Gambaran Strategi Coping Anak Dengan Leukimia Limfoblastik Akut Dalam Menjalani Terapi Pengobatan.

(1)

GAMBARAN STRATEGI COPING

ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DALAM MENJALANI TERAPI PENGOBATAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

KOMANG TRY DAMAYANTI 1202205009

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(2)

i

ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DALAM MENJALANI TERAPI PENGOBATAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

KOMANG TRY DAMAYANTI 1202205009

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Dipertahankan Di Depan Panitia Ujian Skripsi Program Studi Psikologi,

Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Pada Tanggal:

Mengesahkan Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Dekan,

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K)., M.Kes.

Tim Penilai: Tanda Tangan

1. Luh Kadek Pande Ary Susilawati, S.Psi., M.Psi Pembimbing

2. Dra. Adijanti Marheni, M.Si. Ketua Penguji

3. Luh Made Karisma Sukmayanti S., S.Psi., MA. Sekretaris Penguji

4. Yohanes Kartika Herdiyanto, S.Psi., MA. Anggota Penguji


(4)

iii

It doesn’t interest me how old you are. I want to know if you will risk looking like a fool – for love – for your dreams – for the adventure of being alive --- Oriah Mountain Dreamer ---

Life is about learning, grateful, and sharing --- ANONIM ---


(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Halaman ini khusus penulis persembahkan kepada:

I Made Sudama

Bapak yang tidak ada hentinya memberikan dukungan, tidak pernah lelah dan selalu berusaha memenuhi kebutuhan saya. Bapak yang selalu menyediakan hal terbaik bagi hidup saya.

Ni Ketut Sri Prawati

Ibu yang melahirkan, mengasuh, dan menjadi sosok teladan bagi saya. Jasanya yang telah memberikan pendidikan moral, semangat tiada henti, pengertian dan selalu menyediakan hal

terbaik bagi hidup saya, tidak akan bisa digantikan oleh siapapun.

Kedua kakak saya yang mengajari bagaimana tumbuh menjadi sosok yang dewasa, memiliki tujuan, kuat dan penyayang. Kedua kakak saya yang selalu mendukung dan mengajari untuk

bangkit ketika saya jatuh. Gede Chandra Kurniawan

Kadek Silvia Ermayanti

Serta seluruh keluarga dan rekan-rekan terkasih yang senantiasa memberikan dukungan moral dan emosional dalam penyusunan penelitian ini.


(6)

v

Yang bertanda tangan di bawah ini, Saya, Komang Try Damayanti, dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh derajat kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis/diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.

Denpasar, 3 Agustus 2016 Yang menyatakan,


(7)

vi

Gambaran Strategi Coping Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut dalam Menjalani Terapi Pengobatan

Komang Try Damayanti

Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

ABSTRAK

Leukemia limfoblastik akut merupakan salah satu jenis kanker darah yang memegang persentase sebesar 65% dari seluruh kejadian leukemia pada anak (Muhtadi, 2014). Gejala penyakit serta efek terapi pengobatan yang harus ditempuh dalam jangka waktu minimal dua tahun menuntut anak agar dapat berjuang demi kesembuhannya (Wawancara pre-eliminary study). Seringkali situasi dan kondisi yang dialami anak dengan leukemia limfoblastik akut selama menjalani terapi pengobatan bertolak belakang dengan kepribadian anak, seperti halnya kondisi fisik yang lemah menghalangi anak untuk dapat bermain sepuasnya. Dengan demikian, anak perlu untuk melakukan suatu usaha untuk mengatasi kondisi yang tidak menyenangkan selama menjalani terapi pengobatan. Usaha tersebut disebut dengan strategi coping (Spencer, Jeffrey, & Greene, 2002). Gamayanti (2006) mengungkapkan bahwa anak yang memiliki coping yang baik akan meningkatkan kelancaran proses terapi serta memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak setelah sembuh. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran strategi coping pada anak dengan leukemia limfoblastik akut dalam menjalani terapi pengobatan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan desain penelitian studi kasus. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi serta dokumentasi pada dua anak leukemia limfoblastik akut. Guna memperkuat data penelitian, teknik wawancara difokuskan pada dua significant others anak dengan leukemia limfoblastik akut.

Hasil dalam penelitian ini diperoleh bahwa anak dengan leukemia limfoblastik akut menunjukkan strategi coping. Gambaran strategi coping secara lengkap akan dibahas sesuai dengan situasi dan kondisi anak selama menjalani terapi pengobatan.


(8)

vii

Komang Try Damayanti

Department of Psychology, Faculty of Medicine, Udayana University

ABSTRACT

Acute Lymphoblastic Leukemia is a type of blood cancer that holds a percentage of 65% of all childhood leukemia incidence (Muhtadi, 2014). Symptoms of the disease and the therapeutic effects of treatment that must be taken in a minimum period of two years, requires children to fight for his recovery (Pre-eliminary interview study). Often the circumstances experienced by children with acute lymphoblastic leukemia during therapy treatment is contrary to the child's personality. Thus, children need to make an effort to overcome the unpleasant condition during therapy treatment. The effort is called the coping strategies (Spencer, Jeffrey, & Greene, 2002). Gamayanti (2006) revealed that children who have good coping would improve the continuity of the therapy process and to give effect to the development of children after recovery. According to this fact, the researcher want to determine how the coping strategies in children with acute lymphoblastic leukemia during therapy treatment.

This study is qualitative research with case study design. Interview, observation, and documentation are used to collecting data, of two children with acute lymphoblastic leukemia. In order to strengthen the data, interview techniques focused on two significant others of children with acute lymphoblastic leukemia.

The results in this study shows that children with acute lymphoblastic leukemia has a coping strategy. A complete overview coping strategies will be discussed in accordance with the circumstances of the child during therapy treatment.


(9)

viii

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Terimakasih yang sebesar-besarnya peneliti panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini tepat pada waktunya. Penelitian atau skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dilakukan untuk mendapat gelar kesarjanaan dari Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana. Selain sebagai syarat kelulusan, skripsi ini saya buat juga dengan harapan dapat memberikan kontribusi akademis dan aplikatif ke berbagai pihak. Karya ini nampak sederhana, namun dalam pelaksanaannya, saya menemukan banyak hambatan dan kesulitan baik saat turun lapangan maupun saat proses penyusunan. Banyak terimakasih saya ucapkan kepada berbagai pihak yang memberikan bantuan dalam proses penelitian skripsi ini.

1. Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang selalu memberikan anugrah-Nya, menuntun, membimbing serta memberi pencerahan pada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini pada waktu yang tepat.

2. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K). M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. Dra. Adijanti Marheni, M.Si, Psikolog, selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

4. Tience Debora Valentina, S.Psi., M.A., Psikolog, selaku dosen pembimbing akademik penulis, yang selalu memberikan nasihat positif dan bimbingan kepada penulis selama 3,5 tahun ini.

5. Luh Kadek Pande Ary Susilawati, S.Psi, M.Psi., Psikolog, selaku dosen pembimbing skripsi, yang selalu berusaha membimbing dan mendukung, sehingga peneliti selalu


(10)

ix skripsi.

6. Segenap dosen pengajar dan staf tata usaha di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah membagikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis.

7. Segenap staf bagian Ruang Pudak RSUP Sanglah yang telah memberikan ijin dan mendukung penelitian ini.

8. Ida Ayu Gede Sri Evitasari dan Ida Ayu Karina Putri, kakak tingkat Psikologi 2010, yang berbaik hati mengijinkan naskah skripsinya dijadikan acuan oleh peneliti dalam menyusun penelitian kualitatif ini sehingga peneliti sangat merasa terbantu dan dimudahkan.

9. Sahabat sejak SMP, Lohtu, Titin, dan Oshin, yang senantiasa memberikan canda tawa dan semangat kepada peneliti selama menyelesaikan skripsi ini.

10. Sahabat Matsuoka, Ayun, Irma, Noni, Dode, dan Tece, yang senantiasa saling mendukung dan meluangkan waktu bersama-sama mengerjakan skripsi.

11. Teman-teman Rumah Belajar Turiya, Indah, Yuli, Choi, Kak Winda, Gegek, dan teman-teman lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi kepada peneliti.

12. Teman-teman Psikologi 2012 (Zettrasedon) khususnya dan teman-teman Fakultas Kedokteran 2012 lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang senantiasa berbagi ilmu dan semangat, serta meminjamkan literatur-literatur yang peneliti gunakan untuk menyempurnakan penelitian ini.

13. Sopi adik sepupu saya yang senantiasa meminjamkan laptopnya untuk membantu saya menyelesaikan revisi. Serta keluarga besar dan saudara-saudara yang selalu mengingatkan untuk menggarap skripsi dan lulus tepat waktu.


(11)

x

17. Rekan-rekan lainnya yang tidak dapat saya sebutkan semuanya, beribu terimakasih peneliti ucapkan atas semangat dan dukungan untuk peneliti.

Seperti kata pepatah “tiada gading yang tak retak” yang artinya tidak ada yang sempurna. Terlepas dari usaha peneliti dalam penyusunan skripsi ini, masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini. Oleh karena itu, saran dan kritik dari penguji dan pembaca sangat dibutuhkan dalam penyempurnaan penelitian ini.

Akhir kata, peneliti ucapkan terimakasih pada semua pihak yang telah membantu dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja.

Om Santhi Santhi Santhi Om

Denpasar, 3 Agustus 2016


(12)

xi

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 7

C. Signifikansi dan Keunikan Penelitian ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teroretis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12

A. Tinjauan Pustaka ... 12

1. Strategi Coping ... 12

a. Definisi Strategi Coping ... 13

b. Strategi Coping ... 13

c. Faktor yang Mempengaruhi Coping ... 19

d. Sumber Coping ... 21

2. Anak dengan LLA dalam menjalani Terapi Pengobatan ... 22

a. Perkembangan Masa Anak-anak ... 22

1) Masa Anak-anak Awal ... 23

2) Masa Anak-anak Tengah ... 25

b. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 29

1) Definisi Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 29

2) Etiologi Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 30

3) Gambaran Klinis Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 30

4) Terapi Pengobatan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 32

5) Efek Samping Terapi Pengobatan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 35

B. Perspektif Teoretis ... 37


(13)

xii

BAB III METODE PENELITIAN ... 41

A. Tipe Penelitian ... 41

B. Unit Analisis ... 43

C. Responden dan Tempat penelitian ... 44

D. Teknik Penggalian Data ... 44

1. Wawancara ... 45

2. Observasi ... 45

3. Dokumentasi ... 46

E. Teknik Pengorganisasian Data ... 47

F. Teknik Analisis Data ... 49

G. Kredibilitas Penelitian ... 51

H. Isu Etik ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Orientasi Kancah ... 54

1. Persiapan Penelitian ... 54

a. Melakukan Pre-eliminary Study ... 54

b. Menentukan Responden dan Lokasi Penelitian ... 55

c. Perizinan ... 55

B. Pelaksanaan Penelitian ... 56

1. Lokasi Penelitian ... 56

2. Waktu Penelitian ... 56

3. Subjek Penelitian ... 58

4. Pemaparan Kasus ... 58

C. Hasil Penelitian ... 61

D. Pembahasan ... 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 97

1. Saran Bagi Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 97

2. Saran Bagi Orangtua dan Keluarga yang Memiliki Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 97

3. Saran Bagi Pihak Terkait seperti Pihak Rumah Sakit, Perawat, Dokter, Psikolog, maupun Pengurus Rumah Singgah atau Yayasan Khusus Pasien Kanker ... 98

4. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 100

GLOSARIUM ... 104

DAFTAR LAMPIRAN ... 107


(14)

xiii

1. Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian ... 40 2. Gambar 2. Strategi Coping Subjek ... 73 3. Gambar 3. Pembahasan Strategi Coping Responden ... 88


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

1. Tabel.1. Waktu Pelaksanaan Penelitian ... 56 2. Tabel.2. Waktu Pengambilan Data Penelitian ... 57 3. Tabel.3. Strategi Coping Subjek ... 86


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kanker merupakan penyakit yang ditakuti oleh banyak orang, karena kata “kanker” seringkali diasosiasikan dengan kematian (Burish, Meyerowitz, Carey, & Morrow, dalam Sarafino & Smith, 2011). Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (2013), menyebutkan bahwa prevalensi kanker di Indonesia yaitu 1,4‰ atau sekitar 347.792 orang dengan rincian di provinsi Bali yaitu sebesar 2,0‰ atau sekitar 8.279 orang. Penyakit kanker tidak hanya menyerang orang dewasa, namun juga menyerang anak-anak. Riset Kesehatan Dasar (2014), menunjukkan bahwa setiap tahun sebanyak 4.100 anak atau dua hingga tiga persen anak-anak di Indonesia menderita kanker.

Menurut data Union for International Cancer Control (UICC) (Pusat Data & Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2015) setiap tahun terdapat sekitar 176.000 anak yang didiagnosis kanker diseluruh dunia, sementara 11.000 kasus kanker anak terdapat di Indonesia. Leukemia limfoblastik akut memegang persentase sebesar 65% dari seluruh kejadian leukemia pada anak (Muhtadi, 2014). Sementara itu, insidensi leukemia limfoblastik akut dengan 75% pasien berusia kurang dari 15 tahun adalah sekitar 1 per 60.000 orang pertahun (Medical Stuff, 2014).

Leukemia limfoblastik akut yang kemudian disebut LLA adalah suatu penyakit yang berakibat fatal, yaitu sel-sel pada keadaan normal berkembang menjadi limfosit berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang (Muhtadi, 2014). Sel abnormal pada penyakit leukemia menyebabkan gejala kelainan sumsum tulang belakang serta infiltrasi terhadap organ-organ (Hoffbrand & Moss, 2011). Wong (2008) menyebutkan gejala umum yang dapat terjadi seperti pucat, sering mengalami demam, pendarahan, pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran perut, nyeri tulang, penurunan


(17)

2 berat badan, anoreksia serta kelelahan. Menurut Permono (2005) anak dengan leukemia seringkali mengalami anemia yang menimbulkan kondisi pucat, lemas, kelelahan dan lesu, serta mengalami neutropenia yang menimbulkan kondisi demam serta infeksi dan mengalami trombositopenia yang menimbulkan kondisi kulit memar, bintik merah pada kulit, mimisan, serta pendarahan gusi.

Terapi pengobatan pada LLA dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Menurut Jones (Faozi, 2010), apabila anak positif menderita LLA harus dilakukan terapi pengobatan yang cukup panjang yaitu sekitar 2-3 tahun. Selain itu, pengobatan anak dengan LLA dilakukan dengan berbagai prosedur terapi, seperti terapi pendukung umum dan terapi khusus (Hoffbrand & Moss, 2011). Berdasarkan informasi yang dipublikasikan oleh Rumah Sakit Dharmais Pusat Kanker Nasional (2009), rambut rontok, mual, muntah, penurunan jumlah sel darah merah, penurunan jumlah sel darah putih, penurunan jumlah trombosit, luka pada dinding rongga mulut atau saluran cerna, serta gangguan saraf tepi seperti kebas dan kesemutan dijari tangan dan kaki merupakan efek samping diberikannya kemoterapi sebagai salah satu prosedur terapi pengobatan LLA.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Doloksaribu (2011), disebutkan beberapa respon fisiologis yang muncul akibat terapi pengobatan pada anak dengan LLA yaitu merasa lemah, pegal, pusing, sakit, nafsu makan menurun, mual, muntah, sariawan, makanan terasa tidak enak, diare dan demam, serta respon psikologis yaitu tidak betah dengan kondisi lingkungan yang kurang menyenangkan, tidak ada kegiatan, merasa kesal saat ditanya-tanyai, menolak tindakan terapi, takut akan kelumpuhan, mengalami trauma, sedih karena ingin sekolah, merasa khawatir, aktivitas yang dibatasi, tidak bisa bermain, dan rasa berduka sekaligus kekhawatiran karena adanya teman yang meninggal. Menurut Spinetta (dalam Sarafino & Smith, 2011), kehilangan rambut karena proses kemoterapi dapat menimbulkan trauma hebat


(18)

dan merupakan pengalaman yang paling memalukan bagi kebanyakan anak walaupun rambut itu dapat tumbuh kembali. Sarafino dan Smith (2011) juga mengatakan bahwa dampak kemoterapi pada anak dapat menyebabkan rasa sakit yang lebih besar daripada yang dirasakan orang dewasa.

Lebih lanjut efek perawatan dengan kemoterapi dapat menimbulkan gangguan jangka panjang seperti gangguan fungsi intelektual, kelainan neuroendokrin, kardiotoksisitas, gangguan sistem reproduksi serta berisiko mengalami keganasan sekunder (Bhatia dalam Savage, Riordan, & Hughes, 2008). Studi lain menyebutkan bahwa efek terapi terhadap anak dengan LLA memengaruhi kemampuan prestasi akademik dan belajar serta memiliki konsekuensi penting terhadap perkembangan emosi dan kemampuan untuk mengatasi serta pengaturan emosi (Campbell, dkk. dalam Doloksaribu, 2011).

Masa kanak-kanak pada rentang usia 2-12 tahun merupakan masa anak belajar berbagai hal mengenai dasar-dasar kehidupan sehingga anak mampu dengan baik melanjutkan fase perkembangan selanjutnya. Secara keseluruhan, anak akan belajar tentang kemandirian, belajar berinteraksi dan menyesuaikan diri, belajar dari sifat egosentris menjadi dapat menerima perbedaan antara sudut pandang orang lain dengan sudut pandang diri sendiri, belajar keterampilan produktif yang bernilai didalam lingkungan, belajar berprestasi serta membangun kepercayaan diri dan sikap yang positif. Bentuk-bentuk emosi yang dialami anak akan memengaruhi pendapat anak mengenai dirinya. Selain itu masa kanak-kanak adalah masa bermain yaitu anak akan meluangkan waktu berjam-jam untuk bermain dengan teman-teman sebaya (Havighurst dalam Hurlock, 1980; Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Keberhasilan anak dengan LLA menyelesaikan tugas pada fase perkembangannya berhubungan erat dengan kondisi selama menjalani terapi pengobatan. Hal ini berangkat dari pemahaman kondisi anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan, mengalami


(19)

4 penurunan secara fisik, yang berpengaruh terhadap aktivitas sehari-hari anak. Sebagai contoh, waktu bermain pada anak dengan LLA tidak akan sebanyak anak-anak normal yang tidak melakukan perawatan di rumah sakit. Menurut Havighurts (dalam Hurlock, 1980) kondisi kesehatan yang buruk akan menghalangi anak beraktivitas dengan kelompok sehingga menimbulkan rasa rendah diri dan terbelakang. Hockenberry dan Wilson (dalam Suryati, 2010) juga mengungkapkan bahwa aspek psikososial dari hubungan interpersonal, stres dan coping pada anak juga ikut memengaruhi tumbuh kembang anak.

Selama menjalani terapi pengobatan, kualitas hidup anak dengan LLA penting untuk diperhatikan, dengan mempertimbangkan dampak penyakit dan dampak terapi yang dijalani terhadap kualitas fisik, psikologis, dan sosial anak (Varni dalam Savage, Riordan, & Hughes, 2008). Anak yang memahami penyakit dan proses pengobatannya memiliki mekanisme coping yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak memahami penyakitnya dan anak dengan leukemia yang sedang menjalani terapi pengobatan membutuhkan sumber-sumber coping untuk dapat mengurangi stres (Doloksaribu, 2011).

Anak yang memiliki coping yang baik akan meningkatkan kelancaran proses terapi serta memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak setelah sembuh (Gamayanti, 2006). Strategi coping sendiri merupakan suatu usaha untuk mengatasi suatu kondisi yang tidak menyenangkan (Spencer, Jeffrey, & Greene, 2002). Menurut Carver, Scheier, dan Weintraub (1989), terdapat 14 strategi coping, antara lain active coping, planning, suppresion of competing, restraint coping, positive reinterpretation, acceptance, focusing on and venting of emotions, behavioral disengagement, mental disengagement, alcohol-drug disengagement, turning to religion, seeking social support for instumental reason, seeking social support for emotional reason, dan denial.


(20)

Guna mendapat gambaran dilakukan atau tidaknya strategi coping oleh anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan, peneliti melakukan pre-eliminary study pada dua pasien anak. Subjek pertama berinisial KD, seorang pasien LLA berusia tujuh tahun empat bulan yang menjalani terapi pengobatan di RSUP Sanglah. Wawancara dilakukan kepada significant others yang pada penelitian ini berperan sebagai responden yaitu ibu KD pada 17 Desember 2015. KD berasal dari Gianyar, Bali. Selama menjalani terapi pengobatan di rumah sakit, sehari-harinya KD ditemani oleh sang ibu. KD merupakan seorang pasien LLA yang mengalami kambuh pada penyakitnya. Pada awalnya, KD terdiagnosa LLA diusia yang ke-empat tahun enam bulan. KD kemudian menjalani seluruh tahap terapi pengobatan selama lebih dari dua tahun dengan hasil terdapat 6% sel leukemia pada tubuhnya. Dua bulan setelah menyelesaikan tahap terapi pengobatan, KD dinyatakan kambuh sehingga KD diharuskan mengulang menjalani terapi pengobatan dari tahap pertama. Saat ini KD memasuki tahun ke-tiga dalam menjalani terapi pengobatan.

KD memunculkan beberapa gejala klinis maupun keluhan pada saat awal diagnosa LLA dan juga selama menjalani terapi pengobatan, seperti terasa lemas, pucat, suhu tubuh tinggi, penurunan kadar hemoglobin, berat badan menurun, pembengkakan pada hati, nafsu makan menurun dan juga mengalami gusi berdarah. Selain itu, dikatakan pula KD menunjukkan perilaku menolak atau susah untuk makan ataupun minum. Pada saat merasa kepanasan diruang perawatan, KD akan meminta tolong kepada ibu untuk menghidupkan kipas. Seringkali KD menangis ketika meminta sesuatu atau saat merasa tidak nyaman dengan kondisi fisiknya. Dikatakan pula, KD sempat menolak minum obat dan menolak untuk menjalani terapi pengobatan. Perilaku-perilaku tersebut menunjukkan salah satu cara yang dilakukan KD ketika menghadapi situasi dan kondisi tertentu, sehingga dapat dikatakan


(21)

6 bahwa KD cenderung menunjukkan strategi coping selama menjalani terapi pengobatan (Wawancara pre-eliminary study, 2015).

Subjek kedua berinisial AMB, seorang pasien LLA berusia delapan tahun empat bulan yang menjalani terapi pengobatan di RSUP Sanglah. Wawancara dilakukan kepada significant others yang pada penelitian ini berperan sebagai responden yaitu ibu AMB pada 6 Februari 2016. AMB berasal dari Sumba. Selama menjalani terapi pengobatan di rumah sakit sehari-harinya AMB ditemani oleh sang ibu. AMB sempat selama dua bulan mengenyam pendidikan di kelas tiga SD namun karena terdiagnosa LLA dan menjalani terapi pengobatan yang intensif di rumah sakit mengharuskan AMB mengambil cuti pada sekolahnya. AMB merupakan seorang pasien LLA yang telah menjalani terapi pengobatan selama lebih dari dua bulan dan saat ini memasuki bulan ke-tiga terapi pengobatan. Pada saat didiagnosa, jumlah sel leukemia pada AMB adalah sebanyak 20%, namun saat melakukan pre-eliminary study jumlah sel leukemia pada AMB berjumlah 3%.

AMB memunculkan beberapa gejala klinis maupun keluhan pada saat awal terdiagnosa LLA dan selama menjalani terapi pengobatan, seperti terasa lemas, pucat, tidak bergairah, berat badan menurun, suhu tubuh tinggi, nafsu makan menurun dan mengalami mimisan. Selama menjalani terapi pengobatan, dikatakan pula AMB menunjukkan perilaku menolak untuk makan ataupun minum tetapi kemudian secara bertahap nafsu makannya bertambah. AMB sering kali memberitahu secara langsung kepada ibu ketika tidak nyaman dengan kondisinya dan meminta bantuan ibu untuk memenuhi keperluannya. AMB menelepon sendiri atau meminta kepada ibu agar menelepon ayahnya saat merasa kangen dengan sang ayah. AMB menunjukkan perilaku menurut ketika memang waktunya minum obat, dan dikatakan pula AMB lebih mudah menangis maupun mudah marah selama menjalani terapi pengobatan. Perilaku-perilaku tersebut menunjukkan sebagai salah satu cara yang dilakukan


(22)

AMB ketika menghadapi situasi dan kondisi tertentu, sehingga dapat peneliti simpulkan AMB menunjukkan strategi coping selama menjalani terapi pengobatan (Wawancara pre-eliminary study, 2016).

Berdasarkan paparan hasil pre-eliminary study, didapatkan informasi bahwa anak dengan LLA yang sedang menjalani terapi pengobatan, melakukan perilaku tertentu untuk menghadapi kondisinya.Kondisi dan situasi yang dialami anak dengan LLA yang ditimbulkan oleh gejala penyakit, prosedur pengobatan, efek samping dan efek jangka panjang pengobatan, menuntut anak untuk mampu menghadapinya. Selain itu tugas perkembangan juga menuntut anak agar mampu menangani kondisi dan situasi tersebut, salah satunya dengan cara melakukan strategi coping. Anak perlu didorong untuk menyadari kemampuan coping yang dimilikinya, sehingga diharapkan anak mampu melaksanakan terapi pengobatan secara kooperatif dan mampu menghindari atau mengurangi dampak jangka panjang yang memengaruhi kualitas hidup serta perkembangan masa depan anak itu sendiri.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penggalian informasi secara langsung dan mendalam mengenai gambaran strategi coping pada anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan. Dengan demikian peneliti melakukan penelitian yang berjudul “Gambaran Strategi Coping Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut dalam menjalani Terapi Pengobatan”.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penelitian ini akan difokuskan pada kasus anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan, untuk dilihat bagaimana gambaran strategi coping yang dilakukan oleh anak.


(23)

8 C. Signifikansi dan Keunikan Penelitian

Beberapa penelitian mengenai anak dengan LLA telah banyak dilakukan di Indonesia, baik dengan menggunakan metode kuantitatif maupun kualitatif. Adapun penelitian-penelitian yang mengkaji subjek anak LLA adalah sebagai berikut:

1) Rahmawati (2013) dalam penelitiannya berjudul “Gambaran Penyesuaian Diri Anak Penderita Leukemia yang Menjalani Hospitalisasi (Studi Kasus Terhadap Dua Orang Anak Penderita Leukemia Usia 12 dan 13 Tahun di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung)”, bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran penyesuaian diri pada kedua anak penderita leukemia tersebut. Terdapat perbedaan variabel yang digunakan pada penelitian ini dengan penelitian Rahmawati (2013). Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah strategi coping sedangkan pada penelitian Rahmawati (2013) menggunakan variabel penyesuaian diri. Selain itu, penelitian ini menggunakan karakteristik subjek yang lebih mendalam yaitu anak penderita leukemia limfoblastik akut sedangkan penelitian oleh Rahmawati (2013) menggunakan karakteristik subjek anak penderita leukemia.

2) Penelitian yang dilakukan oleh Murtutik dan Wahyuni (2013) yang berjudul “Hubungan Frekuensi Hospitalisasi Anak dengan Kemampuan Perkembangan Motorik Kasar Pada Anak Pre-School Penderita Leukemia di RSUD Dr. Moewardi”, bertujuan untuk melihat hubungan frekuensi hospitalisasi anak dengan kemampuan perkembangan motorik kasar pada anak pre-school penderita leukemia. Terdapat perbedaan variabel serta metode penelitian antara penelitian ini dengan penelitian oleh Murtutik dan Wahyuni (2013). Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah strategi coping dengan metode penelitian kualitatif, sedangkan pada penelitian oleh Murtutik dan Wahyuni (2013) variabel yang digunakan adalah kemampuan


(24)

perkembangan motorik kasar, serta menggunakan metode penelitian kuantitatif. Selain itu, karakteristik subjek pada penelitian ini lebih spesifik yaitu anak dengan LLA sedangkan penelitian oleh Murtutik dan Wahyuni (2013) menggunakan karakteristik subjek anak penderita leukemia.

3) Penelitian oleh Doloksaribu (2011) yang berjudul “Respon dan Coping Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut Dalam Menjalani Terapi di Jakarta dan Sekitarnya”, bertujuan untuk mengetahui bentuk respon dan sumber-sumber coping yang dapat digunakan anak dengan LLA dalam menjalani terapi di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Terdapat kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, yaitu sama-sama menggunakan subjek dengan LLA, namun penelitian oleh Doloksaribu (2011) ingin melihat respon yang ditunjukkan dan melihat sumber-sumber coping anak dengan LLA, sedangkan pada penelitian ini ingin melihat strategi coping pada anak dengan LLA.

4) Penelitian yang dilakukan oleh Pertiwi, Niruri, dan Ariawati (2013) yang berjudul “Gangguan Hematologi Akibat Kemoterapi Pada Anak Dengan Leukemia limfoblastik akut di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah”, memperoleh hasil yaitu terdapat gangguan hematologi pada anak dengan LLA yaitu anemia dan trombositopenia. Terdapat perbedaan variabel pada penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Pertiwi, Niruri, dan Ariawati (2013). Pada penelitian ini menggunakan variabel strategi coping sedangkan penelitian oleh Pertiwi, Niruri, dan Ariawati (2013) menggunakan variabel hematologi. Penelitian ini dan penelitian oleh Pertiwi, Niruri, dan Ariawati (2013) menggunakan karakteristik subjek yang sama yaitu anak dengan LLA.


(25)

10 Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dipaparkan diatas, dapat dilihat bahwa penelitian spesifik mengkaji strategi coping pada anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur mengenai anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran strategi coping pada anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan.

E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam studi kepustakaan, untuk lebih membuka dan menambah wawasan serta pengembangan disiplin ilmu pengetahuan Psikologi Klinis khususnya dalam bidang Psikologi Kesehatan, terkait informasi mengenai strategi coping anak dengan penyakit fisik yaitu leukemia limfoblastik akut yang sedang menjalani terapi pengobatan.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi anak dengan LLA, penelitian ini diharapkan dapat membantu anak mengungkapkan perasaan, anak mampu mempertahankan kemampuan strategi coping yang dimiliki dan mengembangkan strategi coping yang berdampak positif bagi dirinya.

b) Bagi orangtua dan keluarga yang memiliki anak dengan LLA, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi psikologis anak sehingga orangtua


(26)

dan keluarga memahami kondisi yang dirasakan oleh anak, serta memfasilitasi anak untuk melakukan strategi coping.

c) Bagi pihak terkait seperti perawat, dokter, psikolog, maupun pengurus rumah singgah atau yayasan khusus pasien kanker, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran kondisi psikologis anak dengan LLA sehingga pihak terkait lebih memahami kondisi dan situasi yang dialami anak, menyediakan lingkungan rumah sakit yang ramah dan nyaman, mengidentifikasi strategi coping yang sesuai bagi anak, serta memfasilitasi sumber coping yang dapat membantu anak menghadapi kondisi dan situasinya. Selain itu dapat pula menjadi dasar adanya inovasi dalam strategi intervensi selama melakukan pendampingan psikologis terhadap anak dengan LLA secara khusus.


(27)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Strategi Coping

a. Definisi Strategi Coping

Individu dari semua usia dapat mengalami ketegangan yang menimbulkan ketidaknyamanan sehingga individu mencoba melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Usaha untuk mengatasi kondisi tersebut disebut dengan coping (Spencer, Jeffrey, & Greene, 2002). Lazarus dan Folkman (1984), mengungkapkan coping adalah proses merubah kognitif secara konstan untuk mengelola tuntutan baik eksternal maupun internal yang diterima individu, yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu.

Sarafino dan Smith (2011) menjelaskan bahwa coping adalah proses dimana individu melakukan usaha untuk mengatur (management) situasi yang dipersepsikan adanya kesenjangan antara usaha (demands) dan kemampuan (resources). Coping adalah sebuah proses untuk mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima tubuh dan beban tersebut menimbulkan respons tubuh yang sifatnya nonspesifik yaitu stres. Apabila coping ini berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut (Rasmun, 2004).

Sedangkan, strategi coping didefinisikan secara terperinci oleh Lazarus dan Folkman (1984) sebagai bentuk usaha kognitif dan perilaku yang dilakukan seseorang untuk mengatur tuntutan internal dan eksternal yang timbul dari hubungan individu


(28)

dengan lingkungan, yang dianggap menganggu batas-batas yang dimiliki oleh individu tersebut. Selanjutnya, Friedman (1998) mengatakan bahwa strategi coping merupakan perilaku atau proses untuk adaptasi dalam menghadapi tekanan atau ancaman.

Berdasar pada penjelasan definisi coping dan strategi coping diatas, maka strategi coping merupakan suatu bentuk usaha dan perilaku yang dilakukan untuk mengatasi situasi dan kondisi tertentu yang cenderung menimbulkan ketidaknyamanan ataupun menganggu batas-batas yang dimiliki oleh individu.

b. Strategi Coping

Menurut Skinner, dkk (dalam Sarafino & Smith, 2011) terdapat 24 strategi coping yang dapat dengan mudah dikonseptualisasikan, strategi coping tersebut antara lain: 1) Assistance seeking, individu mencari dukungan dan menggunakan bantuan dari

orang lain berupa nasehat maupun tindakan didalam menghadapi masalahnya. 2) Hiding feeling, individu cenderung menyembunyikan perasaannya, tidak

memperlihatkan kepada orang lain atau orang tertentu.

3) Positive reappraisal, individu melihat sisi positif dari masalah yang dialami dalam kehidupannya dengan mencari arti atau keuntungan dari pengalaman tersebut. 4) Avoidance, individu menghindari masalah yang ada dengan cara berkhayal atau

membayangkan seandainya individu berada pada situasi yang menyenangkan. 5) Humor, individu mengatasi situasi tertekan dengan menceritakan dan melakukan

hal-hal yang lucu sehingga hal yang menjadi beban pikiran akan berkurang.

6) Praying, individu berdoa, melakukan persembahyangan, lebih mendekatkan diri pada Tuhan atau kepercayaan.


(29)

14 7) Confrontive assertion, individu cenderung mengeluh atau marah atau membuat

orang lain menjadi empati.

8) Increased activity, individu cenderung meningkatkan jumlah aktivitas. 9) Resigned acceptance, individu cenderung pasrah.

10) Denial, individu menolak masalah yang ada dengan menganggap seolah-olah tidak ada masalah, individu mengabaikan masalah yang dihadapinya.

11) Information seeking, individu mencari informasi dari orang lain yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan individu.

12) Seeking meaning, individu cenderung mencari pengertian atau pemahaman terhadap situasi atau masalah yang dihadapinya, individu cenderung berpikiran positif.

13) Direct action, meliputi tindakan yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta menyusun secara lengkap apa yang diperlukan.

14) Intrusive thoughts, individu memiliki pemikiran yang terganggu, merasa terganggu, mengalami kebosanan atau rasa bingung.

15) Self-criticism, keadaan individu yang larut dalam permasalahan dan menyalahkan diri sendiri atas kejadian atau masalah yang dialaminya.

16) Discharge (venting), individu cenderung mencurahkan apa yang dirasakan, mengekspresikan emosi.

17) Logical analysis, individu melakukan analisis secara logis tidak hanya menekankan pada perasaan atau emosi.

18) Substance use, menggunakan obat-obatan terlarang.

19) Distraction (diverting attention), individu cenderung mudah teralihkan saat mencoba untuk menaruh perhatian pada suatu hal tertentu.


(30)

21) Wishful thinking, individu memiliki pengharapan atau angan-angan.

22) Emotional approach, individu secara aktif memproses, memikirkan dan mengekspresikan perasaannya.

23) Planful problem solving, individu memikirkan dan mempertimbangkan secara matang beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan, meminta pendapat dan pandangan dari orang lain tentang masalah yang dihadapi, bersikap hati-hati sebelum memutuskan sesuatu dan mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan.

24) Worry, individu memiliki perasaan yang cenderung cemas atau khawatir.

Carver, Scheier, dan Weintraub (1989) mengemukakan 14 strategi coping yang dapat digunakan, antara lain:

1) Active coping, proses yang dilakukan individu berupa pengambilan langkah-langkah aktif untuk mencoba menghilangkan, menghindari tekanan, memperbaiki pengaruh dampaknya. Metode ini melibatkan pengambilan tindakan secara langsung, dan mencoba untuk menyelesaikan masalah secara bijak.

2) Planning, merupakan langkah pemecahan masalah berupa perencanaan pengelolaan stres serta bagaimana cara yang tepat untuk mengatasinya. Perencanaan ini melibatkan strategi-strategi tindakan, memikirkan tidakan yang dilakukan dan menentukan cara penanganan terbaik untuk memecahkan masalah.

3) Suppresion of competing, individu dapat menahan semua informasi yang bersifat kompetitif atau menahan semua informasi yang bersifat kompetitif agar individu bisa berkonsentrasi penuh pada masalah atau ancaman yang dihadapi.

4) Restraint coping, merupakan suatu respons yang dilakukan individu dengan cara menahan diri (tidak terburu-buru dalam mengambil tindakan) sambil menunggu


(31)

16 waktu yang tepat. Respons ini dianggap bermanfaat dan diperlukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

5) Positive reintrepretation, merupakan respons yang dilakukan individu dengan cara mengadakan perubahan dan pengembangan pribadi dengan pengertian yang baru dan menumbuhkan kepercayaan akan arti makna kebenaran yang utama yang dibutuhkan dalam hidup.

6) Acceptance, individu menerima keadaan yang terjadi apa adanya, karena individu menganggap sudah tidak ada yang dapat dilakukan lagi untuk merubah keadaannya serta membuat suasana lebih baik.

7) Focusing on and venting of emotions, individu cenderung untuk fokus pada pengalaman yang tidak menyenangkan dan mengungkapkan atau mencurahkan perasaan tersebut.

8) Behavioral disengagement, individu menurunkan suatu usaha untuk menyelesaikan masalah, menyerah, ataupun tidak melakukan apa-apa.

9) Mental disengagement, secara mental individu tidak memikirkan permasalahan yang dihadapi, biasanya dapat melakukan aktivitas yang lain hanya untuk menghilangkan pikiran terhadap situasi yang menekan.

10) Alcohol-drug disengagement, individu menggunakan obat-obatan dan alkohol untuk mengurangi tekanan.

11) Turning to Religion, sikap individu menenangkan dan menyelesaikan masalah secara keagamaan.

12) Seeking social support for instumental reason, merupakan upaya yang dilakukan untuk mencari dukungan sosial, baik kepada keluarga maupun orang disekitarnya dengan cara meminta nasihat, informasi, atau bimbingan.


(32)

13) Seeking Social Support for Emotional Reason, merupakan upaya untuk mencari dukungan sosial seperti mendapat dukungan moral, simpati atau pengertian.

14) Denial, upaya untuk mengingkari dan melupakan kejadian atau masalah yang dialami dengan cara menyangkal semua yang terjadi, seakan-akan sedang tidak mempunyai masalah.

Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan bahwa terdapat dua strategi coping berdasarkan fungsinya, yaitu emotional-focused coping dan problem-focused coping. Emotional-focused coping bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap respons emosional terhadap situasi penyebab stres, baik dalam pendekatan secara perilaku maupun kognitif. Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan emotional-focused coping ketika individu memiliki persepsi bahwa stressor yang ada tidak dapat diubah atau diatasi. Sedangkan problem-focused coping bertujuan untuk mengurangi dampak dari situasi stres atau memperbesar sumber daya dan usaha untuk menghadapi stres. Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan problem focused coping ketika memiliki persepsi bahwa stressor yang ada dapat diubah. Lazarus dan Folkman (1984) kemudian mengidentifikasikan berbagai jenis strategi coping, baik secara problem-focused maupun emotion-focused, antara lain:

1) Planful problem solving yaitu usaha untuk mengubah situasi, dan menggunakan usaha untuk memecahkan masalah.

2) Confrontive coping yaitu menggunakan usaha agresif untuk mengubah situasi, mencari penyebabnya dan mengalami resiko.

3) Seeking social support yaitu menggunakan usaha untuk mencari sumber dukungan informasi, dukungan sosial dan dukungan emosional.


(33)

18 4) Accepting responsibility yaitu mengakui adanya peran diri sendiri dalam masalah. 5) Distancing yaitu menggunakan usaha untuk melepaskan dirinya, perhatian lebih

kepada hal yang dapat menciptakan suatu pandangan positif.

6) Escape-avoidance yaitu melakukan tingkah laku untuk lepas atau menghindari situasi masalah.

7) Self-control yaitu menggunakan usaha untuk mengatur tindakan dan perasaan diri sendiri.

8) Positive reappraisal yaitu menggunakan usaha untuk menciptakan hal-hal positif dengan memusatkan pada diri sendiri, mencari makna positif dari permasalahan dengan pengembangan diri, dan terkadang strategi ini melibatkan hal-hal religiusitas.

Untuk memperoleh gambaran lebih luas mengenai strategi coping yang dimiliki oleh subjek, maka penelitian ini menggunakan strategi coping yang digabungkan dari tiga tokoh yaitu strategi coping yang diungkapkan oleh Lazarus dan Folkman (1984), Skinner et al (dalam Sarafino & Smith, 2011) dan Carver, Scheier, dan Weintraub (1989).

Berdasar pada Lazarus dan Folkman (1984), Skinner et al (dalam Sarafino dan Smith, 2011) dan Carver, Scheier dan Weintraub (1898), didapatkan 22 strategi coping yaitu planful problem solving (termasuk didalamnya information seeking, restraint coping), assistance seeking, accepting responsibility, avoidance, self-control, positive reappraisal (termasuk didalamnya reinterpretation, seeking meaning, distancing), humor, emotional approach (termasuk didalamnya confrontive assertion, discharge, venting, worry, instrusive thoughts), behavioral disengagement, increased activity (termasuk didalamnya physical exercise), direct action, self critism, logical analysis,


(34)

wishful thinking, hiding feelings, religion, denial, resigned acceptance, substance use, distraction, suppression of competing, dan mental disengagement.

c. Faktor - faktor yang Memengaruhi Strategi Coping

Antara satu individu dengan individu lain memiliki strategi coping yang berbeda. Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor, seperti yang telah diidentifikasikan oleh Ahyar (2010) yaitu:

1) Kesehatan Fisik. Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.

2) Keyakinan atau pandangan positif. Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness).

3) Keterampilan memecahkan masalah. Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

4) Keterampilan sosial. Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat.

5) Dukungan sosial. Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.


(35)

20 6) Materi. Dukungan ini meliputi sumber daya daya berupa uang, barang atau layanan

yang biasanya dapat dibeli.

7) Pengalaman. Individu yang sudah pernah menghadapi suatu masalah cenderung sudah memiliki strategi coping yang dapat dengan langsung menangani masalah yang dihadapi, dibandingkan dengan individu lain yang tidak pernah mengalami masalah serupa.

Menurut Lazarus dan Folkman (1984) coping dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :

1) Usia. Dalam rentang usia tertentu, individu mempunyai tugas perkembangan yang berbeda, sehingga memengaruhi cara berpikir dan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi disekelilingnya. Struktur psikologis individu yang kompleks dan sumber strategi coping yang berubah sesuai dengan tingkat usianya akan menghasilkan reaksi yang berbeda dalam menghadapi suatu situasi yang menekan. Sehingga dapat dipastikan bahwa coping pada setiap individu berbeda untuk setiap tingkat usia.

2) Jenis kelamin. Secara teoritis pria dan wanita memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi suatu masalah. wanita lebih memperlihatkan reaksi emosional dibandingkan dengan pria.

3) Harga diri. Harga diri memengaruhi individu dalam menilai dirinya sendiri dan memengaruhi perilaku dalam mengatasi ancaman atau peristiwa. Penggunaan strategi coping yang paling penting adalah harga diri. Harga diri dimiliki individu sebagai sikap, gagasan dan kemampuan dalam mengatasi masalah. individu yang menghadapi masalah rumit dapat meningkatkan harga diri dan rasa percaya diri dengan melakukan usaha-usaha kognitif maupun perilaku untuk mengurangi stres.


(36)

4) Pendidikan. Individu yang memperoleh pendidikan lebih tinggi akan lebih tinggi pula perkembangan kognitifnya, sehingga akan memiliki penilaian yang lebih realistis dan coping individu akan lebih aktif dibandingkan dengan individu yang memperoleh pendidikan lebih rendah.

Berdasar pada penjelasan mengenai faktor yang memengaruhi coping, maka faktor faktor yang memengaruhi coping adalah kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial, materi, pengalaman, usia, jenis kelamin, harga diri dan pendidikan.

d. Sumber - sumber Strategi Coping

Coping tidak hanya selalu dimulai dari diri sendiri, namun berbagai sumber eksternal memberikan pengaruh terhadap keberhasilan coping itu sendiri. Sumber-sumber tersebut yaitu:

1) Bermain. Longe (2005) memaparkan beberapa anak menjalani terapi kanker sambil bermain. Mainan bagi anak dengan leukemia limfoblastik akut tampak lebih menyenangkan. Barang-barang seperti papan permainan, playdoh, video game, boneka, dan mobil mainan bisa dinikmati selama terapi intravena ditempat tidur. Gariepy dan Howe (dalam Piersol, dkk. 2008) menemukan bahwa bermain pada anak dengan LLA dapat digunakan sebagai media komunikasi untuk mengekspresikan diri, mengeliminasi tekanan psikologis, mengatasi stres dan kecemasan.

2) Dukungan keluarga. Hurlock (1980) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang mendalam antara anak dengan keluarga. Hubungan yang sehat dan bahagia antara anak dan orang tua akan meningkatkan status akademik dan prestasi anak. Anak


(37)

22 mudah bersosialisasi terutama dengan teman sebaya, membentuk peran positif dan meningkatkan kreativitas sehingga membentuk kepribadian yang positif.

3) Kelompok pendukung. Gariepy dan Howe (dalam Piersol, dkk. 2008), menyatakan pentingnya penyediaan informasi mengenai kelompok-kelompok pendukung bagi anak dan keluarga dengan masalah yang sama.

4) Pendidikan kesehatan atau konseling. Beberapa penelitian yang dilaksanakan oleh Children’s Cancer Group (Campbell, dkk, 2008a) bahwa remaja yang sembuh dari penyakit leukemia limfoblastik akut menerima pendidikan khusus sampai enam kali atau lebih karena mengalami gangguan emosi dan juga masalah perilaku, sulit mengatasi stres dengan tekanan emosional yang tinggi.

5) Lingkungan. Manusia memiliki kompleksitas hubungan antara faktor biologis, sosial dan ekologi, termasuk hubungan beberapa sistem seperti orang tua dan keluarga, masyarakat, dan budaya (Bronfenbrenner dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Berdasar pada penjelasan mengenai sumber coping, maka beberapa bentuk sumber coping yaitu bermain, dukungan keluarga, kelompok pendukung, pendidikan kesehatan atau konseling, serta lingkungan.

2. Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dalam menjalani Terapi Pengobatan a. Perkembangan Masa Anak-anak

Papalia, Olds, dan Feldman (2009), menyatakan bahwa anak merupakan individu yang berada dalam masa anak-anak pada rentang usia 3-11 tahun sedangkan Hurlock (1980) menyebutkan anak merupakan individu yang berada dalam masa anak-anak pada rentang usia 2-12 tahun.


(38)

Papalia, Olds, dan Feldman (2009), menjelaskan bahwa perkembangan anak muncul dalam tiga ranah perkembangan yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif, serta perkembangan psikososial. Pertumbuhan tubuh dan otak, kapasitas sensoris, keterampilan-keterampilan motorik, serta kesehatan merupakan bagian dari perkembangan fisik, sedangkan perubahan dan stabilitas didalam kemampuan-kemampuan mental, seperti belajar, memperhatikan, mengingat, menggunakan bahasa, berpikir, penalaran, dan kreatifitas membentuk perkembangan kognitif, serta perubahan dan stabilitas didalam emosi, kepribadian, dan hubungan sosial membentuk perkembangan psikososial sehingga dukungan sosial dapat membantu orang-orang mengatasi dampak potensial stres yang negatif pada fisik dan kesehatan mental. Ketiga ranah perkembangan itu saling berhubungan dan memengaruhi satu sama lain.

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980), tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang harus diselesaikan individu pada fase-fase atau periode kehidupan tertentu dan apabila berhasil dicapai maka individu akan berbahagia, tetapi sebaliknya apabila gagal individu akan kecewa dan dicela masyarakat dan perkembangan selanjutnya akan mengalami kesulitan. Papalia, Olds, dan Feldman (2009), menyebutkan tahap perkembangan pada masa anak-anak yang masing-masing memiliki tugas perkembangan yang berbeda, yaitu:

1) Masa anak-anak awal

Papalia, Olds, dan Feldman (2009), menjelaskan masa anak-anak awal (3-6 tahun), mengalami pertumbuhan fisik secara cepat namun lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya. Anak mulai tampak lebih langsing dan atletis sesuai dengan bentuk tubuh anak-anak. Pertumbuhan otot dan rangka terus terjadi sehingga membuat anak menjadi


(39)

24 lebih kuat. Peningkatan kapasitas sistem pernapasan dan sirkulasi tubuh membangun stamina dan sejalan dengan sistem kekebalan yang berkembang, menjadikan anak lebih sehat dari sebelumnya.

Piaget (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), menggambarkan masa anak-anak awal (3-6 tahun) sebagai tahap praoperasional dari perkembangan kognitif karena pada usia ini anak belum siap untuk melakukan operasi mental yang logis. Pada tahap ini ditandai dengan adanya perubahan yang besar dalam penggunaan pemikiran simbolis, atau kemampuan representasi. Anak mengalami kemajuan kognitif pada penggunaan simbol-simbol, pemahaman identitas, pemahaman sebab-akibat, kemampuan mengklasifikasikan, pemahaman terhadap angka, rasa empati serta pemahaman mengenai pikiran. Namun, pada masa ini anak memiliki kecenderungan untuk fokus terhadap satu aspek dari sebuah situasi dan mengabaikan aspek-aspek lainnya atau yang disebut dengan centration. Anak masih bersifat egosentris, yaitu ketidakmampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain.

Anak pada masa anak-anak awal (3-6 tahun), memilih teman bermain dan sahabat yang mirip dengan diri anak dan dengan siapa anak memiliki pengalaman positif sebelumnya. Persepsi diri positif atau negatif anak pada usia lima tahun cenderung dapat meramalkan persepsi diri dan fungsi sosial emosional anak. Perkembangan psikososial meliputi konsep diri dan pemahaman emosi yang menjadi lebih kompleks, meningkatnya kemandirian, inisiatif dan kontrol diri, berkembangnya identitas gender, permainan yang lebih imajinatif, elaboratif dan melibatkan orang lain, berkembangnya sifat menolong, agresif dan ketakutan (Erikson, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun ini biasanya disebut dengan periode prasekolah. Selama masa ini, anak belajar


(40)

semakin mandiri dan menjaga diri sendiri. Anak juga mengembangkan keterampilan kesiapan bersekolah seperti mengikuti perintah, maupun mengidentifikasi huruf. Anak meluangkan waktu berjam-jam untuk bermain dengan teman-teman sebaya. Anak secara umum dikatakan mengkahiri masa anak-anak awal jika telah memasuki kelas satu sekolah dasar (Hurlock, 1980).

Adapun tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh anak pada masa anak-anak awal oleh Havighurst (dalam Hurlock, 1980), yaitu belajar mengendalikan pembuangan kotoran tubuh, mencapai stabilitas fisiologis, membentuk pengertian sederhana tentang realitas fisik dan sosial, belajar kontak perasaan dengan orangtua, keluarga, dan orang lain, belajar mengetahui mana yang benar dan yang salah serta mengembangkan kata hati.

2) Masa anak-anak tengah

Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menjelaskan pertumbuhan selama masa anak-anak tengah (6-11 tahun) sangat lambat, namun anak-anak menghasilkan perubahan yang mengejutkan dimana pada usia enam tahun masih menjadi anak kecil sedangkan pada usia 11 tahun banyak yang mulai menyerupai orang dewasa.

Piaget (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), menjelaskan masa anak-anak tengah (6-11 tahun) anak memasuki tahap operasional konkret, yang merupakan kemampuan kognitif menggunakan berbagai operasi mental, seperti penalaran, memecahkan masalah, berpikir konkret, berpikir dengan logis, berpikir lebih fleksibel dan dapat mempertimbangkan banyak aspek dari situasi. Anak mampu mengklasifikasi serta menghubungkan berbagai hal-hal konkret dan membuat kesimpulan logis. Anak memiliki cara berpikir induktif, tidak berpusat pada diri sendiri dan dapat menerima


(41)

26 perbedaan antara sudut pandang orang lain dengan sudut pandang diri sendiri. Anak memiliki kekhawatiran yang besar terhadap keutuhan secara fisik, menjadi sangat sensitif terhadap segala sesuatu yang mengancam atau indikasi lain yang menyebabkan cedera secara fisik. Anak menilai diri lebih sadar, realistis, seimbang dan komperehensif sebagaimana membentuk sistem representasional yaitu konsep diri yang luas dan inklusif yang mengintegrasikan berbagai aspek diri.

Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), menyatakan bahwa faktor penentu utama harga diri anak pada masa anak-anak tengah (6-11 tahun) adalah pandangan mengenai kemampuan untuk pekerjaan yang produktif. Persoalan yang diselesaikan pada masa anak-anak tengah adalah industry vs inferiority, dimana anak harus mempelajari keterampilan produktif yang diperlukan budaya atau anak akan menghadapi perasaan rendah diri. Anak perlu mempelajari berbagai keterampilan yang bernilai didalam masyarakat. Anak membandingkan kemampuan diri yang dimiliki dengan teman-teman sebaya.

Pada usia tujuh atau delapan tahun, anak menyadari perasaan sendiri, termasuk perasaan malu dan bangga, serta memiliki ide yang lebih jelas mengenai perbedaan antara rasa bersalah dan malu, dan emosi-emosi ini memengaruhi pendapat mengenai diri anak (Harris, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Hurlock (1980) menjelaskan bahwa pada usia 6 - 12 tahun anak mulai mengenal katarsis emosional, yaitu menyalurkan emosi-emosi tidak menyenangkan. Meskipun banyak bentuk katarsis yang digunakan seperti menangis, sibuk bermain, atau tertawa terbahak-bahak, anak akan mempelajarinya dari coba-coba dan bukan melalui bimbingan, sehingga sebelum masa anak-anak berakhir sebagian besar anak telah menemukan bentuk katarsis emosional yang memenuhi kebutuhan anak dan membantu


(42)

anak mengatasi pengendalian emosi seperti yang diharapkan oleh lingkungan atau kelompok sosialnya.

Menurut Havighurts (dalam Hurlock, 1980), perkembangan anak usia 6 – 12 tahun dipandang sebagai periode kritis dalam dorongan berprestasi, yaitu suatu masa dimana anak membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses atau sangat sukses, yang akan menetap hingga dewasa. Periode ini merupakan periode usia penyesuaian diri, suatu masa dimana perhatian utama tertuju pada keinginan diterima oleh teman-teman sebaya sebagai anggota kelompok, oleh karena itu anak ingin menyesuaikan dengan standar yang disetujui kelompok dalam hal penampilan, berbicara dan berperilaku. Anak mengembangkan keterampilan sosial dikelompoknya dengan cara belajar bekerja sama, belajar bersaing, belajar menerima dan melaksanakan tanggung jawab, belajar bersikap sportif, turut berbagi rasa dan belajar berolahraga. Periode ini juga disebut sebagai usia kreatif, suatu masa yang menentukan apakah anak menjadi bersifat meniru atau pencipta karya yang baru dan orisinal. Selain itu, disebut juga usia bermain dilihat dari luasnya minat dan kegiatan bermain. Keberhasilan menyelesaikan tugas dan tanggung jawab meningkatkan kepuasan dan rasa percaya diri. Kondisi kesehatan yang buruk menghalangi anak beraktivitas dengan kelompok sehingga menimbulkan rasa rendah diri dan terbelakang.

Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menyebutkan bahwa masa anak-anak tengah (6-11 tahun) anak secara lazim dapat mengalami enam atau tujuh serangan penyakit flu, selesma atau virus dalam setahun karena pada usia ini bakteri melintas diantara anak-anak di sekolah atau pada saat bermain, dengan demikian pengalaman anak-anak dengan penyakit meningkat begitu pula dengan pemahaman kognitif anak mengenai penyebab kesehatan dan penyakit serta bagaimana orang lain dapat mendukung kesehatan anak.


(43)

28 Piaget (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) juga menyebutkan bahwa sebelum masa anak-anak tengah, anak memiliki sifat egosentris. Anak cenderung meyakini bahwa penyakit timbul secara gaib oleh tindakan manusia, sering kali oleh tindakan anak itu sendiri, tetapi seiring berjalannya masa anak-anak tengah, anak mulai mengembangkan pikiran yaitu melihat bahwa terdapat banyak penyebab penyakit, seperti kontak dengan kuman penyakit tidak langsung menyebabkan sakit, dan bahwa manusia dapat berbuat banyak untuk menjaga kesehatannya.

Havighurst (dalam Hurlock, 1980) menyebutkan beberapa tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa anak-anak tengah, yaitu belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan seperti bermain sepak bola, loncat tali, berenang, belajar pembentukan sikap yang sehat terhadap diri sendiri sebagai makhluk biologis yang sedang tumbuh, belajar bersahabat dengan anak-anak sebaya, belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya, mengembangkan dasar-dasar kecakapan membaca, menulis, dan berhitung, mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, mengembangkan kata hati moralitas, mengembangkan skala nilai-nilai terhadap sesuatu, belajar membebaskan ketergantungan diri atau memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi, mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial dan lembaga-lembaga.

Berdasar pada penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan anak berada pada rentang usia 2-12 tahun yang memiliki tugas perkembangan masing-masing pada ke-tiga ranah perkembangan yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif, serta perkembangan sosial.


(44)

b. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

1) Definisi Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

Leukemia adalah penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, ditandai dengan proliferasi sel-sel darah putih serta gangguan pengaturan leukosit dengan manisfestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi (Permono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2010).

Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah suatu penyakit yang berakibat fatal, dimana sel-sel yang dalam keadaan normal berkembang menjadi limfosit berubah menjadi ganas dan dengan segera menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang (Supandiman, 1997). Leukemia limfoblastik akut disebabkan oleh akumulasi limfoblas di sumsum tulang dan merupakan keganasan tersering pada anak. Leukemia limfoblastik akut menggambarkan infiltrasi sel leukemia ke sumsum tulang (Hoffbrand & Moss, 2011).

Leukemia limfoblastik akut merupakan keganasan sel yang dapat timbul baik pada sel-B, yaitu sel membuat antibody atau pada sel-T, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh. Leukemia B lebih sering terjadi daripada leukemia sel-T dan merupakan bentuk leukemia paling umum pada anak-anak (Hoffbrand & Moss, 2011).

Berdasarkan definisi leukemia limfoblastik akut yang telah dipaparkan diatas, disimpulkan bahwa leukemia limfoblastik akut merupakan penyakit keganasan sel darah yang berakibat fatal dan paling sering ditemui pada anak.


(45)

30 2) Etiologi Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

Bagaimana persisnya mutasi genetik berakumulasi pada keganasan darah belum sepenuhnya diketahui (Hoffbrand & Moss, 2011). Sampai saat ini belum diketahui apa yang menjadi penyebab terjadinya leukemia pada manusia khususnya anak, namun ada beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian leukemia. Hoffbrand dan Moss (2011) menyebutkan latar belakang genetik dan pengaruh lingkungan yang meliputi bahan kimia, obat-obatan, radiasi, infeksi, virus, bakteri, protozoa, konsumsi alkohol, riwayat reproduksi, tingkat ekonomi, serta down syndrome merupakan beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya leukemia.

3) Gambaran Klinis Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

Gambaran klinis leukemia limfoblastik akut (LLA) sangat bervariasi, tetapi pada umumnya timbul secara cepat yaitu dalam beberapa hari sampai minggu. Gambaran klinis LLA dapat dilihat pada (Hoffbrand & Moss, 2011):

a) Kegagalan sumsum tulang seperti anemia yang menyebabkan pucat, letargi, dyspnea, mudah lelah, neutropenia sebagai penyebab terjadinya demam, malaise, gambaran infeksi mulut, tenggorokan, kulit, saluran napas, perianal atau bagian lain, serta syok septik, serta trombositopenia menimbulkan kondisi mudah memar, purpura, gusi berdarah dan menoragia. Apabila kadar trombosit sangat rendah, pendarahan dapat terjadi dengan sangat spontan.

b) Infiltrasi organ seperti nyeri tulang, keringat malam, limfadenopati, splenomegaly moderat, hepatomegaly, sindrom meningen (nyeri kepala, mual, muntah, penglihatan kabur, dan diplopia), papilledema, pendarahan pada fundus, demam, pembengkakan testis, kelainan kulit


(46)

c) Gejala lain seperti leukositosis serebral ditandai oleh sakit kepala dan gangguan visual, leukostasis pulmoner ditandai oleh sesak napas, takhypnea, ronchi dan adanya infiltrasi pada foto rontgen, hiperurikemia yang dapat bermanifestasi sebagai arthritis gout dan batu ginjal, sindrom lisis tumor dapat dijumpai sebelum terapi, terutama pada LLA. Tetapi sindrom lisis tumor lebih sering dijumpai akibat kemoterapi.

Menurut Supandiman (1997), gambaran klinis pada anak ditandai dengan suhu tubuh meningkat secara mendadak, pucat, memar dikulit, nyeri tulang, lemah, berat badan yang tidak bertambah atau nafsu makan yang sangat menurun, terkadang mengalami epistaksis atau pendarahan gusi, tachycardia, serta dapat terjadi pendarahan otak yang berakibat kematian mendadak.

Sel kanker yang mencapai sistem ekstramedular menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, sakit kepala, mual, muntah, edema pupil, kelesuan dan nerve palsy bilateral. Infiltrasi sel kanker ke kelenjar timus diatas dada menyebabkan kompresi saluran napas, batuk serta sesak napas. Pembengkakan pada kepala, leher dan lengan akibat kompresi pembuluh darah disebut juga sindrom vena kava superior. Trombositopenia menyebabkan pendarahan retina atau pendarahan intrakranial, terutama pada anak dengan LLA dengan hiperleukositosis atau sindrom leukositosis. Hiperleukositosis dalam sirkulasi mikro mengganggu sirkulasi intravaskuler, mengakibatkan hiposekmia lokal, kerusakan endotel, pendarahan dan infark, terutama pada sistem saraf pusat dan paru-paru (Longe, 2005). Longe (2005) juga menyatakan bahwa sejak awal diagnosa sampai masa menjalani terapi, anak dengan LLA mengalami efek samping fisik yang tidak menyenangkan seperti mual, muntah, mukositis, pendarahan dan infeksi.


(47)

32 Berdasar pada penjelasan gambaran klinis leukemia limfoblastik akut diatas maka gambaran klinis leukemia limfoblastik akut meliputi kegagalan sumsum tulang, infiltrasi organ, dan gejala lainnya.

4) Terapi Pengobatan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

Pengobatan pada pasien leukemia adalah untuk mengeradikasi sel-sel klonal leukemik dan untuk memulihkan hematopoiesis normal didalam sumsum tulang. Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplet. (Permono, dkk. 2010). Menurut Hoffbrand dan Moss (2011), terapi pada LLA dapat dengan sederhana dibagi menjadi terapi pendukung umum dan terapi khusus, yaitu:

a) Terapi Pendukung Umum

i. Pemasangan katerer vena sentral ii. Pemberian komponen darah iii. Terapi homeostasis

iv. Terapi antiemetic v. Sindrom lisis tumor vi. Terapi psikologis vii.Terapi nutrisi viii. Penanganan nyeri

ix. Pencegahan dan pengobatan infeksi (bakteri, virus, jamur)

Penanganan ini tidak kalah pentingnya dari pengobatan spesifik, dan penanganan ini sebaiknya dilakukan sebelum dan selama pemakaian sitostatika. Pada kunjungan awal penderita biasanya datang dengan anemia dan suhu badan yang tinggi. Usaha pertama yang harus dilakukan adalah menaikkan kadar hemoglobin


(48)

dengan pemberian transfusi darah. Suhu badan yang tinggi umumnya dianggap disebabkan oleh infeksi. Selama mencari penyebab tingginya suhu badan, antibiotika spektrum luas dengan dosis tinggi dapat diberikan kepada pasien. Pencegahan terhadap infeksi dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yang termudah adalah memberikan pengertian pada penderita dan keluarganya agar selalu mencuci tangan, mandi setiap hari dan menghindari kontak dengan orang yang sedang sakit. Selama dalam tahap pengobatan induksi dan intensifikasi pasien menghindari makan buah atau sayur yang mentah maupun makanan lain yang tidak dipasteurisasi (Rivera, dkk, 2003)

b) Terapi Khusus

Kemoterapi dan terkadang radioterapi merupakan terapi khusus untuk LLA dan protokol pengobatan sangatlah kompleks. Pengobatan spesifik menggunakan obat-obat sitostatika dengan tujuan membasmi sel-sel leukemia. Pengobat-obatan LLA meliputi beberapa tahapan yaitu tahap induksi remisi, tahap konsolidasi atau intensifikasi, tahap pengobatan sususan saraf pusat dan tahap rumatan atau lanjutan. Semua anak dengan LLA mendapat pengobatan dalam jangka waktu dua hingga tiga tahun, dengan perkecualian pada leukemia sel B matur hanya memerlukan terapi jangka pendek namun intensif (Hoffbrand & Moss, 2011). Berikut penjelasan singkat mengenai tahapan pengobatan LLA:

i. Induksi Remisi

Dalam tahap ini sitostatika diberikan dengan tujuan memusnahkan semua atau sebanyak mungkin sel leukemia agar terjadi remisi, yaitu terjadi penurunan jumlah sel-sel leukemia sampai tidak terdeteksi secara klinis maupun laboratorium (limfoblas sumsum tulang < 5%) yang ditandai dengan


(49)

34 hilangnya gejala klinis dari penyakit serta gambaran darah tepi menjadi normal (Poplac dkk, 2000). Pengobatan pada fase ini biasanya berlangsung sekitar enam minggu dengan angka remisi rata-rata 97%. Remisi dianggap berhasil bila secara klinis penderita membaik, keadaan hematologis kembali normal dan pada pemeriksaan aspirasi sumsum tulang (bone marrow aspiration – BMA) didapatkan keadaan normoseluler dengan sel blas kurang dari 5% (Sutaryo, Sumadiono, Suhadi, dkk 1999).

ii. Konsolidasi atau Intensifikasi

Segera setelah penderita mengalami pemulihan baik klinis maupun laboratoris dan mencapai remisi komplet, terapi tahap intensifikasi dapat dimulai. Hal ini dilakukan atas dasar penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa apabila terapi dihentikan setelah induksi remisi maka segera terjadi kambuh. Tujuan dari tahap ini adalah menurunkan keberadaan dan menghilangkan sel pokok (stem cell) leukemia (Sutaryo, Sumadiono, Suhadi, dkk 1999).

iii. Pengobatan Susunan Saraf Pusat

Apabila terapi pencegahan pada susunan saraf pusat tidak dilakukan pada pengobatan LLA maka lebih dari 40% anak akan mengalami kambuh susunan saraf pusat (Poplac dkk, 2000).

iv. Rumatan atau Lanjutan

Tidak seperti keganasan lain, pada LLA diperlukan waktu yang panjang untuk mempertahankan kesembuhan. Hal ini dilakukan untuk membunuh sel blas dan memelihara sel sumsum tulang yang normal disamping untuk mempertahankan respons imun penderita. Pada umumnya pengobatan ini


(50)

berlangsung selama dua sampai tiga tahun. Obat-obatan yang dipakai biasanya antimetabolite yang diberikan setiap hari disertai metotreksat dosis mingguan. Pemberian prednisone dan vinkristin juga sering diberikan karena membantu menurunkan angka kambuh (Poplac dkk, 2000).

Berdasarkan pengalaman dan penelitian terdahulu dikatakan bahwa setelah pengobatan rumatan (lanjutan) selama dua tahun, kemoterapi dapat dihentikan apabila setelah pengobatan rumatan (lanjutan) penderita tidak pernah kambuh. Bila setelah itu penderita tetap dalam keadaan remisi selama 4-5 tahun maka dapat dinyatakan sembuh. Tidak selalu pengobatan dapat berhasil sepenuhnya karena dalam tahap pengobatan rumatan atau setelah terapi dihentikan leukemia dapat kambuh. Bila hal ini terjadi maka pengobatan harus dimulai lagi dari tahap awal (Sutaryo, Sumadiono, Suhadi, dkk 1999).

Berdasar pada penjelasan mengenai terapi pengobatan leukemia limfoblastik akut maka terapi pengobatan leukemia limfoblastik akut terdiri dari terapi pendukung umum dan terapi khusus.

5) Efek Samping Terapi Pengobatan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

Mia, Ugrasena dan Permono (2006) menerangkan bahwa nafsu makan dapat menurun akibat terapi LLA pada anak. Mual serta muntah merupakan efek samping yang disebabkan oleh kemoterapi dan radioterapi, terutama oleh kemoterapi. LLA menimbulkan keterbatasan pada aktivitas sehari-hari anak. Hal ini disebabkan karena pengaruh penyakit serta efek samping pengobatan (James & Ashwill, 2007). Efek samping pemberian sitarabin menyebabkan mialgia, nyeri tulang dan sendi (Mia, Ugrasena, & Permono, 2006).


(51)

36 Hasil penelitian case control yang dilakukan oleh Noll, dkk (1999) pada anak penderita kanker dan bukan penderita kanker, ditemukan bahwa anak dengan kanker secara signifikan memiliki kemampuan olah fisik yang lebih rendah dari pada anak normal. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya aktivitas dan bermain anak. Hockenberry dan Wilson (2009) berpendapat bahwa aktivitas dan bermain pada anak merupakan bagian dari ekplorasi lingkungan yang dapat mengembangkan kemampuan anak. Bermain bagi anak berfungsi untuk meningkatkan perkembangan sensorimotorik, intelektual, sosialisasi, kreativitas, kesadaran diri dan nilai moral.

Kemoterapi sangat berperan karena berhasil meningkatkan angka kesembuhan anak dengan penyakit kanker. Efek samping umum kemoterapi adalah anemia, pucat, kelelahan, sesak napas, pendarahan, memar, meningkatkan risiko infeksi, mual, muntah dan sindrom lisis. Faktor yang menentukan pengobatan mencakup usia, jenis kelamin, dan jumlah sel darah putih. Pada beberapa penyakit diharapkan dapat memusnahkan tumor secara menyeluruh dan secara perlahan meningkatkan derajat pengobatan untuk keganasan hematologi (Hoffbrand & Moss, 2011).

Efek samping pengobatan LLA pada anak juga menimbulkan perubahan pada penampilan fisik anak berupa moon face dan alopesia. Moon face merupakan efek samping dari pengobatan steroid yang menyertai kemoterapi. Moon face disebabkan karena peningkatan deposit lemak yang abnormal pada wajah. Selain pada wajah, juga terjadi penimbunan lemak pada daerah supraklavikular dan belakang leher serta pengecilan ukuran ekstremitas. Alopesia juga merupakan efek samping yang dapat ditimbulkan akibat pemberian kemoterapi pada anak. Alopesia merupakan efek samping dari pemberian kemoterapi adriamisin (Mia, Ugrasena, & Permono, 2006). Anak dapat mengalami kemunduran psikososial karena takut akan penampilannya atau kemampuan


(52)

fisiknya sehingga hal ini dapat memengaruhi perkembangan interaksi sosial dan kemandirian anak (James & Ashwill, 2007). Perubahan emosi, mulai dari perasaan baik, euforia sampai depresi dan iritabilitas juga sering terjadi pada anak setelah pemberian terapi steroid (Hockenberry & Wilson, 2009).

Berdasar pada penjelasan mengenai efek samping terapi pengobatan leukemia limfoblastik akut, maka beberapa efek samping terapi pengobatan leukemia limfoblastik akut yaitu menurunnya nafsu makan, mual, muntah, myalgia, nyeri tulang dan sendi, kemampuan fisik lebih rendah dari anak normal, pucat, kelelahan, sesak napas, moon face dan juga alopesia.

B. Perspektif Teoretis

Perspektif teoretis dalam penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi anak yang menderita leukemia limfoblastik akut (LLA), yang sedang menjalani terapi pengobatan. Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah suatu penyakit yang berakibat fatal, yaitu sel-sel yang dalam keadaan normal berkembang menjadi limfosit berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang (Supandiman, 1997). Terapi pengobatan pada LLA dilakukan dalam jangka waktu yang lama, yaitu sekitar dua sampai tiga tahun (Jones dalam Faozi, 2010). Selain itu, pengobatan anak dengan LLA dilakukan dengan berbagai prosedur terapi, seperti terapi pendukung umum dan terapi khusus dimana terdiri dari empat tahap terapi pengobatan (Hoffbrand & Moss, 2011). Pengobatan LLA pada anak menimbulkan berbagai efek samping yang dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak (Mia, Ugrasena, & Permono, 2006).

Anak memiliki tugas perkembangan yang diharapkan dapat dipenuhi selama masa anak-anak. Anak membutuhkan situasi dan kondisi fisik, psikologis dan sosial yang baik untuk


(1)

R: terus hasilnya dijual yaa bu

E: enggaa itu biasanya kan ada orang sewa ada yang sewa-sewa nanti kasi uang begitu R: oo iyaa di sewakan yaa bu

E: iyaa dulu kan masih murah 10 ribu satu lembar kain ituu R: sekarang udah mahal

E: bisa tiga hari empat hari baru habis R: oo selesainya

E: iya selesainyaa R: oo cukup lama yaa bu E: iya tiga hari empat hari

(E2 mengajak R untuk mewarnai)

R: kalau sekarang udah berapa harganya itu bu E: sudah mahal sampai ratusan juta kalau dijual itu R: wah iyaa mahal sekalii yaa bu

E: iyaa

R: sampai sekarang masih ibu?

E: kalau sekarang udah saya engga itu lagi ga tenun lagii R: oo gituu

(kembali mewarnai bersama R)

E: phnya amb kurangg jadi harus minum obat dulu E2: haduh berapa obatnyaa

R: minum obat dulu yaaa E2: ga mauuu (nada ketakutan) R: ayoo kenapa gamau minum obat E2: pahitt

R: oo pahit yaa jangan diginiin langsung telen aja dia amb pasti bisaaa ilang deh dia.. E2: aaa ilang deh dia

R: giniin aja langsung minum air ga terasa deh (mencontohkan) E2: hmm air dulu lama dulu baru minum nanti muntah

R: iyaaa hehhe

(E2 mengambil air dan obat, mencoba meminum pelan-pelan) R: wah sudah diminum obatnya

E2: sudah ahahah (keluar air mata seperti mau muntah) R: wih hebaat

E2: masih ada lagii kakak j angan liat

R: oo iya yaa kakak ga liat kakak warnain ini ajaa (E2 meminum obat selanjutnya)

R: selain nenun biasanya ngapain dirumah bu? E: menari duluu

E2: ihiii coicoicoi (bersenandung) R: oo menarii

E: iyaa hehe nari sumba R: oo iya iya iyaa

E2: jeng jeng jeng (bersenandung) R: hehe amb bisa nari sumba gaa E2: bisaaa kalau nari bali ga bisa akuu R: hii pinter

E: kalau ada tam utu ada turis kan biasa ke sumba toh kami ada kepala sanggarnya jadi kami menari dapat uang


(2)

E: yaa kalau ada yaa bisa ajaa hehe pernah ada dulu ke Jakarta menarinyaa R: oh yaa wah ho oo

E: iyaa he e itu langsung pameran kain sumba itu di pondok indah mall R: oooo

E: he ee

R: rame-rame berarti yaa

E: he e hanya dua orang saja yang menari saya dengan teman saja R: wah hebaat mama

E2: aku juga hebat bilang dong kakak R: iya donggg amb hebaat

E: trus sempat dikasi liat ke taman mini dikasi naik kereta itu kereta gantung yang diatas ituu hehehe R: wah iya iyaa

E: hehe liat rumah–rumah adat R: hebat yaa

E: he ee

R: itu kapan bu ingat tidak bu E: itu tahun 85

R: wah kakak belum lahir lo hehe E: oo kakak lahir tahun berapa R: 95

E: oo 95.. ini makan dulu permennya

R: oo abis makan obat langsung mam permen yaa E: iyaa supaya ga muntah ituu rasanya

E2: iyaa hadooo hadooo pahitnyaa eee E: engga pahit ituu

E2: pahitt mama belum rasa R: hehe

E2: coba dimakan

R: langsung giniin (mencontohkan) lupa deh (E2 mencoba minum obat)

R: yaaayy

E2: belummm hehehe jadinya nangis inii (malu-malu) R: hoho enggaaa pahit skali yaa

E2: iyaa

R: amb hebat looo E: hiii giginya jelek E2: aaaa

R: enggaaa hehe

Ini minum lagi minum lagii (E2 minum lagii)

R: amb makan dulu amb E2: udaah

R: aa sudah makan yaa makan apa tadii

E2: yang kakak belum datang sudah makan tadiii R: ooh iyaa

E: dapat makan disinii ituu R: o yaa dapat makan yaaa

E2: mamak udahh (menyerahkan botol minum) E: lagi satu ajaa itu obatnya ayyo langsung minum E2: habiss


(3)

E2: belum naikk hehe abis naik turun lagi ga pernah di delapan hehehe E: yang penting di tujuu

R: yang penting normal di tujuu E: harus kuat minumnya

R: amb sudah kuat minum belum

E2: sudah kuat minumnya tapi tetep aja turunn (dengan nada pasrah) R: hho gituuu berarti harus lebih kuat lagi yaa

E: harus kuat minum supaya ga sariawan jugaa R: oh iya yaa supaya ga sariawan

E: he ee tapi dia ga ada ini kalo masuk obat ada rasa muntah muntah itu E2: saya sariawannya di pinggir-pinggir bukan di lidah

R: oo gituu baguss..dipinggir-pinggir yaa E: he ee tapi dikit dikit ajaa..

E2: pahit jadinyaa.. kakak gambar lagii

R: gambar lagii tapi tunggu itu dulu tunggu ambnya minum obaat E2: ehehehe kalo ga minum kakaknya ga gambar

R: iyaaa hehe semangat amb permennya sudah menungguu E: iya ini permennya langsung minum airnyaa

(E2 meminum obat) R: wih ini baru hebat

E2: ga hebat bodo ambnya ga minum air banyaak pee apa tadi apa yang turun tadi R: ph

E2: phnya turun

R: iya tidak apa-apa berarti besok lebih banyak lagi yaa E2: iyaaa.. kalau dapet dexa baru banyak minum R: oo

E: banyak makan

E2: banyak makan sampai pipinya macam rumah ituu R: aahihihii ambnya tau begitu yaa buy aa

E: hehe iyaaa

R: obatnya segala macem gituu E: oya iyaa tau obat-obatnyaa

E2: obatnya aidos, lecoporin, ini apa lagi R: apa lagi

E2: apa lagi namanya satu vincristine, donorubisin ee apa lagi yaa R: wiih hebaat apa lagii

E2: eee

E: udah itu ajaa

R: wih hebat loo nanti jadi dokter mau gaa sekarang udah hafal nama obat-obaat E2: eem apa lagii hehehe kalau obat yang ee dimasukin dari belakang itu obat apaa? R: eem MTXnya itu?

E2: iyaa obat apaa? R: apa itu yaaa

E2: obat apa itu di taruh E: MTX IT

R: oo MTX IT kata mama besok amb tanya sama dokternya yaa

E2: nama obatnya MTX IT? Obat apa itu MTX IT hahaha gada obat kayak gitu disumba R: hehe iyaa makanya kesini ambnya yaa

E2: iyaa

E: enam kali sudah di MTX


(4)

R: ibu agama Kristen yaa bu E: iyaa

R: kalau ke gerejanya bagaimana bu? E2: keristen

E: yaa kalau ada itu ibu gurunya jemput ikut kesana E2: mama coba foto sama kakak

E: oh sama kakak iyaa


(5)

Responden I (KD)

accepting

responsibility

assistance seeking

direct action

emotional approach

behavioral

disengagement

denial

Responden II (AMB)

accepting

responsibility

assistance seeking

direct action

emotional approach

behavioral

disengagement

self control

humor

wishful thinking

self criticism

PENGKODEAN BERPILIH

(SELECTIVE CODING)

Anak dengan LLA

Latar Belakang

Responden

Gejala Klinis LLA

Respon dan

Kondisi

Responden


(6)

109


Dokumen yang terkait

Angka Kejadian Mukositis Oral pada Anak Menderita Leukemia Limfoblastik Akut yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Haji Adam Malik Medan

4 70 42

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. A DENGAN LEUKIMIA LIMFOBLASTIK AKUT DI RUANG MELATI II Asuhan Keperawatan Pada An. A Dengan Leukimia Limfoblastik Akut Di Ruang Melati II Rumah Sakit Dr. Moewardi.

0 2 16

ASUH Asuhan Keperawatan Pada An. A Dengan Leukimia Limfoblastik Akut Di Ruang Melati II Rumah Sakit Dr. Moewardi.

0 3 14

Hubungan Status Nutrisi Awal Dengan Kejadian Demam Neutropenia Pada Pasien Leukemia Limfoblastik Akut Anak Yang Menjalani Kemoterapi Fase Induksi.

0 0 2

Angka Kejadian Mukositis Oral pada Anak Menderita Leukemia Limfoblastik Akut yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 5

Angka Kejadian Mukositis Oral pada Anak Menderita Leukemia Limfoblastik Akut yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 7

Angka Kejadian Mukositis Oral pada Anak Menderita Leukemia Limfoblastik Akut yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 2

Angka Kejadian Mukositis Oral pada Anak Menderita Leukemia Limfoblastik Akut yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 3

MOTIVASI, HAMBATAN DAN STRATEGI ORANGTUA KELUARGA MISKIN DALAM MERAWAT ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT (LLA)

0 0 15

Evaluasi DRP (Drug Related Problem) peresepan pengobatan kemoterapi pada pasien leukimia tipe LLA (Leukimia Limfoblastik Akut) pada fase induksi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2008 - USD Repository

1 1 118