Analisis eksperimental efek area ratio throat terhadap entrainment ratiosteam ejector refrigeration system.

(1)

ABSTRAK

Pemanfaatan kembali waste heat dan low grade thermal energy telah menjadi topik penelitian sejak energi jenis tersebut dapat diperoleh dari sisa proses – proses industri, kolektor surya, dan gas buang kendaraan. Sistem refrijerasi ejektor uap merupakan suatu perangkat yang ekonomis dan ramah lingkungan dimana sistem ini dapat beroperasi dari panas sisa dan refrijeran yang fenomena pencampuran aliran serta performa dari ejektor uap. Dengan memperbesar ruang pencampuran melalui throat yang dapat diubah ubah, nilai optimum rasio luas penampang throat pada ruang pencampuran akan diteliti secara eksperimen.

Sebuah sistem refrijerasi ejektor uap berskala kecil telah dirancang dan difabrikasi. Ejektor dirancang dalam suatu sistem terbuka dan boiler beroperasi pada tekanan 100 – 400 kPa. Fluida didalam sebuah evaporator bertemperatur antara 50 - 80°C, sedangkan temperatur kondenser dikondisikan pada 27°C. Ruang pencampuran dengan diameter 8 mm dan 3 konfigurasi panjang (50 mm, 100 mm, 150 mm) diuji pada kondisi posisi NXP 0 mm dan diameter nosel 2 mm.

Dengan memvariasikan rasio luas throat pada ruang pencampuran, hasil percobaan menunjukkan nilai optimum dari entrainment ratio didapatkan dengan rasio luas throat 18.75 pada tekanan boiler 100 kPa dan temperatur evaporator 80°C dengan nilai ω = 1. Sedangkan, nilai rasio ekspansi optimum adalah 2.1 dan koefisien performa dari sistem refrijerasi ejektor uap adalah 0.98.

Kata kunci: Waste heat, sistem refrijerasi ejektor uap, rasio luas penampang throat, entrainment ratio.


(2)

ABSTRACT

The utilization of waste and low-grade thermal energy has been of interest to reaserchers ever since this type of energy is available from sources such as industrial process waste, solar collectors, and automobile exhaust. Steam ejector refrigeration system is an application, which is economically feasible and environment-friendly as it can operates with waste heat and a harmless refrigerant such as water. The aim of this paper is to investigate the entrainment behavior and performance of steam ejector. Through enlarging the designed mixing chamber by replaceable throats, optimum area ratio throat of mixing chamber is studied experimentally.

A small scale steam ejector refrigeration system was designed and manufactured. This ejector setup consist of an open loop configuration and the boiler operated in the pressure range of Pp = 100 – 400 kPa. The typical evaporator liquid temperatures range from Ts = 50 - 80°C while the condenser temperature fixed at Tc = 27°C. The mixing chamber with 8 mm diameter and three length configurations (50 mm, 100 mm, 150 mm) were tested while the nozzle exit position remained unchanged at 0 mm and used 2 mm nozzle’s diameter.

With variable area ratio throat of mixing chamber, experiments showed that the optimum entrainment ratio was obtained by throat area ratio 18.75 at 100 kPa primary pressure and 80°C secondary temperature with ω = 1. Meanwhile, the optimum expansion ratio was 2.1 and optimum coefficient of performance of steam ejector refrigeration system was 0.98.

Keywords: waste heat, steam ejector refrigeration system, area ratio throat, entrainment ratio


(3)

i

Skripsi

ANALISIS EKSPERIMENTAL EFEK AREA RATIO THROAT

TERHADAP ENTRAINMENT RATIO STEAM EJECTOR

REFRIGERATION SYSTEM

Untuk Memenuhi Salah Satu Persayaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Teknik Mesin Pada Jurusan Teknik Mesin Universitas

Sanata Dharma

Oleh:

GREGORIUS BRYAN HENDRIWAN RIYANTO

135214118

JURUSAN TEKNIK MESIN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2016


(4)

ii

EXPERIMENTAL ANALYSIS OF AREA RATIO THROAT

EFFECT TO ENTRAINMENT RATIO OF STEAM EJECTOR

REFRIGERATION SYSTEM

FINAL PROJECT

As practial fulfillment of the requirements to obtain the Bachelor Degree in Mechanical Engineering

By

GREGORIUS BRYAN HENDRIWAN RIYANTO

Student Number: 135214118

MECHANICAL ENGINEERING DEPARTMENT

FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY

SANATA DHARMA UNIVERSITY

YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi ini dengan judul “Analisis Eksperimental Efek Area Ratio Throat Terhadap Entrainment Ratio Steam Ejector Refrigeration System” tidak terdapat karya yang pernah diajukan disuatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya dan pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 8 Agustus 2016


(8)

vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini saya mahasiswa Universitas Sanatah Dharma : Nama : Gregorius Bryan Hendriwan Riyanto

Nomor Mahasiswa : 135214118

Demi pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul:

ANALISIS EKSPERIMENTAL EFEK AREA RATIO THROAT

TERHADAP ENTRAINMENT RATIO STEAM EJECTOR

REFRIGERATION SYSTEM

Beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya namun memberikan royalty kepada saya selama tetap menyantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 8 Agustus 2016 Yang menyatakan,


(9)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Eksperimental Efek Area Ratio Throat Terhadap Entrainment Ratio Steam Ejector Refrigeration System”.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar sarjana bagi mahasiswa program S1 pada program studi Program Studi Teknik Mesin Fakultas Sains dan Teknologi Universtias Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa proposal skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Selesainya proposal ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materil secara langsung maupun tidak langsung kepada:

1. Sudi Mungkasi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ir. P.K. Purwadi, M.T., selaku Ketua Program Studi Teknik Mesin Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma.

3. Stefan Mardikus, S.T., M.T., selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan dalam pengerjaan Skripsi dan Tugas Akhir ini.

4. Wibowo Kusbandono, S.T., M.T., selaku dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik, yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan dalam pengerjaan Skripsi dan Tugas Akhir ini. 5. Seluruh dosen Teknik Mesin Fakultas Sains dan Teknologi Univertas

Sanata Dharma, yang telah memberikan pengetahuan selama kuliah. 6. Keluarga tercinta, F.X. Budhi Riyanto (Bapak), Theresia Maria Elly (Ibu),


(10)

viii

Valensia Mariana (Nenek), yang selalu mendukung, memberikan doa, semangat dan bantuan baik moril maupun materi kepada penulis.

7. Kelompok tugas akhir Aditia Pratama Abdi dan Gilang Arga Dyaksa yang telah membantu menyelesaikan tugas akhir dan memberikan dukungan kepada penulis.

8. Mas Ronny, Pak Intan, dan Pak Martono selaku laboran Teknik Mesin yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pembuatan Tugas Akhir.

9. Teman – teman seperjuangan: Oka, Vincent, Dede, David, dan Louis yang telah membantu selama pengerjaan tugas akhir.

10.Teman – teman teknik mesin Sanata Dharma: Willy, Retta, Teguh, Rio, Septian, Morgan, Daniel, Jepri, Karel, dan yang lain yang telah memberikan dukungan selama pengerjaan skripsi.

11.Teman – teman kost griya kanna: Yosep, Putri, Cindy, Novi, Malla, Tasya, Ningrum dan yang lain yang telah memberikan dukungan selama pengerjaan skripsi.

12.Berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan bantuan baik material maupun moril kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat banyak kekurangan, segala kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk kesempuranaan penelitian dimasa yang akan datang. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkan.

Yogyakarta, 8 Agustus 2016

Gregorius Bryan Hendriwan Riyanto (135214118)


(11)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN JUDUL ……….. ii

HALAMAN PERSETUJUAN ……….. iii

LEMBAR PENGESAHAN ………... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….. v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ……….. vi

KATA PENGANTAR ………... vii

DAFTAR ISI ……… ix

DAFTAR TABEL ……… xi

DAFTAR GAMBAR ……… xii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xvi

NOMENKULATUR ……… xvii

ABSTRAK ……… xix

ABSTRACT ……….. xx

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang Masalah ………... 1

1.2 Rumusan Masalah ……… 5

1.3 Tujuan Penelitian ………. 5

1.4 Batasan Penelitian ……… 6

1.5 Originalitas Penelitian ……….. 6

1.6 Manfaat Penelitian ………... 7

BAB II LANDASAN TEORI ……….. 9

2.1 Tinjauan Pustaka ……….. 9

2.2 Aplikasi Steam Ejector ……….. 10

2.3 Pengertian dan Prinsip Kerja Steam Ejector ……….. 11

2.4 Bagian – bagian Steam Ejector ……….. 13

2.5 Tipe – tipe Steam Ejector Refrigeration System ……… 15


(12)

x

2.7 Teori Dasar Fluida ……….. 19

2.8 Fenomena Aliran Pada Ejector ……… 44

BAB III METODELOGI PENELITIAN ………. 52

3.1 Diagram Alir Penelitian ……….. 52

3.2 Skema Alat Uji Penelitian ……….. 53

3.3 Material Penelitian ………. 56

3.4 Alat Penelitian ……… 57

3.5 Variabel Penelitian ………. 62

3.6 Prosedur Penelitian ………. 63

3.7 Skematika Penulisan ………... 65

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 66

4.1 Pengaruh Primary Pressure dan Secondary Temperature Terhadap Entrainment Ratio ……….. 66

4.2 Pengaruh Area Ratio Throat Terhadap Entrainment Ratio ………. 69

4.3 Pengaruh Expansion Ratio Terhadap Entrainment Ratio ………… 73

4.4 Pengaruh Entrainment Ratio Terhadap Coefficient of Performance Steam Ejector Refrigeration System ……….. 78

BAB V PENUTUP ……….. 87

5.1 Kesimpulan ………. 87

5.2 Saran ………... 88


(13)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sifat –sifat air pada tekanan atmosfer ………... 22

Tabel 2.2 Klasifikasi bilangan mach ……….. 41

Tabel 2.3 Ringkasan dari karakteristik shock wave normal ……….. 50

Tabel 3.1 Spesifikasi sifat – sifat fisik air pada temperatur 15 °C dan tekanan 1 atm ……….. 56

Tabel 3.2 Spesifikasi sifat – sifat fisik air raksa pada 20 °C dan tekanan 1 atm 57 Tabel 3.3 Spesifikasi steam ejector ………... 58

Tabel 3.4 Spesifikasi water heater 2000 watt ……… 59

Tabel 3.5 Spesifikasi water heater 1000 watt………. 59

Tabel 3.6 Spesifikasi thermocouple ………... 60

Tabel 3.7 Spesifikasi pressure gauge bourdon tube ……….. 62

Tabel 3.8 Spesifikasi temperature controller APPA ………. 62


(14)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Skema ejektor konvensional ………. 3

Gambar 2.1 Aplikasi liquid – gas ejektor pada proses klorinasi ……….. 10

Gambar 2.2 Aplikasi ejektor sebagai vacuum pump ……… 11

Gambar 2.3 Profil tekanan dan kecepatan aliran di dalam steam ejector …….. 12

Gambar 2.4 Grafik performa ejektor berdasarkan operational modes ………. 13

Gambar 2.5 Skema ejektor konvensional ………. 13

Gambar 2.6 Skema nozzle ………. 12

Gambar 2.7 Skema suction chamber ………. 12

Gambar 2.8 Skema mixing chamber ………. 15

Gambar 2.9 Skema diffuser ……….. 15

Gambar 2.10 (a) Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) dan (b) P-h diagram ……… 16

Gambar 2.11 Dua tingkat sistem refrigerasi (a) Konfigurasi ejektor; (b) Skema sistem; (c) P-h diagram ………. 17

Gambar 2.12 Combined Steam Ejector Refrigeration System ………. 18

Gambar 2.13 Ilustrasi perbedaan molekul pada likuid dan gas ……… 20

Gambar 2.14 Pengaruh temperatur terhadap rapat massa air ……….. 21

Gambar 2.15 Deformasi zat cair ……….. 24

Gambar 2.16 Hubungan antara tegangan geser dan gradient kecepatan ……….. 24

Gambar 2.17 Viskositas kinematik untuk fluida yang sering digunakan ………. 25

Gambar 2.18 Variasi tekanan dan pengaruh kavitasi pada pipa dengan variabel penampang ………. 27

Gambar 2.19 Tekanan mutlak dan tekanan pengukuran ……….. 28

Gambar 2.20 Pengukuran tekanan bourdon ………. 29

Gambar 2.21 Cara kerja tabung bourdon ………. 30

Gambar 2.22 Aliran viskos dengan kecepatan seragam ……….. 31


(15)

xiii

Gambar 2.24 Perbedaan aliran laminar dan turbulen pada pipa (a) laminar (b)

turbulen ………. 34

Gambar 2.25 Tabung aliran untuk menurunkan persamaan kontinuitas ……… 36

Gambar 2.26 Persamaan kontinuitas pada pipa bercabang ………. 37

Gambar 2.27 Garis tenaga dan tekanan pada zat cair ideal ………. 38

Gambar 2.28 Profil perubahan pola kecepatan aliran dan tekanan pada suatu sistem closed channel ……… 39

Gambar 2.29 Perubahan kecepatan dan tekanan melewati Bernoulli-type device 42 Gambar 2.30 Discharged coefficient pada plat orifis dengan sambungan D : 1/2 D ……… 44

Gambar 2.31 Efek perubahan bilangan Mach pada perubahan properti fluida dengan perubahan luas penampang ……… 46

Gambar 2.32 Rasio luas penampang versus bilangan Mach untuk aliran kompresibel dengan k = 1.4 ………... 47

Gambar 2.33 Fenomena aliran pada converging nozzle (a) geometri nozzle menunjukkan perubahan tekanan (b) distribusi tekanan disebab- kan oleh back pressure (c) laju aliran massa versus back flow pressure ………. 48

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ……….. 52

Gambar 3.2 Skema sistem alat uji ………. 53

Gambar 3.3 Skema steam ejector ………. 54

Gambar 3.4 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 6.25 ………. 55

Gambar 3.5 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 12.5 ………. 55

Gambar 3.6 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 18.75 ……… 56

Gambar 3.7 Steam Ejector……….. 58

Gambar 3.8 Water heater daya 2000 Watt ………. 58

Gambar 3.9 Water heater daya 1000 Watt ………. 59

Gambar 3.10 Thermocouple tipe K ………. 60

Gambar 3.11 Pressure gauge bourdon tube ……… 60

Gambar 3.12 Orifice plate flowmeter ……….. 61


(16)

xiv

Gambar 3.14 Temperature controller APPA ……….. 62

Gambar 3.15 Stopwatch ……….. 63

Gambar 3.16 Skema prosedur pengujian ………. 64

Gambar 4.1 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature

terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 6.25 …. 67 Gambar 4.2 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature

terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 12.5 …. 68 Gambar 4.3 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature

terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 18.75 … 69 Gambar 4.4 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio

pada secondary temperature 50 °C ……… 70 Gambar 4.5 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio

pada secondary temperature 60 °C ……… 71 Gambar 4.6 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio

pada secondary temperature 70 °C ……… 72 Gambar 4.7 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio

pada secondary temperature 80 °C ………. 73 Gambar 4.8 Grafik pengaruh primary pressure terhadap expansion ratio pada ketiga variasi area throat ratio 6.25, 12.5, dan 18.75 ……… 74 Gambar 4.9 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada primary pressure 100 kPa ……….. 75 Gambar 4.10 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada primary pressure 200 kPa ……….. 76 Gambar 4.11 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada primary pressure 300 kPa ……….. 77 Gambar 4.12 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada primary pressure 400 kPa ……….. 78 Gambar 4.13 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary

temperature 50 °C pada variasi area ratio throat 6.25 ………….. 79 Gambar 4.14 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary


(17)

xv

Gambar 4.15 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary

temperature 50 °C pada variasi area ratio throat 18.75 ………….. 80 Gambar 4.16 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary

temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 6.25 ……… 81 Gambar 4.17 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary

temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 12.5 ………….. 82 Gambar 4.18 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary

temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 18.75 ………….. 82 Gambar 4.19 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary

temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 6.25 ……… 83 Gambar 4.20 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary

temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 12.5 ……… 84 Gambar 4.21 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary

temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 18.75 ………….. 84 Gambar 4.22 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary

temperature 80 °C pada variasi area ratio throat 6.25 ……… 85 Gambar 4.23 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary

temperature 80 °C pada variasi area ratio throat 12.5 …………... 86 Gambar 4.24 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary


(18)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A.1 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 6.25... 93 Lampiran A.2 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 12.5 ... 94 Lampiran A.3 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 18.75 ……. 95 Lampiran B.1 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 6.25 ……. 96 Lampiran B.2 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 12.5 ……. 97 Lampiran B.3 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 18.75 …... 98 Lampiran C Contoh Perhitungan …….………... 99 Lampiran D Tabel Sifat Termodinamika Saturated Water ……… 105


(19)

xvii

NOMENKULATUR

Lambang Arti Satuan Halaman

a Kecepatan suara m/s 47, 70

A Luas m2 42, 52, 53, 54

Rasio diameter orifice Dimensionless 49

COP Coefficient of Performance Dimensionless 10, 11, 24, 58, 85-94 Cd Discharged Coefficient Dimensionless 49, 50

D Diameter m 40, 48, 49, 50

ER Expansion Ratio Dimensionless 57, 70, 80 – 85, 94

g Gravitasi m/s2 28, 34, 35,

h Ketinggian m 34

K Modulus elastisitas MN/m2 29

L Panjang m 16, 17

m Laju aliran massa kg/s 42, 54,

M Modulus Bulk N/m2 29, 64,

Ma Bilangan Mach Dimensionless 47, 48, 53, 54, 70

P Tekanan Pascal 30

R Konstanta gas universal J/kg K 29, 54, 63, 64

Re Bilangan Reynold Dimensionless 41

Tegangan permukaan N/m 29

Tegangan geser N/m2 30, 31

s Waktu Sekon 38, 39

T Temperatur K 13, 29, 32, 56, 58, 70

ρ Massa jenis kg/m3 63, 64, 70

S Rapat jenis Dimensionless 29

Berat jenis N/m3 28

µ Viskositas Dinamik Nd/m2 29, 32, 70

ν Viskositas Kinematik m2/s 29, 32


(20)

xviii

V Volume m3 20

Q Debit m3/s 42, 49, 71


(21)

xix ABSTRAK

Pemanfaatan kembali waste heat dan low grade thermal energy telah menjadi topik penelitian sejak energi jenis tersebut dapat diperoleh dari sisa proses – proses industri, kolektor surya, dan gas buang kendaraan. Sistem 0refrijerasi ejektor uap merupakan suatu perangkat yang ekonomis dan ramah lingkungan dimana sistem ini dapat beroperasi dari panas sisa dan refrijeran yang fenomena pencampuran aliran serta performa dari ejektor uap. Dengan memperbesar ruang pencampuran melalui throat yang dapat diubah – ubah, nilai optimum rasio luas penampang throat pada ruang pencampuran akan diteliti secara eksperimen.

Sebuah sistem refrijerasi ejektor uap berskala kecil telah dirancang dan difabrikasi. Ejektor dirancang dalam suatu sistem terbuka dan boiler beroperasi pada tekanan 100 – 400 kPa. Fluida didalam sebuah evaporator bertemperatur antara 50 - 80°C, sedangkan temperatur kondenser dikondisikan pada 27°C. Ruang pencampuran dengan diameter 8 mm dan 3 konfigurasi panjang (50 mm, 100 mm, 150 mm) diuji pada kondisi posisi NXP 0 mm dan diameter nosel 2 mm. Dengan memvariasikan rasio luas throat pada ruang pencampuran, hasil percobaan menunjukkan nilai optimum dari entrainment ratio didapatkan dengan rasio luas throat 18.75 pada tekanan boiler 100 kPa dan temperatur evaporator

80°C dengan nilai ω = 1. Sedangkan, nilai rasio ekspansi optimum adalah 2.1 dan

koefisien performa dari sistem refrijerasi ejektor uap adalah 0.98.

Kata kunci: Waste heat, sistem refrijerasi ejektor uap, rasio luas penampang throat, entrainment ratio.


(22)

xx

ABSTRACT

The utilization of waste and low-grade thermal energy has been of interest to reaserchers ever since this type of energy is available from sources such as industrial process waste, solar collectors, and automobile exhaust. Steam ejector refrigeration system is an application, which is economically feasible and environment-friendly as it can operates with waste heat and a harmless refrigerant such as water. The aim of this paper is to investigate the entrainment behavior and performance of steam ejector. Through enlarging the designed mixing chamber by replaceable throats, optimum area ratio throat of mixing chamber is studied experimentally.

A small scale steam ejector refrigeration system was designed and manufactured. This ejector setup consist of an open loop configuration and the boiler operated in the pressure range of Pp = 100 – 400 kPa. The typical evaporator liquid temperatures range from Ts = 50 - 80°C while the condenser temperature fixed at Tc = 27°C. The mixing chamber with 8 mm diameter and three length configurations (50 mm, 100 mm, 150 mm) were tested while the nozzle exit position remained unchanged at 0 mm and used 2 mm nozzle’s diameter.

With variable area ratio throat of mixing chamber, experiments showed that the optimum entrainment ratio was obtained by throat area ratio 18.75 at 100

kPa primary pressure and 80°C secondary temperature with ω = 1. Meanwhile, the optimum expansion ratio was 2.1 and optimum coefficient of performance of steam ejector refrigeration system was 0.98.

Keywords: waste heat, steam ejector refrigeration system, area ratio throat, entrainment ratio


(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan perkembangan jenis dan jumlah industri meningkat dalam satu dekade terakhir (Kementrian Keindustrian Republik Indonesia, 2015). Hal ini sebanding dengan peningkatan konsumsi listrik di Indonesia yang cukup signifikan. Berdasarkan data statistik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada tahun 2012, konsumsi listrik di Indonesia pada kurun waktu 2000 – 2012 mengalami peningkatan rata – rata 6,2% per tahun. Menurut Cullen (2012), meningkatnya konsumsi energi listrik berbanding lurus dengan peningkatan waste heat yang disebabkan oleh inefficiency proses pembakaran dan heat transfer pada power plant.

Waste heat adalah satu bentuk energi yang dihasilkan oleh panas sisa dengan temperatur antara 80°C - 200°C (Chandra et. al., 2014). Menurut Clemens, et. al (2016), waste heat dapat dihasilkan dari proses industri manufaktur, power plant, dan gas buang kendaraan. Berdasarkan data U.S. Department of Energy, sebanyak 20 – 50% energy losses pada proses manufaktur merupakan waste heat dimana energi tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan kembali. Berdasarkan penelitian Richard Law (2015), pemanfaatan waste heat pada industri manufaktur di Amerika Serikat dapat menghasilkan 14 TWh yang setara dengan 100 juta poundsterling per tahun. Terkait potensi tersebut, waste heat dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi pada absorption chiller, electrical heat pump, absorption heat pump, dan non mechanical refrigeration system (Hongyou Lu, 2016 dan Chandra et. al., 2014).

Steam ejector refrigeration system merupakan salah satu non-mechanical refrigeration system yang menjadi topik penelitian selama beberapa dekade terakhir. Sistem pendinginan ini pertama kali dikembangkan oleh Le Blanc dan Parson pada 1901. Steam ejector refrigeration system memiliki kesamaan dengan


(24)

sistem pendinginan konvensional yang menggunakan kompresor, namun pada steam ejector refrigeration system fungsi kompresor digantikan dengan boiler dan ejektor, Meyer (2008). Siklus refrijerasi ini menjadi menarik untuk diteliti karena sistem ini tidak memiliki komponen yang bergerak (kecuali pompa) sehingga low maintenance dan memiliki konstruksi yang sederhana. Keunggulan lainnya adalah sistem ini lebih ramah lingkungan karena menggunakan air sebagai refrijeran dan waste heat sebagai sumber energi utama (Chandra et. al., 2014).

Ejektor merupakan bagian vital dari steam ejector refrigeration system oleh karena itu optimalisasi desain dan performa ejektor merupakan hal yang sangat penting. Ejektor yang juga dikenal sebagai vacuum jet, jet pump,atau thermo-compressor merupakan pumping device yang menggunakan efek venturi untuk mengubah energi tekanan dari fluida primer menjadi energi kinetik (Zhu, 2013). Gambar 1 menampilkan skema ejektor konvensional. Sebuah ejektor terdiri dari beberapa bagian antara lain: nozzle, suction chamber, mixing chamber dan diffuser. Menurut Sriveerakul (2006), prinsip kerja ejektor yaitu panas ditambahkan pada boiler sehingga menyebabkan air sebagai fluida kerja berubah menjadi uap bertekanan dan bertemperatur tinggi (primary fluid). Uap tersebut berekspansi melewati nozzle dan menghasilkan tekanan yang sangat rendah pada kecepatan tinggi (supersonic velocity). Perbedaan tekanan antara ujung nozzle dan evaporator menyebabkan air pada evaporator terhisap pada temperatur rendah dan menghasilkan refrigeration effect. Air (secondary fluid) yang terhisap kemudian bercampur dengan primary fluid pada mixing chamber ejektor pada tekanan konstan. Campuran fluida berekspansi melewati diffuser dan mengalami kenaikan tekanan serta penurunan kecepatan (subsonic velocity).


(25)

Gambar 1 Skema ejektor konvensional (Chen et. al., 2012).

Performa dari steam ejector refrigeration system bergantung pada proses pencampuran antara primary fluid dan secondary fluid sehingga didapatkan nilai entrainment ratio yang tinggi (Sriveerakul et. al., 2009). Entraiment ratio (ER) adalah rasio pencampuran kedua fluida yang dinyatakan dalam perbandingan laju aliran massa secondary fluid terhadap primary fluid (Chandra et. al., 2014). Menurut Kong F. S., et. al., (2013), turbulensi pencampuran fluida, compressibility effect, dan ketidakstabilan aliran merupakan permasalahan – permasalahan yang sering terjadi pada ejektor. Terkait permasalahan tersebut, peneliti sebelumnya telah melakukan penelitian terhadap parameter – parameter yang dapat meningkatkan ER sebuah ejektor. Parameter – parameter tersebut antara lain mass flow rate, critical back pressure, dan desain ejektor (Jia, 2011; Kong F. S., et. al., 2013; Chunnanond K., et. al., 2003; Chen et. al., 1997).

Mass flow rate adalah laju aliran massa fluida kerja yang dipengaruhi oleh masa jenis fluida, kecepatan aliran, dan luas penampang (Zhu, 2013). Berdasarkan penelitian Chunnanond (2003), mass flow rate pada primary nozzle dipengaruhi oleh operating condition dari boiler. Penurunan saturated pressure pada boiler menyebabkan mass flow rate primary fluid menurun sehingga entrainment ratio ejector meningkat. Pada penelitian yang sama, ukuran dari nozzle dapat mempengaruhi mass flow rate primary fluid karena kecepatan primary fluid sangat dipengaruhi oleh diameter ujung nozzle.

Critical back pressure pada ejektor dapat mempengaruhi COP dari steam ejector refrigeration system secara signifikan (Chandra et. al., 2014 dan


(26)

Chunnanond K., et. al., 2003). Menurut Sriveerakul (2006), back pressure adalah tekanan balik yang dipengaruhi oleh tekanan kerja kondenser dan evaporator. Back pressure yang melebihi batas critical back pressure dapat menyebabkan malfunction pada ejektor karena campuran kedua fluida mengalir kembali menuju evaporator (Chunnanond K., et. al., 2003). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sriveerakul, kenaikan pada tekanan evaporator dapat menaikkan nilai critical back pressure. Sedangkan kenaikan tekanan kondenser berbanding lurus dengan back pressure. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa back pressure ejektor dapat diatur dengan temperatur cooling-water pada kondenser (Chen, 1997).

Parameter terakhir yang mempengaruhi performa dari ejektor adalah desain geometri ejektor (Jia, 2011; Yadav, et. al., 2008; dan Aphornratana, 1997). Menurut Aphornratana, jarak nozzle terhadap mixing chamber (NXP) memiliki pengaruh terhadap COP dari siklus refrijerasi ejektor. Hasil penelitian menunjukkan semakin dekat jarak nozzle dengan mixing chamber maka akan terjadi penurunan entrainment ratio. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yadav (2008) menunjukkan bahwa projection ratio pada suction chamber, diameter suction chamber, dan sudut konvergen pada suction chamber memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap entrainment ratio. Kenaikan projection ratio (PR) dapat meningkatkan driving force pada suction chamber yang disertai dengan kenaikan entrainment ratio. Namun apabila kenaikan PR melebihi 5, maka hal tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap performa ejektor karena terbentuknya radial flow pada suction chamber. Bentuk geometri dari suction chamber memiliki fenomena serupa dengan PR, dimana apabila bentuk dari suction chamber melebihi nilai optimumnya akan terbentuk radial flow yang menghambat driving force pada ujung primary nozzle.

Mixing chamber pada ejektor merupakan bagian ejektor yang penting karena pada bagian konstan tersebut terdapat fenomena perubahan tekanan dan kecepatan seiring pencampuran kedua fluida (Zhu, 2013). Sedangkan berdasarkan studi literatur sebelumnya belum banyak peneliti yang membahas mengenai area ratio throat pada mixing chamber. Oleh sebab perlu untuk diteliti pengaruh area


(27)

ratio throat pada mixing chamber terhadap entrainment ratio serta fenomena aliran yang terjadi sepanjang ejektor.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimanakah pengaruh tekanan dan temperatur kerja boiler dan evaporator terhadap entrainment ratio dari steam ejector?

2. Bagaimanakah pengaruh area ratio throat pada mixing chamber terhadap entrainment ratio dari steam ejector?

3. Bagaimanakah pengaruh expansion ratio dan area ratio throat pada mixing chamber terhadap entrainment ratio dari steam ejector?

4. Bagaimanakah hubungan entrainment ratio terhadap coefficient of performance dari steam ejector refrigeration system?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui entrainment ratio maksimum dari variasi primary pressure dan secondary temperature steam ejector.

2. Mengetahui entrainment ratio maksimum dari variasi area ratio throat pada mixing chamber steam ejector.

3. Mengetahui entrainment ratio maksimum dari variasi area ratio throat pada mixing chamber dan expansion ratio steam ejector.

4. Mengetahui coefficient of performance maksimum dari variasi area ratio throat pada mixing chamber steam ejector.


(28)

1.4 Batasan Penelitian

Batasan-batasan yang ditentukan dalam melakukan eksperimen steam ejector adalah :

1. Menggunakan fluida kerja air (R718) baik di boiler sebagai fluida primer maupun evaporator sebagai fluida sekunder.

2. Primary fluid dikondisikan pada tekanan 100 kPa, 200 kPa, 300 kPa, dan 400 kPa.

3. Temperatur secondary fluid dikondisikan pada temperatur 50 °C, 60 °C, 70 °C, dan 80 °C.

4. Temperatur kerja kondensor dikondisikan pada temperatur 27oC.

5. Variasi area ratio throat pada mixing chamber menggunakan perbandingan ukuran 6.25, 12.5, dan 18.75.

6. Menggunakan geometri steam ejector yang sudah ditentukan 7. Tidak memperhitungkan rugi – rugi gesekan dinding.

8. Tidak memperhitungkan pressure losses pada sambungan dan belokan. 9. Peneliti menggunakan referensi jurnal dalam melihat dan menganalisa

fenomena yang terjadi di dalam steam ejector. 1.5 Originalitas Penelitian

Penelitian serupa telah dilakukan sebelumnya oleh Dirix (1990), Bando et. al (1990), dan Li, C., et al. (2011) mengenai pengaruh rasio panjang dan diameter pada mixing chamber ejector. Penelitian ini memiliki originalitas penelitian bila dibandingkan dengan penelitian terdahulu. Pada penelitian – penelitian sebelumnya, tipe ejektor yang digunakan adalah multi – phase ejector sedangkan pada penelitian ini digunakan ejektor tipe single phase ejector menggunakan fluida kerja air (R718). Selain jenis ejektor yang berbeda, penelitian ini menggunakan geometri ejektor yang berbeda dengan penelitian – penelitian sebelumnya.


(29)

1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan tentang pemanfaatan gas buang terhadap efisiensi energi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

2. Menambah kajian ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan waste heat. 3. Mengetahui nilai efisiensi penggunaan steam ejector yang baik dengan

mengacu perbandingan length / diameter dari mixing chamber dan model steam ejector yang sudah ditentukan oleh peneliti.

1.6.2 Manfaat Praktis

Dalam manfaat praktis terdapat tiga hal yaitu: manfaat bagi Universitas, manfaat bagi peneliti, dan manfaat bagi pembaca atau peneliti selanjutnya.

1.6.2.1 Bagi Universitas Sanata Dharma

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana dalam mendukung pencapaian visi dan misi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, antara lain : a. Menjadi penggali kebenaran yang unggul dan humanis demi terwujudnya

masyarakat yang semakin bermartabat.

b. Menciptakan masyarakat akademik Universitas yang mampu menghargai kebebasan akademik serta otonomi keilmuan, mampu bekerja sama lintas ilmu, dan mampu mengedepankan kedalaman dari pada keluasan wawasan keilmuan dalam usaha menggali kebenaran lewat kegiatan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

c. Menghadirkan pencerahan yang mencerdaskan bagi masyarakat melalui publikasi hasil kegiatan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, pengembangan kerjasama dengan berbagai mitra yang memiliki visi serta kepedulian sama, dan pemberdayaan para alumni dalam pengembangan keterlibatan nyata di tengah masyarakat.


(30)

1.6.2.2 Bagi Peneliti

a. Penelitian ini dapat memperluas wawasan mengenai pemanfaatan energi waste heat pembakaran terhadap efisiensi penggunakan energi untuk menjaga kelestarian lingkungan sekitar.

b. Menambah wawasan tentang efisiensi energi sehingga dalam penggunaan energi ketika di industri dapat mengimplementasikan ilmu pengetahuan tentang efisiensi energi untuk mengurangi biaya maupun bahan.

c. Supaya peneliti dapat memperoleh gelar Sarjana Teknik Mesin setelah melakukan penelitian ini.

1.6.2.3 Bagi Pembaca atau Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk dapat diteliti lebih lanjut sehingga hasil dari penelitiannya lebih baik dari peneliti terdahulu dan diharapkan penelitian ini dapat menjadi wawasan dan pengetahuan mengenai steam ejector refrigeration system.


(31)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Mixing chamber memiliki efek yang signifikan pada pencampuran primary fluid dan secondary fluid baik pada single phase ejector maupun gas – liquid ejector (Li, C., et al., 2010). Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu ditemukan bahwa ejektor memiliki variasi bentuk geometri optimum berdasarkan operating condition dan tipe ejektor (Li, C., et al., 2010; Dirix et. al., 1990; Bando Y. et. al., 1990; dan Valle, J. G., et. al., 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Dirix (1990) mengenai “Mass transfer in jet loop Reactors” mempelajari tentang pencampuran oksigen dari air dengan gas nitrogen pada liquid – gas ejector. Hasil penelitian membuktikan bahwa penting untuk mendesain ejektor yang sesuai dengan operating condition pada kedua reaktor. Terkait dengan desain geometri, belum ditemukan perubahan entrainment ratio yang signifikan pada variasi area ratio throat pada mixing chamber antara nilai 2 sampai dengan 10. Pada penelitian lebih lanjut, Dirix menunjukkan bahwa mass transfer pada seluruh sistem reaktor tergantung pada pola aliran di dalam ejektor.

Bando et al. (1990) dengan jurnal yang berjudul “The characteristics of a bubble column with a gas-suction type, simultaneous gas–liquid injection- nozzlemenunjukkan peningkatan entrainment rate dari liquid – gas ejector sebanding dengan peningkatan area ratio throat pada mixing chamber. Hasil penelitian menunjukkan nilai optimum dari area ratio throat adalah 20 sampai dengan 30, dimana entrainment rate mencapai niai maksimum dan akan turun pabila area ratio throat melebihi 30.

Jurnal “Investigation of entrainment behavior and characteristics of gas-liquid ejector based on CFD simulation” yang ditulis oleh Li, C., et al. (2010),menunjukkan bahwa tekanan fluida primer dan tekanan fluida sekunder mempengaruhi entrainment ratio pada gas – liquid ejektor. Selain tekanan optimum, rasio panjang dan diameter mixing chamber juga memiliki pengaruh


(32)

yang cukup signifikan pada entrainment rate ejektor. Li (2011) membandingkan nilai optimum area ratio throat pada single phase ejector dan double phase ejector. Pada double phase ejector area ratio throat mixing chamber memiliki nilai rasio optimum 1 sampai 2 sedangkan untuk single phase ejector 5 sampai 7. 2.2 Aplikasi Steam Ejector

Steam ejector pertama kali ditemukan oleh Le Blanc dan Parson pada tahun 1901 dengan nama vacuum augmentor. Vacuum augmentor digunakan sebagai perangkat untuk membuang gas - gas non-condensable dari kondenser pada steam machine. Kemudian pada tahun 1918, Le blanc mematenkan nama steam ejector sebagai perangkat sistem refrijerasi pada gedung – gedung besar dan kereta api (Cardemill, J.M., 2012). Steam ejector refrigeration system merupakan aplikasi dari ejektor yang paling sering ditemukan dan banyak menjadi bahan penelitian. Sistem refrijerasi ini banyak diteliti karena ramah lingkungan, low maintenance dan murah (Jia, Yan, et al., 2011). Seiring perkembangan industri, ejektor juga banyak dijumpai pada industri kimia sebagai pompa untuk fluida korosif dan debu. Selain itu ejektor dapat digunakan untuk mengektraksi likuid, absorbsi gas - gas, stripping, fermentasi, hydrogenation, chlorination, dll. (Yadav, et al., 2008).

Gambar 2.1 Aplikasi liquid – gas ejector pada proses klorinasi (http://www.ipt.com.my/products-instrumentation-hydro.php)


(33)

Gambar 2.2 Aplikasi ejektor sebagai vacuum pump (http://www.gdnash.com/classic_pumps_compressors/)

2.3 Pengertian dan Prinsip Kerja Steam Ejector

Ejektor merupakan pumping device yang menggunakan efek venturi untuk mengubah energi tekanan dari primary fluid menjadi energi kinetik melewati nozzle (Zhu, 2013). Waste heat dimanfaatkan oleh boiler untuk menghasilkan uap bertekanan. Uap tersebut berekspansi melewati nozzle dan menghasilkan tekanan yang sangat rendah pada kecepatan tinggi (supersonic velocity). Perbedaan tekanan antara ujung nozzle dan evaporator menyebabkan air pada evaporator terhisap pada temperatur rendah dan menghasilkan refrigeration effect. Air (secondary fluid) yang terhisap kemudian bercampur dengan primary fluid pada mixing chamber ejektor pada tekanan konstan. Campuran fluida berekpansi melewati diffuser dan mengalami kenaikan tekanan serta penurunan kecepatan (subsonic velocity). Gambar 2.3 menampilkan profil tekanan dan kecepatan di dalam steam ejector.


(34)

Gambar 2.3 Profil tekanan dan kecepatan aliran di dalam steam ejector (Chunnanond, 2003).

Menurut Zhu (2013), steam ejector memiliki tiga mode operasi berdasarkan karakteristik alirannya yaitu critical mode, subcritical mode, dan back flow mode. Performa ejektor menurun secara linear ketika bekerja pada kondisi subcritical dan back flow mode. Gambar 2.4 menampilkan grafik performa ejektor berdasarkan operational modes.

Pada critical mode, aliran primary fluid berekspansi setelah melewati nozzle dan menghasilkan aliran bertekanan sangat rendah dengan kecepatan tinggi (supersonic velocity) pada suction chamber. Perbedaan tekanan antara ujung nozzle dan evaporator menyebabkan air pada evaporator terhisap ke suction chamber. Secondary fluid mengalami akselerasi aliran sampai pada sonic velocity. Kondisi ini disebut sebagai choking. Pencampuran primary fluid dan secondary fluid menyebabkan kecepatan aliran primary fluid melambat sedangkan kecepatan aliran secondary fluid terus meningkat hingga supersonic velocity. Pada saat campuran fluida memasuki area konstan (mixing chamber), aliran mengalami shock wave karena tekanan yang tinggi dan menyebabkan compression effect. Compression effect mengakibatkan aliran berubah dari supersonic velocity


(35)

menjadi subsonic velocity pada ujung mixing chamber. Perubahan kecepatan aliran ini disebut sebagai choking, karena melewati batas sonic velocity. Fenomena ini dikenal sebagai double choking, karena terjadi pada suction chamber dan mixing chamber (Cardemil, 2012). Pada subcritical mode, aliran tidak mencapai choking condition pada mixing chamber sehingga disebut single choking.

Gambar 2.4 Grafik performa ejektor berdasarkan operational modes (Cardemil, 2012).

2.4 Bagian – bagian Steam Ejector

Secara umum steam ejector terdiri dari 4 bagian utama: nozzle, suction chamber, mixing chamber / throat, dan diffuser seperti yang ditampilkan pada gambar 2.5.


(36)

2.4.1 Nozzle

Nozzle merupakan bagian terkecil pada ejektor yang berfungsi untuk mengonversi energi tekanan pada primary fluid menjadi energi kinetik. Pada bagian ini, fluida akan mengalami shock wave sebagai akibat dari perubahan tekanan dan kecepatan secara mendadak (Yinhai Zhu, 2013).

Gambar 2.6 Skema nozzle (Chandra, et al., 2014). 2.4.2 Suction Chamber

Suction chamber merupakan bagian inlet kedua fluida pada ejektor. Pada bagian suction chamber, secondary fluid dari evaporator terhisap karena compression effect yang dihasilkan oleh shock wave dari primary fluid. Pada bagian ini, kedua fluida belum mengalami pencampuran (Yinhai Zhu 2013).

Gambar 2.7 Skema suction chamber (Chandra, et al., 2014). 2.4.3 Mixing Chamber

Bagian ini memiliki luasan area yang konstan, dimana terjadi pencampuran kedua fluida bertekanan konstan pada subsonic velocity (Yadav et.


(37)

al., 2008). Dari beberapa penelitian sebelumnya, bagian mixing chamber mempengaruhi entrainment ratio sebuah sistem (Dirix et. al., 1990).

Gambar 2.8 Skema mixing chamber (Chandra, et al., 2014). 2.4.4 Diffuser

Diffuser merupakan bagian outlet dari ejektor yang berfungsi untuk meningkatkan tekanan. Fluida yang mengalir di bagian ini adalah aliran campuran dari energi kinetik diubah menjadi energi tekan, sehingga membuat kecepatan dari aliran akan berkurang dan tekanan akan bertambah (Sriveerakul T., et. al., 2006).

Gambar 2.9 Skema diffuser (Chandra, et al., 2014). 2.5 Tipe-tipe Steam Ejector Refrigeration System

Menurut Jianyong Chen et. al. (2015), steam ejector refrigeration system diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: conventional ejector refrigeration system (CERS), Advanced Ejector Refrigeration System, dan Combined Steam Ejector Refrigeration System.


(38)

2.5.1 Conventional Ejector Refrigeration System (CERS)

Gambar 2.10 menunjukan sistem refrijerasi konvensional dan diagram P-h dengan dua model ejector yang digunakan dalam teknologi refrijerasi, yaitu: model konstan area pencampuran dan model konstan tekanan pencampuran. Secara umum sistem tersebut mempunyai penggunaan energi yang kecil (Qg) yang disalurkan di generator untuk penguapan. Tekanan tinggi yang dihasilkan oleh generator (primary flow) dan tekanan rendah dari evaporator (secondary flow) masuk ke ejector. Pencampuran dari kedua fluida mengalami perubahan tekanan dan kecepatan pada mixing chamber, kemudian masuk menuju ke kondensor untuk proses pelepasan panas ke lingkungan (Qc). Fluida yang terkondensasi akan dipompakan ke generator dan sisa uap akan masuk ke katub ekspansi lalu disalurkan ke evaporator (Jianyong, et. Al., 2015).

Gambar 2.10 (a) Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) dan (b) P-h Diagram (Chen J., et. Al., 2014).

Conventional ejector refrigeration system (CERS) telah diteliti selama kurun waktu 100 tahun terakhir dan menjadi topik yang menarik sampai sekarang. Fenomena dari aliran yang ada di ejector juga belum terpecahkan dan desain dari geometri ejector juga tidak mudah untuk dipastikan. Hal ini disebabkan performa dari ejector mempunyai banyak faktor yang mempengaruhi, yaitu fluida kerja, dimensi ejector, kondisi pengoperasian terutama temperatur. Meskipun CERS menkonsumsi listrik dalam jumlah yang sangat sedikit, CERS mempunyai


(39)

kekurangan ketika dibandingkan dengan absorption refrigeration system yaitu mempunyai COP yang rendah dan sulit untuk digunakan di berbeda kondisi pengoperasian (Chen J., et. Al., 2014).

2.5.2 Advanced Ejector Refrigeration System

Dalam menyikapi CERS yang mempunyai nilai COP yang rendah, banyak peneliti mencoba untuk mencari Advanced Ejector Refrigeration System yang mempunyai nilai COP yang tinggi dalam simulasi dan eksperimen. Cara untuk memperoleh nilai COP yang tinggi dengan mengubah konfigurasi / struktur dari ejector, menggunakan multi-stage ejector, tidak menggunakan pompa mekanik dalam pengoperasian sistem, dan menggunakan regenerasi dan/atau pre-cooler (Chen J., et. al., 2014). Dalam Gambar 2.11 ditampilkan sistem refrijerasi pada multi stage ejector refrigeration system.

Gambar 2.11 Dua tingkat sistem refrigerasi (a) Konfigurasi ejector; (b) Skema sistem; (c) P-h Diagram (Chen J., et. al., 2014). 2.5.3 Combined Steam Ejector Refrigeration System

Ejector juga dapat di kombinasikan dengan tipe sistem refrijerasi yang lain contohnya: vapor compression refrigeration system, absorption system dan


(40)

absorbtion system, heat pipe and power generation system. Dalam penggunaan combined steam ejector refrigeration system digunakan khusus pada kondisilingkungan tertentu agar tercapai efisiensi yang baik (Chen J., et. al., 2014).

Gambar 2.12 Combined Steam Ejector Refrigeration System (Chen J., et. al., 2014).

2.5 Definisi Fluida

Fluida adalah zat – zat yang mampu mengalir dan yang menyesuaikan diri dengan bentuk wadah tempatnya. Bila berada dalam keseimbangan, fluida tidak dapat menahan gaya tangensial atau gaya geser. Semua fluida memiliki suatu derajat kompresibilitas dan memberikan tahanan kecil terhadap perubahan bentuk. (Ranald V. Giles, 1986).

2.6 Teori Dasar Fluida

Dari sudut pandang mekanika fluida, semua zat diklasifikasikan menjadi dua bentuk, padat dan fluida. Perbedaan teknis antara kedua zat terletak pada reaksinya terhadap gaya geser maupun tangensial yang diberikan. Zat padat dapat menahan tegangan geser dengan bentuk deformasi statis, sedangkan fluida


(41)

meneruskan gaya tersebut kedalam bentuk energi kinetik / gerak (Frank M. White, 1998).

Fluida diklasifikasikan secara umum kedalam dua bentuk yaitu likuid dan gas. Perbedaan antara kedua bentuk fluida tersebut terletak pada reaksi setiap jenis terhadap gaya yang diberikan. Likuid tersusun dari molekul – molekul yang berikatan secara berdekatan serta memiliki gaya kohesif yang kuat. Gaya kohesif tersebut menyebabkan likuid cenderung mempertahankan volume dan bentuk yang mengikuti wadahnya. Sedangkan fluida gas memiliki jarak molekul yang renggang dan memiliki gaya kohesif yang sangat lemah, sehingga gas bebas untuk berekspansi. Sifat kedua jenis tersebut kemudian dikenal sebagai compressible and incompressible. Karena fluida tidak mampu menahan gaya geser maupun tangensial, maka gaya yang diberikan pada suatu fluida akan diteruskan pada dinding – dinding wadah / vessel ke segala arah. Kondisi ini dikenal dengan hydrostatic condition.

Fluida merupakan kumpulan dari molekul – molekul, dimana gas memiliki jarak antar molekul yang sangat renggang, dan likuid memiliki jarak antar molekul yang lebih dekat. Jarak antar molekul jauh lebih besar daripada besar diameter molekul tersebut. Molekul - molekul pada fluida tidak diam pada satu kondisi namun cenderung bergerak satu sama lain. Gambar 2.13 menunjukkan ilustrasi bentuk molekul pada gas dan likuid.

Gambar 2.13 Ilustrasi perbedaan molekul pada likuid dan gas.


(42)

2.6.1 Sifat – sifat Fluida Likuid

Menurut Triatmodjo (2014), secara umum fluida likuid memiliki beberapa sifat – sifat utama antara lain:

a. Apabila ruangan lebih besar dari volume zat cair, akan terbentuk permukaan bebas horizontal yang berhubungan dengan atmosfer.

b. Mempunyai rapat massa dan berat jenis.

c. Dapat dianggap tidak termampatkan (incompressible). d. Mempunyai viskositas (kekentalan).

e. Mempunyai kohesi, adhesi, dan tegangan permukaan.

2.6.1.1Rapat Massa

Kerapatan sebuah fluida, dilambangkan dengan huruf Yunani ρ, didefinisikan sebagai massa fluida (m) per satuan volume (v) dan dapat dinyatakan dengan persamaan (1.1). Kerapatan biasanya digunakan untuk mengkarakteristikkan massa sebuah sistem fluida. Dalam sistem SI Unit (International System of Unit) kerapatan, ρ mempunyai satuan kg/m3 (White, 1998)

V m

 (2.1)

Kerapatan dapat bervariasi cukup besar pada suatu fluida. Kerapatan gas sangat dipengaruhi tekanan dan temperaturnya, sementara pada zat cair variasi tekanan dan temperatur umumnya hanya memberikan pengaruh kecil terhadap nilai ρ (Harinaldi, 2015).


(43)

Gambar 2.14 Pengaruh temperatur terhadap rapat massa air (Munson et. al, 2009).

2.7.1.2 Berat Jenis dan Rapat Relatif

Berat jenis yang diberi notasi (gamma) adalah berat benda tiap satuan volume pada temperatur dan tekanan tertentu. Berat suatu benda adalah hasil kali antara massa dan percepatan gravitasi. Terdapat hubungan antara berat dan rapat massa dalam persamaan berikut:

g

  (2.2)

dengan:

: berat jenis (N/m3 untuk satuan SI atau kgf/m3 untuk satuan MKS). ρ : rapat massa (kg/m3 untuk satuan SI atau kgm/m3 untuk satuan MKS). g : percepatan gravitasi, 9.801 (m/s2).

Berat jenis air pada 4 °C dan pada tekanan atmosfer adalah 9,81 kN/m3 atau 1000 kgf/m3 atau 1 ton/m3.

Rapat relatif didefinisikan sebagai perbandingan antara rapat massa suatu zat dan rapat massa air. Karena  gmaka rapat relative dapat juga didefinisikan sebagai perbandingan antara berat jenis suatu zat dan berat jenis air pada 4°C dan tekanan atmosfer. Bilangan ini tidak berdimensi dan diberi notasi S,


(44)

air zatcair air zatcair S    

 (2.3)

Perubahan rapat massa dan berat jenis zat cair terhadap temperatur dan tekanan adalah sangat kecil sehingga dalam praktek perubahan tersebut diabaikan. Pada Tabel 2.1 ditampilkan beberapa sifat air pada tekanan atmosfer dan pada beberapa temperatur (White, 1998).

Tabel 2.1 Sifat – sifat air pada tekanan atmosfer (Triatmodjo, 2014). Suhu,

°C

Rapat massa, ρ

(kg/m3)

Viskositas Dinamik, µ

(Nd/m2)

Viskositas Kinematik,

ν (m2 /s) Tegangan Permukaan, σ (N/m) Modulus Elastisitas, K (MN/m2) 0 999,9 1,792 x 10-3 1,792 x 10-6 7,56 x 10-2 2040

5 1000 1,519 1,519 7,54 2060

10 999,7 1,308 1,308 7,48 2110

20 998,2 1,005 1,007 7,36 2200

30 995,7 0,801 0,804 7,18 2230

40 992,2 0,656 0,661 7,01 2270

50 988,1 0,549 0,556 6,82 2300

60 983,2 0,469 0,477 6,68 2280

70 977,8 0,406 0,415 6,50 2250

80 971,8 0,357 0,367 6,30 2210

90 965,3 0,317 0,328 6,12 2160

100 958,4 0,284 x 10-3 0,296 x 10-6 5,94 2070

2.7.1.3Hukum Gas Ideal

Gas – gas sangat mudah dimampatkan dibandingkan dengan zat cair, dimana perubahan kerapatan gas berhubungan langsung dengan perubahan tekanan dan temperatur melalui persamaan 2.4.

RT


(45)

dimana p adalah tekanan mutlak, ρ kerapatan, T temperatur mutlak dan R adalah konstanta gas. Persamaan 2.4 biasanya disebut sebagai hukum gas ideal atau gas sempurna, atau persamaan keadaan gas ideal. Perilaku ini diketahui sangat mendekati perliaku gas – gas riil di bawah kondisi yang normal apabila gas – gas tersebut tidak mendekati keadaan pencairannya (Munson et. al, 2009).

Tekanan dalam sebuah fluida dalam keadaan diam didefinisikan sebagai gaya normal per satuan luas yang diberikan pada sebuah permukaan bidang (nyata atau semu) yang terendam dalam fluida dan terbentuk dari tumbukan permukaan tersebut dengan molekul – molekul fluida. Tekanan mempunyai dimensi FL-2, dan dalam satuan BG dinyatakan sebagai lb/ft2 (psf) pascal, disingkat Pa dan tekanan biasanya dinyatakan dalam pascal. Tekanan dalam hukum gas ideal harus dinyatakan dalam mutlak, yang berarti bahwa tekanan tersebut diukur relatif terhadap tekanan nol mutlak. Tekanan atmosfer standar pada permukaan laut (menurut kesepakatan internasional) adalah 14,696 psi (abs) atau masing – masing menjadi 14,7 psi dan 101 kPa (Munson et. al, 2009).

2.7.1.4Viskositas

Kekentalan adalah sifat dari zat cair untuk melawan tegangan geser pada waktu bergerak / mengalir. Kekentalan disebabkan karena kohesi antara partikel fluida. Fluida ideal tidak mempunyai kekentalan. Fluida kental, seperti sirup atau oli, mempunyai nilai viskositas yang besar. Sedangkan pada fluida encer, seperti air, mempunyai nilai viskositas yang kecil (Munson et. al, 2009).

Gambar 2.16 menunjukkan zat cair yang terletak diantara dua plat sejajar yang berjarak sangat kecil Y. Plat bagian bawah pada posisi diam sedangkan plat atas bergerak dengan kecepatan U. Partikel fluida yang bersinggungan dengan plat yang bergerak mempunyai kecepatan yang sama dengan plat tersebut. Tegangan geser antara dua lapis zat cair adalah sebanding dengan gradient kecepatan dalam arah tegak lurus dengan gerak (du/dy).

dy du


(46)

Gambar 2.15 Deformasi zat cair (www.princeton.edu)

dengan µ (mu) adalah kekentalan dinamik (Nd/m2) dan τ (tau) adalah tegangan geser (N/m2). Zat cair yang mempunyai hubungan linier antara tegangan geser dan gradient kecepatan disebut dengan fluida Newtonian. Pada fluida ideal, tegangan geser adalah nol dan kurvanya berhimpit dengan absis. Untuk fluida non-newtonian, tegangan geser tidak berbanding lurus dengan gradient kecepatan (Munson et. al, 2009).

Gambar 2.16 Hubungan antara tegangan geser dan gradien kecepatan (Munson et. al, 2009).

Sangat sering dalam persoalan aliran fluida, viskositas muncul dalam bentuk yang dikombinasikan dengan kerapatan sebagai:

 


(47)

Perbandingan ini disebut sebagai viskositas kinematik dan dilambangkan dengan huruf Yunani ν (nu). Dimensi dari viskositas kinematik adalah L2/T, dan satuannya dalam sistem SI adalah m2/s. Nilai viskositas kinematik untuk beberapa zat cair dan gas yang umum diberikan dalam Tabel 2.1 dan grafik – grafik yang menunjukkan variasi viskositas dinamik dan kinematik terhadap temperatur untuk berbagai fluida juga diberikan pada Gambar 2.17.

Grafik 2.17 Viskositas kinematik untuk fluida yang sering digunakan (Munson et. al, 2009).

2.7.1.5Tekanan Uap

Dari ilmu termodinamika diketahui bahwa fludia dapat berubah fase dari cari menjadi gas yang dikenal sebagai proses penguapan. Peristiwa penguapan yang mudah diamati adalah jika cairan dalam sebuah bejana terbuka dipanaskan. Akibat tambahan energi dari pemanasan molekul cairan di permukaan mempunyai cukup momentum untuk mengatasi gaya kohesi antar molekul dan melepaskan diri ke atmosfer. Seandainya bejana ditutup dengan sedikit ruang di atas permukaannya dan ruang ini kemudian divakumkan, maka tekanan akan terbentuk


(48)

di atas permukaannya dan ruangan ini kemudian divakumkan, maka molekul yang terus melepaskan diri sampai suatu kondisi kesetimbangan tercapai. Saat setimbang, jumlah molekul yang meninggalkan permukaan sama dengan jumlahnya yang masuk kembali ke dalam cairan. Uap tersebut dikatakan telah jenuh dan tekanan yang terbentuk disebut tekanan uap (dilambangkan pv). Karena pembentukan tekanan uap sangat berkaitan dengan aktivitas molekuler, nilai dari tekanan uap untuk suatu zat cair tertentu tergantung pada temperatur (Harinaldi, 2015).

Alasan penting untuk meninjau tekanan uap adalah karena dari berbagai pengamatan di dalam fluida yang sedang mengalir kerap terbentuk gelembung uap di dalam massa fluida. Hal ini dapat terjadi ketika tekanan mutlak di dalam fluida mencapai tekanan uapnya. Misalnya fenomena ini mungkin terjadi pada aliran yang melalui saluran yang tidak menentu, mengecil (nozzle), pada sebuah katup atau pompa dimana tekanan yang terbentuk sangat rendah sampai mencapai tekanan uapnya. Apabila gelembung – gelembung tersebut terseret kedalam daerah yang bertekanan lebih tinggi, gelembung – gelembung tersebut akan pecah dengan intensitas yang cukup tinggi dan dapat menyebabkan kerusakan struktur. Pembentukan yang dilanjutkan dengan pecahnya gelembung uap di dalam fluida mengalir yang disebut kavitasi ini meruakan fenomena aliran fluida yang sangat penting dalam sistem fluida. Gambar 2.19 menampilkan profil tekanan dan kavitasi pada daerah yang memiliki variabel area (Munson et. al, 2009).


(49)

Gambar 2.18 Variasi tekanan dan pengaruh kavitasi pada pipa dengan variabel penampang (Munson et. al, 2009).

2.7.2 Statika Fluida

Konsep statika fluida mendasari banyak sistem fluida, terutama sistem yang bekerja berdasarkan prinsip hidrostatik, misalnya pada peralatan – peralatan hidrolik. Menurut prinsip hidrostatik energi dipindahkan melalui fludia tertutup oleh tekanan yang diberikan oleh sebuah gaya pada fluida tersebut (Harinaldi, 2015).

2.7.2.1 Tekanan Hidrostatik

Tekanan hidrostatik dapat didefinisikan sebagai tekanan yang terjadi pada massa fluida static (yang diam) akibat pengaruh gaya gravitasi. Dengan demikian tekanan hidrostatik dapat dianggap terjadi akibat bekerjanya gaya berat suatu kolom fluida. Tekanan hidrostatik fluida bergantung pada kedalaman (ketinggian) kolom fluida dari permukaan, kerapatan dan percepatan gravitasi yang dirumuskan dengan persamaan:

gh


(50)

dimana ph adalah tekanan hidrostatik (N/m2 atau Pa), ρ adalah kerapatan fluida (kg/m3), g adalah percepatan gravitasi (m/s2), dan h adalah kedalaman fluida (m) (Munson et. al, 2009).

2.7.2.2 Tekanan Mutlak dan Tekanan Pengukuran

Tekanan fluida merupakan suatu karakteristik penting dalam sebuah sistem fluida sehingga banyak sekali instrument dan teknik - teknik yang digunakan untuk mengukurnya. Tekanan pada sebuah titik dalam massa fluida dapat dinyatakan dengan tekanan mutlak (absolute pressure) atau tekanan pengukuran (gauge pressure) (Harinaldi, 2015).

Tekanan mutlak selalu bernilai positif karena diukur relatif terhadap keadaan hampa udara sempurna tanpa tekanan (tekanan nol mutlak). Sedangkan tekanan pengukuran diukur relatif terhadap tekanan atmosfer setempat. Jadi, tekanan pengukuran nol sama dengan tekanan atmosfer setempat, sedangkan pengukuran bernilai positif jika besarnya diatas tekanan atmosfer dan negatif jika di bawah tekanan atmosfer (Harinaldi, 2015). Gambar 2.19 memperlihatkan representasi grafik konsep tekanan mutlak dan tekanan pengukuran.


(51)

2.7.2.3Peralatan Pengukur Tekanan Mekanik

Manometer sangat banyak digunakan, namun alat ukur tekanan ini tidak cocok untuk mengukur tekanan – tekanan yang sangat tinggi, atau tekanan – tekanan yang berubah sangat cepat menurut waktu. Tambahan lagi manometer memerlukan pengukuran satu atau lebih ketinggian kolom, yang meskipun tidak terlalu sulit, namun sangat memakan waktu. Untuk mengatasi beberapa masalah tersebut banyak jenis lain instrumen pengukur tekanan telah dikembangkan. Kebanyakan alat ini memanfaatkan prinsip bahwa jika suatu tekanan bekerja pada sebuah struktur yang elastis, struktur itu akan berdeformasi, dan deformasi ini dapat dikaitkan dengan besarnya tekanan (Munson et. al, 2009).

Tabung bourdon (bourdon gauge) merupakan alat ukur tekanan mekanik seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.20. Elemen mekanik yang paling penting pada alat ukur ini adalah tabung berongga lengkung elastis (tabung bourdon) yang dihubungkan dengan sumber tekanan. Dengan meningkatnya tekanan di dalam, maka tabung akan cenderung menjadi lurus, dan meskipun deformasinya kecil, hal tersebut dapat diubah menjadi gerakan dari sebuah penunjuk pada sebuah skala ukur seperti yang diilustrasikan. Karena yang menyebabkan pergerakan dari tabung adalah perbedaan tekanan antara tekanan di luar tabung (tekanan atmosfer) dengan tekanan di dalam, maka tekanan yang ditunjukkan adalah tekanan pengukuran (gauge pressure).


(52)

Gambar 2.21 Cara kerja tabung Bourdon (White, 1998). 2.7.3 Kinematika Fluida

Dalam aplikasi bidang teknik yang berkaitan dengan sistem fluida, umumnya fluida yang terlibat berada dalam keadaan bergerak atau lebih dikenal dengan istilah “mengalir”. Kinematika fluida mempelajari berbagai aspek gerakan fluida tanpa meninjau gaya – gaya yang diperlukan untuk menghasilkan gerakan tersebut. Kajian kinematika dari gerakan tersebut meliputi kecepatan, percepatan medan aliran serta penggambaran dan visualisasi gerakan tersebut. Pemahaman tentang kinematika aliran fluida merupakan dasar penting untuk memahami dinamika fluida (Harinaldi, 2015).

2.7.3.1 Aliran Invisid dan Viskos

Aliran invisid adalah aliran dimana kekentalan zat cair, µ, dianggap nol (zat cair ideal). Sebenarnya zat cair dengan kekentalan nol tidak ada di alam, tetapi dengan anggapan tersebut akan sangat menyederhanakan permasalahan yang sangat kompleks dalam hidarulika. Karena zat cair tidak mempunyai kekentalan maka tidak terjadi tegangan geser antara partikel zat cair dan antara zat cair dan bidang batas. Pada kondisi tertentu, anggapan bahwa µ = 0 dapat diterima untuk zat cair dengan kekentalan kecil seperti air (Bambang Triatmodjo, 2014).

Aliran viskos adalah aliran di mana kekentalan diperhitungkan (zat cair riil). Keadaan ini menyebabkan timbulnya tegangan geser antara partikel zat cair yang bergerak dengan kecepatan berbeda. Apabila zat cair riil mengalir melalui


(53)

bidang batas yang diam, zat cair yang berhubungan langsung dengan bidang batas tersebut akan mempunyai kecepatan nol. Kecepatan zat cair akan bertambah sesuai dengan jarak dari bidang tersebut. Apabila medan aliran sangat dalam/lebar, di luar suatu jarak tertentu dari bidang batas, aliran tidak lagi dipengaruhi oleh hambatan bidang batas. Pada daerah tersebut kecepatan aliran hampir seragam (fully developed velocity). Gambar 2.22 menampilkan aliran viskos dengan kecepatan seragam (fully developed velocity).

Gambar 2.22 Aliran viskos dengan kecepatan seragam (Munson et. al, 2009). 2.7.3.2 Aliran Tunak dan Tak-tunak

Aliran tunak (steady flow) terjadi jika kecepatannya tidak terpengaruh oleh perubahan waktu. Dengan demikian jika ditinjau pada titik yang sama, kecepatan aliran selalu konstan dari waktu ke waktu. Secara matematika kondisi aliran tunak ini dapat dinyatakan dengan:

0   

t V

(2.8)

Sedangkan aliran tak-tunak (unsteady flow) terjadi jika kecepatannya terpengaruh oleh perubahan waktu. Dengan demikian jika ditinjau pada titik yang sama, kecepatan aliran berubah-ubah dari waktu ke waktu. Secara matematika kondisi aliran tunak ini dapat dinyatakan dengan:

0   

t V


(54)

2.7.3.3 Aliran Seragam dan Tak Seragam

Aliran seragam (uniform flow) terjadi jika kecepatannya tidak terpengaruhi oleh perubahan tempat. Dengan demikian jika ditinjau pada waktu yang sama, kecepatan aliran selalu sama di seluruh titik. Jika s mewakili koordinat aliran, secara matematika kondisi aliran seragam ini dapat dinyatakan dengan:

0    s V (2.10)

Aliran tak seragam (non-uniform flow) terjadi jika kecepatannya terpengaruhi oleh perubahan tempat. Dengan demikian jika ditinjau pada waktu yang sama, kecepatan aliran tidak selalu sama di seluruh titik. Secara matematika kondisi aliran tak seragam ini dapat dinyatakan dengan:

0    s V (2.11)

2.7.3.4 Aliran Kompresibel dan Tak Kompresibel

Semua fluida (termasuk zat cair) adalah kompresibel sehingga rapat massanya berubah dengan perubahan tekanan. Pada aliran mantap dengan perubahan rapat massa kecil, sering dilakukan penyederhanaan dengan menganggap bawah zat cair adalah tak kompresibel dan rapat massa adalah konstan. Oleh karena zat cair mempunyai kemampatan yang sangat kecil, maka dalam analisis aliran mantap sering dilakukan anggapan zat cair tak kompresibel. Tetapi pada aliran tak mantap melalui pipa di mana bisa terjadi perubahan tekanan yang sangat besar, maka kompresibilitas zat cair harus diperhitungkan.

2.7.3.5Aliran Laminer dan Turbulen

Aliran viskos dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu aliran laminar dan turbulen. Dalam aliran laminar, partikel – partikel zat cair bergerak teratur mengikuti lintasan yang saling sejajar. Aliran ini terjadi apabila kecepatan kecil dan/atau kekentalan besar (White, 1998).


(55)

Kekentalan memiliki pengaruh yang singnifikan untuk meredam gangguan yang dapat menyebabkan aliran menjadi turbulen. Dengan berkurangnya kekentalan dan bertambahnya kecepatan aliran maka daya redam terhadap gangguan akan berkurang, yang sampai pada suatu batas tertentu akan menyebabkan terjadinya perubahan aliran dari laminar ke turbulen.

Pada aliran turbulen, gerak partikel – partikel zat cair tidak teratur. Aliran ini terjadi apabila kecepatan besar dan kekentalan zat cair kecil. Dalam Gambar 2.23 ditampilkan profil aliran laminar dan turbulen suatu fluida berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Osborne Reynolds (Munson et. al, 2009).

Gambar 2.23 Ilustrasi tipe aliran fluida viskos (Munson et. al, 2009).

Percobaan yang dilakukan oleh Osborne Reynolds menunjukkan sifat – sifat aliran laminar dan turbulen. Reynolds menunjukkan bahwa untuk kecepatan aliran yang kecil di dalam pipa kaca, zat warna akan mengalir dalam satu garis lurus seperti benang yang sejajar dengan sumbu pipa. Apabila kecepatan aliran bertambah besar, benang warna mulai bergelombang dan akhirnya pecah dan menyebar pada seluruh aliran di dalam pipa.

Menurut Reynolds, ada tiga faktor yang mempengaruhi keadaan aliran yaitu kekentalan zat cair µ (mu), rapat massa zait cair ρ (rho), dan diameter pipa D. Hubungan antara µ, ρ, dan D yang mempunyai dimensi sama dengan kecepatan adalah µ / ρD (White, 1998).


(56)

Reynolds menunjukkan bahwa aliran dapat diklasifikasikan berdasarkan suatu angka tertentu. Angka tersebut diturunkan dengan membagi kecepatan aliran di dalam pipa dengan nilai µ / ρD, yang disebut dengan Reynolds Number (Re). Reynolds Number mempunyai bentuk:

VD

Re (2.12)

dengan ν (nu) adalah kekentalan kinematik. Dari percobaan yang dilakukan untuk aliran air melalui pipa, Reynolds menetapkan untuk angka Reynolds di bawah 2000, gangguan aliran dapat diredam oleh zat cair, dan aliran pada kondisi tersebut adalah laminar. Aliran akan turbulen apabila angka Reynolds lebih besar dari 4.000. Apabila angka Reynolds berada di antara kedua nilai tersebut (2000 < Re < 4000), maka aliran disebut transisi. Angka Reynolds pada kedua nilai diatas (Re = 2000 dan Re = 4000) disebut dengan batas kritis bawah dan atas. Gambar 2.25 menunjukkan perbandingan profil kecepatan aliran laminar dan turbulen di dalam sebuah pipa (Munson et. al, 2009).

Gambar 2.24 Perbedaan aliran laminar dan turbulen pada pipa (a) laminar (b) turbulen (White, 1998).

2.7.3.6 Debit Aliran

Jumlah zat cair yang mengalir melalui tampang lintang aliran tiap satu satuan waktu disebut aliran dan diberi notasi Q. Debit aliran biasanya diukur


(57)

dalam volume zat cair tiap satuan waktu, sehingga satuannya adalah meter kubik per detik (m3/s) (Triatmodjo, 2014).

Di dalam zat cair ideal, dimana tidak terjadi gesekan, kecepatan aliran V adalah sama di setiap titik pada tampang lintang. Apabila tampang aliran tegak lurus dengan arah aliran, maka debit aliran dapat dirumuskan:

Q = A v (2.13)

dimana A adalah luas penampang bidang (m2) yang dilewati oleh aliran fluida, dan v adalah kecepatan aliran (m/s).

2.7.3.7 Laju Aliran Massa

Laju aliran massa adalah jumlah massa suatu zat cair yang mengalir melalui tampang lintang aliran tiap satuan waktu. Laju aliran massa diberi notasi m dengan satuan SI (kg/s) (Munson et. al, 2009). Laju aliran massa dari sebuah sisi keluar diberikan oleh debit aliran pada suatu nilai kerapatan fluida yang dinyatakan dengan persamaan:

Q

m  (2.14)

2.7.3.8 Tekanan Dinamik

Tekanan dinamik adalah tekanan yang dihasilkan oleh energi kinetik per unit volume suatu fluida (Munson et. al, 2009) yang dapat dirumuskan sebagai:

2 2 v

Pd   (2.15)

2.7.4 Persamaan Kontinuitas (Hukum Konservasi Massa)

Apabila zat cair tak kompresibel mengalir secara kontinyu melalui pipa atau saluran terbuka, dengan tampang aliran konstan ataupun tidak konstan, maka volume zat cair yang lewat tiap satuan waktu adalah sama di semua tampang. Keadaan ini disebut dengan hukum kontinuitas aliran zat cair (Triatmodjo, 2014).


(58)

Tabung pada Gambar 2.26 menampilkan aliran satu dimensi dan steady, dengan kecepatan rata – rata v dan tampang aliran A. Aliran tersebut mengalir dari titik 1 pada v1 dan A1, ke titik 2 pada v2 dan A2.

Gambar 2.25 Tabung aliran untuk menurunkan persamaan kontinuitas (Triatmodjo, 2014).

Volume zat cair yang masuk melalui tampang 1 tiap satuan waktu: V1 dA1 Volume zat cair yang keluar dari tampang 2 tiap satuan waktu: V2 dA2. Oleh karena tidak ada zat cair yang hilang di dalam tabung aliran, maka:

v1dA1 v2dA2 (2.16) atau

. 2

1 Q const

Q   (2.17)

atau . 2

1 m const

m    (2.18)

Persamaan 4.1 dan 4.2 disebut dengan persamaan kontinuitas untuk zat cair incompressible. Apabila pipa bercabang seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.26, berdasarkan persamaan kontinuitas, debit aliran yang menuju titik cabang harus sama dengan debit yang meninggalkan titik tersebut.


(59)

Gambar 2.26 Persamaan kontinuitas pada pipa bercabang (Triatmodjo, 2014). 3

2

1 Q Q

Q   (2.19)

atau

m1m2m3 (2.20) 2.7.5 Persamaan Bernoulli

Penurunan persamaan Bernoulli untuk aliran sepanjang garis arus didasarkan pada hukum II Newton tentang gerak (Fma). Persamaan ini diturunkan berdasarkan anggapan sebagai berikut:

a. Zat cair adalah ideal, jadi tidak mempunyai kekentalan (kehilangan energi akibat gesekan adalah nol).

b. Zat cair adalah homogen dan tidak termampatkan (rapat massa zat cair adalah konstan).

c. Aliran adalah kontinyu dan sepanjang garis arus. d. Kecepatan aliran merata dalam suatu penampang. e. Gaya yang bekerja hanya gaya berat dan tekanan.

Persamaan Bernoulli dapat dituliskan sebagai berikut:

pzVC

2 2 


(60)

Persamaan Bernoulli menyatakan bahwa jumlah dari tekanan piezometric (p+γz) dan tekanan kinetik (ρV2/2) konstan sepanjang streamline untuk aliran mantap dan incompressible (White, 1998).

Konstanta integrasi C adalah tinggi energi total, yang merupakan jumlah dari tinggi tempat, tinggi tekanan, dan tinggi kecepatan, yang berbeda dari garis arus yang satu ke garis arus yang lain. Oleh karena itu persamaan tersebut hanya berlaku untuk titik – titik pada suatu garis arus. Gambar 2.27 menampilkan garis tenaga tekanan pada zat cair ideal, berdasarkan persamaan Bernoulli.

Gambar 2.27 Garis tenaga dan tekanan pada zat cair ideal (White, 1998). 2.7.6 Aliran Open Channel dan Closed Channel

Baik aliran turbulen maupun laminar dapat ditemukan pada saluran terbuka (open channel) maupun saluran tertutup (closed channel). Aliran pada closed channel atau dapat disebut internal flow, dibatasi oleh dinding – dinding dan efek kekentalan akan meluas ke seluruh aliran tersebut. Pada Gambar 2.28 menampilkan aliran closed channel pada saluran pipa panjang. Terdapat daerah masuk atau entrance region dimana aliran hulu yang berupa inviscid mengumpul dan memasuki pipa. Lapisan batas kekentalan terlihat di sisi hilir, memperlambat


(61)

aliran aksial u (r,x) di dinding dan mempercepat aliran pada pusat untuk menjaga kontinuitas incompressible fluida (White, 1998).

uDA const

Q (2.22)

Pada jarak tertentu dari sisi inlet, lapisan batas kekentalan terdispersi dan inti aliran yang berupa invisid menghilang. Aliran dalam pipa tersebut menjadi kental seluruhnya, dan kecepatan aksial menjadi stabil sampai pada x = Le. Fenomena ini disebut fully developed velocity (White, 1998).

Gambar 2.28 Profil perubahan pola kecepatan aliran dan tekanan pada suatu sistem closed channel (White, 1998).

2.7.7 Kecepatan Suara dan Bilangan Mach (Mach Number)

Akibat kemampu-mampatan fluida, sebuah gangguan yang diberikan di suatu titik dalam fluida akan menjalar dengan kecepatan tertentu. Sebagai contoh, jika air yang sedang mengalir dalam pipa tiba – tiba katup keluarannya mendadak ditutup sehingga menimbulkan gangguan lokal. Maka pengaruh penutupan katup tidak segera langsung terasa di hulunya. Diperlukan waktu beberapa saat tertentu bagi peningkatan tekanan akibat penutupan katup untuk menjalar ke lokasi di


(1)

99 , 5453 10 222 , 2 026 , 0 44 , 46

Re 1 4

    p P D V

Rumus Coefficient Discharge pada orifice =

2 3 1 4 4 75 , 0 5 , 2 0337 , 0 1 09 , 0 Re 71 , 91 )

( F F

f

Cdp P

        

dimana untuk nilai f(),,F1&F2 adalah sebagai berikut:

48 , 0 026 , 0 0125 , 0 1

2  

D D  602 , 0 184 , 0 0312 , 0 5959 , 0 )

(   2,1 8 

f

F1 = 0,433 & F2 = 0,47

) 433 , 0 ( ) 48 , 0 ( 1 ) 48 , 0 ( 09 , 0 ) 99 , 5453 ( ) 48 , 0 ( 71 , 91 602 , 0 4 4 75 , 0 5 , 2      p Cd ) 47 , 0 ( ) 48 , 0 ( 0337 , 0 3 

Cdp = 0,6257

Rumus menentukan debit pada orifice:

2 / 1 4 2 2 / 1 4 2 48 , 0 1 565 , 0 / 10930 2 ) 0125 , 0 ( 4 6257 . 0 1 / 2                     p p p P A Cd Q

= 0,01 m3/s

s kg Q

mppp 0,010,5650,00565 /

Nilai entalpi fluida primer diinterpolasi dari tabel properti Saturated Water Moran, Tabel A-2.


(2)

kg kJ kg

kJ kg

kJ K

K

hp (2706,3 2691,5) / 2691,5 / 2691.6 / )

383 393 (

) 383 1 , 383 (

1       

 

h2p = hf condenser @ 27°C = 117,25 kJ/kg

Perhitungan properti untuk fluida sekunder (Evaporator)

Massa jenis fluida primer

s s s

T R

P

 

 (Rumus gas ideal)

Dimana, m s K

M

R 461,47 / .

016 , 18

8314 2 2

 

  

3 5

/ 10

61 , 1 353 47 , 461

47390

m kg T

R P

E E

s   

 

 

Viskositas kinematik fluida sekunder, s m s

s

s 7,17 /

10 61 , 1

10 16 ,

1 2

5 4

    

  

ΔH air coolant= ΔP fluida sekunder = 6 mmAirCoolant = 66,486 Pa

Dengan menggunakan persamaan kontinuitas: A1V1A2V2

2 2

2 1

2 2 2 1 2

1 V 0,23V

D D V A A

V   

Persamaan Bernoulli:

g V Z

P g V Z

P

2 2

2 2 1 2 2 2 1 1 1

1     

2

1 2 2 1 2 1

2g V V P

P    

2

2 2

2 5

) 23 , 0 ( 81

, 9 2

10 61 , 1 468 ,

66  VV




(3)

Kecepatan fluida sekunder, V2s = 2950,11 m/s & V1s = 681,8 m/s 47 , 2 17 , 7 026 , 0 8 , 681

Re  1   

S S

D V

Rumus Coefficient Discharge pada orifice =

2 3 1 4 4 75 , 0 5 , 2 0337 , 0 1 09 , 0 Re 71 , 91 )

( F F

f

Cdp S

        

dimana untuk nilai f(),,F1&F2 adalah sebagai berikut:

48 , 0 026 , 0 0125 , 0 1

2  

D D  602 , 0 184 , 0 0312 , 0 5959 , 0 )

(   2,1 8 

f

F1 = 0,433 & F2 = 0,47

) 433 , 0 ( ) 48 , 0 ( 1 ) 48 , 0 ( 09 , 0 ) 47 , 2 ( ) 48 , 0 ( 71 , 91 602 , 0 4 4 75 , 0 5 , 2      S Cd ) 47 , 0 ( ) 48 , 0 ( 0337 , 0 3 

CdS = 8,03

Rumus menentukan debit pada orifice:

2 / 1 4 5 2 2 / 1 4 2 48 , 0 1 10 61 , 1 / 487 , 66 2 ) 0125 , 0 ( 4 03 , 8 1 / 2                       p S P A Cd Q

= 2,91 m3/s

s kg Q

mS S S 2,91 1,61 10 4,68 10 / 5

5   

       

h1s = hg evaporator @ 353 K = 2643,7 kJ/kg h2s = hf condenser @ 27°C = 117,25 kJ/kg


(4)

Menentukan parameter Ejektor; ω, ER, dan COP 3

5

10 28 , 8 00565 , 0

10 68 ,

4 

    

P S m m  

11 , 2 47390 100000

 

Pe Pb ER

005 , 0 25 , 117 6 , 2691

25 , 117 7 , 2643 10

28 ,

8 3

2 1

2

1 

  

  

 

p p

s s

h h

h h


(5)

(6)