamulang, Tahun Ajaran 2013/2014. Metode penelitian yang digunakan adalah metode quasi eksperimen dengan desain Post-test Only Control Group Design, yang melibatkan 63 siswa sebagai sampel. Pengumpulan data setelah perlakuan dilakukan dengan menggunakan tes kemampuan penalaran adaptif matematik siswa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan penalaran adaptif matematik siswa yang diajar dengan metode pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) lebih tinggi dari pada siswa yang diajar dengan metode pembelajaran konvensional. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata kemampuan penalaran adaptif matematik siswa yang diajar dengan metode pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) sebesar 63,80 dan nilai rata-rata kemampuan penalaran adaptif matematik siswa yang diajar dengan metode pembelajaran konvensional sebesar 47,18 (thitung = 4,65 dan ttabel = 2,00). Kesimpualan hasil penelitian ini adalah bahwa pembelajaran matematika pada pokok bahasan trigonometri dengan menggunakan metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan penalaran adaptif matematik siswa.

Kata kunci: Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS), Penalaran Adaptif Matematik


(6)

Solving (TAPPS) Method to Students Mathematical Adaptive Reasoning Skill”. Thesis Department of Mathematics Education, Faculty of Tarbiya and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, December 2013

The purpose of this research is to analysis the effect of thinking aloud pair problem solving (TAPPS) method to students mathematical adaptive reasoning skill. This research was conducted at SMA Muhammadiyah 25 Pamulang for academic year 2013/2014. The method used in this research is quasi experimental method with Post-test Only Control Group Design, involve 63 student as sample. Research data was collected using mathematical adaptive reasoning instrument.

The result of this research show that students’ from experiment class have better mathematical adaptive reasoning skill than student from conventional class. Students from experiment class have mathematical adaptive reasoning skill value 63,80 and students from conventional class have mathematical adaptive reasoning 47,18 (thitung = 4,65 dan ttabel = 2,00). Conclusion of this research that thinking aloud pair problem solving (TAPPS) has significant effect to student mathematical adaptive reasoning skill.

Key words: Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS), mathematical adaptive reasoning


(7)

Alhamdulillah segala puji kehadirat illahirabbi Allah SWT yang telah memberikan segala karunia, nikmat iman, nikmat islam, dan nikmat kesehatan yang berlimpah dari dunia sampai akhirat. Shalawat dan Salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun, berkat kerja keras, doa, perjuangan, kesungguhan hati dan dorongan serta masukan-masukan yang positif dari berbagai pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Maifalinda Fatra, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Otong Suhyanto, M.Si., Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Dr. Kadir, M.Pd., Dosen Pembimbing I dan Ibu Gusni Satriawati,

M.Pd., Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu, bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam membimbing penulis selama ini. Terlepas dari segala perbaikan dan kebaikan yang diberikan, Semoga Bapak dan Ibu selalu berada dalam kemuliaanNya.

5. Ibu Lia Kurniawati, M.Pd, Dosen Pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, motivasi, dan semangat dalam penulisan skripsi ini 6. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.


(8)

8. Kepala SMA Muhammadiyah 25 Pamulang, Ibu Zesmita Umar, SH yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.

9. Seluruh dewan guru SMA Muhammadiyah 25 Pamulang, khususnya Ibu Isni Wulandari selaku guru mata pelajaran, Bapak Puji, M.Pd selaku Waka Kurikulum, dan guru-guru yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini. Serta siswa dan siswi SMA Muhammadiyah 25 Pamulang, khususnya kelas XI IPA 1 dan XI IPA 2.

10.Keluarga tercinta Ayahanda Alm.Ahmad Hasan Basri, Ibunda Zelmi Desnita, S.Pd yang tak henti-hentinya mendoakan, melimpahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis. Kakak Nopi Desriyanto, S.Psi dan adik Aprilatiwi Desriyansi, serta semua keluarga yang selalu mendoakan, mendorong penulis untuk tetap semangat dalam mengejar dan meraih cita-cita. Skripsi ini ku persembahkan untuk Mama dan Alm.Papa. 11.Sahabat kosan yang tersayang Hesti, Qisty, Arya, Dijah, Imut, Indah, Puji dan

Ella yang tak henti-hentinya memberikan semangat dan menjadi tempat berbagi untuk segala cerita selama penulisan skripsi ini.

12.Sahabat seperjuangan Wulan Resti Oktaviani yang selalu merepotkan dan memberikan masukan positif kepada penulis. Viera, Devya, Dijah, Imut, dan Ghufron yang sudah membantu menghilangkan stres dan memberikan doa serta motivasi penuh selama proses penyusunan skripsi.

13.Sahabatku Tommy Adithya, S.Pd yang selalu meluangkan waktu untuk menemani dan memberikan motivasi serta arahan. Terimakasih sudah bersedia direpotkan.

14.Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan 2009, khususnya kelas C. Terimakasih untuk doa dan semangatnya. Semoga kekeluargaan kita tetap terjalin dengan baik.

15.Kakak Kelas angkatan 2008 yang telah membantu memberikan saran dan motivasi kepada penulis.


(9)

SWT di dunia dan akhirat. Amin yaa robbal’alamin.

Demikianlah, betapapun penulis telah berusaha dengan segenap kemampuan yang ada untuk menyusun karya tulis yang sebaik-baiknya, namun di atas lembaran-lembaran skripsi ini masih saja dirasakan dan ditemui berbagai macam kekurangan dan kelemahan. Karena itu, kritik dan saran dari siapa saja yang membaca skripsi ini akan penulis terima dengan hati terbuka.

Penulis berharap semoga skripsi ini akan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca sekalian umumnya.

Jakarta, 18 Januari 2014

Penulis Yulisa Desriyanti


(10)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORITIK DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 8

A. Deskripsi Teoritik... 8

1. Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik ... 8

a. Pengertian Matematika... 8

b. Matematika Sebagai Penalaran ... 9

c. Pengertian penalaran Adaptif ... 10

d. Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik ... 10

2. Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) ... 13

a. Pengertian Masalah dan Pemecahan Masalah... 13

b. Pengertian Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) ... 14

c. Pelaksanaan Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) ... 15

d. Langkah-langkah Dalam Menerapkan Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) ... 17


(11)

C. Kerangka Berpikir ... 22

D. Hipotesis Penelitian ... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 26

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

B. Metode dan Desain Penelitian ... 26

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 27

D. Teknik Pengumpulan Data ... 28

E. Instrumen Penelitian... 28

1. Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik ... 28

2. Instrumen Non-Test (Angket Respon Siswa) ... 36

F. Teknik Analisis Data ... 37

1. Teknik Analisis Data Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik ... 37

2. Teknik Analisis Data Respon Siswa ... 40

G. Hipotesis Statistik ... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Deskripsi Data ... 43

1. Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik Siswa Kelompok Eksperimen ... 43

2. Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik Siswa Kelompok Kontrol ... 45

3. Perbandingan Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 47

4. Data Sikap Siswa Terhadap Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) ... 52

B. Pengujian Persyaratan Analisis dan Pengujian Hipotesis ... 56

1. Pengujian Persyaratan Analisis ... 56


(12)

Matematik Siswa ... 59

2. Sikap Siswa Terhadap Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) ... 70

D. Keterbatasan Penelitian ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(13)

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian ... 26

Tabel 3.2 Desain Penelitian Posttest-Only Control Group Design ... 27

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik .... 29

Tabel 3.4 Pedoman Penskoran Soal Tes Kemampuan Penalaran Adaptif ... 30

Tabel 3.5 Rekap Data Hasil Uji Validitas Instrumen ... 32

Tabel 3.6 Rekap Data Hasil Uji Daya Pembeda Instrumen ... 33

Tabel 3.7 Rekap Data Hasil Uji Taraf Kesukaran Instrumen ... 34

Tabel 3.8 Rekap Data Hasil Uji Coba Instrumen ... 35

Tabel 3.9 Kisi-kisi Skala Sikap Siswa ... 36

Tabel 3.10 Skala Penilaian Angket ... 41

Tabel 3.11 Interpretasi Persentase Angket ... 42

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik Siswa Kelas Eksperimen ... 44

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik Siswa Kelas Kontrol ... 46

Tabel 4.3 Perbandingan Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 48

Tabel 4.4 Persentase Rata-rata Indikator Penalaran Adaptif Matematik Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 50

Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Skor Respon Siswa ... 53

Tabel 4.6 Persentase Skor Respon Siswa ... 54

Tabel 4.7 Hasil Uji Normalitas ... 57

Tabel 4.8 Hasil Uji Homogenitas ... 58


(14)

Gambar 4.1 Diagram Batang Frekuensi Kemampuan Penalaran Adaptif

Matematik Kelas Eksperimen ... 45 Gambar 4.2 Diagram Batang Frekuensi Kemampuan Penalaran Adaptif

Matematik Kelas Kontrol ... 47 Gambar 4.3 Kurva Perbandingan Nilai Kemampuan Penalaran Adaptif

Matematik Siswa pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 49 Gambar 4.4 Presentase Indikator Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik

Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 52 Gambar 4.5 Kurva Uji Perbedaan Data Kelompok Eksperimen dan Kelompok

Kontrol ... 59 Gambar 4.6 Cara Siswa Kelas Eksperimen dalam Menjalani Peran Sebagai

Problem Solver dan Listener ... 64 Gambar 4.7 Perbandingan Jawaban Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas

Kontrol pada Indikator Pertama ... 65 Gambar 4.8 Perbandingan Jawaban Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas

Kontrol pada Indikator Kedua ... 66 Gambar 4.9 Perbandingan Jawaban Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas


(15)

Lampiran 2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Kontrol ... 89

Lampiran 3 Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 97

Lampiran 4 Pedoman Penskoran Soal Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik... 134

Lampiran 5 Kisi-kisi Uj iInstrumen Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematis ... 135

Lampiran 6 Soal Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan penalaran adaptif Matematik ... 138

Lampiran 7 kunci Jawaban Instrumen Tes Penalaran Adaptif ... 140

Lampiran 8 Hasil Uji Validitas Instrumen ... 147

Lampiran 9 Hasil Uji Perhitungan Daya Pembeda Instrumen ... 148

Lampiran 10 Hasil Uji Tingkat Kesukaran Instrumen ... 149

Lampiran 11 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ... 150

Lampiran 12 Rekapitulasi Perhitungan Validitas, Daya Pembeda, dan Tingkat Kesukaran ... 151

Lampiran 13 Soal Tes Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik ... 152

Lampiran 14 Hasil Postes Kelas Eksperimen ... 154

Lampiran 15 Hasil Postes Kelas Kontrol ... 155

Lampiran 16 Distribusi Frekuensi Kelompok Eksperimen ... 156

Lampiran 17 Distribusi Frekuensi Kelompok Kontrol ... 160

Lampiran 18 Uji Normalitas Kelas Eksperimen ... 164

Lampiran 19 Uji Normalitas Kelas Kontrol ... 166

Lampiran 20 Perhitungan Uji Homogenitas ... 168

Lampiran 21 Perhitungan Pengujian Hipotesis ... 170

Lampiran 22 Angket Sikap Siswa ... 172

Lampiran 23 Perhitungan Angket Sikap Siswa ... 174

Lampiran 24 Perhitungan persentase Angket Respon Siswa ... 175


(16)

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dengan pendidikan, seseorang akan mendapatkan ilmu pengetahuan dan menuju kepada keberhasilan.

Pentingnya pendidikan juga tertuang dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU RI tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 No.20 tahun 2003.

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1

Uraian di atas menjelaskan bahwa pendidikan sangatlah penting bagi setiap warga untuk meningkatkan potensi sumber daya tiap warga Negara. Warga Negara yang berpendidikan akan dapat menggunakan daya pikirnya dalam memajukan nama baik bangsa dan Negara. Pada setiap kurikulum pendidikan nasional, mata pelajaran matematika selalu diajarkan di setiap jenjang pendidikan dan tingkatan kelas dengan proporsi waktu yang jauh lebih banyak daripada mata pelajaran lainnya. Secara tidak langsung, hal ini menunjukan bahwa mata pelajaran matematika diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan potensi peserta didik.

Pembelajaran matematika di sekolah diharapkan dapat mencapai kompetensi-kompetensi yang dapat menunjang potensi peserta didik. Melalui Permen 23 Tahun 2006, Pemerintah mengeluarkan 5 Standar Kompetensi Lulusan

1

Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan


(17)

(SKL) untuk mata pelajaran matematika. Salah satunya yang terdapat pada poin kedua yaitu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.2 Berdasarkan standar tersebut, jelas bahwa penalaran merupakan hal yang penting untuk dicapai dalam proses pencapaian kompetensi peserta didik.

Pada kenyataannya kemampuan penalaran yang dimiliki oleh setiap siswa masih sangat kurang. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil TIMSS 2011 yang menyatakan bahwa kemampuan rata-rata peserta didik Indonesia pada tiap domian ini masih jauh dibawah Negara tetangga Malaysia, Thailand dan Singapura. Rata-rata persentase yang paling rendah dicapai oleh peserta didik Indonesia adalah pada domain kognitif pada level penalaran (reasoning) yaitu 17%.3 Dengan hasil yang demikian, ketercapaian untuk kompetensi mata pelajaran matematika dirasa masih sangat jauh tertinggal. Pada hakikatnya, berdasarkan estimologi, perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar.4 Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan bernalar yang baik untuk membuat siswa lebih dapat memahami matematika.

Hal yang menjadi permasalahan saat proses belajar mengajar adalah banyaknya siswa yang berpendapat bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit untuk dipahami. Hal ini terjadi karena beberapa siswa hanya sekedar menghapal rumus, lalu mengikuti cara guru menjawab soal, dan bukan menganalisa persoalan yang diberikan. Sejalan dengan yang dikatakan Freudenthal dalam Steen bahwa sejumlah besar anak-anak beranggapan bahwa matematika itu sulit. Kesulitan anak dalam belajar matematika terletak pada kegagalannya dalam memahami ide matematika dengan pikirannya sendiri.5 Dalam proses pembelajaran diperlukan kemandirian dari siswa untuk mampu

2

Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Matematika, 2007

3

R. Rosnawati, Kemampuan Penalaran matematika Siswa SMP Indonesia Pada TIMSS 2011, Prosiding Seminar nasional Universitas Negeri Yogyakarta, 2013

4

Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA, hlm. 18

5

Steen, LA. (1999). Twenty Questions about Mathematical Reasoning. [Online].


(18)

mengembangkan dan merumuskan ide-ide matematikanya. Dengan pembelajaran yang seperti ini dapat membuat siswa aktif dan tidak hanya terpaku pada penjelasan guru.

Ruseffendi menyatakan bahwa matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran.6 Mengacu pada pendapat tersebut, penalaran merupakan salah satu aspek penting untuk memperoleh hasil belajar matematika yang baik. Dengan adanya penalaran, siswa dapat merasa yakin bahwa matematika itu dapat dipahami dan dianalisa. Para siswa harus belajar bagaimana cara menemukan kesalahan dalam berpikir. Dalam berdiskusi, mereka mempunyai kesempatan besar untuk mengembangkan kemampuan penalaran. Selain itu, kita sebagai guru juga dapat mengukur kemampuan penalaran mereka tentang suatu permasalahan matematika yang berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari.

Persoalan yang terjadi adalah bagaimana cara menanamkan konsep-konsep materi pembelajaran agar dapat meningkatkan kemampuan penalaran siswa. Proses pembelajaran yang terjadi kebanyakan berasal dari pemikiran guru. Soemarmo menyatakan, hendaknya guru berusaha agar siswa tidak hanya terampil mengaplikasikan konsep atau rumus saja, tetapi lebih didorong ke arah pencapaian tingkat penalaran yang lebih tinggi.7

Rendahnya kualitas penalaran matematika menurut IMSTEP JICA adalah karena guru terlalu berkonsentrasi pada hal-hal yang prosedural, pembelajaran yang masih berpusat pada guru, dan siswa dilatih menyelesaikan banyak soal tanpa pemahaman yang mendalam.8 Pembelajaran yang diukur dengan kelulusan UN membuat guru mempersiapkan siswa untuk menguasai teknik menjawab soal dengan cepat tanpa melatih daya nalar siswa. Pembelajaran yang hanya

6

Suherman, dkk. (2003). Op.cit hlm. 16

7

Lia Kurniawati, Pembelajaran dengan Pendekatan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan dan Penalaran Matematik Siswa SMP, Jurnal ALGORITMA Vol. 1 No. 1, Juni 2006, h.82

8Tatang Herman, “Pembelajaran Berbasis masalah untuk Meningkatkan Kemampuan

Penalaran Matematis Siswa SMP”, dalam Cakrawala Pendidikan, No.1. Th.XXVI, Februari 2007,


(19)

menanamkan rumus dan cara menjawab soal membuat kemampuan penalaran siswa menjadi terlupakan.

Lebih spesifik lagi bahwa kemampuan penalaran yang dimaksud dalam penelitian adalah kemampuan penalaran adaptif. Pada tahun 2001, National Research Council (NRC) memperkenalkan suatu penalaran yang merupakan cakupan dari kemampuan penalaran induksi dan deduksi. Kemampuan penalaran tersebut diperkenalkan dengan istilah penalaran adaptif. Penalaran adaptif adalah kompetensi untuk berpikir secara logis, merefleksikan, memberikan penjelasan mengenai konsep dan prosedur jawaban yang digunakan, dan menilai kebenarannya secara matematika.9

Untuk meningkatkan kemampuan penalaran siswa diperlukan metode pembelajaran yang dapat menjadikan siswa aktif dengan tujuan agar dapat melatih daya penalaran siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Silberman dalam bukunya bahwa pembelajaran tidak dapat ditelan secara keseluruhan. Untuk mengingat apa yang telah diajarkan, peserta didik harus mencernanya. Belajar yang sesungguhnya tidak akan terjadi tanpa ada kesempatan untuk berdiskusi, membuat pertanyaan, mempraktekkan, bahkan mengajarkan kepada orang lain.10 Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) adalah metode yang menekankan siswa untuk berpikir secara keras dan logis. Permasalahan yang diberikan berupa soal pemecahan masalah. Soal-soal pemecahan masalah dirasa mampu mengembangkan kemampuan peralaran siswa. Dengan TAPPS, siswa dilatih untuk menganalisa sebuah permasalahan, lalu menyampaikan kepada pasangannya. Aktivitas metode TAPPS dilakukan dalam kelompok kecil yang heterogen sehingga menuntut siswa untuk aktif dan berpendapat. Selain itu pada metode ini juga terjadi interaksi antar anggota kelompok. Kelompok yang hanya dibagi menjadi dua orang anggotanya menuntut siswa untuk aktif sebagai pembicara dan sebagai pendengar. Siswa dirasa mampu memberikan

9

Jeremy Kilpatrick, Jane Swafford, & Bradford Findell. (2001). Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics. Washington, DC: National Academy Press.

10

L Silberman. (2009). Active Learning: 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.


(20)

penalarannya terhadap permasalahan dan siswa juga diharap dapat belajar menganalisa pekerjaan teman kelompoknya.

Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa adanya hubungan antara tujuan pencapaian kemampuan penalaran adaptif matematika siswa yang berupa penyelesaian masalah menggunakan dugaan secara logis dan mampu memeriksa pekerjaan orang lain merupakan sesuatu yang dapat dikembangkan dengan menggunakan metode TAPPS. Dari latar belakang diatas, maka peneliti memilih judul penelitian: Pengaruh Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Terhadap Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik Siswa”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, identifikasi masalah yang ditemui yaitu :

1. Rata-rata kemampuan penalaran peserta didik Indonesia pada tiap domain masih jauh dibawah Negara tetangga.

2. Kebanyakan siswa berpendapat bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit untuk dipahami.

3. Guru terlalu berkonsentrasi pada hal-hal prosedural, pembelajaran masih berpusat pada guru, dan siswa dilatih menyelesaikan soal tanpa pemahaman yang mendalam.

C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian terarah dan tidak terjadi penyimpangan terhadap masalah yang akan dibahas, maka diberikan batasan sebagai berikut :

1. Kemampuan penalaran adaptif matematik siswa yang diukur difokuskan pada 3 indikator yaitu berisikan kemampuan memberikan alasan mengenai jawaban yang diberikan, kemampuan menarik kesimpulan dari sebuah pernyataan, dan kemampuan menemukan pola dari suatu masalah matematika. Hasil penalaran adaptif matematik siswa tersebut diperoleh dari nilai posttest siswa


(21)

2. Pembahasan kemampuan penalaran adaptif matematik siswa yaitu yang diberi permasalahan pemecahan masalah dengan pembelajaran menggunakan metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dan metode konvensional.

3. Sikap siswa terhadap penerapan metode pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)

4. Siswa yang diteliti adalah siswa kelas XI IPA SMA Muhammadiyah 25 Pamulang.

5. Materi yang dibahas adalah Trigonometri.

D. Rumusan Masalah

Sebagaimana diuraikan pada latar belakang masalah, bahwa perlu adanya peningkatan kemampuan penalaran adaptif matematik siswa. Dengan demikian yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah :

1. Apakah terdapat pengaruh metode pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) terhadap kemampuan penalaran adaptif matematik siswa?

2. Bagaimana sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian Eksperimen ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaruh metode pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) terhadap kemampuan penalaran adaptif matematik siswa.

2. Untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)


(22)

F. Manfaat Penelitian

Apabila hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan metode TAPPS memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan penalaran adaptif matematik siswa, maka diharapkan bermanfaat bagi berbagai pihak diantaranya: 1. Bagi Siswa

Hasil dari pembelajaran siswa dengan menggunakan metode TAPPS dapat meningkatkan kemampuan penalaran adaptif siswa.

2. Bagi Guru

Metode TAPPS dapat digunakan sebagai metode alternatif yang dapat meningkatkan kemampuan penalaran adaptif siswa pada proses pembelajaran. 3. Bagi Sekolah

Sekolah dapat merekomendasikan penggunaan metode TAPPS untuk meningkatkan kemampuan penalaran adaptif siswa bahkan untuk mata pelajaran lain

4. Bagi Peneliti

Peneliti dapat menambah wawasan tentang metode TAPPS dalam meningkatkan penalaran adaptif

5. Bagi Pembaca

Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi pembaca untuk diteliti lebih lanjut


(23)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Deskripsi Teoritik

1. Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik a. Pengertian Matematika

Istilah matematika berasal dari bahasa Yunani yaitu mathematike, yang mengandung pengertian hal-hal yang berhubungan dengan belajar (relating to learning). Kata tersebut mempunyai akar kata mathema yang artinya pengetahuan atau ilmu. Kata ini pun berhubungan erat dengan kata lain yaitu mathanein yang maknanya adalah belajar (learning).1

Menurut Turmudi, pada tahap awal matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris. Kemudian pengalaman itu diproses dalam dunia rasio, diolah secara analisis dan sintesis dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampailah pada suatu kesimpulan berupa sejumlah konsep matematika. Agar konsep-konsep matematika yang telah terbentuk itu dapat dipahami oleh orang lain dan dapat dengan mudah dimanipulasi secara tepat maka digunakan notasi dan istilah yang cermat serta disepakati bersama secara global yang dikenal dengan bahasa matematika.2

Selanjutnya, Kline dalam Suherman mengatakan bahwa matematika bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi matematika utamanya untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.3

Berdasarkan beberapa pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan yang sangat dibutuhkan oleh cabang-cabang ilmu pengetahuan yang lain karena matematika

1

Suhendra, dkk. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. (Jakarta: Universitas Terbuka , 2007) h. 7.4

2

Ibid., h.7.4

3

Erman Suherman, dkk. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.(Bandung: UPI, 2003). h. 18


(24)

merupakan ilmu yang melatih seseorang untuk berpikir secara logis dan menghasilkan ide-ide atau gagasan. Matematika mengajarkan untuk berpikir, bernalar, berkomunikasi, dan juga sebagai alat untuk memecahkan berbagai persoalan. Pembelajaran matematika adalah interaksi antar siswa dalam suatu suasana belajar matematika untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir dan meningkatkan keterampilan siswa dalam menyelesaikan persoalan.

b. Matematika Sebagai Penalaran

Matematika merupakan ilmu yang melatih cara berpikir sesuai logika dengan menganalisa terlebih dahulu situasi dan konsep yang ada. Seperti yang diungkapkan oleh Sukardjono bahwa matematika adalah cara atau metode berpikir dan bernalar.4 Sedangkan Suhendra mengemukakan bahwa matematika adalah kegiatan yang menggunakan penalaran. Dengan demikian dalam berbagai aktivitas pembelajaran matematika, peserta didik semestinya dikondisikan agar selalu menggunakan penalaran yang bersifat logis, kritis, sistematis, tepat, jelas, cermat, dan akurat.5

Menurut Shadiq, materi matematika dan penalaran matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Materi matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatihkan melalui belajar materi matematika.6 Soemarmo menyatakan bahwa matematika mempunyai dua arah pengembangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa depan. Salah satu visi pembelajaran matematika yaitu mengarahkan pada pemahaman konsep matematika yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika

4

Sukardjono. (2000). Filsafat dan Sejarah Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka, hlm. 13

5

Suhendra, dkk. (2007). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.

Jakarta: Universitas Terbuka, hlm. 7.17

6

Fajar Shadiq, “Pemecahan masalah, Penalaran dan Komunikasi”, Makalah disampaikan

pada Diklat Instruktur/Pengembangan Matematika SMA Jenjang Dasar, Yogyakarta, 6-19 Agustus 2004, h. 3.


(25)

dan masalah ilmu pengetahuan lainnya serta memberikan kemampuan penalaran matematika siswa.7

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa penalaran dan matematika merupakan dua kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Matematika dan penalaran saling berkaitan. Saat proses pembelajaran matematika, dibutuhkan pula proses bernalar. Matematika memanglah merupakan sebuah kegiatan berpikir dan menalarkan sesuatu sebelum menemukan penyelesaiannya.

c. Pengertian Penalaran adaptif

Pembelajaran matematika memuat berbagai kecakapan yang harus dimiliki oleh siswa sebagai wujud penguasaan terhadap ilmu matematika. Pada tahun 2001, National Research Council (NRC), memperkenalkan penalaran yang mencakup kemampuan induksi dan deduksi, dan kemudian diperkenalkan dengan istilah penalaran adaptif. Kilpatrick mendefinisikan penalaran adaptif sebagai kemampuan siswa untuk menarik kesimpulan secara logis, memperkirakan jawaban, memberi penjelasan mengenai konsep dan prosedur jawaban yang digunakan, serta menilai kebenarannya secara matematika.

d. Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik

Menurut Kilpatrick terdapat lima jenis kompetensi matematis yang harus dikembangkan dalam proses pembelajaran matematika disekolah yaitu:

1) Conceptual understanding (pemahaman konsep), yaitu kemampuan dalam mengaplikasikan konsep, operasi, dan relasi dalam matematika 2) Procedural fluency (kemahiran procedural), yaitu kemampuan yang

mencakup pengetahuan mengenai proses, serta kemampuan dalam

7

Lia Kurniawati, Pembelajaran dengan Pendekatan Pemecahan Masalah untuk

Meningkatkan Kemampuan Pemecahan dan Penalaran Matematik Siswa SMP, Jurnal ALGORITMA Vol. 1 No. 1, Juni 2006, h.78


(26)

membangun fleksibilitas, akurasi, serta efisiensi dalam menyelesaikan suatu masalah.

3) Strategic competence (kompetensi strategis), yaitu kemampuan untuk memformulasikan, mempresentasikan, serta menyelesaikan permasalahan matematika.

4) Adaptive reasoning (penalaran adaptif), yaitu kapasitas untuk berpikir secara logis tentang hubungan antara konsep dan situasi. Seperti memperkirakan jawaban, memberikan penjelasan mengenai konsep dan prosedur jawaban yang digunakan, dan menilai kebenarannya secara matematika.

5) Productive disposition (sikap produktif), yaitu tumbuhnya sikap positif serta kebiasaan untuk melihat matematika sebagai sesuatu yang masuk akal, berguna dan bermanfaat dalam skehidupan.8

Penalaran adaptif berperan sebagai perekat yang menyatukan kompetensi siswa, sekaligus menjadi pedoman dalam mengarahkan pembelajaran. Salah satu kegunaannya adalah untuk melihat melalui berbagai macam fakta, prosedur, konsep, dan metode pemecahan serta untuk melihat bahwa segala sesuatunya tepat dan masuk akal.9 Penalaran adaptif merupakan salah satu kecakapan yang harus dimiliki oleh siswa untuk menunjang kemampuan belajarnya. Dalam bukunya, Kilpatrick mengemukakan bahwa Penalaran adaptif tidak hanya mencakup penalaran deduktif saja yang hanya mengambil kesimpulan berdasarkan pembuktian formal secara deduktif, tetapi penalaran adaptif juga mencakup penalaran intuisi dan penalaran induktif dengan pengambilan kesimpulan berdasarkan pola, analogi, dan metafora.10

Pembelajaran yang mengacu pada penalaran adaptif tidak hanya menekankan siswa untuk menyesaikan sebuah permasalahan saja, tetapi siswa juga dituntut untuk menggunakan pemikirannya secara logis,

8

Jeremy Kilpatrick, Jane Swafford. & Bradford Findell. (2001). Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics. Washington, DC: National Academy Press. h. 5

9

Ibid h.129 10


(27)

sistematis dan kritis. Pembuktian yang dikemukakan oleh siswa harus sesuai dengan situasi dan konsep yang berlaku serta alasannya harus jelas. Salah satu kelebihan dari penalaran adaptif adalah siswa diberikan kesempatan untuk memeriksa pekerjaan seseorang.11 Pada kegiatan pemeriksaan ini, berkembang kemampuan siswa untuk menganalisa dimana letak kesalahan dari pekerjaan tersebut. Selain itu, siswa juga dapat memeriksa apakah pekerjaan tersebut tepat, jelas, dan masuk akal.

Siswa dapat menunjukan penalaran adaptif mereka ketika menemui tiga kondisi12, yaitu:

1. Mempunyai pengetahuan dasar yang cukup. Dalam hal ini siswa mempunyai kemampuan prasyarat yang bagus sebelum memasuki pengetahuan yang baru untuk menunjang proses pembelajaran

2. Tugas yang dapat dipahami atau dimengerti dan dapat memotivasi siswa

3. Konteks yang disajikan telah dikenal dan menyenangkan bagi siswa Indikator yang terdapat dalam penalaran adaptif yaitu:13

1. Kemampuan mengajukan dugaan atau konjektur

2. Kemampuan memberikan alasan mengenai jawaban yang diberikan 3. Kemampuan menarik kesimpulan dari sebuah pernyataan

4. Kemampuan memeriksa kesahihan suatu argumen

5. Kemampuan menemukan pola dari suatu masalah matematika

Berdasarkan penjelasan teori-teori penalaran adaptif diatas, dapat disimpulkan bahwa penalaran adaptif adalah suatu kegiatan berpikir secara logis antara konsep dan situasi dengan mengaitkan antara jawaban dan alasan yang diberikan. Sesuai dengan yang telah disampaikan dalam pembatasan masalah, kemampuan penalaran adaptif matematik yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi kemampuan siswa dalam

11

Ibid h. 130

12

Ibid

13

Djamilah Bondan W, Mengembangkan kecakapan Matematis mahasiswa Calon Guru matematika melalui Strategi Perkuliahan Kolaboratif berbasis masalah, Prosiding Seminar Nasional Fakultas MIPA Universitas negeri Yogyakarta, 2011, h.M-3


(28)

memberikan alasan mengenai jawaban yang diberikan, menarik kesimpulan dari sebuah pernyataan, dan menemukan pola dari suatu masalah matematika.

2. Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)

a. Pengertian Masalah dan Pemecahan Masalah

Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon. Namun mereka menyatakan juga bahwa tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah apabila pertanyaan itu menunjukan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui pelaku.

Masalah atau problem adalah suatu kesenjangan antara diamana anda berada sekarang dengan tujuan yang anda inginkan, sedangkan anda tidak tahu proses apa yang akan dikerjakan.14 W.W Sawyer menyatakan bahwa pengetahuan yang diberikan atau ditransformasikan langsung kepada para siswa akan kurang meningkatkan kemampuan bernalar (reasoning) mereka. W.W Sawyer menyebutnya hanya meningkatkan kemampuan untuk mengingat saja. Padahal di era global dan era perdagangan bebas, kemampuan bernalarlah serta kemampuan berpikir tingkat tinggi yang akan sangat menentukan keberhasilan mereka. Karenanya, pemecahan masalah akan menjadi hal yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan matematika, sehingga pengintegrasian pemecahan masalah (problem solving) selama proses pembelajaran berlangsung hendaknya menjadi suatu keharusan. 15

14

Erna Suwangsih dan Tiurlina, Model Pembelajaran Matematika, Cet.I,(Bandung: UPI

PRESS, 2006), h.126 15

Fajar Shadiq, “Pemecahan masalah, Penalaran dan Komunikasi”, Makalah disampaikan

pada Diklat Instruktur/Pengembangan Matematika SMA Jenjang Dasar, Yogyakarta, 6-19 Agustus 2004, h.16


(29)

Masalah merupakan pertanyaan yang membingungkan atau sulit. Sedangkan masalah dalam matematika adalah segala sesuatu yang memerlukan pengerjaan atau dengan kata lain segala sesuatu yang memerlukan pemecahan. Pemecahan masalah matematika adalah usaha seseorang dalam menggunakan berbagai konsep yang telah dipelajarinya untuk memecahkan masalah matematika bahkan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Adapun pengertian pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah suatu proses dalam menyelesaikan masalah yang tidak rutin yaitu masalah yang tidak dapat diselesaikan secara langsung atau tidak dapat diselesaikan dengan metode biasa, pemecahan masalahnya menggunakan metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS).

b. Pengertian Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Thinking Aloud artinya berpikir yang diverbalkan, Pair artinya berpasangan dan Problem Solving artinya pemecahan atau penyelesaian masalah. Jadi Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dapat diartikan sebagai teknik berpikir yang diverbalkan secara berpasangan dalam menyelesaikan masalah. Saat siswa memecahkan suatu permasalahan, siswa dapat langsung menyampaikan pemikirannya kepada teman sebaya. Kesempatan ini mengajarkan siswa untuk menjadi problem solver yang baik. TAPPS merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat menciptakan kondisi belajar aktif. Sehingga metode TAPPS memberikan tantangan kepada siswa untuk belajar dan berpikir sendiri.

Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Claparade, yang kemudian digunakan oleh Bloom dan Bloder untuk meneliti proses pemecahan masalah pada siswa SMA. Art Whimbey dan Jack lochhead telah mengembangkan metode ini pada pengajaran matematika dan fisika. Pada metode TAPPS, siswa dibagi menjadi beberapa tim, setiap tim terdiri


(30)

dari dua orang. Satu orang siswa berperan menjadi problem solver dan satu orang lagi berperan menjadi listener.16

c. Pelaksanaan Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving

(TAPPS)

Menurut Whimbbey dan Lochhead, metode TAPPS menggambarkan pasangan yang bekerja sama sebagai problem Solver dan listener untuk memecahkan suatu permasalahan, dan setelah selesai bertukar peran. Setiap siswa mempunyai tugas masing-masing, dan guru dianjurkan untuk mengarahkan siswa Proses ini telah terbukti efektif dalam membantu siswa belajar.17

Tugas dari problem solver dan listener adalah sebagai berikut: 18 a) Tugas Problem Solver :

1. Membacakan soal dengan suara lantang agar listener dapat mengetahui permasalahan yang akan diselesaikan

2. Memulai penyelesaian soal dengan caranya sendiri. Problem solver mengemukakan semua pendapat dan gagasannya kepada listener. Dalam menganalisa soal, problem solver harus menganalisa sesuai fakta dan konsep yang telah dipahami. Selain itu, ia juga menyampaikan langkah-langkah penyelesaian yang akan dilakukannya dan juga menyertakan apa, mengapa, dan bagaimana penyelesaian itu diambil. Diharapkan dengan cara itu, listener dapat mengerti penyelesaian yang dilakukan oleh problem solver. 3. Problem solver harus lebih berani mengungkapkan segala hasil

pemikirannya. Anggaplah bahwa listener tidak sedang mengevaluasi.

16

Stice, J. E. (1987). Teaching problem Solving [Online]. Tersedia: http://wwwcsi.Unian.it/educa/problemsolving/stice_ps.html

17

Scott D. Johnson, The Effect of Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) on The

Troubleshooting Ability of Aviation Technician Students [Online]. Tersedia :

http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JITE/v37n1/john.html 18

Elizabeth F Barkley. Student Engagement Techniques: A Handbook For College Faculty. 2010. USA: PB Printing.


(31)

4. Mencoba untuk menyelesaikan masalah sekalipun problem solver menganggap masalah tersebut sulit

b) Tugas Listener :

1. Mendengarkan dan menganalisa pendapat yang diberikan oleh problem solver

2. Memahami secara detail setiap langkah, jawaban, dan analisa yang diberikan oleh Problem solver

3. Meminta problem solver untuk tetap menyampaikan sampai masalah terselesaikan.

4. Bertanya ketika problem solver mengatakan sesuatu yang kurang jelas. Jangan biarkan problem solver melanjutkan penjelasannya jika listener tidak mengerti yang problem solver lakukan, atau jika listener merasa bahwa yang dijelaskan terjadi kesalahan, dengan meminta problem solver mengecek kembali langkah penyelesaian yang ditempuhnya.

5. Tidak memecahkan masalah yang dihadapi problem solver. Jika problem solver terus membuat kesalahan dalam berfikir atau menghitung, tunjukkan kesalahannya, tetapi jangan membantu memberi jawaban ataupun penjelasan.

Setelah suatu masalah terselesaikan, kedua siswa saling bertukar peran. Hal ini berguna agar setiap siswa dapat memberikan analisa mereka sebagai pembicara dan pada tugas lainnya siswa tersebut juga dapat belajar menganalisa suatu pekerjaan dari temannya.

Adapun pada proses pembelajaran ini, Guru berperan untuk memonitor siswa sehingga dapat mengetahui tingkat pemahaman siswa. Peran guru sangatlah terbatas. Guru tidak diberi wewenang untuk membantu problem solver dalam memberi penjelasan. Jika guru mendengarkan terjadi kesalahan dalam penyampaian oleh problem solver, maka guru hanya boleh meluruskan sedikit saja agar kesalahan tersebut tidak berkepanjangan. Tugas guru hanya mengamati kegiatan diantara


(32)

setiap pasangan siswa, memonitor aktivitas belajar siswa dan memberi perhatian khusus kepada listener yaitu melatih mengajukan pertanyaan kepada problem solver. Hal ini diperlukan karena keberhasilan metode ini akan tercapai apabila listener berhasil membuat problem solver memberikan alasan dan menjelaskan apa yang mereka lakukan untuk memecahkan masalah.

Jika terdapat pasangan yang mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah, guru dapat membantu pasangan tersebut diantaranya dengan cara: menjadi listener dengan memberikan pertanyaan yang merupakan bantuan menuju sesuatu yang dibutuhkan oleh siswa dan memberi arahan yang dapat dimengerti siswa, namun tidak mengungkapkan seluruh jawaban yang dibutuhkan oleh siswa.

d. Langkah-langkah dalam menerapkan metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)

Adapun langkah-langkah dalam pelaksanaan metode pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) adalah sebagai berikut: 1) Siswa dibagi menjadi berkelompok

2) Setiap kelompoknya terdiri dari 2 orang siswa

3) Siswa diminta duduk secara berpasangan dan saling berhadapan

4) Setiap anggota kelompok menentukan siapa yang terlebih dahulu menjadi problem solver dan siapa yang menjadi listener

5) Setelah itu, guru memberikan soal kepada setiap kelompok

6) Yang berperan sebagai problem Solver harus membacakan soal dengan jelas kepada listener

7) Selanjutnya, sebelum problem Solver memberikan gagasannya mengenai soal tersebut, ia terlebih dahulu harus melakukan penalaran terhadap soal yang diberikan guru.

8) Setelah itu barulah problem Solver menyampaikan hasil penalarannya kepada listener


(33)

9) Listener bertugas untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh problem solver dan memahami setiap langkah, jawaban, dan analisa yang diberikan

10)Listener tidak diperkenankan menambahkan jawaban problem solver karena listener disini hanya berhak untuk memberitahukan apa bila terjadi kekeliruan dalam analisa problem solver

11)Apabila suatu soal atau masalah telah terselesaikan oleh problem solver maka mereka segera bertukar tugas. Problem solver menjadi listener dan listener menjadi problem solver.

12)Setelah mereka bertukar tugas lalu guru memberikan masalah yang baru yang harus diselesaikan oleh problem solver yang baru. Hal ini dilakukan agar setiap siswa berkesempatan untuk memberikan hasil analisa mereka dan berkesempatan juga menjadi pendengar.

Lebih khusus lagi dalam penelitian ini, metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) adalah metode pembelajaran yang dilakukan melalui tahapan : Siswa mendapatkan permasalahan yang berbeda dengan pasangannya. Siswa menjalani peran sebagai problem solver untuk menyelesaikan permasalahannya kemudian memaparkan kepada listenernya. Setelah selesai, dilanjutkan untuk permasalahan kedua dengan bertukar peran.

3. Pembelajaran Konvensional

Seorang guru harus menguasai metode pembelajaran yang dapat memberikan nilai tambah bagi anak didiknya. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya dari nilai proses pembelajarannya adalah hasil belajar yang optimal atau maksimal.19 Salah satu metode pembelajaran yang masih berlaku dan sangat banyak digunakan oleh guru adalah metode pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvensional menjadikan siswa belajar secara pasif karena disini guru dianggap sebagai penyedia pelajaran dan siswa hanya sebagai penerima. Segala aktifitas pembelajaran dikendalikan oleh guru.

19

Wina Wijaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: 2009)


(34)

Menurut beberapa para ahli, berikut pengertian pembelajaran konvensional:

1) Djamarah, metode pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan.

2) Freire, memberikan istilah terhadap pengajaran seperti itu sebagai suatu

penyelenggaraan pendidikan ber”gaya bank” penyelenggaraan pendidikan

hanya dipandang sebagai suatu aktivitas pemberian informasi yang harus

“ditelan” oleh siswa, yang wajib diingat dan dihapal.20

Secara umum, ciri-ciri pembelajaran konvensional adalah sebagai berikut:

1) Siswa adalah penerima informasi secara pasif, dimana siswa menerima pengetahuan dari guru dan pengetahuan diasumsinya sebagai badan dari informasi dan keterampilan yang dimiliki sesuai dengan standar.

2) Belajar secara individual

3) Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis 4) Perilaku dibangun atas kebiasaan

5) Kebenaran bersifat absolut dan pengetahuan bersifat final 6) Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran 7) Perilaku baik berdasarkan motivasi ekstrinsik 8) Interaksi diantara siswa kurang

9) Guru sering bertindak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar

Namun perlu diketahui bahwa pengajaran metode ini dipandang efektif atau mempunyai keunggulan, terutama:

1) Berbagai informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.

20


(35)

2) Menyampaikan informasi dengan cepat 3) Membangkitkan minat akan informasi

4) Mengajari siswa yang yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan 5) Mudah digunakan dalam proses belajar mengajar

Pembelajaran konvensional memiliki kelemahan adalah sebagai berikut: 1) Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan 2) Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa

yang dipelajari

3) Para siswa tidak mengetahui apa tujuan mereka belajar pada hari itu 4) Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas

5) Daya serapnya rendah dan cepat hilang karena bersifat menghapal21

4. Sikap dan Teori Pengukurannya

Sikap dapat dikatakan sebagai ekspresi derajat suka atau tidak suka terhadapa berbagai hal. Sikap mewakili penilaian atau kecenderungan kesukaan kita terhadap berbagai jenis objek sikap.22 Melalui sikap, seseorang dapat menyatakan penilaiannya terhadap suatu objek dalam kategori suka atau tidak suka. Selain itu, beberapa ahli psikologi sosial dan kepribadian berpendapat bahwa sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.23

Sikap dikatakan sebagai suatu respons evaluative yang hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. reaksi yang dinyatakan timbul berdasarkan proses evaluasi dan kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk,

21

www.google.co.id,http://yasphunkalfreth.blogspot.com/2010/06/perbandingan metode pembelajaran.htlm

22

Morgan, The Commitemn-Trust Teory of Relationship Marketing. Journal of Marketing, 1999

23


(36)

positif-negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap.24

Ajzen menyatakan bahwa sikap mempunyai tiga komponen, yaitu:25 a. Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang

berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Kepercayaan datang dari apa yang telah kita lihat dan kita ketahui. Tetapi terkadang kepercayaan sebagai komponen kognitif tidak selalu akurat. Kadang-kadang kepercayaan terbentuk karena kurangnya informasi yang benar mengenai objek yang dihadapi.

b. Komponen Afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Pada umumnya reaksi emosional yang merupakan komponen afektif ini banyak dipengaruhi oleh kepercayaan. c. Komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku

atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku.

Konsistensi antara kepercayaan sebagai komponen kognitif, perasaan sebagai komponen afektif, dengan perilaku sebagai komponen konatif seperti itulah yang menjadi landasan dalam usaha penyimpulan sikap yang dicerminkan oleh jawaban terhadap skala sikap.26

Sikap dalam penelitian ini adalah dampak dari pemberian stimulus yang berupa pendapat dan keyakinan mengenai suatu objek disertai dengan perasaan tertentu serta memberikan dasar kepada orang tersebut untuk berperilaku. Salah satu aspek penting guna memahami sikap adalah dengan diberikannya pengukuran untuk sikap itu sendiri. Untuk mengukur sikap siswa, dalam penelitian ini diberikan angket yang berbentuk skala sikap. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan pada bab selanjutnya.

24

Ibid, h.15

25

Ibid, h.24

26


(37)

Berdasarkan pengertian dan komponen sikap maka indikator yang digunakan dalam pengukuran sikap yaitu:

1. Kognitif (Kepercayaan), berupa motivasi, pemahaman

2. Afektif (Perasaan), berupa ketertarikan, perasaan senang, perasaan bosan. 3. Konatif (Perilaku), berupa keaktifan, kemalasan.

B. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai referensi penelitian terkait dengan implementasi metode pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) untuk meningkatkan kemampuan penalaran adaptif matematik siswa adalah sebagai berikut: Penelitian Harry Benham yang berjudul “Using Talking Aloud Pair Problem Solving to Enhance Student performance in Produktivity

Software Course”. Jurnal ini dilakukan untuk mengetahui dampak metode TAPPS terhadap prestasi siswa pada pembelajaran Komputer khususnya Software. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang diklasifikasikan dengan menggunakan metode TAPPS lebih baik dari pada pembelajaran yang mengklasifikasikan siswa dalam bentuk kelompok (4-5 orang) ataupun secara individual. Hasil yang dicapaipun sangat signifikan.27

C. Kerangka Berpikir

Pendidikan matematika merupakan bagian dari sistem pendidikan secara keseluruhan. Ini terbukti dengan banyaknya jam pelajaran matematika yang diwajibkan oleh pemerintah. Sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika disekolah menurut Depdiknas (2006) yaitu: (1) memahami konsep, (2) menggunakan penalaran pada pola dan sikap, (3) memecahkan masalah, (4) mengkomunikasikan gagasan, dan (5) sikap menghargai matematika.28 Jelas

27

Harry Benham, Using Talking Aloud Pair Problem Solving to Enhance Student performance in Produktivity Software Course, Issues in Information System Volume X, No. 1, 2009

28

Dodi Syamsuduha, Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Berbantuan Program Geometers Sketchpad Terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Siswa SMP, JIP STKIP Kusuma Negara, Vol.3 tahun II - 2010


(38)

terlihat bahwa kemampuan penalaran merupakan salah satu aspek yang harus dikuasai oleh siswa baik pada tingkat dasar maupun tingkat menengah.

Kemampuan penalaran melatih siswa untuk ikut terlibat berpikir dan mempertimbangkan sesuatu. Saat siswa diberi sebuah permasalahan, siswa dituntut untuk memberikan dan mengembangkan ide matematikanya melalui kemampuan penalarannya. Jadi siswa tidak hanya sekedar menerima dari guru dan tidak hanya sekedar memahami konsep ataupun rumus saja. Ide matematika yang dimiliki oleh siswa dapat dikembangkan menjadi sebuah penyelesaian menurut kemampuan siswa itu sendiri dalam menangani persoalan yang diberikan oleh guru. Dengan penalaran siswa dirasa mampu lebih mandiri dalam menggunakan daya pikirnya.

Salah satu kemampuan penalaran adalah penalaran adaptif yang mencakup kemampuan induktif dan deduktif. Pembelajaran yang mengacu pada kemampuan penalaran adaptif ini tidak hanya menekankan siswa untuk menyelesaikan sebuah permasalahan saja, tetapi menuntut siswa untuk menggunakan pemikirannya secara logis, sistematis, dan kritis. Pembuktian yang dikemukakan oleh siswa harus sesuai dengan situasi dan konsep yang berlaku serta alasannya harus jelas.

Penalaran adaptif bukan hanya mampu berpikir dan bernalar secara logis saja yang ditingkatkan. Penalaran ini juga menekankan siswa untuk mampu memperkirakan jawaban yang akan diambil saat mendapatkan persoalan. Selain itu, siswa juga harus bisa memberi penjelasan tentang konsep dan prosedur penyelesaian permasalahannya.

Untuk mengembangkan kemampuan penalaran adaptif siswa perlu digunakan metode pembelajaran yang efektif dan aktif. Metode pembelajaran konvensional yang sering kali digunakan oleh guru-guru di sekolah dirasa kurang efektif untuk membangun kemampuan penalaran adaptif. Metode konvensional hanya menekankan pada pemberian informasi dari seorang guru kepada sekelompok siswa. Hal ini membuat siswa menjadi pasif dalam pembelajaran di kelas. Metode pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dirasa mampu memfasilitasi siswa dalam manyampaikan ide-ide matematikanya dan menjadikan siswa mampu menggunakan daya nalarnya.


(39)

Metode TAPPS merupakan suatu metode pembelajaran yang melibatkan dua orang siswa bekerja sama menyelesaikan suatu masalah. Satu siswa memecahkan masalah kemudian memaparkannya dan satu siswa lain mendengar. Hal ini akan meningkatkan vokalisasi dan akurasi serta kemampuan komunikasi lisan siswa. Selin itu juga dapat membantu siswa mengamati dan memahami proses berpikir mereka sendiri dan pasangannya.29 Kelebihan dari metode TAPPS adalah melibatkan siswa dalam memeriksa penjelasan dari pasangannya. Jadi pada pembelajaran ini diberikan 2 permasalahan yang harus dinalarkan oleh pasangan tersebut. Tiap siswa bebas mengeluarkan ide dan pendapatnya dalam penyelesaian soal. Bahkan tiap siswa harus memaparkan kepada pasangannya tentang cara penyelesaiannya sambil dikoreksi oleh pasangannya tersebut.

Melalui metode TAPPS siswa belajar untuk bertanggung jawab dalam kegiatan pembelajaran. Siswa tidak sekedar menjadi penerima yang pasif saja tetapi siswa juga dituntut untuk mampu menemukan sendiri penyelesaian dari suatu masalahnya. Siswa dilatih untuk aktif mencari informasi sendiri dan dituntut terampil bertanya dan mengemukakan pendapat. Siswa juga harus menemukan informasi yang relevan dari sumber yang ada dan harus mampu mencari solusi yang efektif sehingga ketika siswa tersebut mampu memecahkan permasalahannya sendiri maka ia akan menemukan kepuasan dan kebanggaan.

Secara rinci, metode TAPPS memiliki beberapa keunggulan, antara lain: 1. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menganalisa suatu permasalahan 2. Mengembangkan kemampuan siswa dalam memecahkan suatu permasalahan 3. Meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep belajar

4. Melatih siswa berpikir secara sistematik 5. Meningkatkan keahlian mendengarkan aktif

6. Melatih konsentrasi siswa dalam menyimak dan mengoreksi penjelasan dari teman sebaya

Menurut Casuro dan Tudge, metode TAPPS efektif dan efisien membangun kemampuan menjelaskan analitis siswa karena metode ini melibatkan

29

David H. Jonassen, Learning to Solve Problem An Instructional Design Guide, (San Francisco: Pfeiffer,2004), h. 139.


(40)

pertukaran konsepsi antar siswa yang membantu mereka meningkatkan pembelajaran dan pemahaman mereka terhadap materi pelajaran sehingga membantu mereka dalam memahami konsep dengan pemahaman yang lebih baik.30 Elizabeth juga mengemukakan bahwa TAPPS dapat meningkatkan kemampuan analisis dengan cara membantu siswa untuk merumuskan ide-ide, melatih konsep, memahami tahapan-tahapan pokok dalam proses berfikir dan mengetahui kesalahan dari hasil penalaran seseorang. Metode TAPPS menekankan pada proses pemecahan masalah dari pada hasil. Setelah itu dijabarkan prosesnya dan membantu siswa berlatih kemampuan memecahkan masalah dan belajar untuk mendiagnosa kesalahan dalam logika.31

Pembelajaran dengan menggunakan metode TAPPS selain bertujuan untuk menghindari jawaban sederhana dalam pemecahan masalah, juga bertujuan untuk meningkatkan daya pikir siswa. Saat siswa melakukan proses sebagai problem solver ataupun listener, siswa harus menalarkan dan memutuskan langkah-langkah penyelesaian suatu permasalahan matematika. Pembelajaran akan terasa lebih bermakna untuk siswa apabila ia mampu menemukan sendiri solusi dari permasalahan yang diberikan. Sehingga membuat anak mandiri dalam menggunakan daya pikir dan analisanya.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan deskripsi teoritik dan kerangka berpikir yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian adalah “Kemampuan penalaran adaptif matematik siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) lebih tinggi daripada kemampuan penalaran adaptif matematik siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan metode konvensional”.

30

Arthur Whimbey and Jack lochhead, Problem Solving & Comprehension. 1999

31

Elizabeth F Barkley. Student Engagement Techniques: A Handbook For College Faculty. 2010. USA: PB Printing


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Muhammadiyah 25 Pamulang pada semester ganjil bulan Oktober sampai dengan November tahun ajaran 2013-2014 dengan objek penelitian siswa kelas XI IPA 1 dan XI IPA 2 pada materi Trigonometri. Jadwal penelitian dapat dilihat pada tabel 3.1

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian

No Jenis Kegiatan Sep Okt Nov Des

1 Perencanaan

2 Observasi

3 Penelitian

4 Analisis Data

5 Laporan Penelitian

B. Metode dan Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode quasi eksperimen, dimana metode ini tidak memungkinkan peneliti melakukan pengontrolan penuh terhadap faktor lain yang mempengaruhi variabel dan kondisi eksperimen.1 Desain eksperimen ini memiliki dua kelompok yaitu: kelompok pertama yang mendapatkan perlakukan (treatment) sedangkan kelompok kedua merupakan pengendali (kontrol). Desain ini menggunakan Posttest-Only Control Group Design. Dalam desain penelitian ini objek yang akan diteliti akan diberikan tes akhir setelah kedua kelas mendapatkan perlakuan. Kelas eksperimen diberikan perlakuan (treatment) berupa penggunaan metode pembelajaran Thinking Aloud

1

Sugiyono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D), Cet.X, (Bandung: Alfabeta, 2010), h.114


(42)

Pair Problem Solving (TAPPS) sedangkan kelas kontrol diberikan pembelajaran konvensional. Desain ini digambarkan pada tabel 3.2

Tabel. 3.2

Desain Penelitian Posttest-Only Control Group Design2

Kelompok Perlakuan Test Akhir

RE X1 O

RK X2 O

Keterangan:

RE = Proses pemilihan subyek pada kelas eksperimen Rk = Proses pemilihan subyek pada kelas kontrol

X1 = Perlakuan dengan penggunaan metode pembelajaran TAPPS X2 = Perlakuan dengan penggunaan pembelajaran konvensional O = Tes akhir (Posttest)

Pada pelaksanaannya, peneliti terlibat langsung dalam mengumpulkan, mengolah, menganalisis, serta menarik suatu kesimpulan dari data yang diperoleh. Dalam penelitian ini, sebelum memberikan tes akhir peneliti mengajarkan materi dengan menggunakan metode pembelajaran thinking aloud pair problem solving (TAPPS) pada kelas eksperimen. Pada tahap akhir peneliti memberikan soal posttest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian atau dapat juga disebut wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya.3 Populasi dalam sebuah penelitian terbagi lagi menjadi populasi target dan populasi terukur. Populasi target adalah populasi yang yang menjadi sasaran keberlakuan dalam suatu penelitian dan populasi terukur adalah yang secara nyata menjadi dasar dalam penentuan sampel dan menjadi sasaran

2

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2010), hal. 206 3


(43)

penelitian.4 Populasi target dalam penelitian ini adalah siswa SMA Muhammadiyah 25 Pamulang, sedangkan populasi terukur adalah siswa kelas XI IPA SMA Muhammadiyah 25 Pamulang sebanyak 3 kelas.

Selain menentukan populasi, ditentukan pula sampel dalam sebuah penelitian. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.5 Sampel ini diambil dari populasi terjangkau dengan teknik Cluster Random Sampling, yaitu pengambilan 2 unit kelas dari kelas XI IPA. Kelas eksperimen berasal dari kelas XI IPA 1 sebanyak 30 orang dan kelas kontrol berasal dari kelas XI IPA 2 sebanyak 33 orang.

D. Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian ini diambil dari hasil tes kemampuan penalaran adaptif matematika di kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tes yang dikerjakan oleh kedua kelas tersebut adalah sama. Instrumen tes yang digunakan adalah tes berbentuk essay sebanyak 5 soal yaitu soal nomor 1, 2, 4, 5, dan 6. Diberikan tes dalam bentuk essay dikarenakan siswa dituntut menjawab secara teliti, analisis dan sistematik (teratur).

Selain itu dilakukan juga penyebaran angket untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran menggunakan metode pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS). Tetapi penyebaran angket ini hanya dilakukan pada kelas eksperimen.

E. Instrumen Penelitian

1. Tes Kemampuan Penalaran Adaptif matematik

Instrumen tes kemampuan penalaran adaptif matematik yang diberikan sesuai dengan indikator penalaran adaptif matematik. Tes uji coba tersebut, terlebih dahulu diberikan kepada 32 siswa kelas XII IPA di SMA Muhammadiyah 25. Tes uji coba ini dilakukan untuk mengetahui apakah tes

4

Nana Syaodih,. Op cit h. 250. h. 251

5


(44)

tersebut telah memenuhi uji prasyarat instrumen yakni dengan menguji validitas, realibilitas, daya pembeda dan taraf kesukaran.

Tabel 3. 3

Kisi-kisi Instrumen Kemampuan Penalaran Adaptif Matematik Standar kompetensi: Menurunkan rumus trigonometri dan penggunaannya

KD Indikator Soal

Indikator Kemampuan Penalaran adaptif No. Soal

1 2 3

1. Mengguna kan rumus sinus dan kosinus jumlah dua sudut, selisih dua sudut, dan sudut ganda untuk menghitun g sinus dan kosinus sudut tertentu

1.Membuktikan suatu persamaan trigonometri dengan memberikan alasan pada setiap langkahnya. Pembuktian menggunakan rumus sinus jumlah dua sudut

√ 6

2.Menentukan pola dari deret yang berbentuk trigonometri dengan menggunakan rumus sinus jumlah dua sudut

√ 7

3.Menentukan jenis dari sebuah segitiga dengan menarik kesimpulan dari besar sudut yang didapat

√ 4

4.Membuktikan suatu persamaan trigonometri dengan memberikan alasan pada setiap langkahnya. Pembuktian menggunakan rumus tangen jumlah dua sudut

√ 2

5.Menentukan pola dari beberapa rumus yang didapat dengan menguraikan rumus sinus sudut ganda


(45)

Keterangan : Indikator kemampuan penalaran adaptif

1. Mampu memberikan alasan mengenai jawaban yang diberikan 2. Mampu menarik kesimpulan dari sebuah pernyataan

3. Menemukan pola masalah matematika

Untuk memperoleh skor kemampuan Penalaran Adaptif matematik siswa, diperlukan pedoman penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal, penskoran tersebut seperti pada tabel 3.4

Tabel 3.4

Pedoman Penskoran (Diadaptasi dari Abdul Muin) 6.Menentukan nilai kosinus suatu sudut

dengan menyertakan alasan pada setiap langkahnya. Menggunakan rumus kosinus sudut ganda.

√ 3

2. Mengguna kan rumus jumlah dan selisih sinus dan kosinus

1. Membuktikan suatu persamaan trigonometri dengan memberikan alasan pada setiap langkahnya. Pembuktian menggunakan rumus jumlah sinus dan kosinus

√ 1

Jumlah Butir Soal 7

Skor Mampu memberikan alasan mengenai jawaban yang diberikan Mampu menarik kesimpulan dari sebuah pernyataan Mampu menemukan pola dari suatu masalah matematika

3 Menunjukan

penyelesaian dengan memberikan alasan secara keseluruhan dengan benar, jelas dan lengkap

Menunjukan

penarikan kesimpulan dari sebuah pernyataan secara keseluruhan dengan benar, jelas dan lengkap

Menunjukan

penemuan pola dari suatu masalah secara keseluruhan dengan benar, jelas dan lengkap


(46)

Dalam instrumen pengumpulan data, peneliti akan melakukan perhitungan validitas, perhitungan daya pembeda soal, perhitungan tingkat kesukaran, dan perhitungan reliabilitas untuk instrumen tes sebagai berikut:

a. Perhitungan Validitas Instrumen Tes

Validitas adalah derajat ketetapan suatu alat ukur tentang pokok isi atau arti sebenarnya yang diukur. Validitas dihitung dengan menggunakan rumus product moment dari Pearson yaitusebagai berikut: 6

√ Keterangan:

: koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y

n : banyaknya siswa X : skor butir soal Y : skor total

Uji validitas instrumen dilakukan untuk membandingkan hasil perhitungan dengan pada taraf signifikansi 5%, dengan terlebih

6

Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010) ,h. 72

2 Menunjukan

penyelesaian dengan memberikan alasan (hampir semua) dengan benar.

Menunjukan

penarikan kesimpulan dari sebuah pernyataan (hampir semua)

dengan benar

Menunjukan

penemuan pola dari suatu masalah (hampir semua) dengan benar.

1 Menunjukan

penyelesaian dengan memberikan alasan (hanya sebagian) dengan benar.

Menunjukan

penarikan kesimpulan dari sebuah pernyataan (hanya sebagian) dengan benar

Menunjukan

penemuan pola dari suatu masalah (hanya sebagian) dengan benar.


(47)

dahulu menetapkan degrees of freedom atau derajat kebebasan yaitu dk = n-2. Soal dikatakan valid jika nilai , sebaliknya soal dikatakan tidak valid jika nilai .

Berdasarkan hasil perhitungan uji validitas instrumen dari 7 soal yang diujicobakan diperoleh 5 butir soal yang valid. Soal-soal yang valid tersebut adalah soal nomor 1, 2, dan 5 yang mewakili indikator mampu memberikan alasan mengenai jawaban yang diberikan, soal nomor 4 yang mewakili indikator mampu menarik kesimpulan dari sebuah pernyataan, dan soal nomor 6 yang mewakili indikator mampu menemukan pola dari masalah matematika.

Untuk lebih jelasnya, hasil uji validitas instrumen tes dapat dilihat pada tabel 3.5.

Tabel 3.5

Rekap Data Hasil Uji Validitas Instrumen Indikator Penalaran

Adaptif

No

Soal rhitung rtabel Keterangan

Mampu memberikan alasan mengenai jawaban

yang diberikan

1 0,536 0,361 Valid

2 0,455 0,361 Valid

3 0,132 0,361 Tidak valid

6 0,572 0,361 Valid

Mampu menarik kesimpulan dari sebuah

pernyataan

4 0,554 0,361 Valid

Mampu menemukan pola dari masalah matematika

5 0,543 0,361 Valid

7 0,241 0,361 Tidak Valid

b. Daya Pembeda Tes

Perhitungan daya pembeda soal dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana soal yang diberikan dapat menunjukkan siswa yang mampu dan yang tidak mampu menjawab soal. Perhitungan daya pembeda soal dalam penelitian ini menggunakan rumus dan kriteria sebagai berikut:7

7


(48)

Keterangan :

D : indeks daya beda

: jumlah skor siswa kelompok atas : jumlah skor siswa kelompok bawah : skor maksimum siswa kelompok atas

: skor maksimum siswa kelompok bawah Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:8

D : ,00 = sangat jelek D : 0,00 – 0,20 = jelek D : 0,21 – 0,40 = cukup D : 0,41 – 0,70 = baik D : 0,71 – 1,00 = sangat baik

Instrumen tes kemampuan penalaran adaptif matematik yang telah diujikan menunjukkan hasil terdapat 4 soal dengan daya pembeda cukup, yaitu nomor 1, 2, 4 dan 5 dan 1 soal dengan daya pembeda baik yaitu nomor 6. Untuk lebih jelasnya disajikan pada tabel 3.6

Tabel 3.6

Rekap Data Hasil Uji Daya Pembeda Instrumen Indikator Penalaran

Adaptif No Soal Nilai Daya Pembeda Keterangan Memberikan alasan Pada

Jawaban yang Diberikan

1 0,271 Cukup

2 0,208 Cukup

6 0,417 Baik

Menarik Kesimpulan Dari Sebuah Pernyataan

Matematika

4 0,333 Cukup

Menemukan Pola Masalah

Matematika 5 0,313 Cukup

8


(49)

c. Uji Taraf Kesukaran Soal

Uji taraf kesukaran digunakan untuk mengetahui indeks kesukaran suatu soal. Soal yang dikatakan baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Rumus yang digunakan untuk mengukur taraf kesukaran suatu soal adalah9:

Keterangan :

= indeks taraf kesukaran

= banyak siswa yang menjawab soal itu dengan betul = jumlah seluruh siswa peserta tes

Klasifikasi tingkat kesukaran10: 0,00 < P≤ 0,30 : Soal Sukar 0,30 < P≤ 0,70 : Soal Sedang

0,70 < P≤ 1,0 : Soal Mudah

Dari hasil perhitungan diperoleh hasil 3 butir soal dinyatakan memiliki indeks kesukaran sedang, dan 2 butir soal memiliki indeks kesukaran sukar. Untuk lebih jelasnya, hasil uji taraf kesukaran instrumen tes dapat dilihat pada tabel 3.7

Tabel 3.7

Rekap Data Hasil Uji Taraf Kesukaran Instrumen Indikator Penalaran

Adaptif No Soal Nilai Taraf Kesukaran Keterangan Memberikan alasan pada

jawaban yang diberikan

1 0,271 Sedang

2 0,208 Sukar

6 0,417 Sedang

Menarik kesimpulan dari sebuah pernyataan

matematika

4 0,333 Sukar

Menemukan pola masalah

matematika 5 0,313 Sedang

9

Suharsimi Arikunto, Op cit h. 208

10


(50)

Berdasarkan hasil uji validitas, daya pembeda, dan kesukaran soal maka peneliti memilih instrumen yang akan digunakan dengan urutan sebagai berikut:

Tabel 3.8

Rekap Data Hasil Uji Coba Instrumen

Nomor Soal Validitas Daya Pembeda Kesukaran

1 Valid Cukup Sedang

2 Valid Cukup Sukar

4 Valid Cukup Sukar

5 Valid Cukup Sedang

6 Valid Baik Sedang

d. Perhitungan Reliabilitas Instrumen Tes

Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui keterpercayaan hasil tes. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap. Adapun rumus yang digunakan untuk mengukur reliabilitas suatu tes yang berbentuk uraian adalah dengan menggunakan formula Alpha Cronbach, yaitu11:

[ ] [ ∑ ]

Keterangan :

: reliabilitas yang dicari

: varians total

∑ : jumlah varians skor tiap-tiap item Kriteria koefisien reliabilitas adalah sebagai berikut:12

0,80 < ≤ 1,00 Derajat reliabilitas sangat baik 0,60 < ≤ 0,80 Derajat reliabilitas baik 0,40 < ≤ 0,60 Derajat reliabilitas cukup 0,20 < ≤ 0,40 Derajat reliabilitas rendah

11

Ibid, h. 109 12


(51)

0,00 < ≤ 0,20 Derajat reliabilitas sangat rendah

Berdasarkan kriteria koefisien reliabilitas, nilai = 0,82 berada diantara kisaran 0,80< ≤ 1,00, maka dari 5 butir soal yang valid, memiliki derajat reliabilitas sangat baik.

2. Instrumen Non-Tes (Angket Siswa)

Angket adalah sekumpulan pernyataan atau pertanyaan yang harus dilengkapi oleh responden dengan memilih jawaban atau menjawab pertanyaan melalui jawaban yang sudah disediakan atau melengkapi kalimat dengan jalan mengisi.13 Dalam penelitian ini digunakan Angket berupa seperangkat pernyataan tertulis yang berhubungan dengan sikap. Angket ini digunakan untuk mengetahui sikap siswa terhadap penggunaan Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dalam pembelajaran trigonometri

Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Likert dalam bentuk checklist. Siswa diminta untuk menjawab Sangat Setuju (SS), setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Masing –masing jawaban dikaitkan dengan angka atau nilai, misalnya SS=5, S=4, TS=2, STS =1 bagi suatu pernyataan yang mendukung sifat positif dan nilai-nilai sebaliknya yaitu SS=1, S=2, TS=4, STS =5 bagi pernyataan yang mendukung sifat negatif.14 Alternatif jawaban netral tidak digunakan dalam angket, hal ini bertujuan agar siswa dapat menunjukkan sikap yang jelas terhadap setiap pernyataan yang diajukan. Berikut disajikan kisi-kisi skala sikap:

Tabel 3.9

Kisi-Kisi Skala Sikap Siswa

No Indikator komponen Sikap Nomor Butir

1 Kognitif (Kepercayaan) 5, 7, 9, 10, 11, 12, 14

2 Afektif (Perasaan) 1, 2, 3, 4

3 Konatif (Perilaku) 6, 8, 13

13

Ruseffendi, Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang non-eksak lainnya, Bandung, 2010, h. 121

14


(1)

ANGKET SIKAP SISWA TERHADAP METODE PEMBELAJARAN THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVER (TAPPS)

Nama :

Kelas :

Jenis Kelamin : L / P

Petunjuk Pengisian 1. Isilah nama, kelas, dan jenis kelamin.

2. Berilah tanda checklist (√) pada pernyataan yang disajikan sesuai dengan pendapat kamu

3. Angket ini tidak akan mempengaruhi nilai raport kamu, jadi harap diisi dengan sejujur-jujurnya.

4. Keterangan:

SS = Sangat Setuju TS = Tidak Setuju

S = Setuju STS = Sangat Tidak Setuju

No PERNYATAAN Jawaban

SS S TS STS 1. Saya tertarik untuk mengikuti pelajaran matematika

menggunakan metode think aloud pair problem solving (TAPPS)

2. Saya lebih senang belajar matematika menggunakan metode think aloud pair problem solving (TAPPS) ini dari pada pembelajaran biasa

3. Pembelajaran matematika menggunakan metode think aloud pair problem solving (TAPPS) seperti ini membosankan bagi saya

4. Pembelajaran matematika menggunakan metode think aloud pair problem solving (TAPPS) seperti ini tidak ada bedanya dengan pembelajaran matematika yang biasa dilakukan


(2)

5. Dalam pembelajaran matematika saya lebih suka jika guru yang menerangkan dan siswa mendengarkan saja

6. Pembelajaran matematika menggunakan metode think aloud pair problem solving (TAPPS) seperti ini membuat saya lebih aktif dalam belajar matematika

7. Pembelajaran matematika menggunakan metode think aloud pair problem solving (TAPPS) seperti ini memudahkan saya untuk memahami konsep trigonometri karena saya dapat menemukan konsep secara langsung

8. Pembelajaran matematika menggunakan metode think aloud pair problem solving (TAPPS) seperti ini membantu saya dalam menyelesaikan soal – soal yang diberikan

9. Saya dapat memahami penemuan rumus trigonometri melalui langkah-langkah yang dibuat secara interaktif dalam lks pembelajaran tersebut

10 Memahami penemuan rumus trigonometri dengan metode think aloud pair problem solving (TAPPS) yang digunakan sangat membingungkan

11. Pembelajaran menggunakan metode think aloud pair problem solving (TAPPS) dapat membantu mengeluarkan dan mengembangkan ide matematika saya

12. Poin-point yang disajikan dalam lks tidak membantu saya dalam memahami materi trigonometri

13. Penggunaan metode think aloud pair problem solving (TAPPS) dalam proses pembelajaran membuat saya malas belajar karena lebih dituntut untuk belajar sendiri

14. Saya lebih termotivasi belajar matematika dengan menggunakan media pembelajaran berupa lks dan metode think aloud pair problem solving (TAPPS)


(3)

PERHITUNGAN ANGKET SIKAP SISWA

No. Sifat Jawaban

Skor Sikap Netral

Skor Sikap Siswa SS S TS STS Item Kelas Item Kelas

1 Positif 1 16 10 3 3.00

3.00

3.07

3.32

Skor 5 4 2 1

2 Positif 2 12 14 2 3.00 2.93

Skor 5 4 2 1

3 Negatif 1 13 12 4 3.00 3.17

Skor 1 2 4 5

4 Negatif 0 3 22 5 3.00 3.97

Skor 1 2 4 5

5 Negatif 4 10 13 3 3.00 3.03

Skor 1 2 4 5

6 Positif 6 15 8 1 3.00 3.57

Skor 5 4 2 1

7 Positif 5 11 10 4 3.00 3.10

Skor 5 4 2 1

8 Positif 4 14 9 3 3.00 3.23

Skor 5 4 2 1

9 Positif 6 16 6 2 3.00 3.60

Skor 5 4 2 1

10 Negatif 3 6 19 2 3.00 3.37

Skor 1 2 4 5

11 Positif 1 14 15 0 3.00 3.03

Skor 5 4 2 1

12 Negatif 1 2 21 6 3.00 3.97

Skor 1 2 4 5

13 Negatif 3 4 17 6 3.00 3.63

Skor 1 2 4 5

14 Positif 1 12 14 3 3.00 2.80


(4)

PERSENTASE ANGKET SIKAP SISWA

No Sifat

Jawaban

SS S TS STS

1 Positif

1 16 10 3

3.33% 53.33% 33.33% 10.00%

56.67% 43.33%

2 Positif

2 12 14 2

6.67% 40.00% 46.67% 6.67%

46.67% 53.33%

3 Negatif

1 13 12 4

3.33% 43.33% 40.00% 13.33%

46.67% 53.33%

4 Negatif

0 3 22 5

0.00% 10.00% 73.33% 16.67%

10.00% 90.00%

5 Negatif

4 10 13 3

13.33% 33.33% 43.33% 10.00%

46.67% 53.33%

6 Positif

6 15 8 1

20.00% 50.00% 26.67% 3.33%

70.00% 30.00%

7 Positif

5 11 10 4

16.67% 36.67% 33.33% 13.33%

53.33% 46.67%

8 Positif

4 14 9 3

13.33% 46.67% 30.00% 10.00%

60.00% 40.00%

9 Positif

6 16 6 2

20.00% 53.33% 20.00% 6.67%

73.33% 26.67%

10 Negatif

3 6 19 2

10.00% 20.00% 63.33% 6.67%

30.00% 70.00%

11 Positif

1 14 15 0

3.33% 46.67% 50.00% 0.00%

50.00% 50.00%


(5)

3.33% 6.67% 70.00% 20.00%

10.00% 90.00%

13 Negatif

3 4 17 6

10.00% 13.33% 56.67% 20.00%

23.33% 76.67%

14 Positif

1 12 14 3

3.33% 40.00% 46.67% 10.00%

43.33% 56.67%

Berdasarkan tabel perhitungan diatas maka diperoleh :  Pernyataan yang bersifat positif

Persentase siswa yang setuju : 75,56% Persentase siswa yang tidak setuju : 24,44%  Pernyataan yang bersifat negatif

Persentase siswa yang setuju : 27,78% Persentase siswa yang tidak setuju : 72,22%


(6)

Dokumen yang terkait

PENGARUH METODE TAPPS TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA

3 27 213

Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematik Siswa Dengan Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (Tapps)

8 37 157

Pengaruh Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (Tapps) Terhadap Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa Di Mts Hidayatul Umam

2 14 203

Pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap kemampuan penalaran adaptif matematis siswa eksperimen di salah satu SMP Negeri di Depok

9 47 208

Pengaruh metode penemuan terbimbing (guided discovery method) dalam pembelajaran matematika terhadap kemampuan penalaran adaptif siswa kelas xi IPA: penelitian quasi eksperimen di SMAN 5 Kota Tangerang Selatan

6 70 244

PENGARUH METODE THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) DAN GENDER TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIKA SISWA

34 139 204

Pengaruh metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dan gender terhadap kemampuan berpikir kritis matematika siswa

2 17 0

Pengaruh Model Pembela jaran Creative Problem Solving (CPS) Terhadap Kemampuan Penalaran Analogi Matematik Siswa

1 27 309

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) TERHADAP HASIL BELAJAR AKUNTASI SISWA KELAS XI AK DI SMK NEGERI I PEMATANGSIANTAR TAHUN PEMBELAJARAN 2016/2017.

0 7 30

PENGARUH STRATEGI THINKING ALOUD PAIR PROBLEM SOLVING (TAPPS) TERHDAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMP.

6 17 132