Pola Asuh Orang Tua dalam Fenomena Pernikahan Usia Remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul.

(1)

POLA A REMAJA

ASUH ORA A DI DESA

JU UN ANG TUA A PLANJAN G Diajukan K Universita Memen Gun S M URUSAN P FAKU NIVERSITA DALAM F N KECAM GUNUNGK SKRIP Kepada Fak as Negeri Y nuhi Sebagia na Mempero Sarjana Pen Oleh Monica Far 11413241 PENDIDIK ULTAS ILM AS NEGER FENOMEN MATAN SA KIDUL PSI

kultas Ilmu S Yogyakarta u an Persyarat oleh Gelar didikan h ra Diba 1040 KAN SOSIO MU SOSIA RI YOGYA NA PERNIK APTOSARI Sosial untuk tan OLOGI AL AKARTA KAHAN U I KABUPA SIA ATEN


(2)

POLA A REMAJA

ASUH ORA A DI DESA

JU UN ANG TUA A PLANJAN G Diajukan K Universita Memen Gun S M URUSAN P FAKU NIVERSITA DALAM F N KECAM GUNUNGK SKRIP Kepada Fak as Negeri Y nuhi Sebagia na Mempero Sarjana Pen Oleh Monica Far 11413241 PENDIDIK ULTAS ILM AS NEGER 2016 FENOMEN MATAN SA KIDUL PSI

kultas Ilmu S Yogyakarta u an Persyarat oleh Gelar didikan h ra Diba 1040 KAN SOSIO MU SOSIA RI YOGYA 6 NA PERNIK APTOSARI Sosial untuk tan OLOGI AL AKARTA KAHAN U I KABUPA SIA ATEN


(3)

(4)

(5)

(6)

MOTTO

Do the best and pray, God will take care of the rest. (Anonim)

Keberhasilan adalah kemapuan untuk melewati dan mengatasi dari suatu kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat.

(Winston Chuchil)

Always be yourself, no matter what they say and never be anyone else even if they look better than you.


(7)

PERSEMBAHAN

Yang paling utama, puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan kesabaran, kemampuan, kesehatan dan kekuatan dalam menyelesaikan skripsi ini sehingga saya mampu mempersembahkan skripsi ini kepada:

Bapak dan Mamah, yang selalu mendoakan, menyemangati, memotivasi dan menasihati sehingga skripsi ini mampu

terselesaikan.

Ku bingkiskan skripsi ini untuk adik saya tercinta, yang menjadi pendorong saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Supadi’s Family dan Suma’s Family, yang telah banyak memberi dukungan dan doa.


(8)

POLA ASUH ORANG TUA DALAM FENOMENA PERNIKAHAN USIA REMAJA DI DESA PLANJAN KECAMATAN SAPTOSARI KABUPATEN

GUNUNGKIDUL Oleh: Monica Farra Diba NIM. 11413241040

ABSTRAK

Desa Planjan merupakan desa dengan tingkat pernikahan usia remaja yang cukup tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kenakalan remaja dan putus sekolah membuat banyak remaja di desa Planjan menikah diusia remaja. kontrol sosial yang lemah serta sosialisasi yang tidak sempurna dari orang tua menyebabkan terjadinya pernikahan usia remaja. Oleh karena itu, pola asuh orang tua dapat menjadi penyebab fenomena pernikahan usia remaja di Desa Planjan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan munculnya fenomena pernikahan usia remaja di desa Planjan, serta untuk mengetahui pola asuh orang tua di Desa Planjan yang menyebabkan anak menikah diusia remaja.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Peneliti menjelaskan secara deskriptif tentang hasil penelitian yang dilakukan. Subjek penelitian ditentukan dengan teknik purposive sampling, yaitu anak yang menikah diusia remaja, orang tua dengan anak yang menikah diusia remaja serta pihak terkait lainnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Teknik validitas data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber. Teknik analisis data menggunakan analisis data kualitatif dengan model interaktif Miles dan Huberman, yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pernikahan usia remaja yang terjadi di desa Planjan disebabkan karena beberapa faktor, yaitu keinginan sendiri, adat istiadat, faktor pendidikan, faktor ekonomi dan faktor orang tua. Pola asuh yang ditemukan dalam penelitian ini adalah pola asuh demokratis dan permisif. Pola asuh yang paling dominan diterapkan orang tua di Desa Planjan adalah pola asuh permisif. Pola asuh permisif mendorong terjadinya pernikahan usia remaja karena lemahnya kontrol sosial orang tua dan sosialisasi yang tidak sempurna dalam keluarga.

Kata kunci: Pola Asuh, Pernikahan Usia Remaja, Fenomena Pernikahan Usia Remaja.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Pola Asuh Orang Tua dalam Fenomena Pernikahan Usia Remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul”. Penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini merupakan persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar sarjana strata-1 pada program studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. Selama penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini, penulis telah dibantu oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., MA. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag, Dekan Fakultas Ilmu Sosial.

3. Bapak Grendi Hendrastomo, MA., MM. Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial.

4. Ibu Puji Lestari, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar membimbing, memberi arahan serta memberi masukan-masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Poerwanti Hadi Pratiwi, M.Si., selaku penguji utama serta pembimbing akademik yang telah memberikan masukan serta arahan


(10)

6. Ibu Nur Hidayah, M.Si., selaku ketua penguji, terimakasih atas bimbingannya selama proses perkuliahan berlangsung.

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah membagi ilmu, pengalaman serta wawasan selama penulis mengikuti kegiatan perkuliahan pada setiap mata kuliah program studi Pendidikan Sosiologi.

8. Seluruh staf dan karyawan Universitas Negeri Yogyakarta yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini.

9. Jajaran pemerintahan Desa Planjan yang telah memberikan izin penelitian dan membantu memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti.

10. Seluruh informan dan masyarakat Desa Planjan yang telah berkenan membantu peneliti dalam pengumpulan data dan informasi.

11. Bapak dan mamah (Bapak Muhammad Nurdin dan Ibu Sukarti) serta adikku Muhammad Fahad Al-Fazali yang selalu memberikan dukungan, doa, pengorbanan dan kasih sayang.

12. Suma´s and Supadi´s Family, atas dukungan dan bantuannya selama penyusunan skripsi.

13. Sahabat Rumah Kita (Vinny, Icha, Anty, Okty, Bara, Yogo, Arip dan Aidin) yang selalu memberikan dorongan dan motivasi selama penyusunan skripsi ini.

14. Arililia Susanti, yang selalu memberikan dorongan, dukungan, motivasi serta bantuan dalam proses penyusunan skripsi ini.


(11)

15. Rekan-rekan Pendidikan Sosiologi 2011 Universitas Negeri Yogyakarta. Terimakasih untuk segalanya, segala kasih, pengalaman, pembelajaran, kekeluargaan, dan kebersamaan.

16. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyampaikan banyak terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu sehingga proses pembuatan Tugas Akhir Skripsi berjalan dengan lancar. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Harapan penulis, skripsi ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pembaca dan semua pihak yang membutuhkan.

Yogyakarta, 7 Januari 2016 Penulis,


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7


(13)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A. Kajian Pustaka ... 10

1. Keluarga ... 10

2. Pola Asuh ... 16

3. Remaja ... 25

4. Pernikahan Usia Remaja ... 28

5. Fenomena Pernikahan Usia Remaja... 34

B. Kerangka Teori... 37

C. Penelitian Relevan ... 39

D. Kerangka Pikir ... 40

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ... 42

B. Waktu Penelitian ... 42

C. Subyek Penelitian ... 42

D. Bentuk Penelitian ... 42

E. Sumber Data ... 43

F. Teknik Pengumpulan Data ... 44

G. Teknik Sampling ... 46

H. Validitas Data ... 47

I. Instrumen Penelitian ... 47


(14)

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Wilayah Penelitian ... 52

1. Letak dan Luas Wilayah... 52

2. Keadaan Penduduk ... 54

B. Deskripsi Informan ... 58

C. Pembahasan dan Analisis ... 63

1. Fenomena Pernikahan Usia Remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul ... 63

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Pernikahan Usia Remaja ... 71

3. Pola Asuh Orang Tua pada Fenomena Pernikahan Usia Remaja ... 79

D. Pokok Temuan ... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 102


(15)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Kerangka pikir ... 41 Bagan 2. Model Analisis Data Interaktif Miles dan Huberman ... 51


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 54

Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia ... 55

Tabel 3. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Planjan... 56

Tabel 4. Mata Pencaharian Masyarakat Desa Planjan ... 57


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Observasi Lampiran 2. Pedoman Wawancara Lampiran 3. Hasil Observasi

Lampiran 4. Kode Hasil Wawancara Lampiran 5. Transkrip Hasil Wawancara Lampiran 6. Peta Wilayah

Lampiran 7. Dokumentsi Penelitian Lampiran 8. Surat Izin Penelitian


(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Remaja adalah periode perkembangan individu mengalami perubahan dari anak-anak menuju masa dewasa, biasanya antara usia 13-20 tahun (Hurlock, 2011). Masa remaja dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran. Bukan saja kesukaran bagi individu, tetapi juga bagi orang tuanya, bahkan pada masyarakat dan juga pada aparat keamanan. Masa transisi ini seringkali menyebabkan remaja berada pada situasi yang membingungkan, disatu pihak ia masih kanak-kanak dan dilain pihak ia dituntut untuk bertingkah laku seperti orang dewasa (Purwanto, 2006).

Masa remaja tidak bisa dilepaskan dari beragam permasalah sosial didalamnya. Salah satu masalah yang sedang marak terjadi dikalangan remaja adalah pernikahan usia remaja. Pernikahan usia remaja merupakan permasalahan yang sulit untuk diatasi di Indonesia. Indonesia sebagai negara berkembang, memiliki beragam permasalahan mulai dari permasalahan ekonomi, kesehatan, politik, kependudukan hingga masalah bidang pendidikan. Masalah pada generasi muda di negara ini juga sudah sangat mengkhawatirkan, salah satunya adalah masalah pernikahan usia remaja.

Pernikahan usia remaja merupakan pernikahan yang dilakukan pada rentang usia 13 hingga 21 tahun. Ketika menginjak usia tersebut persiapan fisik, persiapan mental dan persiapan finansial mereka belum maksimal dan cenderung dipaksakan. Menurut Undang-undang Perkawinan Nomer 1 Tahun


(19)

1974 usia minimal menikah bagi perempuan adalah 16 tahun sedangkan usia minimal menikah untuk laki-laki adalah 19 tahun.

Pernikahan usia remaja bukan hanya terjadi di daerah-daerah yang tradisional atau masih memegang adat istiadatnya, namun saat ini juga banyak terjadi didaerah perkotaan. Pernikahan usia remaja ini mengalami peningkatan yang signifikan disejumlah daerah selama beberapa tahun terakhir. Salah satunya di daerah Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berdasarkan data hasil Susenas Tahun 2009 dan 2010 dari Badan Pusat Statistik Provinsi DIY, Kabupaten Gunungkidul tercatat sebagai daerah di Yogyakarta dengan jumlah kasus pernikahan dini terbanyak dan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 perempuan yang menikah usia dibawah 16 tahun di Daerah Istimewa Yogyakarta sekitar 8,74% dengan prosentase terbesar di Kabupaten Gunungkidul (15,40%) diikuti oleh Kabupaten Sleman (7,49%). Prosentase tersebut meningkat pada tahun 2010 menjadi 10,81% dengan prosentase terbesar di Kabupaten Gunungkidul (16,24%), diikuti oleh Kabupaten Kulonprogo (10,81%) dan Kabupaten Sleman (9,12%).

Terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya fenomena pernikahan diusia remaja misalnya faktor rendahnya perekonomian di suatu daerah, rendahnya tingkat pendidikan, kenakalan remaja, adat istiadat dan sebagainya. Endah Kusumawati (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Faktor dan Dampak Perkawinan Usia Remaja di Desa Nogotirto Kecamatan


(20)

menjelaskan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan usia remaja, antara lain: terjadinya kehamilan sebelum menikah dan untuk menghindari fitnah atau gunjingan masyarakat terkait hubungan pacaran yang dilakukan.

Faktor “pacaran” yang menjurus pada “pergaulan bebas” dikalangan remaja marak terjadi di wilayah Kabupaten Gunungkidul. Faktor tersebut membuat banyak remaja di Gunungkidul menikah pada usia muda. Dari data pemerintah Kabupaten Gunungkidul tercatat pada tahun 2010 terdapat 113 pemohon dispensasi nikah, tahun 2011 meningkat menjadi 145 pemohon, tahun 2012 meningkat juga menjadi 172 pemohon, sedangkan pada tahun 2013 terdapat 161 pemohon dispensasi nikah (Awalani, 2015). Tahun 2014 terdapat 146 pemohon dispensasi nikah dan hingga Februari 2015 telah terdapat 15 pemohon (Gun, 2015). Pernikahan usia remaja yang terjadi di Gunungkidul memang tidak dapat dilepaskan dari perilaku kenakalan remaja yang terjadi di wilayah tersebut. Pernikahan usia remaja ini terjadi karena remaja sangat rentan terhadap perilaku seksual.

Pernikahan remaja yang terjadi di Gunungkidul juga disebabkan karena banyaknya anak-anak yang putus sekolah. Hingga tahun 2015, angka putus sekolah di Gunungkidul masih cukup tinggi. Untuk wilayah Kecamatan Saptosari, masih banyak anak yang tidak melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS) kabupaten Gunungkidul tahun 2014, kurang dari 50% lulusan SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Saptosari yang melanjutkan studi ke SMA (Sekolah Menengah Atas).


(21)

Kenakalan remaja seperti perilaku seks diluar pernikahan yang menyebabkan kehamilan pranikah dan fenomena putus sekolah yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul banyak disebabkan oleh faktor keluarga. Sosialisasi yang tidak sempurna serta kontrol sosial orang tua yang lemah menyebabkan anak melakukan beragam kenakalan remaja. Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia, dimana individu pertama kali belajar mengenal dan berinteraksi dengan kelompoknya, maka orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan seorang anak. Di dalam keluarga anak untuk pertama kalinya mulai mengenal aturan-aturan, norma, nilai yang mengatur hubungan atau interaksi antar anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya, terutama hubungan orang tua dan anak. Bentuk pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap anaknya memegang peranan utama, sehingga dapat membentuk kepribadian anak yang baik dan patuh.

Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku yang diterapkan pada anak bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun positif. Pola asuh yang ditanamkan tiap keluarga berbeda, hal ini tergantung pandangan dari tiap orang tua (Petranto, 2006). Menurut Hurlock terdapat 3 macam pola asuh yang diterapkan oleh orang tua, yaitu: pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif.

Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya disertai dengan


(22)

ancaman-yang ditunjukkan pada anak untuk mendapatkan kepatuhan dan ketaatan. Dengan demikian, orang tua yang otoriter sangat berkuasa terhadap anak, memegang kekuasaan tertinggi serta mengharuskan anak patuh pada perintah-perintahnya. Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memperioritaskan kepentingan anak akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban hak orang tua dan anak, bersikap rasional dan selalu mendasari tindakannya pada rasio pemikiran. Pola asuh keluarga permisif (permissive) tidak memberikan struktur dan batasan-batasan yang tepat bagi anak-anak mereka. Pola asuh permissive merupakan bentuk pengasuhan dimana orang tua memberikan kebebasan sebanyak mungkin pada anak untuk mengatur dirinya. Anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua.

Penelitian ini dilakukan untuk menggali lebih jauh terkait faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan usia remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul, serta menelusuri lebih dalam bagaimana penerapan pola asuh orang tua di wilayah tersebut, sehingga dapat meyebabkan anak-anak mereka menikah diusia remaja. Adapun judul penelitian ini adalah “Pola Asuh Orang Tua Dalam Fenomena Pernikahan Usia Remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul”.


(23)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang masalah, maka diperoleh beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi, antara lain:

1. Tingginya angka pernikahan usia remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul.

2. Pernikahan usia remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul terjadi karena faktor kenakalan remaja dan putus sekolah. 3. Kenakalan remaja dan kehamilan pranikah dipengaruhi oleh kontrol sosial

serta pola asuh orang tua.

4. Pola asuh orang tua mempengaruhi anak untuk melakukan pernikahan usia remaja.

5. Terdapat remaja yang menikah karena terdorong oleh lingkungan keluarga yang banyak menikah diusia remaja.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan pada identifikasi masalah diatas, maka peneliti perlu membatasi masalah yang dikaji, pembatasan ini dilakukan agar penelitian yang dilakukan dapat memiliki fokus yang jelas dan terarah. Penelitian ini lebih memfokuskan pada “Pola Asuh Orang Tua dalam Fenomena Pernikahan Usia Remaja Di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul”.


(24)

D. Rumusan Masalah

1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul? 2. Bagaimana pola asuh orang tua di Desa Planjan Kecamatan Saptosari

Kabupaten Gunungkidul yang menyebabkan anak melakukan pernikahan diusia remaja?

E. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pernikahan usia remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul.

2. Mengetahui pola asuh orang tua di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul yang menyebabkan anak melakukan pernikahan diusia remaja.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teroritis

a. Untuk menambah referensi dalam penerapan konsep sosiologi keluarga, khususnya mengenai pola asuh orang tua.

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pola asuh keluarga dalam fenomena pernikahan usia remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul.


(25)

c. Sebagai bahan acuan atau referensi bagi penelitan sejenis yang dilakukan pada waktu yang akan datang.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti

1) Penelitian ini dilaksanakan untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar sarjana (S1) pada program studi Pendidikan Sosiologi FIS UNY.

2) Menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapat selama perkuliahan ke dalam karya nyata.

3) Penelitian ini dapat dijadikan tolak ukur peneliti dalam menganalisis pola asuh orang tua dalam fenomena pernikahan usia remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul.

b. Bagi Universitas Negeri Yogyakarta

Hasil penelitian ini dihaharapkan dapat menambah koleksi bacaan dan menjadi acuan dalam meningkatkan wawasan serta dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian sejenis.

c. Bagi Masyarakat 1) Bagi orang tua

Sebagai informasi dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.


(26)

2) Bagi remaja

Dapat memberi masukan agar dapat mengembangkan sikap sosial positif dengan meningkatkan komunikasi dalam keluarga.


(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A. Kajian Pustaka 1. Keluarga

Keluarga merupakan kelompok primer terpenting dalam masyarakat. Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan (Khairuddin, 2008: 4). Keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah disebut keluarga batih/keluarga inti (Soekanto, 2004: 23)

Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak. Mac Iver dan Page (dalam Khairuddin, 2008: 6) menggolongkan ciri-ciri keluarga, sebagai berikut:

a. Ciri-ciri Umum

Ciri-ciri umum keluarga antara lain seperti yang dikemukakan oleh Mac Iver and Page, yaitu :


(28)

2) Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara.

3) Suatu sistem tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis keturunan.

4) Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak. 5) Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga

yang walau bagaimanapun, tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga.

b. Ciri-ciri Khusus

Organisasi keluarga ini dalam beberapa hal tidaklah sama dengan asosiasi lainnya, di samping memiliki ciri-ciri umum sebagai suatu organisasi lazimnya, keluarga juga memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut:

1) Kebersamaan

Keluarga merupakan bentuk yang hampir paling universal di antara bentuk-bentuk organisasi sosial lainnya.

2) Dasar-dasar emosional

Hal ini didasarkan pada suatu kompleks dorongan-dorongan yang sangat mendalam dari sifat organis kita, seperti


(29)

perkawinan, menjadi ayah, kesetiaan akan material, dan perhatian orang tua.

3) Pengaruh perkembangan

Hal ini merupakan lingkungan kemasyarakatan yang paling awal dari semua bentuk kehidupan yang lebih tinggi, termasuk manusia, dan pengaruh perkembangan yang paling besar dalam kesadaran hidup yang mana merupakan sumbernya.

4) Ukuran yang terbatas

Keluarga merupakan kelompok yang terbatas ukurannya, yang dibatasi oleh kondisi-kondisi biologis yang tidak dapat lebih tanpa kehilangan identitasnya.

5) Posisi inti dalam struktur sosial

Keluarga merupakan inti dari organisasi sosial lainnya. Kerap di dalam masyarakat yang masih sederhana, maupun dalam masyarakat yang lebih maju, yang mempunyai tipe masyarakat patriarkal, struktur sosial secara keseluruhan dibentuk dari satuan-satuan keluarga.

6) Tanggung jawab anggota

Keluarga memiliki tuntutan-tuntutan yang lebih besar dan kontinyu daripada yang biasa dilakukan oleh asosiasi lainnya. Pada masa krisis manusia mungkin bekerja, berperang dan mati


(30)

demi negara mereka. Tetapi mereka harus membanting tulang sepanjang hidupnya demi keluarga mereka.

7) Aturan kemasyarakatan

Hal ini khususnya terjaga dengan adanya hal-hal yang tabu di dalam masyarakat dan aturan-aturan sah yang dengan kaku menentukan kondisi-kondisinya.

8) Sifat kekekalan dan kesementaraannya

Sebagai institusi, keluarga merupakan sesuatu yang demikian permanen dan universal, dan sebagai asosiasi merupakan organisasi yang paling bersifat sementara dan yang paling mudah berubah dari seluruh organisasi-organisasi penting lainnya dalam masyarakat (dikutip dari Khairuddin, 2008: 7-10)

Keluarga merupakan lembaga yang khas sehingga menjadikan fungsi keluarga tidak dapat digantikan oleh lembaga sosial lainnya. Secara sosiologis, keluarga mempunyai fungsi sebagai berikut :

1) Fungsi Biologis

Bagi pasangan suami istri, fungsi ini untuk memenuhi kebutuhan seksual dan mendapatkan keturunan. Fungsi ini memberi kesempatan hidup bagi setiap anggotanya. Keluarga disini menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan dengan syarat-syarat tertentu.


(31)

2) Fungsi Pendidikan

Fungsi pendidikan mengharuskan setiap orang tua untuk mengkondisikan kehidupan keluarga menjadi situasi pendidikan, sehingga terdapat proses saling belajar di antara anggota keluarga. Dalam situasi ini orang tua menjadi pemegang peran utama dalam proses pembelajaran anak-anaknya, terutama di kala mereka belum dewasa. Kegiatannya antara lain melalui asuhan, bimbingan, dan teladan.

3) Fungsi Beragama

Fungsi beragama berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya mengenai kaidah-kaidah agama dan perilaku keagamaan. Fungsi ini mengharuskan orang tua, sebagai seorang tokoh inti dan panutan dalam keluarga, untuk menciptakan iklim keagamaan dalam kehidupan keluarganya.

4) Fungsi Perlindungan

Fungsi perlindungan dalam keluarga ialah untuk menjaga dan memelihara anak dan anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif yang mungkin timbul. Baik dari dalam maupun dari luar kehidupan keluarga.


(32)

5) Fungsi Sosialisasi Anak

Fungsi sosialisasi berkaitan dengan mempersiapkan anak untuk menjadi anggota masyarakat yang baik. Dalam melaksanakan fungsi ini, keluarga berperan sebagai penghubung antara kehidupan anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial, sehingga kehidupan di sekitarnya dapat dimengerti oleh anak, sehingga pada gilirannya anak berpikir dan berbuat positif di dalam dan terhadap lingkungannya.

6) Fungsi Kasih Sayang

Keluarga harus dapat menjalankan tugasnya menjadi lembaga interaksi dalam ikatan batin yang kuat antara anggotanya, sesuai dengan status dan peranan sosial masing-masing dalam kehidupan keluarga itu. Ikatan batin yang dalam dan kuat ini, harus dapat dirasakan oleh setiap anggota keluarga sebagai bentuk kasih sayang. Dalam suasana yang penuh kerukunan, keakraban, kerjasama dalam menghadapi berbagai masalah dan persoalan hidup.

7) Fungsi Ekonomis

Fungsi ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan kesatuan ekonomis. Aktivitas dalam fungsi ekonomis berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinaan usaha, dan perencanaan


(33)

anggaran biaya, baik penerimaan maupun pengeluaran biaya keluarga.

8) Fungsi Rekreatif

Suasana Rekreatif akan dialami oleh anak dan anggota keluarga lainnya apabila dalam kehidupan keluarga itu terdapat perasaan damai, jauh dari ketegangan batin, dan pada saat-saat tertentu merasakan kehidupan bebas dari kesibukan sehari-hari.

9) Fungsi Status Keluarga

Fungsi ini dapat dicapai apabila keluarga telah menjalankan fungsinya yang lain. Fungsi keluarga ini menunjuk pada kadar kedudukan keluarga dibandingkan dengan keluarga lainnya (Yusuf, 2007: 39-41).

2. Pola Asuh

a. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku yang diterapkan pada anak bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dirasakan oleh anak, dari segi negatif maupun positif. Pola asuh yang ditanamkan tiap keluarga berbeda, hal ini tergantung pandangan dari tiap orang tua (Petranto, 2006). Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap tersebut meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, memberikan perhatian. Pola


(34)

asuh sebagai suatu perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kesehariannya. Sedangkan Pengertian pola asuh orangtua terhadap anak merupakan bentuk interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan pengasuhan yang berarti orang tua mendidik, membimbing dan melindungi anak (Gunarsa, 2002). Menurut Edwards (2006), pola asuh merupakan interaksi orang tua dan anak dalam mendidik, mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua

Orang tua menerapkan pola pengasuhan yang berbeda-beda terhadap anak-anaknya. Hurlock (2011: 95) mengemukakan bahwa pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap anaknya berbeda-beda karena pola asuh tercipta dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu:

1) Kesamaan dengan pola asuh yang diterapkan orang tua

Orang tua akan menerapkan pola asuh dalam keluarga sesuai dengan pola asuh yang diterimanya sewaktu kanak-kanak, apabila orang tua merasa cara yang digunakan berhasil maka mereka akan menggunakan cara yang sama.

2) Penyesuaian dengan cara yang disetujui kelompok

Orang tua yang usianya lebih muda dan tidak berpengalaman akan lebih dipengaruhi oleh anggota kelompok yang dianggap baik.


(35)

3) Usia orang tua

Orang tua muda cenderung lebih demokratis dan permisif dibanding yang berusia lebih tua. Mereka cenderung lebih mengurangi kendala ketika anak menjelang remaja.

4) Pendidikan untuk menjadi orang tua

Orang tua yang telah banyak mendapatkan pelajaran mengenai mengasuh anak dan tahu akan kebutuhannya, lebih menerapkan pola asuh demokratis dibandingkan orang tua yang tidak banyak belajar.

5) Jenis kelamin

Wanita pada umumnya lebih mengerti anak dan kebutuhannya dibandingkan dengan pria dan mereka cenderung kurang otoriter.

6) Status sosial ekonomi

Orang tua dengan status ekonomi menengah dan rendah cenderung lebih keras, memaksa dan kurang toleran dibandingkan dengan orang tua dari kelas sosial atas, tetapi mereka lebih konsisten. Semakin berpendidikan semakin mereka menyukai disiplin demokratis yang telah menganut konsep yang lebih modern.     


(36)

7) Konsep mengenai orang dewasa

Orang tua yang mempertahankan konsep tradisional mengenai peran orang tua, cenderung lebih otoriter dibandingkan dengan orang tua yang telah menganut konsep yang lebih modern. 8) Jenis kelamin anak

Orang tua pada umumnya lebih keras bersikap terhadap anak wanita daripada anak pria.

9) Usia anak

Disiplin otoriter jauh lebih umum digunakan pada anak kecil daripada mereka yang jauh lebih besar.

10) Situasi

Ketakutan dan kecemasan biasanya tidak diganjar hukuman, sedangkan sikap menentang, negativisme, dan agresif kemungkinan mendorong pengendalian otoriter.

Menurut Edwards (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua adalah:

1) Pendidikan orang tua

Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. 2) Lingkungan

Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya.


(37)

3) Budaya

Seringkali orang mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak ditiru orang tua karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan.

c. Jenis Pola Asuh Orang Tua

Menurut Hurlock (2011: 95) ada beberapa jenis pola asuh, sebagai berikut:

1) Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban hak orang tua dan anak, bersikap rasional dan selalu mendasari tindakannya pada rasio pemikiran. Ciri-ciri orang tua demokratis adalah sebagai berikut, yaitu:

a) Ada bimbingan dan kontrol dari orang tua; b) Anak diberi kepercayaan dan tanggung jawab;

c) Orang tua bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak;


(38)

d) Orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan;

e) Bersikap responsif terhadap kemampuan anak dan menghargai setiap keberhasilan yang diperoleh anak;

f) Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan; g) Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan baik dan

buruk.

2) Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang merupakan kebalikan dari pola asuh demokratis yaitu cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya disertai dengan ancaman-ancaman. Bentuk pola asuh ini menekan pada pengawasan orang tua atau kontrol yang ditunjukkan pada anak untuk mendapatkan kepatuhan dan ketaatan. Jadi orang tua yang otoriter sangat berkuasa terhadap anak, memegang kekuasaan tertinggi serta mengharuskan anak patuh pada perintah-perintahnya. Secara umum pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a) Adanya kontrol yang ketat dan kaku dari orang tua; b) Aturan dan batasan dari orang tua harus ditaati oleh anak; c) Anak harus bertingkah laku sesuai aturan yang diterapkan


(39)

d) Orang tua tidak mepertimbangkan pandangan dan pendapat anak;

e) Orang tua suka menghukum secara fisik;

f) Orang tua cenderung bersikap mengomando (mengharuskan atau memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi);

g) Orang tua cenderung emosional dan bersikap menolak. 3) Pola Asuh Permisif

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Orang tua cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini bisanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai anak-anak. Pola asuh permisif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a) Tidak ada bimbingan maupun aturan yang ketat;

b) Tidak ada pengendaian atau pengontrolan serta tuntutan kepada anak;

c) Anak diberi kebebasan dan diizinkan membuat keputusan untuk dirinya sendiri;


(40)

e) Anak harus belajar sendiri untuk berperilaku dalam lingkungan sosial;

f) Anak tidak akan dihukum meskipun melanggar aturan; serta g) Tidak diberi hadiah jika berprestasi atau berperilaku sosial

yang baik.

Menurut Baumrind, pola asuh orang tua terbagi dalam 4 macam, yaitu:

a. Pola Asuh Otoriter

Dalam pola asuh ini, semua tingkah laku, pengambilan keputusan, dan cara berpikir anak diatur oleh orang tua. Orang tua memiliki kendali penuh terhadap segala aspek kehidupan anaknya. Dalam menyampaikan keinginannya, orang tua cederung memaksa, memerintah, memberi ancaman dan menghukum. Dalam pola asuh ini sedikit sekali komunikasi secara verbal, biasanya komunikasi yang terjadi hanya bersifat satu arah. Orang tua tidak lagi memberi pertimbangan terhadap pendapat anaknya.

b. Pola Asuh Otoritatif

Dalam pola asuh ini orang tua mendorong anak untuk bersikap mandiri, tetapi orang tua masih memberikan kontrol terhadap perilaku anak. Anak diperbolehkan untuk mengemukakan pendapatnya. Orang tua menanamkan nilai-nilai yang berlaku dengan cara yang lebih hangat. Dalam menanamkan nilai, orang tua akan menjelaskan dampak-dampak secara rasional dari suatu


(41)

perbuatan yang dilakukan oleh anak. Komunikasi antara orang tua dan anak bersifat dua arah. Kepentingan anak menjadi prioritas utama orang tua, tetapi masih dikontrol dalam pemberian kebebasan anaknya.

c. Pola Asuh Permisif

Orang tua memberikan kebebasan yang besar kepada anaknya (anak bebas melakukan apa yang diinginkannya). Kebebasan diberikan dengan batasan-batasan yang sangat sedikit. Dengan kata lain, kontrol orang tua terhadap perilaku anak sangat sedikit. Akan tetapi, orang tua masih terlibat dalam aspek-aspek kehidupan ankaknya. Orang tua cenderung tidak menegur anaknya jika melakukan perbuatan yang salah.

d. Pola Asuh Penelantar

Orang tua yang mengasuh anaknya dengan tipe ini akan cenderung tidak terlibat dalam kehidupan anaknya. Orang tua tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh anaknya. Dalam membesarkan anaknya, orang tua tidak memberikan kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan fisik yang cukup (dikutip dari King, 2014: 172).

Dalam penelitian ini, pola asuh yang menjadi bahan penelitian adalah pola asuh yang dikemukakan oleh Elizabeth B. Hurlock yaitu, pola asuh demokratis, pola asuh otoriter dan pola asuh permisif.


(42)

3. Remaja

Istiah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adoscere (kata bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menuju dewasa (Hurlock, 1999). Masa Remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan usia 13 sampai dengan 22 tahun bagi pria (Rumini, 2004: 53). Masa remaja dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran. Bukan saja kesukaran bagi individu, tetapi juga bagi orang tuanya, bahkan pada masyarakat dan juga pada aparat keamanan. Masa transisi ini seringkali menyebabkan remaja berada pada situasi yang membingungkan, disatu pihak ia masih kanak-kanak dan dilain pihak ia dituntut untuk bertingkah laku seperti orang dewasa (Purwanto, 2006).

Menurut Hurlock (dalam Rumini, 2004) membagikan fase remaja dalam tiga fase, yaitu:

a. Fase Praremaja

Fase Praremaja yaitu wanita usia 11-13 tahun dan pria usia 14-15 tahun, tahap praremaja disebut juga tahap prapuber atau periode tumpang tindih. Dikatakan tumpang tindih karena dua tahun terakhir masa anak-anak dan dua tahun masa remaja awal.


(43)

b. Fase Remaja Awal

Fase remaja awal yaitu wanita usia 13-17 tahun dan pria usia 14-17,5 tahun masa remaja awal sering disebut masa puber atau pubertas yang artinya menjadi dewasa. Remaja awal dalam keadaan kurang stabil ada kemungkinan cenderung untuk melakukan penyesuaian yang salah kecuali remaja yang benar-benar mempunyai potensi kepribadian yang kuat dan memperoleh bimbingan dan pelatihan cenderung kearah positif. Pada umumnya masa remaja awal sifat berfikirnya belum mencapai kematangan.

c. Fase Remaja Akhir

Fase remaja akhir yaitu wanita usia 17-21 tahun dan pria usia 17,5-21 tahun. Remaja akhir mengalami penyempurnaan kematangan secara fisik memang sudah mencapai perkembangan yang penuh, namun perkembangan psikis dan sosial terus-menerus terjadi hingga dewasa awal.

Menurut Genison (dalam Rumini, 2004) menyebutkan bahwa pada fase remaja akhir pria dan wanita berangan-angan untuk menemukan pasangan hidup yang ideal. Namun faktor yang meyebabkan individu jatuh cinta sangat bervariasi. Di antaranya karena faktor kepribadian, faktor budaya, latar belakang keluarga, faktor kemampuan dan sebagainya.

Dari sudut batas usia saja sudah tampak bahwa golongan remaja sebenarnya tergolong kalangan yang transisional. Artinya, keremajaan


(44)

antara usia kanak-kanak dengan usia dewasa. Sifat sementara dari kedudukannya menyebabkan remaja masih mencari identitasnya, karena oleh anak-anak mereka sudah dianggap dewasa, sedangkan orang dewasa menganggap mereka masih dianggap kecil (Soekanto, 2004: 51)

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dari sudut kepribadiannya, maka para remaja mempunyai berbagai ciri tertentu, baik yang bersifat spiritual maupun badaniah. Contoh ciri-ciri itu adalah, sebagai berikut:

a. Perkembangan fisik yang pesat pada remaja menjadikan ciri-ciri fisik sebagai laki-laki dan perempuan tampak semakin tegas. Apabila ciri fisik tersebut secara efektif ditonjolkan oleh para remaja, maka perhatian terhadap jenis kelamin lain semakin meningkat. Oleh remaja perkembangan fisik yang baik dianggap sebagai salah satu kebanggaan.

b. Keinginan yang kuat untuk mengadakan interaksi sosial dengan kalangan yang lebih dewasa atau yang dianggap lebih matang pribadinya. Kadang-kadang diharapkan bahwa interaksi sosial itu mengakibatkan masyarakat menganggap remaja sudah dewasa.

c. Keinginan yang kuat untuk mendapatkan kepercayaan dari kalangan dewasa, walaupun mengenai masalah tanggung jawab secara relatif belum matang.


(45)

d. Mulai memikirkan kehidupan secara mandiri, baik secara sosial, ekonomis maupun politis, dengan mengutamakan kebebasan dari pengawasan yang terlalu ketat oleh orang tua atau sekolah.

e. Adanya perkembangan taraf intelektualitas (dalam arti netral) untuk mendapatkan identitas diri.

f. Menginginkan sistem kaidah dan nilai yang serasi dengan kebutuhan atau keinginannya, yang tidak selalu sama dengan sistem kaidah dan nilai yang dianut oleh orang dewasa (Soekanto, 2004: 52).

4. Pernikahan Usia Remaja

Perkawinan menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan usia remaja merupakan pernikahan yang dilakukan pada rentang usia 13 hingga 21 tahun. Ketika menginjak usia tersebut persiapan fisik, persiapan mental dan persiapan finansial mereka belum maksimal dan cenderung dipaksakan. Pernikahan usia remaja merupakan pernikahan yang dilakukan oleh pasangan-pasangan muda yang termasuk didalamnya adalah anak yang menikah dini. Menurut Asmawi (2004: 87) pernikahan dini atau biasa disebut pernikahan dibawah umur adalah pernikahan yang dilakukan antara pria dan wanita yang masih belum


(46)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan di bawah umur adalah sebagai berikut:

a. Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari pernikahan usia muda adalah:

1) Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga. 2) Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk pernikahan terlalu

muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya. 3) Sifat kolot orang Jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan

adat. Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu menikahkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.

b. Pernikahan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan oleh:

1) Masalah ekonomi keluarga.

2) Orang tua gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau menikahi anak gadisnya.

3) Dengan adanya pernikahan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya) (Soekanto, 1992: 65).

Selain menurut para ahli di atas, menurut (Noorkasiani, 2009) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda di Indonesia adalah:


(47)

a. Faktor Individu

1) Perkembangan fisik, mental, dan sosial yang dialami seseorang. Makin cepat perkembangan tersebut dialami, makin cepat pula berlangsungnya perkawinan sehingga mendorong terjadinya perkawinan pada usia muda.

2) Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh remaja. Makin rendah tingkat pendidikan, makin mendorong berlangsungnya perkawinan usia muda.

3) Sikap dan hubungan dengan orang tua. Perkawinan usia muda dapat berlangsung karena adanya sikap patuh dan atau menentang yang dilakukan remaja terhadap perintah orang tua. Hubungan dengan orang tua menentukan terjadinya perkawinan usia muda. Dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan perkawinan remaja karena ingin melepaskan diri dari pengaruh lingkungan orang tua. 4) Sebagai jalan keluar untuk lari dari berbagai kesulitan yang

dihadapi, termasuk kesulitan ekonomi. Tidak jarang ditemukan perkawinan yang berlangsung dalam usia sangat muda, diantaranya disebabkan karena remaja menginginkan status ekonomi yang lebih tinggi.

b. Faktor keluarga

Peran orang tua dalam menentukan perkawinan anak-anak mereka dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut :


(48)

1) Sosial ekonomi keluarga

Akibat beban ekonomi yang dialami, orang tua mempunyai keinginan untuk mengawinkan anak gadisnya. Perkawinan tersebut akan memperoleh dua keuntungan, yaitu tanggung jawab terhadap anak gadisnya menjadi tanggung jawab suami atau keluarga suami dan adanya tambahan tenaga kerja di keluarga, yaitu menantu yang dengan sukarela membantu keluarga istrinya.

2) Tingkat pendidikan keluarga

Makin rendah tingkat pendidikan keluarga, makin sering ditemukan perkawinan diusia muda. Peran tingkat pendidikan berhubungan erat dengan pemahaman keluarga tentang kehidupan berkeluarga.

3) Kepercayaan dan atau adat istiadat yang berlaku dalam keluarga Kepercayaan dan adat istiadat yang berlaku dalam keluarga juga menentukan terjadinya perkawinan diusia muda. Sering ditemukan orang tua mengawinkan anak mereka dalam usia yang sangat muda karena keinginan untuk meningkatkan status sosial keluarga, mempererat hubungan antar keluarga, dan atau untuk menjaga garis keturunan keluarga.

4) Kemampuan yang dimiliki keluarga dalam menghadapi masalah remaja

Jika keluarga kurang memiliki pilihan dalam menghadapi atau mengatasi masalah remaja, (misal : anak gadisnya melakukan


(49)

perbuatan zina), anak gadis tersebut dinikahkan sebagai jalan keluarnya. Tindakan ini dilakukan untuk menghadapi rasa malu atau rasa bersalah.

c. Faktor Lingkungan Masyarakat 1) Adat istiadat

Terdapat anggapan di berbagai daerah di Indonesia bahwa anak gadis yang telah dewasa, tetapi belum berkeluarga, akan dipandang “aib” bagi keluarganya. Upaya orang tua untuk mengatasi hal tersebut ialah menikahkan anak gadis yang dimilikinya secepat mungkin sehingga mendorong terjadinya perkawinan usia muda.

2) Pandangan dan kepercayaan

Pandangan dan kepercayaan yang salah pada masyarakat dapat pula mendorong terjadinya perkawinan di usia muda. Contoh pandangan yang salah dan dipercayai oleh masyarakat, yaitu anggapan bahwa kedewasaan seseorang dinilai dari status perkawinan, status janda lebih baik daripada perawan tua dan kejantanan seseorang dinilai dari seringnya melakukan perkawinan. Interpretasi yang salah terhadap ajaran agama juga dapat menyebabkan terjadinya perkawinan usia muda, misalnya sebagian besar masyarakat juga pemuka agama menganggap bahwa akil baliq ialah ketika seorang anak mendapatkan haid


(50)

akil baliq sesungguhnya terjadi setelah seorang anak wanita melampaui masa remaja.

3) Penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan

Sering ditemukan perkawinan usia muda karena beberapa pemuka masyarakat tertentu menyalahgunakan wewenang atau kekuasaan yang dimilikinya, yaitu dengan mempergunakan kedudukannya untuk kawin lagi dan lebih memilih menikahi wanita yang masih muda, bukan dengan wanita yang telah berusia lanjut.

4) Tingkat pendidikan masyarakat

Perkawinan usia muda dipengaruhi pula oleh tingkat pendidikan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat yang tingkat pendidikannya amat rendah cenderung mengawinkan anaknya dalam usia yang masih muda.

5) Tingkat ekonomi masyarakat

Masyarakat yang tingkat ekonominya kurang memuaskan, sering memilih perkawinan sebagai jalan keluar dalam mengatasi kesulitan ekonomi.

6) Tingkat kesehatan penduduk

Jika suatu daerah memiliki tingkat kesehatan yang belum memuaskan dengan masih tingginya angka kematian, sering pula ditemukan perkawinan usia muda di daerah tersebut.


(51)

7) Perubahan nilai

Akibat pengaruh modernisasi, terjadi perubahan nilai, yaitu semakin bebasnya hubungan antara pria dan wanita.

8) Peraturan perundang-undangan

Peran peraturan perundang-undangan dalam perkawinan usia muda cukup besar. Jika peraturan perundang-undangan masih membenarkan perkawinan usia muda, akan terus ditemukan perkawinan usia muda.

5. Fenomena Pernikahan Usia Remaja

Fenomena berasal dari bahasa Yunani phainomenon yaitu apa yang terlihat. Dalam bahasa Indonesia fenomena diartikan sebagai: 1) hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti fenomena alam); gejala: gerhana adalah salah satu -- ilmu pengetahuan; 2) sesuatu yg luar biasa; keajaiban: sementara masyarakat tidak percaya akan adanya pemimpin yg berwibawa, tokoh itu merupakan -- tersendiri; 3) fakta; kenyataan: peristiwa itu merupakan -- sejarah yg tidak dapat diabaikan (http://kbbi.web.id/fenomena).

Fenomena sosial dapat diartikan sebagai gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dan dapat diamati dalam kehidupan sosial. Istilah fenomena sosial digunakan untuk menunjukkan suatu gejala tidak


(52)

perilaku manusia dalam kehidupan sosialnya yang membentuk suatu gejala sosial yang akhirnya menjadi sebuah fakta atau kondisi tertentu. Pembentukan fenomena ini sendiri membutuhkan waktu dan gejala berulang-ulang yang diikuti oleh banyak orang yang menjadi perhatian masyarakat luas.

Pernikahan usia remaja menjadi suatu gejala yang tidak biasa dalam masyarakat dan menjadi suatu fenomena sosial. Fenomena pernikahan usia remaja ini dapat dilihat dari banyaknya anak-anak yang menikah diusia remaja. Seiring dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), masyarakat sudah mengalami perubahan dalam menentukan usia ideal untuk menikah. Orang tua melakukan banyak pertimbangan dalam beragam aspek ketika anaknya memutuskan hendak menikah. Pertimbangan tersebut mulai dari pertimbangan kesiapan anak secara fisik, kematangan emosional anak hingga kemampuan finansial anak. Akan tetapi, maraknya kasus kenakalan remaja saat ini membuat banyak remaja harus meninggalkan bangku sekolah dan harus menikah diusia yang masih muda. Kehamilan diluar perkawinan menjadi salah satu masalah yang saat ini marak sekali terjadi. Ketika seorang remaja putri hamil diluar pernikahan, orang tua seringkali sesegera mungkin menikahkan anak mereka dengan tujuan menutupi aib. Kehamilan diluar pernikahan dianggap sebagai aib karena melanggar norma-norma dan nilai-nilai sosial yang ada.


(53)

Di Indonesia, pernikahan usia remaja masih marak terjadi bahkan masih ada daerah-daerah dengan mayoritas masyarakatnya menikah diusia remaja. Adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat membuat pernikahan usia remaja berlangsung secara terus menerus pada generasi-generasi selanjutnya. Keinginan orang tua untuk mendapatkan menantu yang kelas sosialnya lebih tinggi dan dirasa dapat membantu perekonomian keluarga menjadi faktor pendorong lain munculnya pernikahan remaja. Hal tersebut terjadi karena, pernikahan usia remaja banyak terjadi pada masyarakat menengah bawah, dimana mereka memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi. Oleh karena itu, terdapat banyak remaja yang memutuskan menikah diusia remaja agar dapat mengurangi beban perekonomian keluarga. Meskipun begitu, ada juga anak yang memutuskan menikah karena merasa dirinya telah mampu membina rumah tangga meski diusia remaja. Tingkat pendidikan orang tua yang rendah serta kurangnya pengetahuan orang tua akan dampak-dampak buruk pernikahan usia remaja juga menjadi faktor pernikahan remaja.

Dampak negatif pernikahan usia remaja sendiri telah banyak diketahui masyarakat. Dampak negatif tersebut yaitu: kematian ibu dan bayi karena belum siapnya organ reproduksi ibu, perceraian, serta tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Tapi, masih banyak anak yang menikah diusia remaja.


(54)

B. Kajian Teori

1. Teori Fungsionalisme Struktural

Fungsionalisme struktural adalah salah satu paham atau perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Kemudian, perubahan yang terjadi pada salah satu bagian akan menyebabkan ketidakseimbangan dan pada gilirannya akan menciptakan perubahan pada bagian lain. Perkembangan fungsionalisme didasarkan atas model perkembangan sistem organisme yang didapat dalam biologi (Theodorson dalam Bernard Raho, 2007: 48).

Masyarakat terdiri dari berbagai elemen atau insitusi, elemen-elemen ini antara lain adalah ekonomi, politik, hukum, agama, pendidikan, keluarga, kebudayaan, adat-istiadat, dan lain-lain. Masyarakat luas akan berjalan normal kalau masing-masing elemen atau institusi menjalankan fungsinya dengan baik. Kemacetan pada salah satu institusi akan menyebabkan kemacetan pada institusi-institusi lain dan pada gilirannya akan menciptakan kemacetan pada masyarakat secara keseluruhan. Karena segala sesuatau di dalam masyarakat pada fungsinya, termasuk hal-hal seperti kemiskinan, peperangan, atau kematian. Kemiskinan, misalnya, pasti berfungsi untuk orang kaya, tetapi tentu tidak berfungsi untuk orang yang miskin. Di uraikan oleh Herbert Gans (dalam Bernard Raho, 2007: 48-49).


(55)

Teori Fungsinalisme Struktural Robert K. Merton, mengartikan fungsi sebagai akibat atau konsekuensi logis, obyektif (nyata, lepas dari maksud atau motivasi seseorang) terbuka untuk setiap pengamatan empiris dan dari suatu sosio-budaya bagi kesatuan sosial yang lebih besar. Dalam hal fungsi, Merton membagi fungsi menjadi dua bagian yaitu “fungsi nyata” (manifest function) dan “fungsi sembunyi” (laten fungcion).

a. Fungsi Nyata (Manifest Function)

Pengembangan dalam memahami fungsi manifest dalam sosiologi banyak dipengaruhi oleh ilmu biologi, dimana setiap fungsi dalam tubuh manusia memiliki fungsi biologis. Jadi jika mengacu kepada fungsi ini dapat dikatakan bahwa keluarga memiliki fungsi reproduksi dan sosialisasi sehingga negara bertanggung jawab dalam fungsinya sebagai pemelihara tatanan dan lain-lain.

b. Fungsi Tersembunyi (Laten Function)

Robert K Merton menggarisbawahi pendapat bahwa sebuah institusi sosial memiliki fungsi-fungsi yang bersifat laten (tersembunyi) dan berbeda dengan motif-motif eksplisitnya. Misalnya, upacara minta hujan yang dilakukan orang-orang Indian Hopi mempunyai motif agar hujan segera turun, namun beberapa ilmuan yakin bahwa ada fungsi lain dari upacara ritual yang dilakukan yakni, mempertahankan kohesi kelompok (Nazsir 2008: 11)


(56)

C. Penelitian Relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Kartika Ekawati

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Kartika Ekawati (2010), mahasiswi jurusan Politik dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang berjudul “Kenakalan Remaja di Tinjau dari Pola Asuh Orang Tua di Desa Kecitran Kecamatan Purwareja Klampok Kabupaten Banjarnegara”. Penelitian ini menjelaskan faktor-faktor penyebab kenakalan remaja, pola asuh orang tua dan kendala yang dihadapi orang tua pada fenomena kenakalan remaja tersebut. Faktor kenakalan remaja berasal dari faktor internal: diri remaja sendiri dan faktor eksternal: pengaruh lingkungan sosial. Pola asuh yang banyak diterapkan orang tua pada penelitian ini adalah pola asuh demokratis dan permisif. Kendala yang dihadapi orang tua pada kenakalan remaja adalah kesibukan orang tua, kurangnya pengawasan, anak sulit diatur, pengaruh teman sebaya dan lingkungan serta perkembangan teknologi yang sangat pesat.

Persamaan penelitian Wahyu Kartika Ekawati dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah sama-sama mengkaji perilaku/tindakan remaja yang ditinjau dari pola asuh yang diterapkan orang tua. Perbedaannya, penelitian Wahyu Kartika Ekawati mengkaji kenakalan remaja dari pola asuh orang tua beserta kendalanya. Sedangkan penelitian ini menekankan pada pola asuh orang tua sebagai faktor penyebab terjadinya pernikahan usia remaja.


(57)

2. Penelitian yang dilakukan oleh Endah Kusumawati

Penelitian yang dilakukan oleh Endah Kusumawati (2009), mahasiswi Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta yang berjudul “Faktor dan Dampak Perkawinan Usia Remaja di Desa Nogotirto Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Provonsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Penelitian ini mengemukakan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan dini di Kecamatan gamping. Faktor-faktor yang ditemukan antara lain karena kehamilan diluar pernikahan, adanya keinginan untuk melepaskan beban orang tua dengan menikah, putus sekolah, dan adanya rujukan dari masyarakat dan teman sebaya yang menikah diusia remaja.

Persamaan penelitian Endah Kusumawati dengan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji fenomena pernikahan usia remaja. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian Endah Kusumawati mengungkapkan temuan faktor dan dampak dari pernikahan usia remaja saja. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan usia remaja serta menjelaskan bagaimana pola asuh orang tua dapat mempengaruhi remaja untuk melakukan pernikahan diusia muda.

D. Kerangka Pikir


(58)

remaja yang cukup tinggi. Beragam faktor melatarbelakangi terjadinya pernikahan usia remaja di Desa Planjan. Secara umum faktor internal terjadinya pernikahan usia remaja adalah keinginan dari diri individu sendiri. Sedangkan faktor eksternal munculnya pernikahan usia remaja cukup beragam, antara lain: faktor Keadaan Ekonomi, Pendidikan Orang Tua, Adat/ Kepercayaan, Pola Asuh Orang Tua, Lingkungan Masyarakat serta Media Massa. Dalam penelitian ini peneliti terfokus pada faktor Pola Asuh Orang Tua dan bagaimana bentuk pola asuh orang tua menyebabkan anak menikah diusia remaja.

Adapun kerangka pikir yang terbentuk adalah sebagai berikut:

Bagan 1.Kerangka Pikir Pernikahan Usia

Remaja

Permisif Otoriter

Pola Asuh Orang Tua Keinginan dari Diri

Sendiri

Faktor Eksternal Faktor Internal

Masyarakat di Kecamatan Saptosari Kabupaten

Gunung Kidul


(59)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian

Penelitian tentang bentuk pola asuh pada fenomena pernikahan remaja ini dilaksanakan di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul. Peneliti memilih lokasi penelitian di Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul karena tingginya angka pernikahan usia remaja di lokasi tersebut.

B. Waktu Penelitian

Penelitian dan pengambilan data dilaksanakan selama kurang lebih 3 bulan yaitu mulai bulan April-Juni 2015 setelah selesainya seminar proposal skripsi.

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian dalam penelitian tentang bentuk pola asuh pada fenomena pernikahan usia remaja ini adalah anak-anak yang masih berusia remaja dan telah menikah, orang tua yang memiliki anak remaja yang telah menikah, dan pihak terkait lainnya di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul.

D. Bentuk Penelitian

Pendekatan atau bentuk penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006:4) penelitian


(60)

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati Menurut Moleong, pendekatan kualitatif yaitu pendekatan penelitian dengan data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka. Data tersebut dapat diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan hasil observasi. Penelitian kualitatif diartikan juga sebagai kegiatan mengamati orang dalam lingkungannya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa, dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya.

Peneliti memilih metode kulitatif dengan analisi deskriptif. Penelitian ini mendeskripsikan mengenai bentuk pola asuh orang tua pada fenomena pernikahan usia remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul. Pendekatan ini bertujuan untuk mengeksplorasi suatu fakta sosial, mengungkapkan bahwa metode deskriptif sebagai prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan gambaran subyek dan obyek penelitian sesuai kenyataan, mengembangkan, menghubungkan antar variabel yang ada dan memberikan penafsiran dari fakta tersebut.

E. Sumber Data

Sumber data adalah apa dan siapa saja yang akan menjadi sumber data. sumber data pada penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh melalui teknik wawancara dan observasi yang dilakukan langsung oleh peneliti atau sumber data yang berasal dari narasumber langsung. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara anak yang berusia


(61)

remaja dan telah menikah, orang tua yang memiliki anak remaja yang telah menikah serta pihak yang berkaitan dengan fenomena pernikahan usia remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul.

2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yaitu sumber data yang berasal dari buku-buku, majalah, koran, jurnal penelitian, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini peneliti memperoleh data dari buku-buku, koran, jurnal penelitian, dokumentasi pribadi, dan sebagainya.

F. Teknik Pengumpulan Data

Dalam suatu penelitian selalu ada proses pengumpulan data. Data adalah hasil pencatatan penelitian, baik berupa fakta atau berupa angka (Arikunto, 2002: 96). Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data diperoleh. Apabila penelitian menggunakan kuesioner/wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut subjek, yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan penelitian, baik pertanyaan tertulis atau lisan (Arikunto, 2002: 102). Proses pengumpulan data tersebut membutuhkan satu atau beberapa teknik. Jenis teknik yang dipilih dan digunakan dalam pengumpulan data tentunya harus sesuai dengan sifat dan karakteristik penelitian yang dilakukan. Berikut ini adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan, yaitu:


(62)

1. Observasi

Observasi merupakan suatu aktivitas penelitian dalam rangka pengumpulan data sesuai dengan masalah penelitian, melalui proses pengamatan di lapangan. Secara umum observasi berarti melihat dan mengamati sendiri semua kegiatan yang berlangsung sesuai keadaan sebenarnya dan memungkinkan memahami situasi yang rumit (Moleong, 2006: 126).

Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistimatik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. Observasi dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perilaku manusia seperti terjadi dalam kenyataan. Tujuan dari observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian di lihat dari perpektif mereka yang terlihat dalam kejadian yang diamati tersebut. Dilakukannya observasi dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial yang sulit diperoleh dengan metode lain. Dalam observasi diusahakan mengamati keadaan yang wajar dan yang sebenarnya tanpa usaha yang disengaja untuk mempengaruhi, mengatur atau memanipulasikannya.

2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interview) yang


(63)

memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2006: 186). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik wawancara semi terstruktur. Teknik wawancara ini dilakukan agar peneliti dapat memperoleh informasi sesuai dengan yang diharapkan. Wawancara dengan teknik ini memerlukan adanya pedoman wawancara yang membuat pertanyaan yang terkait dengan penelitian, namun nantinya pertanyaan tersebut juga dapat dikembangkan penelitian ketika berada dilapangan sehingga akan diperoleh data yang lengkap untuk menganalisis permasalahan yang diteliti.

3. Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen. Data yang dikumpulkan dengan dokumentasi cenderung merupakan data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ini berfungsi sebagai alat pembuktian. Cara pengumpulan data dengan dokumentasi dapat berupa arsip-arsip, foto dan buku yang berhubungan dengan penelitian ini.

G. Teknik Sampling

Penelitian kuantitatif tidak menuntut sampel dalam jumlah banyak, akan tetapi yang diperlukan adalah sampel yang mampu memberikan informasi yang dibutuhkan. Dimana informasi itu berhubungan dengan tujuan untuk mencari kekhususan yang ada keramuan yang unik serta untuk menggali informasi yang akan menjadi dasar rancangan dan teori yang muncul


(64)

adalah Purposive sampling yakni tergantung fokus pada suatu saat, dalam penelitian ini adalah hal, peristiwa, situasi yang diobservasi. Sampel dalam penelitian ini adalah orang tua dan anak yang menikah diusia remaja.

H. Validitas Data

Validitas data dilakukan agar data yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam teknik pemeriksaan keabsahan data ini, peneliti menggunakan cara trianggulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data itu (Moleong, 2006: 330). Penelitian ini menggunakan trianggulasi sumber dimana pengecekan dilakukan dengan cara membandingkan data dari wawancara, observasi dan dokumentasi. Pembandingan data ini akan dilakukan dengan cara membandingkan pendapat keluarga yang dimintai data.

I. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah pedoman tertulis tentang pengamatan atau daftar pertanyaan yang dipersiapkan untuk mendapatkan informasi dari responden, yaitu alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik dalam arti cermat, lengkap dan sistematis sehingga mudah diolah.

Adapun instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu dengan menggunakan lembar pedoman observasi dan wawancara serta alat perekam untuk memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian.


(65)

1. Pedoman Observasi

Pedoman observasi digunakan agar peneliti dapat melakukan pengamatan sesuai dengan tujuan penelitian. Pedoman observasi disusun berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan informasi yang muncul pada saat berlangsungnya wawancara.

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas, juga menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara kongkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung.

3. Alat Perekam

Alat perekam berguna sebagai alat bantu pada saat wawancara, agar peneliti dapat berkonsentrasi pada proses pengambilan data tanpa harus berhenti untuk mencatat jawaban-jawaban dari subjek. Dalam


(66)

mendapat ijin dari subjek untuk mempergunakan alat tersebut pada saat wawancara berlangsung.

J. Teknik analisis data

Analisis data merupakan hal yang penting dalam penelitian, karena sangat berpengaruh terhadap kualitas hasil penelitian. Penelitian ini menggunakan model analisis data interaktif (interactive model of analysis) menurut Miles dan Huberman. Model ini terdiri dari tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan, dengan proses pengumpulan data (data collecting) sebagai suatu siklus. Pengumpulan data merupakan hasil dari observasi, wawancara dan dokumentasi yang dicatat dalam catatan lapangan (Miles dan Huberman, 1994: 16). Berikut adalah proses analisis data interaktif menurut Miles dan Huberman:

1. Reduksi Data

Miles dan Huberman menyatakan bahwa proses reduksi merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari hasil pengisian angket. Proses reduksi data ini dimaksudkan untuk lebih mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, membuang bagian data yang tidak diperlukan serta mengorganisasikan data sehingga mudah untuk dilakukan penarikan kesimpulan yang kemudian dilanjutkan dengan proses verifikasi. Dalam observasi ini, reduksi data dilakukan dengan cara pemilihan dan pengelompokkan daftar pertanyaan yang sama, kemudian di


(67)

rekapitulasi agar nantinya dapat memudahkan pengolahan ke dalam analisis deskriptif.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah sejumlah informasi yang tersusun dan memberikan kemungkinan-kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan lebih lanjut. Dengan melihat penyajian data, kita akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Agar sajian data berupa naratif sebagai wadah panduan informasi tentang apa yang terjadi, maka data disajikan sesuai dengan apa yang diteliti. Penyajian data dalam penelitian ini menggunakan analisis secara naratif dan deskriptif, sehingga pembaca mampu memahami isi dan hasil dari penelitian yang dilakukan.

3. Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan merupakan langkah akhir dalam pembuatan suatu laporan. Penarikan kesimpulan adalah usaha untuk mencari atau memahami makna, keteraturan pola-pola penjelasan, alur sebab akibat atau proposisi. Kesimpulan yang ditarik segera diverifikasi dengan cara melihat dan mempertanyakan kembali sambil melihat catatan lapangan agar memperoleh pemahaman yang lebih tepat. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mendiskusikannya. Hal tersebut dilakukan agar data yang diperoleh dan penafsiran terhadap data tersebut memiliki validitas sehingga kesimpulan yang ditarik menjadi kokoh.


(68)

Model analisis data interaktif Miles dan Huberman tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

       

   

Bagan 2. Model analisis data interaktif Miles dan Huberman. Reduksi Data

Penarikan Kesimpulan Penyajian Data Pengumpulan Data


(69)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Wilayah Penelitian 1. Letak dan Luas Wilayah

Desa Planjan merupakan salah satu desa yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tepatnya di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Secara geografis batas-batas wilayah Desa Planjan: a. Sebelah Utara berbatasan dengan : Desa Monggol b. Sebelah Selatan berbatasan dengan : Desa Kanigoro

c. Sebelah Barat berbatasan dengan : Desa Kepek dan Kanigoro d. Sebelah Timur berbatasan dengan : Desa Kemadang

Desa Planjan dibentuk pada tahun 1922 dengan luas wilayah 1.315,8405 ha. Desa Planjan terdiri dari 14 Dusun, yaitu: Pucung, Wuluh, Blimbing, Legundi, Pakel, Ngepoh, Jambu, Klepu, Tritis, Sumber, Planjan, Ngalang-ngalangsari, Karang dan Sengerang. Desa Planjan terdiri dari 14 RW (Rukun Warga) dan 64 RT (Rukun Tetangga). Jarak Desa Planjan dari pusat pemerintahan:

a. Jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan : 7 Km b. Jarak dari Ibu Kota Kabupaten : 25 Km c. Jarak dari Ibu Kota Provinsi : 65 Km d. Jarak dari Pusat Pemerintahan : 750 Km


(70)

Untuk ukuran sebuah desa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), desa Planjan bisa dikatakan desa yang cukup luas cakupan wilayahnya. Berdasarkan penggunaan lahan, Desa Planjan terbagi atas tanah kering (dryland) seluas 874 ha, bangunan (building) seluas 288 ha, hutan rakyat (public forest) seluas 24 ha dan lainya seluas 64 ha. Desa Planjan terbagi kedalam beberapa sektor yaitu sektor permukiman/tempat hunian, perkebunan, pertanian, peternakan, jalan umum serta fasilitas umum (sekolah, tempat ibadah, puskesmas, kantor desa, balai warga dan lapangan olahraga). Namun secara keseluruhan Desa Planjan banyak digunakan untuk tempat bercocok tanam dan permukiman penduduk. Kondisi wilayah Desa Planjan yang terdiri dari lereng dan perbukitan karst membuat banyak lahan perbukitan yang ditanami pohon jati yang memang sesuai dengan kondisi geografis wilayah desa tersebut.

Desa Planjan merupakan desa yang jauh dari keramaian kota, akses transportasi untuk menuju desa tersebut dapat dilalui melalui jalur darat. Akan tetapi, alat transportasi umum yang menuju desa tersebut masih minim jumlahnya dan hanya ada dipinggir desa yang berbatasan langsung dengan kecamatan Paliyan. Akses jalan yang berada ditengah desa juga belum beraspal, karena jalannya masih berupa cor-coran yang hanya 2 lajur dan sudah banyak yang rusak. Untuk mengakses kedalam desa hanya bisa menggunakan kendaraan pribadi (motor/mobil pribadi) ataupun hanya dengan berjalan kaki.


(71)

2. Keadaan Demografi a. Penduduk

Keadaan penduduk Desa Planjan tidak mengalami banyak perubahan jumlah dan komposisi penduduk dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014 Desa Planjan memiliki 1719 Kepala Keluarga (KK) dengan total jumlah penduduk 6117 jiwa. Komposisi jumlah penduduk laki-laki berjumlah 3037 jiwa dan perempuan berjumlah 3080 jiwa. Berdasarkan data yang diperoleh, penduduk berjenis kelamin perempuan lebih banyak melakukan pernikahan pada usia remaja.

Tabel 1. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah

1 Laki-laki 3037 Jiwa 2 Perempuan 3080 Jiwa

Total 6117 Jiwa

Sumber: Profil Desa Planjan tahun 2014

Berdasarkan rentang usia, jumlah penduduk Desa Planjan yang berusia 0-15 tahun berjumlah 1868 jiwa, usia 15-65 tahun berjumlah 3596 jiwa dan usia 65 tahun keatas berjumlah 6117 jiwa. Rata-rata masyarakat desa Planjan menikah untuk pertama kalinya pada rentang usia 15-20 tahun. Pada usia tersebut seseorang termasuk dalam fase remaja, sehingga pernikahan yang dilakukan pada rentang usia itu disebut sebagai pernikahan usia remaja.


(72)

Tabel 2. Jumlah penduduk berdasarkan usia

No. Usia Jumlah

1 0-15 tahun 1868 jiwa 2 15-65 tahun 3596 jiwa 3 65 tahun ke-atas 653 jiwa

Total 6117 jiwa

Sumber: Profil Desa Planjan tahun 2014 b. Pendidikan

Pendidikan merupakan kebutuhan yang penting bagi manusia. Akan tetapi, kesadaran masyarakat desa Planjan terhadap pentingnya pendidikan masih sangat kurang. Keadaan perekonomian masyarakat yang berada pada level menengah kebawah menyebabkan banyak orang tua yang tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka hingga jenjang pendidikan tinggi. Oleh karena itu, banyak sekali anak di Desa Planjan yang putus sekolah. Keadaan ini membuat anak-anak di Desa Planjan memilih untuk menikah diusia yang masih sangat muda. Keterbatasan biaya dan lokasi sekolah yang cukup jauh membuat banyak anak terpaksa hanya menjadi seorang lulusan Sekolah Dasar saja. Sarana dan Prasarana pendidikan di Desa Planjan yakni terdapat 2 buah PAUD, 5 buah Taman Kanak-kanak (TK), dan 7 buah Sekolah Dasar (SD). Desa Planjan memiliki sebuah perpustakaan desa yang berada tepat di depan kantor kelurahan Planjan.


(73)

Tabel 3. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Planjan

No. Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Lulusan Pendidikan Umum 1. TK

2. SD 3. SMP 4. SMA

5. Akademi/D1-D3 6. Sarjana

7. Pasca Sarjana

417 orang 1947 orang 1045 orang 213 orang 11 orang 28 orang

- 2 Lulusan Pendidikan Khusus - 3 Tidak Lulus dan Tidak Sekolah

1. Tidak Lulus 2. Tidak Bersekolah

704 orang 1752 orang

Total 6117 orang

Sumber: Profil Desa Planjan tahun 2014

c. Mata Pencaharian

Mayoritas mata pencaharian masyarakat desa Planjan adalah petani. Lahan perkebunan yang cukup luas membuat masyarakat banyak menggantungkan pendapatan dari berkebun dan bertani. Banyak juga masyarakat yang bekerja sebagai buruh tani karena mereka tidak memiliki lahan perkebunan sendiri. Namun, saat ini


(74)

masyarakat yang bekerja sebagai pengrajin tembaga. Berdasarkan data penelitian, industri kerajinan tembaga banyak digeluti oleh keluarga muda yang sebagian adalah pasangan yang menikah diusia remaja.

Tabel 4. Mata pencaharian masyarakat Desa Planjan

No. Mata Pencaharian Jumlah

1 Karyawan d. PNS e. TNI/Polri f. Swasta

84 orang 13 orang 107 orang 2 Wiraswasta/pedagang 102 orang

3 Petani 3019 orang

4 Tukang 126 orang

5 Buruh Tani 605 orang

7 Pensiunan 7 orang

8 Nelayan 13 orang

9 Peternak 9 orang

10 Jasa 17 orang

11 Pengrajin 59 orang

12 Pekerja seni 28 orang

13 Lainnya 1034 orang

14 Tidak bekerja/Pengangguran 894 orang

Total 6117 orang


(75)

B. Deskripsi Informan 1. Informan FJ

Informan FJ merupakan seorang laki-laki berusia 21. FJ telah menikah pada tahun 2013 ketika usianya masih 19 tahun. FJ seorang lulusan SMK yang saat ini bekerja sebagai buruh harian lepas di tempat kerajinan tembaga dan silver. Istri FJ juga menikah diusia remaja yakni menikah diusia 17 tahun. FJ saat ini telah memiliki seorang anak laki-laki berusia 9 bulan. FJ menikah diusia remaja karena alasan sudah suka sama suka dengan pasangan dan menghindari perbuatan zina yang dilarang agama. Orang tua FJ bekerja sebagai petani dan memiliki pendidikan terakhir SD.

2. Informan RA

Informan RA merupakan seorang laki-laki berusia 19 tahun dan baru saja melangsungkan pernikahan pada tanggal 14 April 2015. Pendidikan terakhir RA adalah SMP. RA bekerja sebagai buruh harian lepas di tempat kerajinan dan juga bekerja sebagai buruh tani. RA menikah diusia remaja karena alasan sudah saling suka, saling mengenal dan sudah merasa cocok dengan pasangannya.Pendidikan terakhir orang tua RA adalah SD dan bekerja sebagai petani.

3. Informan SP


(76)

SP memiliki 2 orang anak dimana anak terakhir ibu SP menikah diusia 17 tahun. Ibu SP menikahkan putrinya karena alasan anaknya sudah suka sama lain dengan pasangan. Pola asuh yang diterapkan oleh ibu SP ini cenderung membebaskan putrinya.

4. Informan EC

Informan EC merupakan seorang laki-laki berusia 23 tahun. EC menikah pada usia 19 tahun yakni pada tanggal 28 Juni 2010. Istri EC juga menikah diusia remaja yakni usia 16 tahun. EC juga telah memiliki seorang anak berusia 3,5 tahun. Pendidikan terakhir EC adalah SD. EC telah mulai bekerja sejak lulus SD. EC saat ini bekerja sebagai pengrajin tembaga dan silver. Alasan EC menikah diusia remaja adalah karena sudah tidak ingin berlama-lama pacaran dan sudah merasa cocok satu sama lain dengan pasangan.

5. Informan AR

Informan AR merupakan seorang perempuan berusia 39 tahun. Ibu AR merupakan ibu dari informan EC. Ibu AR bekerja sebagai seorang buruh tani. Pendidikan terakhir ibu AR adalah SD. Menurut Ibu AR, EC menikah diusia remaja karena EC sudah merasa cocok satu sama lain dengan pasangan dan untuk menghindari gunjingan dari tetangga. Alasan ibu AR menyetujui pernikahan usia remaja yang dilakukan EC adalah karena mengikuti keinginan anak yang ingin segera menikah. Pola asuh yang diterapkan ibu AR pada EC adalah pola asuh yang cenderung membebaskan anak.


(77)

6. Informan SL

Informan SL merupakan seorang laki-laki berusia 23 tahun. SL menikah ketika menginjak usia 19 tahun. Pendidikan terakhir SL adalah SD. SL bekerja sebagai pengrajin tembaga dan silver. Istri SL juga menikah diusia remaja yakni pada usia 15 tahun. SL telah memiliki seorang anak laki-laki berusia 2,5 tahun. Alasan SL menikah diusia remaja karena memang di Desa Planjan kebanyakan menikah diusai muda, menurut SL sudah sewajarnya laki-laki di desa Planjan menikah diusia 19 atau 20 tahun.

7. Informan NV

Informan NV adalah seorang perempuan berusia 18 tahun. NV menikah pada usia 15 tahun. Pendidikan terakhir NV adalah SMP. NV berasal dari keluarga brokenhome dan juga memiliki ibu yang menikah diusia remaja. NV bekerja sebagai ibu rumah tangga. NV mengaku menikah diusia remaja karena alasan tidak enak menolak lamaran dan ia mengaku bahwa saat itu ia hanya berpikiran bahwa menikah itu enak. 8. Informan NA

Informan NA merupakan seorang perempuan berusia 19 tahun dan telah menikah diusia 16 tahun. NA bekerja membantu suaminya dalam pembuatan kerajinan tembaga dan silver yang dilakukan di rumah. Pendidikan terakhir NA adalah SMP. NA telah memiliki seorang anak berusia 1,5 tahun. Alasan NA menikah diusai remaja karena sudah merasa


(78)

9. Informan ST

Informan ST merupakan perempuan berusia 37 tahun. ST merupakan ibu dari seorang anak yang menikah diusia remaja. Ibu ST bekerja sebagai buruh tani. Pendidikan terakhir ibu ST adalah SD. Alasan anak ibu ST menikah diusai remaja karena mengikuti kebiasaan masyarakat desa Planjan yang banyak menikah diusia remaja. Pola asuh yang diterapkan ibu ST adalah pola asuh yang membiarkan dan membebaskan.

10. Informan LS

Informan LS merupakan perempuan berusia 17 tahun. LS menikah diusia 16 tahun. LS bekerja sebagai seorang buruh. Suami LS juga menikah diusia remaja yakni diusia 18 tahun. pendidikan terakhir LS adalah SMP. LS menikah diusia remaja karena alasan mengindari fitnah dan gunjingan dari tetangga, LS juga mengaku ia menikah agar ia lebih bebas pergi malam hari dengan pasangannya.

11. Informan SS

Informan SS merupakan seorang laki-laki berusia 19 tahun. SS menikah diusia 18 tahun. SS merupakan suami dari informan LS. SS bekerja sebagai seorang penjahit. Pendidikan terakhir SS adalah SMP. Alasan SS menikah diusia remaja karena telah cukup lama mengenal pasangan dan juga sudah cukup lama memiliki niat untuk menikahi pasangannya. Selain itu SS juga sudah merasa menemukan jodoh yang tepat untuk dijadikan sebagai istri.


(79)

12. Informan Bapak Subariman

Bapak Subariman merupakan salah satu pegawai pemerintahan Desa Planjan. Bapak Subariman memiliki jabatan sebagai sekertaris Desa Planjan.

Tabel 5. Profil informan penelitian

Sumber: Data Pribadi (hasil wawancara)

No Nama Usia Pekerjaan

Pendidikan terakhir 1 FJ 21 tahun Buruh harian lepas SMK 2 AR 19 tahun Buruh haria lepas SMP

3 SP ±50 tahun Petani SD

4 EC 23 tahun Pengrajin tembaga SD 5 AR 39 tahun Buruh tani SD 6 SL 23 tahun Pengrajin tembaga SD 7 NV 18 tahun Ibu rumah tangga SMP 8 NA 19 tahun Pengrajin tembaga SMP 9 ST 37 tahun Buruh tani SD

10 LS 17 tahun Buruh SMP

11 SS 19 tahun Penjahit SMP

12

Bapak Subariman

-

Sekertaris Desa Planjan


(80)

C. Pembahasan dan Analisis

1. Fenomena pernikahan usia remaja di Desa Planjan Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul

Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 7 (1), perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Namun, bila belum mencapai umur 21 tahun calon pengantin laki-laki maupun perempuan diharuskan memperoleh izin dari orang tua atau wali yang diwujudkan dalam bentuk surat izin sebagai salah satu syarat untuk melangsungkan suatu perkawinan. Bahkan bagi calon yang usianya masih dibawah atau kurang dari 16 tahun harus memperoleh dispensasi dari Pengadilan Agama setempat.

Menurut Elizabet B. Hurlock (1999: 264), seseorang mengalami fase dewasa awal (dewasa muda) ketika menginjak usia 18 tahun sampai kira-kira usia 40 tahun. Pada fase tersebut seseorang akan berusaha mencari pasangan hidup yang selanjutnya akan diteruskan pada proses pembentukan dan pembinaan keluarga. Namun, secara hukum Indonesia seseorang dikatakan dewasa bila telah menginjak usia 21 tahun (meski belum menikah) atau sudah menikah (meskipun belum berusia 21 tahun).


(1)

LAMPIRRAN 6

Sumber: K

Peta Wila

Kecamatan

ayah Kecam

n Saptosari

matan Sapt

i dalam An tosari


(2)

LAMPIR

Sumber: D

Sumber: D RAN 7

Dokumen Pr

Dokumen Pr

Doku

ribadi, 22 A

ribadi, 22 A

umentasi W

April 2015.

April 2015.


(3)

                                             


(4)

                                             


(5)

                                             


(6)