Uji daya antibakteri minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella Java Oil) terhadap bakteri Porphyromonas gingivalis penyebab gingivitis.

(1)

i

UJI DAYA ANTIBAKTERI MINYAK ATSIRI SERAI WANGI JAWA (Citronella Java Oil) TERHADAP BAKTERI Porphyromonas gingivalis PENYEBAB GINGIVITIS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh: Johanes Putra Wicaksono

NIM : 098114010

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

ii

Persetujuan Pembimbing

UJI DAYA ANTIBAKTERI MINYAK ATSIRI SERAI WANGI JAWA (Citronella Java Oil) TERHADAP BAKTERI Porphyromonas gingivalis PENYEBAB GINGIVITIS

Skripsi yang diajukan oleh : Johanes Putra Wicaksono

NIM : 098114010

telah disetujui oleh:

Pembimbing Utama


(3)

iii

Pengesahan Skripsi Berjudul

UJI DAYA ANTIBAKTERI MINYAK ATSIRI SERAI WANGI JAWA (Citronella Java Oil) TERHADAP BAKTERI Porphyromonas gingivalis PENYEBAB GINGIVITIS

Oleh:

Johanes Putra Wicaksono NIM: 098114010

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Pada tanggal : 10 Juni 2013

Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Dekan

Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. Panitia Penguji:

Tanda tangan

1. Agustina Setiawati, M.Sc., Apt. ………

2. Jeffry Julianus, M.Si. ………


(4)

iv

Kupersembahkan karya ini kepada : Nenek, Papa, Mama, dan Kakak tercinta Elisabeth Raras Pramudita R. Seluruh teman perjuangan penelitian Pembimbingku Ibu Agustina Setiawati Almamaterku Universitas Sanata Dharma


(5)

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Johanes Putra Wicaksono

Nomor mahasiswa : 098114010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul:

UJI DAYA ANTIBAKTERI MINYAK ATSIRI SERAI WANGI JAWA (Citronella Java Oil) TERHADAP BAKTERI Porphyromonas gingivalis PENYEBAB GINGIVITIS Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada), dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 22 April 2013 Yang menyatakan


(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana karya ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yogyakarta, 22 April 2013 Penulis


(7)

vii PRAKATA

Penulis sungguh mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan berkat, rahmat, dan kehendak-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Uji Daya Antibakteri Minyak Atsiri Serai Wangi Jawa (Citronella Java Oil) terhadap Bakteri Porpyromonas gingivalis Penyebab Gingivitis” dengan baik.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini terutama bantuan dalam pemberian semangat. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt. selaku Dosen Pembimbing yang selalu memberikan bimbingan, saran, dan evaluasi dengan baik kepada penulis sejak awal penyusunan proposal hingga penyusunan skripsi.

3. Bapak Jeffry Julianus, M.Si. selaku Dosen Penguji yang memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.

4. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku Dosen Penguji yang memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.

5. Ibu Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si. yang selalu memberikan bantuan dalam penjelasan mengenai mikrobiologi.

6. Segenap dosen Fakultas Farmasi Sanata Dharma yang telah mengajarkan dan membagikan ilmu kepada penulis.


(8)

viii

7. Nenek yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

8. Papa, Mama, dan Kakak yang selalu memberikan bantuan berupa dukungan dan doa.

9. Elisabeth Raras Pramudita R. yang selalu setia menemani dan membantu dalam setiap langkah penelitian dan penyusunan skripsi.

10.Teman-teman kelompok penelitian (Wanda Indriani Wibowo, Hermawan Deny Prasetyo, dan Bernadetta Arum Wijayanti) yang saling membantu dan memberi semangat hingga selesainya penulisan skripsi ini.

11.Pak Mukmin, Pak Wagiran, Pak Heru, Pak Parlan, dan Mas Bimo serta seluruh laboran yang membantu dalam penyelesaian penelitian.

12.Pak Sigit, Mas Andi, dan Mba Evina yang selalu membantu dalam menyediakan alat dan bahan penelitian di Laboratorium Balai Kesehatan Yogyakarta.

13.Teman-teman kelas FSM A 2009 dan FST A 2009 serta teman-teman angkatan 2009 yang lain atas dukungan, kenangan dan kebersamaan selama masa perkuliahan dan penyusunan skripsi.

14.Semua pihak yang penulis tidak dapat sebutkan satu per satu dalam memberikan bantuan, baik bantuan secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi yang dibuat memiliki keterbatasan-keterbatasan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan penulis di masa yang akan datang dan demi


(9)

ix

membangun skripsi ini menjadi lebih baik. Akhir kata, penulis berharap agar skripsi yang telah dibuat ini dapat berguna dan memberikan pengetahuan bagi para pembaca, khususnya demi kemajuan pengetahuan dalam bidang ilmu Farmasi.


(10)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAMAN PERSEMBAHAN iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi

PRAKATA vii

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

INTISARI xvii

ABSTRACT xviii

BAB I (PENGANTAR) 1

A.Latar Belakang 1

1. Perumusan masalah 3

2. Keaslian penelitian 3

3. Manfaat penelitian 4

B. Tujuan Penelitian 4

BAB II (PENELAAHAN PUSTAKA) 5


(11)

xi

B. Porphyromonas gingivalis 8

1. Klasifikasi 8

2. Patogenesis 9

C.Plak Gigi 10

D.Gingivitis 13

E. Uji Potensi Antibakteri 16

1. Metode difusi sumuran agar 16

2. Metode dilusi 17

F. Gas Chromatography-Mass Spectrometri (GC-MS) 18

1. Gas pembawa 19

2. Sistem injeksi 19

3. Kolom 19

4. Fase diam 20

5. Suhu 20

6. Detektor 21

G.Landasan Teori 22

H.Hipotesis 23

BAB III (METODOLOGI PENELITIAN) 25

A.Jenis dan Rancangan Penelitian 25

B. Variabel dan Definisi Operasional 25

1. Variabel penelitian 25

2. Definisi operasional 26


(12)

xii

D.Alat penelitian 27

E. Tata Cara Penelitian 28

1. Karakterisasi minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella Java Oil) 28 2. Uji daya antibakteri minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella Java

Oil) terhadap Porphyromonas gingivalis dengan metode

difusi sumuran 29

3. Penentuan KHM dan KBM minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella Java Oil) terhadap Porphyromonas gingivalis dengan

metode dilusi padat 31

4. Identifikasi komponen minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella

Java Oil) menggunakan GC-MS 32

F. Analisis Data 33

BAB IV (HASIL DAN PEMBAHASAN) 34

A.Karakterisasi Minyak Atsiri Serai Wangi Jawa (Citronella Java Oil) 34 1. Pemeriksaan organoleptis minyak atsiri serai wangi Jawa 34 2. Pengukuran nilai bobot jenis minyak atsiri serai wangi Jawa 35 3. Pengukuran indeks bias minyak atsiri serai wangi Jawa 35 B. Uji Daya Antibakteri Minyak Atsiri Serai Wangi Jawa (Citronella Java

Oil) terhadap Porphyromonas gingivalis dengan

Metode Difusi Sumuran 37

C.Penentuan KHM dan KBM Minyak Atsiri Serai Wangi Jawa (Citronella Java Oil) terhadap Porphyromonas gingivalis dengan Metode Dilusi Padat 43


(13)

xiii

D.Identifikasi Komponen Minyak Atsiri Serai Wangi Jawa (Citronella

Java Oil) menggunakan GC-MS 46

BAB V ( KESIMPULAN DAN SARAN) 48

A.Kesimpulan 48

B. Saran 48

DAFTAR PUSTAKA 49

LAMPIRAN 54


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Pemeriksaan organoleptis minyak atsiri serai wangi Jawa 34 Tabel II. Pengukuran nilai bobot jenis minyak atsiri serai wangi Jawa 35 Tabel III. Pengukuran nilai indeks bias minyak atsiri serai wangi Jawa 36 Tabel IV. Diameter zona hambat minyak atsiri serai wangi Jawa terhadap

Porphyromonas gingivalis dengan metode difusi sumuran 40 Tabel V. Hasil analisis statistik uji Wilcoxon pada pengujian daya

antibakteri minyak atsiri serai wangi Jawa terhadap

Porphyromonas gingivalis dengan metode difusi sumuran 42 Tabel VI. Hasil uji daya antibakteri dengan metode dilusi padat 44 Tabel VII. Identifikasi komponen minyak atsiri serai wangi Jawa 47


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Struktur sitronelal (A), sitronelol (B), geraniol (C) 6 Gambar 2. Morfologi koloni Porphyromonas gingivalis 8 Gambar 3. Konsentrasi 4% sebagai KBM (A), konsentrasi 2% sebagai

KHM (B) 45


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Certificate of Analysis (CoA) 54

Lampiran 2. Porphyromonas gingivalis ATCC 33277 55 Lampiran 3. Karakterisasi Minyak Atsiri Serai Wangi Jawa 56 Lampiran 4. Uji Daya Antibakteri Minyak Atsiri Serai Wangi Jawa (Citronella

Java Oil) terhadap Porphyromonas gingivalis dengan Metode

Difusi Sumuran 58

Lampiran 5. Statistik Uji Normalitas Shapiro-Wilk 65 Lampiran 6. Statistik Uji Keberbedabermaknaan Kruskal-Wallis 68 Lampiran 7. Statistik Uji Keberbedabermaknaan Wilcoxon 69 Lampiran 8. Penentuan KHM dan KBM Minyak Atsiri Serai Wangi Jawa

terhadap Porphyromonas gingivalis dengan Metode

Dilusi Padat 92

Lampiran 9. Identifikasi Komponen Minyak Atsiri Serai Wangi Jawa


(17)

xvii INTISARI

Gingivitis merupakan penyakit umum yang ditemukan dalam jaringan mulut dan dapat menyerang anak-anak dan orang dewasa. Gingivitis disebabkan oleh ketidakteraturan menyikat gigi sehingga muncul plak sebagai tempat berkembangnya Porphyromonas gingivalis. Berdasarkan penelitian oleh Jardim dkk. (2010), P.gingivalis sudah resisten terhadap obat golongan β-laktam, aminoglikosida, kloramfenikol, tetrasiklin, quinolon, dan rifampin. Oleh karena itu, dilakukan penelitian menggunakan minyak atsiri serai wangi Jawa sebagai alternatif antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan P.gingivalis.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola satu arah. Penelitian ini menguji daya antibakteri minyak atsiri serai wangi Jawa terhadap bakteri P.gingivalis dengan menggunakan metode difusi sumuran dilanjutkan dilusi padat. Hasil pengujian metode difusi sumuran berupa zona hambat dianalisis menggunakan uji Shapiro-Wilk, uji Kruskal-Wallis, dan uji Wilcoxon. Kemudian pengujian metode dilusi padat untuk mencari konsentrasi terendah yang dapat membunuh dan menghambat bakteri yang dianalisis secara eksploratif-deskriptif. Pengujian dilanjutkan dengan identifikasi komponen minyak atsiri menggunakan GC-MS.

Hasil dari pengujian terdapat daya antibakteri dari minyak atsiri serai wangi Jawa dengan nilai KHM sebesar 2% dan nilai KBM sebesar 4% serta memiliki 8 komponen yang sesuai dengan literatur yaitu sitronelal, sitronelol, geraniol, linalool, isopulegol, sitronelil asetat, geranil asetat, dan eugenol. berdasarkan hasil analisis GC-MS.

Kata kunci : minyak atsiri serai wangi Jawa, Porphyromonas gingivalis, GC-MS, Kadar Hambat Minimum (KHM), Kadar Bunuh Minimum (KBM)


(18)

xviii

ABSTRACT

Gingivitis is a general disease found in the tissues of the mouth and can attacks childrens and adults. Gingivitis is caused by irregularity in brushing teeth so it appeared whack as a place of flourishing Porphyromonas gingivalis. Based on research by Jardim et al. (2010), P.gingivalis already resistant to the drug β -lactams, aminoglycosides, chloramphenikol, tetracycline, quinolones, and rifampin. Therefore, research using Citronella Java Oil as an alternative to inhibit the growth of P.gingivalis.

This research uses pure experimental methods completely randomized design one-way pattern. The research examined antibacterial potency against P.gingivalis using well diffusion and solid dilution methods. The results of well diffusion method is inhibition zone which was analyzed using the Shapiro-Wilk test, Kruskal-Wallis test, and Wilcoxon test. Test of solid dilution method to find the lowest concentration that can kill and inhibit bacteria which were analyzed explorative-descriptive. Testing continued with the identification components of essential oils using GC-MS.

The results of the tests are indicating antibacterial potency of citronella essential oil with MIC 2% and MBC 4% and and has 8 components in accordance with the literature which are citronellal, citronellol, geraniol, linalool, isopulegol, sitronelil acetate, acetic geranil, and eugenol based on GC-MS analysis.

Keyword : Citronella Java Oil, Porphyromonas gingivalis, GC-MS, Minimum Inhibitory Concentration (MIC), Minimum Bactericidal Concentration (MBC)


(19)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Penyakit infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikoorganisme seperti bakteri, virus, dan parasit (WHO, 2013). Salah satu penyakit infeksi yang kerap terjadi yaitu penyakit infeksi pada mulut. Banyak mikroorganisme yang dapat menjadi penyebab dari penyakit infeksi mulut dan salah satunya yaitu bakteri Porphyromonas gingivalis penyebab penyakit gingivitis. Menurut WHO (1978) (cit., Nubatonis, 2002), penyakit gingivitis dialami oleh 80% anak usia muda dan hampir semua populasi dewasa pernah mengalami gingivitis dan periodontitis. Selain itu, menurut US Census Bureau (2004) (cit., Praptiwi, 2009), gingivitis memiliki angka insidensi terkalkulasi sebesar 2,1% untuk Indonesia.

Gingivitis merupakan penyakit periodontal stadium awal, termasuk penyakit paling umum yang sering ditemukan pada jaringan mulut (Julianti dkk., 2008). Sudah banyak penelitian mengenai prevalensi periodontitis di seluruh dunia dan pernah disimpulkan oleh WHO (1978) (cit., Nubatonis, 2002). Gingivitis ini bisa menyerang anak-anak dan juga orang dewasa. Penyebab gingivitis adalah karena tidak teratur dalam membersihkan gigi sehingga muncul plak gigi yang dapat menjadi tempat berkembangnya Porphyromonas gingivalis. Pengobatan penyakit gingivitis ini secara umum menggunakan ampisilin dan amoksisilin (Jardim, Marqueti, Faverani, dan Jardim Junior, 2010). Berdasarkan


(20)

penelitian yang dilakukan Jardim dkk. (2010), bakteri Porphyromonas gingivalis sudah resisten terhadap golongan obat β-laktam, aminoglikosida, kloramfenikol, tetrasiklin, quinolon, dan rifampin. Selain itu, dari penelitian Eick, Schmitt, Sachse, Schmidt, Pfister (2004), menyatakan bahwa hasil dari bakteri Porphyromonas gingivalis yang diberi obat floroquinolon juga menunjukkan adanya penurunan sensitivitas dari obat tersebut. Adanya resistensi antibiotik ini perlu ditangani lebih lanjut, maka dari itu perlu adanya penelitian skrining bahan alam sehingga didapatkan alternatif antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan dari bakteri Porphyromonas gingivalis.

Serai wangi merupakan salah satu tanaman obat tradisional yang sering digunakan. Minyak atsiri serai wangi Jawa diketahui memiliki kemampuan sebagai antiinflamasi, antiseptik/antibakteri, perangsang selera makan, deodorant, ekspektoran, dan karminatif (Yuliani, 2012). Minyak atsiri serai wangi Jawa telah terbukti menghambat pertumbuhan bakteri. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, minyak atsiri serai wangi Jawa mampu menghambat pertumbuhan dari bakteri Propionibacterium acnes (Lertsatitthanakorn, Taweechaisupapong, Arunyanart, Aromdee dan Khunkitti, 2010) dan Staphylococcus aureus (Diaz, Rossi, Mendonça, Silva, Ribon, Aguilar, dkk., 2010). Jadi, minyak atsiri serai wangi Jawa diperkirakan berpotensi dalam menghambat pertumbuhan Porphyromonas gingivalis.

Penelitian uji daya antibakteri minyak atsiri serai wangi Jawa terhadap bakteri Porphyromonas gingivalis perlu dilakukan sebagai alternatif untuk dapat menghambat pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis. Penelitian ini


(21)

menggunakan metode difusi sumuran dilanjutkan dengan dilusi padat. Komponen-komponen dalam minyak atsiri juga diidentifikasi dalam penelitian ini dengan menggunakan GC-MS.

1. Perumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka muncul permasalahan sebagai berikut : a. Apakah minyak atsiri serai wangi Jawa memiliki daya antibakteri terhadap

Porphyromonas gingivalis?

b. Berapa Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) dari minyak atsiri serai wangi Jawa terhadap bakteri Porphyromonas gingivalis penyebab gingivitis?

c. Apa sajakah komponen-komponen yang terkandung dalam minyak atsiri serai wangi Jawa berdasarkan hasil analisis GC-MS?

2. Keaslian penelitian

Penelitian dengan judul “Uji Daya Antibakteri Minyak Atsiri Serai Wangi Jawa (Citronella Java Oil) terhadap Bakteri Porphyromonas gingivalis Penyebab Gingivitis” belum pernah dilakukan. Penelitian sebelumnya yang berkaitan : Potensi Ekstrak Sereh Wangi (Cymbopogon nardus L.) sebagai Anti Streptococcus mutans oleh Suprianto (2008), dan Essential Oils of Cymbopogon sp. in the Control of Foodborne Pathogenic Bacteria oleh Brugnera, Oliveira, Piccoli (2011).


(22)

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan pengembangan mengenai khasiat antibakteri dari minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella Java Oil).

b. Manfaat praktis. Diharapkan masyarakat dapat menggunakan minyak atsiri serai wangi Jawa atau mengembangkannya menjadi produk sediaan untuk mencegah gingivitis.

B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Mengetahui bahwa minyak atsiri serai wangi Jawa memiliki daya antibakteri terhadap Porphyromonas gingivalis.

2. Mengetahui Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) dari minyak atsiri serai wangi Jawa terhadap bakteri Porphyromonas gingivalis penyebab gingivitis.

3. Mengetahui komponen-komponen yang terkandung dalam minyak atsiri serai wangi Jawa berdasarkan hasil analisis GC-MS.


(23)

5 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Minyak Atsiri Serai Wangi Jawa (Citronella Java Oil)

Minyak atsiri serai wangi Jawa merupakan minyak atsiri yang berasal dari tanaman serai wangi mahapengiri (Cymbopogon winterianus Jowitt). Minyak serai wangi bersifat mudah menguap, dapat larut dalam 3 bagian volume alkohol 80% tetapi bila diencerkan kelarutannya berkurang dan larutan menjadi keruh (Widiastuti, 2012). Minyak atsiri serai wangi Jawa menurut EOA (Essential Oil Association) USA No.14 (cit., Panda, 2003) memiliki berat jenis �2525 : 0,877 – 0,893; indeks bias (nD20): 1,466 – 1,473; warna: kuning muda – kuning.

Minyak serai wangi bersifat menenangkan, menyegarkan dan mempertajam pikiran, dapat digunakan sebagai penolak serangga, untuk perawatan kulit, dan sebagai obat urut (Widiastuti, 2012), serta dapat untuk bahan parfum, sabun, pasta gigi, kosmetik, antiinflamasi, antiseptik/antibakteri, perangsang selera makan, deodorant, dan ekspektoran (Yuliani, 2012).

Minyak sereh asal Jawa mengandung komponen sebagai berikut : sitronelal 32 – 45%, geraniol 12 – 18%, sitronelol 11 – 15%, geranil asetat 3 - 8%, sitronelil asetat 2 – 4%, α-cetane, cubebene, calaminene, bourbonene, bisaotene, eugenol, metil eugenol, isopulegol, nerol, linalool, sitral, metil heptenone myrcene

dan α-pinene (EOA USA No.14 (cit., Panda, 2003)). Minyak sereh mengandung 3 komponen utama, sitronelal, sitronelol, dan geraniol, serta senyawa ester dari


(24)

geraniol dan sitronelol. Senyawa-senyawa tersebut merupakan bahan dasar yang digunakan dalam produk farmasi (Sastrohamidjojo, 2004).

(A) (B)

(C)

Gambar 1. Struktur sitronelal (A), sitronelol (B), geraniol (C) (NCBI, 2009) Senyawa penting dalam minyak serai wangi adalah persenyawaan aldehid dengan nama sitronelal dan persenyawaan alkohol disebut geraniol. Kadar sitronelal dan geraniol sangat menentukan mutu minyak serai wangi. Sitronelal, geraniol dan sitronelol mempunyai ikatan rangkap. Mengingat adanya ikatan rangkap pada senyawa-senyawa di dalam minyak serai wangi, maka penyebab kerusakan atau penurunan mutu minyak serai wangi disebabkan oleh adanya proses oksidasi dan polimerisasi (resinifikasi). Proses oksidasi dapat menyebabkan perubahan bau dan warna serta menurunkan jumlah geraniol, sitronelal, dan sitronelol. Proses resinifikasi akan menyebabkan minyak serai wangi terlihat keruh. Selain itu, penurunan mutu minyak serai wangi juga dapat disebabkan karena reaksi hidrolisis senyawa ester yang terdapat di dalam minyak serai wangi, seperti senyawa geranial asetat, sitronelil asetat, dan linalil asetat. Hidrolisis senyawa ester akan menimbulkan bau yang tidak enak karena terjadi pembentukan asam-asam organik berantai karbon lebih pendek (Widiastuti, 2012).


(25)

Menurut Lertsatitthanakorn, Taweechaisupapong, Arunyanart, Aromdee, Khunkitti (2010), sitronelal termasuk dalam monoterpen aldehid; geraniol, sitronelol, linalool dan isopulegol termasuk dalam monoterpen alkohol; sitronelil asetat dan geranil asetat termasuk dalam monoterpen ester. Menurut Sikkema (1994), terpen berefek toksik pada fungsi dan struktur membran bakteri dimana sifat lipofilik terpen berikatan dengan fosfolipid bilayer dan memisahkan dari fase airnya. Kemudian membran mengembang dan meningkatkan ketidakstabilan membran serta permeabilitas membran sehingga terjadi kebocoran komponen intraselular.

Geraniol dan sitronelol merupakan senyawa alkohol. Senyawa alkohol dapat menyebabkan terjadinya denaturasi dan koagulasi protein sel bakteri. Senyawa alkohol berinteraksi dengan membran sitoplasma, enzim, dan lipid bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Senyawa alkohol konsentrasi rendah membentuk kompleks protein fenol dengan ikatan lemah sehingga terjadi penguraian diikuti penetrasi senyawa alkohol ke dalam sel bakteri menyebabkan presipitasi dan denaturasi protein bakteri. Senyawa alkohol konsentrasi tinggi menyebabkan koagulasi protein dari membran sel bakteri sehingga lisis dan mengalami kematian. Protein merupakan komponen enzim sehingga ketika terjadi kerusakan mengakibatkan metabolisme menurun yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan menyebabkan kematian sel (Siswandono dan Soekardjo, 2008).


(26)

B. Porphyromonas gingivalis

1. Klasifikasi

Filum : Bacteroidetes Kelas : Bacteroidetes Orde : Bacteroisales

Famili : Porphyromonadeceae Genus : Porphyromonas

Spesies : Porphyromonas gingivalis (Henderson et al., 2009).

Gambar 2. Morfologi koloni Porphyromonas gingivalis (Curtis dkk., 2002) Porphyromonas gingivalis merupakan bakteri gram negatif, termasuk dalam anaerob tidak berspora, dan tidak memiliki alat gerak. Kebanyakan sel berukuran kecil di dalam media broth yaitu 0,5-0,8 hingga 1,0-1,5 µm tetapi terkadang berukuran lebih panjang 4-6 µm, hal ini dimungkinkan karena adanya perubahan bentuk. Bentuknya coccobacilli dan panjangnya 0,5 – 2 µm. Koloni pada media agar darah lembut, berkilau, terlihat cembung dan berdiameter 1-2


(27)

mm dan berwarna gelap dari tepi ke pusat antara 4-8 hari. Terkadang terdapat koloni yang tidak berpigmen (Collier, 1998). Koloni pada media agar darah berwarna kehitaman. Warna hitam tersebut adalah hemin yang merupakan produk akhir metabolisme bakteri terhadap darah. Oleh karena itu, Porphyromonas gingivalis disebut bakteri berpigmen hitam (Newman dkk., 2006). Pertumbuhan Porphyromonas gingivalis dipengaruhi oleh adanya protein hidrolisat seperti trypticase, proteose pepton dan ekstrak yeast. Selain itu, pertumbuhan dapat ditingkatkan dengan adanya 0,5-0,8% NaCl. Temperatur optimal untuk pertumbuhan yaitu 37oC. Pertumbuhan tidak secara signifikan dipengaruhi oleh karbohidrat. Produk fermentasi yang utama yaitu n-butirat dan asam asetat, untuk hasil yang lain yang lebih rendah yaitu propionate, iso-butirat, iso-valeric, dan asam fenilasetat. Selain itu, juga diproduksi cysteine proteinases dan kolagen. Dinding sel peptidoglikan mengandung lisin sebagai asam diamino, non-hydroxylated fatty acids dan 3-hydroxylated fatty acids (Collier, 1998).

2. Patogenesis

Porphyromonas gingivalis ditemukan pada daerah subgingiva terutama pada lesi periodontitis lanjut. Porphyromonas gingivalis memproduksi hemolysin, enzim yang mendegradasi kolagen, metabolit sitotoksik dan kapsul. Bakteri ini juga memiliki fimbria pada permukaan selnya yang dapat memediasi perlekatan bakteri pada sel epitelial oral dan permukaan gigi yang terselimuti saliva. Bakteri ini dapat ditemukan pada permukaan lidah serta tonsil (Marsh, 1999). Bakteri gram negatif ini menghasilkan faktor virulensi pada jaringan periodontal, antara lain protease (berfungsi untuk merusak immunoglobulin, faktor komplemen, dan


(28)

mendegradasi enzim inhibitor kolagenase), hemolysin, dan kolagenase. Porphyromonas gingivalis dapat mendegradasi perlekatan epitel jaringan periodontal sehingga menyebabkan terjadinya poket periodontal (Newman dkk., 2006). Bakteri Porphyromonas gingivalis memiliki fimbria yang berperan penting sebagai molekul adhesi ketika bakteri berinteraksi dengan sel epitel oral, fibroblast ligamen periodontal, sel endotel, protein matriks ekstraseluler, protein saliva, dan juga dengan spesies bakteri oral yang lain (Lamont, Burne, Lantz, LeBlane, 2006).

C. Plak Gigi

Plak adalah substansi terukur, resilien, dan berwarna kuning keabuan yang melekat erat pada permukaan keras di dalam rongga mulut (Newman, Takei, Klokkevold, Carranza, 2006). Plak gigi adalah komunitas mikroba kompleks yang terbentuk pada seluruh permukaan gigi yang terpapar cairan bakteri rongga mulut. Plak terdiri dari bakteri dalam matriks glikoprotein saliva dan polisakarida ekstraseluler. Satu gram plak (berat basah) mengandung kira-kira 1011 bakteri

(Rose, 2004). Di dalam plak gigi manusia terdapat lebih dari 500 spesies mikroba (Newman dkk., 2006).

Berdasarkan posisinya pada permukaan gigi terhadap gingiva, plak diklasifikasikan menjadi dua yaitu :

a. Plak supragingiva

Plak supragingiva adalah plak yang ditemukan pada tepi gingiva atau di atas tepi gingiva. Jenis ini umumnya menunjukkan suatu lapisan bakteri yang


(29)

berbeda bentuk dan tipe yang terstruktur. Plak supragingiva terbentuk dari bakteri jenis gram positif dan gram negatif, dimana bakteri gram positif yang berbentuk kokus dan batang pendek mendominasi permukaan gigi, sedangkan bakteri gram negatif yang berbentuk batang dan filament serta spirochetes mendominasi permukaan luar dari massa plak yang mature (Newman dkk., 2006). Secara klinis, plak supragingiva dapat terlihat sebagai lapisan film tipis yang nyaris tidak terlihat ataupun sebagai lapisan material tebal yang menutupi permukaan gigi serta tepi gingival (Rose, 2004).

b. Plak subgingiva

Plak subgingiva adalah plak yang ditemukan di bawah tepi gingiva diantara gigi dan epitel poket gingiva. Mikroba pada plak subgingiva berbeda dengan jenis plak supragingiva karena kemampuan daerah subgingiva untuk memvaskularisasi darah dan memiliki potensi redoks yang rendah sehingga lingkungan di sekitar daerah subgingiva menjadi anaerob (Newman dkk., 2006). Secara klinis, plak subgingiva tidak mudah terlihat karena tertutup celah gingiva atau poket periodontal. Plak gigi tersebut langsung berkontak dengan tepi gingiva dinamakan plak marginal (Rose, 2004).

Plak supragingiva dan plak subgingiva merupakan contoh biofilm. Biofilm menyediakan perlindungan bagi bateri dengan membentuk matriks glikokaliks yang menutupi mikroba sehingga melindunginya dari bahaya lingkungan sekitarnya. Selain itu, polisakarida ekstraseluler dari glikokaliks biasanya mempunyai berat molekul yang tinggi sehingga mereka tidak larut. Dengan demikian biofilm sangat sukar untuk dihilangkan. Matriks dari biofilm


(30)

juga melindungi bakteri dari antibiotik dan antiseptik, karena antibiotik dan antiseptik tidak dapat dengan mudah menembus pertahanan dari matriks polisakarida. Biofilm juga menyediakan nutrisi bagi bakteri tersebut. Bakteri-bakteri tersebut terikat satu sama lain dan melekat pada permukaan sehingga menguntungkan bakteri memperoleh nutrisi yang penting bagi pertumbuhannya (Newman dkk., 2006).

Proses dari pembentukan plak dapat dibedakan menjadi tiga fase, yaitu : (1) pembentukan pelikel pada permukaan gigi; (2) inisial adhesi dan perlekatan bakteri; dan (3) kolonisasi dan maturasi plak. Pada pembentukan pelikel permukaan gigi, seluruh permukaan rongga mulut dilapisi oleh sebuah pelikel. Lapisan tipis glikoprotein dari saliva yang menutupi permukaan gigi dinamakan acquired pellicle. Pelikel ini terdiri dari berbagai komponen termasuk glikoprotein (musin), protein kaya prolin, fosfoprotein (statherin), protein kaya histidin, enzim dan molekul lain yang dapat berfungsi sebagai tempat melekatnya bakteri. Pada tahap inisiasi adhesi dan perlekatan bakteri terdapat beberapa fase, yaitu :

a. Tahap I : transport bakteri pada permukaan gigi

Bakteri dpat berpindah secara acak melalui gerakan Brownian, sedimentasi mikroorganisme, aliran cairan, ataupun pergerakan aktif dari bakteri itu sendiri (kemotaksis).

b. Tahap II : inisial adhesi

Adhesi reversibel bakteri dipicu oleh interaksi antara bakteri dan permukaan gigi.


(31)

c. Tahap III : perlekatan bakteri

Setelah inisial adhesi, perlekatan bakteri dengan permukaan gigi diperkuat dengan adanya ikatan-ikatan kovalen, ionic, dan hidrogen.

d. Tahap IV : pembentukan biofilm dan kolonisasi permukaan

Tahap terakhir dari pembentukan plak merupakan proses kolonisasi dan maturasi plak. Ketika mikroorganisme yang melekat pada permukaan gigi mulai bertumbuh, mikrokoloni atau biofilm dapat terbentuk dan berkembang. Pada tahapan ini terjadi hubungan baru antara bakteri satu dengan yang lain. Semua bakteri yang terdapat dalam rongga mulut mempunyai molekul-molekul yang dapat menyebabkan beberapa interaksi antar sel. Proses ini terjadi karena adanya interaksi molekul protein dan karbohidrat yang terletak pada permukaan gigi (Newman dkk., 2006).

D. Gingivitis

Gingivitis merupakan penyakit periodontal stadium awal berupa peradangan pada gingiva, termasuk penyakit paling umum yang sering ditemukan pada jaringan mulut (Julianti dkk., 2008). Gingivitis adalah inflamasi gingiva yang merupakan hasil dari induksi lapisan biofilm bakteri (atau disebut juga plak) yang melekat pada permukaan gigi. Perubahan patologis pada gingiva diasosiasikan dengan adanya mikroorganisme oral yang melekat pada permukaan gigi atau di dekat sulkus gingiva (Newman dkk., 2006). Mikroorganisme ini


(32)

mampu memproduksi bahan biokimia berupa kapsul polisakarida, menstimulasi sel polimorfonuklear guna memproduksi hydrolase dan meningkatkan perlekatan mikroorganisme pada permukaan gigi. Selain itu, mikroorganisme tersebut juga mampu untuk mensintesis produk kolagenase, hyaluronidase, protease, kondroitin sulfatase, dan endotoksin yang menyebabkan kerusakan pada epitel dan sel jaringan ikat yang mengandung kolagen, dan substansi dasar, serta glikokaliks (cell coat). Perubahan patologis ini menghasilkan pelebaran ruang antara sel junctional epithelium selama tahap gingivitis awal yang dapat menyebabkan jaringan ikat menjadi lebih rentan terinfeksi oleh bakteri. Produk mikroba tersebut akan mengaktivasi monosit/makrofag untuk memproduksi substansi aktif seperti prostaglandin E2 (PGE2), interferon (IFN), tumor necrosis factor (TNF), dan

interleukin-1 (IL-1) (Hammond, 1970).

Bakteri yang terdapat pada lapisan biofilm ini menghasilkan sekret pembuangan selama mereka bertumbuh dan berkembang biak. Sekret pembuangan ini lengket sehingga akan menyebabkan debris lebih mudah untuk menempel, dan bersifat supresif yang akan mencegah jaringan sehat untuk beregenerasi. Substansi yang lengket ini disebut plak, yang dapat ditemukan di atas maupun di bawah garis gingiva. Semakin lama, plak ini dapat mengeras dan berubah menjadi tartar (kalkulus) yang mengandung lebih banyak bakteri dan produk pembuangan (Newman dkk., 2006).

Pada hasil biopsi gingiva sehat secara klinis menunjukkan terdapatnya sel inflamasi yang didominasi oleh sel T dan sangat sedikit sel B (sel plasma). Sel-sel ini tidak menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi merupakan bagian


(33)

penting untuk respon inang terhadap bakteri dan substansi lain yang terpapar di gingiva. Pada kondisi normal, neutrofil bermigrasi dari pembuluh darah pleksus gingiva ke tepi gingiva melalui junctionalepithelium dan masuk ke sulkus gingiva dan rongga mulut (Newman dkk., 2006).

Pada tahap awal gingivitis, apabila deposit plak masih tetap ada, perubahan inflamasi tahap awal akan berlanjut disertai dengan meningkatnya aliran cairan gingiva dan migrasi PMN. Perubahan yang terjadi pada junctional epithelium maupun pada epitel krevikuler merupakan tanda adanya pemisahan sel dan terjadi beberapa proliferasi sel basal. Fibroblast mulai berdegenerasi dan kolagen dari serabut dentogingiva pecah sehingga perlekatan marginal gingiva menjadi lemah. Pada keadaan ini terlihat peningkatan jumlah sel-sel inflamasi, 75% diantaranya terdiri dari limfosit, juga terlihat adanya beberapa sel plasma dan makrofag. Pada tahap ini, tanda-tanda klinis dari inflamasi semakin jelas terlihat. Papila interdental menjadi lebih merah dan bengkak serta mudah berdarah pada probing (Newman dkk., 2006).

Dalam waktu 2-3 minggu, akan terbentuk gingivitis yang lebih parah. Perubahan mikroskopik terlihat terus berlanjut, pada tahap ini sel-sel plasma terlihat mendominasi. Limfosit masih tetap ada dan jumlah makrofag meningkat, selain itu pada tahap ini juga ditemukan sel mast. Immunoglobulin, terutama IgG ditemukan di daerah epitelium dan jaringan ikat. Secara klinis, gingiva tampak berwarna merah, bengkak, dan mudah berdarah (Newman dkk., 2006).

Dengan bertambah parahnya kerusakan kolagen dan pembengkakan inflamasi, tepi gingiva dapat dengan mudah dilepas dari permukaan gigi,


(34)

memperbesar kemungkinan terjadinya poket gingiva. Bila edema inflamasi dan pembengkakan gingiva cukup besar, maka poket gingiva umumnya juga cukup dalam. Pada tahap ini sudah terjadi degenerasi sel-sel junctional epithelium dan beberapa proliferasi dari lapisan basal ke jaringan ikat di bawahnya (Newman dkk., 2006).

Bila inflamasi sudah menyebar di sepanjang serabut transeptal, maka akan terlihat adanya resorbsi puncak tulang alveolar. Resorbsi ini bersifat reversible terutama dalam hubungannya dengan pemulihan inflamasi. Salah satu tanda penting penyakit ini adalah tidak ditemukannya bakteri pada epitel maupun jaringan ikat. Hal ini dikarenakan jaringan fibrosa rusak pada daerah inflamasi aktif pada beberapa daerah agak jauh terlihat adanya proliferasi jaringan fibrosa dan pembentukan pembuluh darah yang baru. Aktivitas pemulihan yang produktif ini merupakan karakterisitik yang sangat penting dari lesi kronis (Newman dkk., 2006).

E. Uji Potensi Antibakteri 1. Metode difusi sumuran agar

Prinsip metode difusi adalah pengukuran potensi antibakteri berdasarkan pengamatan diameter daerah hambatan bakteri karena berdifusinya obat dari titik awal pemberian ke daerah difusi. Paper disk, lubang sumuran, atau silinder tak beralas yang mengandung senyawa antibakteri diletakkan di atas media lalu diinkubasikan. Setelah inkubasi, diameter daerah hambatan jernih yang


(35)

mengelilingi senyawa antibakteri dianggap sebagai ukuran kekuatan hambatan senyawa tersebut terhadap bakteri uji (Jawetz, 1996).

Metode difusi sumuran agar adalah metode yang secara umum digunakan untuk mengukur aktivitas antimikroba dari ekstrak tanaman. Pada metode ini, sumuran diisikan bahan uji yang akan digunakan dan telah diketahui konsentrasinya yang mana bahan uji tersebut kontak langsung dengan media yang telah diinokulasi dengan bakteri dan diameter zona jernih yang berada di sekitar sumuran (diameter zona hambat) diukur pada akhir masa inkubasi. Untuk melakukan pengukuran lebih mudah menggunakan metode sumuran. Metode ini telah digunakan sejak 1998 tanpa ada kesulitan. Juga hanya dibutuhkan sedikit sampel dan dapat dimasukkan enam hingga delapan ekstrak pada lubang sumuran pada setiap plate yang telah diberi media yang diinokulasikan satu mikoorganisme, hal ini merupakan keuntungan dari metode sumuran (Ahmad, Owais, Shahid, Aqil, 2010).

2. Metode dilusi

Metode dilusi agar adalah metode kuantitatif untuk menentukan KHM dari senyawa antimikroba. Seri dilusi dari antibiotik dibuat di agar dan dituang ke dalam cawan petri. Mikroorganisme yang akan diujikan juga diinokulasikan ke dalam media tersebut dan diinkubasi. Kontrol juga perlu dibuat yaitu diinokulasikan tanpa antibiotik. Kemudian diamati setelah masa inkubasi berakhir, ada atau tidaknya pertumbuhan dari bakteri. Konsentrasi yang mana bakteri masih dapat tumbuh dikatakan menghambat dan dianggap sebagai KHM dari antibiotik. Organisme dikatakan sensitif, intermediate, atau resisten dengan


(36)

membandingkan hasil KHM (Parija, 2009). Prosedur uji dilusi digunakan untuk mencari Konsentrasi Hambat Minimum (KHM), yaitu konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM), yaitu konsentrasi terendah yang dapat membunuh bakteri (Universitas Gajah Mada, 1993).

F. Gas Chromatography-Mass Spectrometri (GC-MS)

Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan yang mana solut-solut yang mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio distribusinya. Pada umumnya solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus antara solut dengan fase diam. Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada titik didih suatu senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan fase diam. Fase gerak yang berupa gas mengelusi solut dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor. Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya pada kisaran 50-350oC) bertujuan untuk menjamin bahwa solut akan menguap dan karenanya akan cepat terelusi. Ketika digunakan detektor spektrometer massa maka akan mampu memberikan informasi data struktur kimia senyawa yang tidak diketahui. Dengan menggunakan spektrometer massa untuk memonitor ion tunggal atau beberapa ion yang karakteristik dalam analit, maka batas deteksi ion-ion ini akan ditingkatkan (Gandjar, 2010).


(37)

Bagian utama dari kromatografi gas (KG) adalah gas pembawa, sistem injeksi, kolom, fase diam, suhu, dan detektor.

1. Gas pembawa

Faktor yang menyebabkan suatu senyawa bergerak melalui kolom KG adalah keatsirian yang merupakan sifat senyawa itu dan aliran gas melalui kolom. Aliran gas dipaparkan dengan dua pengubah yaitu aliran yang diukur dalam mL/menit dan penurunan tekanan antara pangkal dan ujung kolom. Pemilihan gas pembawa sampai taraf tertentu bergantung pada detektor yang dipakai : hantar hambang, ionisasi nyala, tangkap elektron, atau khas terhadap unsur. Nitrogen, helium, argon, hidrogen, dan karbon dioksida adalah gas pembawa yang paling sering dipakai karena tidak reaktif serta terdapat dalam keadaan murni (Gritter, 1991).

2. Sistem injeksi

Cuplikan dimasukkan ke dalam ruang suntik. Ruang suntik harus dipanaskan tersdendiri, terpisah dari kolom, biasanya pada suhu 10-15oC lebih

tinggi daripada suhu kolom maksimum. Jadi seluruh cuplikan diuapkan segera setelah disuntikkan dan dibawa ke kolom (Gritter, 1991).

3. Kolom

Ada 2 jenis kolom yaitu kolom kemas dan kolom kapiler. Kolom kemas terdiri dari fase cair yang tersebar pada permukaan penyangga yang terdapat dalam tabung nisbi besar. Fase diam hanya dapat dilapiskan saja pada penyangga atau terikat secara kovalen pada penyangga yang menghasilkan fase terikat.


(38)

Kolom kapiler jauh lebih kecil (0,02-0,2 mm) dan dinding kapiler bertindak sebagai penyangga untuk fase diam cair. Fase ini dilapiskan pada dinding kolom dan bahkan dapat dicampur dengan sedikit penyangga yang sangat halus untuk memperbesar luas permukaan efektif (Gritter, 1991).

4. Fase diam

Fase diam dibedakan berdasarkan kepolarannya, yaitu non polar, semi polar dan polar. Berdasarkan minyak atsiri yang non polar, maka untuk keperluan analisis sebaiknya digunakan fase diam yang bersifat non polar juga, misalnya SE-52 dan SE-54 (Agusta, 2000).

5. Suhu

Tekanan uap sangat berganung pada suhu, maka suhu merupakan faktor utama dalam kromatografi gas. Pada GC-MS terdapat tiga pengendali suhu yang berbeda yaitu suhu injektor, suhu kolom, dan suhu detektor.

a. Suhu injektor

Suhu injektor harus cukup panas untuk menguapkan cuplikan sedemikian cepat, tetapi sebaliknya suhu harus cukup rendah untuk mencegah peruraian akibat panas (McNair, 1988).

b. Suhu kolom

KG didasarkan pada dua sifat senyawa yang dipisahkan, kelarutan senyawa dalam cairan tertentu dan tekanan uapnya atau keatsiriannya. Tekanan uap bergantng langsung pada suhu, oleh karena itu suhu merupakan faktor utama dalam KG. pemisahan dapat dilakukan pada suhu tetap disebut secara isotermal atau suhu program. Kromatografi isotermal paling baik dipakai untuk analisis


(39)

rutin atau jika banyak yang dipisahkan. Pilihan awal yang baik ialah suhu beberapa derajat di bawah titik didih komponen campuran utama. Pada kromatografi gas suhu diprogram ini suhu dinaikkan mulai dari suhu tertentu sampai suhu tertentu yang lain dengan laju yang diketahui dan terkendali dalam waktu tertentu (Gritter, 1991).

c. Suhu detektor

Detektor harus cukup panas sehingga cuplikan dan air atau hasil samping yang terbentuk pada proses pengionan tidak mengembun (McNair, 1988).

6. Detektor

Menurut McNair (1988), terdapat dua detektor yang populer yaitu detektor hantar termal (DHT) dan detektor pengion nyala (DPN).

Prinsip dari spektrometri massa yaitu senyawa diionisasi, ion dipisahkan berdasarkan massa dan jumlah ion yang mewakili masing-masing massa ditunjukkan dalam bentuk spektrum. Secara umum digunakan tipe Electron-Impact (EI), spektrometer massa menyerang molekul dalam fase uap dengan sinar elektron berenergi tinggi dan hasilnya ditunjukkan sebagai spektrum yang telah dipisahkan berdasarkan massa (Silverstein, 2005). Pembentukan ion molekul dan ion fragmen molekul tergantung kepada ionisasi yang dilakukan. Pada ionisasi dengan benturan elektron menggunakan elektron voltase filamen pembangkit elektron 7 sampai 15 V diharapkan tidak terjadi fragmen dan tidak terbentuk ion yang lebih berat dari ion molekul. Elektron degan potensial filamen 70 V memberikan elektron dengan energi cukup besar untuk pembentukan ion fragmen molekul yang rasio m/z-nya khas untuk molekul senyawa yang dianalisis. Sistem


(40)

ionisasi dan pemisahan molekul berdasarkan rasio m/z-nya terjadi di dalam spektrometer pada tekanan 0,005 torr dan temperatur 200±0,25oC (Satiadarma, 2004).

Spektrometer massa dapat digunakan untuk analisis senyawa yang telah diketahui spektrum massanya maupun senyawa yang tidak diketahui. Pada senyawa yang telah diketahui, komputer mencari dan membandingkan spektrum massa senyawa yang diujikan dengan library dari spektra massa, sedangkan pada senyawa yang tidak diketahui maka molekul ion, pola fragmentasi, dan bukti dari hasil spektrometri lain (misal IR dan NMR) dapat digunakan untuk membantu dalam proses identifikasi senyawa baru (Silverstein, 2005).

Keuntungan dari spektrometri massa adalah sensitivitas yang lebih besar dari teknis analisis lainnya, ukuran sampel yang relatif kecil dan kespesifikan yang diperlukan untuk identifikasi senyawa (Satiadarma, 2004).

G. Landasan Teori

Porphyromonas gingivalis adalah bakteri gram negatif, anaerob, dan tidak memiliki alat gerak. Porphyromonas gingivalis merupakan bakteri yang menjadi penyebab gingivitis; inflamasi gingiva hasil dari induksi plak yang melekat pada permukaan gigi. Plak gigi melindungi bakteri terhadap lingkungan sekitarnya dan juga melindungi terhadap antibiotik serta antiseptik. Antibiotik dan antiseptik tidak dapat dengan mudah menembus matriks polisakarida yang merupakan komponen dari biofilm, sehingga kemungkinan resistensi bakteri terhadap antibiotik dan antiseptik lebih besar. Berdasarkan penelitian yang


(41)

dilakukan Jardim dkk., bakteri Porphyromonas gingivalis juga resisten terhadap

golongan obat β-laktam, aminoglikosida, kloramfenikol, tetrasiklin, quinolon, dan rifampin. Selain itu, dari penelitian Eick, Schmitt, Sachse, Schmidt, dan Pfister, menyatakan bahwa hasil dari bakteri Porphyromonas gingivalis yang diberi obat floroquinolon juga menunjukkan adanya penurunan sensitivitas dari obat tersebut.

Minyak atsiri serai wangi Jawa memiliki tiga kandungan utama, yaitu sitronelol, geraniol, dan sitronelal. Ketiga kandungan tersebut bermanfaat sebagai antibakteri. Bakteri Porphyromonas gingivalis sudah menunjukkan resistensi terhadap antibiotik, oleh karena itu diteliti minyak atsiri serai wangi Jawa sebagai alternatif untuk menghambat pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis.

Uji daya antimikroba dilakukan menggunakan metode difusi sumuran dilanjutkan dengan dilusi padat. Metode difusi sumuran mengukur daya antimikroba dari zona hambat yang muncul. Metode dilusi padat digunakan untuk mencari KHM dan KBM dari senyawa uji, KHM yaitu konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, sedangkan KBM yaitu konsentrasi terendah yang dapat membunuh mikroba dan ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan pada media. Selanjutnya, identifikasi komponen minyak atsiri serai wangi Jawa dilakukan menggunakan GC-MS.

H. Hipotesis

1. Minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella Java Oil) memiliki daya antibakteri terhadap bakteri Porphyromonas gingivalis penyebab gingivitis.


(42)

2. Minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella Java Oil) memiliki Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) terhadap bakteri Porphyromonas gingivalis penyebab gingivitis.

3. Minyak atsiri serai wangi Jawa diketahui komponen-komponennya berdasarkaan analisis menggunakan GC-MS.


(43)

25 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian eksperimental murni dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola satu arah. Kemudian dianalisis statistik uji normalitas Shapiro-Wilk yang dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis serta uji Wilcoxon. Selain itu, dilakukan juga analisis eksploratif-deskriptif untuk menentukan KHM dan KBM serta identifikasi komponen minyak atsiri serai wangi Jawa menggunakan GC-MS.

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas. Variabel bebas yang terdapat dalam penelitian ini adalah konsentrasi uji daya antibakteri minyak atsiri daun serai wangi Jawa 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7%, 8%, 9%, 10%.

b. Variabel tergantung. Variabel tergantung yang terdapat dalam penelitian ini adalah diameter zona hambat pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis.

c. Variabel pengacau terkendali. Variabel pengacau terkendali yang terdapat dalam penelitian ini adalah media pertumbuhan bakteri, suhu inkubasi (37oC), lama inkubasi (48 jam), diameter sumuran (6 mm), kepadatan suspensi


(44)

bakteri uji setara dengan larutan standar Mc Farland II (6.108 CFU/mL), dan volume pemberian minyak atsiri.

d. Variabel pengacau tak terkendali. Variabel pengacau tak terkendali yang terdapat dalam penelitian ini adalah proses destilasi minyak atsiri serai wangi Jawa, tanaman serai wangi yang digunakan untuk destilasi, teknik destilasi minyak atsiri serai wangi Jawa.

2. Definisi operasional

a. Minyak atsiri adalah kelompok minyak nabati yang berwujud cairan kental, mudah menguap pada suhu ruangan dan memiliki bau khas.

b. Minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella Java Oil) adalah minyak atsiri yang diperoleh dari tanaman serai wangi yang dibeli dari CV. Indaroma dengan nomor batch ’12 09 F027.

c. Porphyromonas gingivalis adalah biakan bakteri dengan ATCC 33277 yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Balai Kesehatan Yogyakarta dan bakteri ini merupakan gram negatif, anaerob, tidak memiliki alat gerak atau coccobacilli dan panjangnya 0,5–2 µm, dapat menyebabkan penyakit gingivitis.

d. Daya antibakteri adalah kekuatan minyak atsiri serai wangi Jawa untuk dapat menghambat atau membunuh bakteri Porphyromonas gingivalis.

e. Metode difusi sumuran adalah suatu cara untuk mengetahui aktifitas daya antibakteri larutan uji terhadap bakteri uji dengan cara melubangi media padat yang telah diinokulasi dengan bakteri.


(45)

f. Metode dilusi padat adalah suatu cara yang digunakan untuk menentukan KHM serta KBM terhadap bakteri Porphyromonas gingivalis.

g. KHM adalah konsentrasi terkecil yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis.

h. KBM adalah konsentrasi terkecil yang dapat membunuh bakteri Porphyromonas gingivalis.

C. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan yaitu minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella Java Oil) yang diperoleh dari CV. Indaroma dengan nomor batch ’12 09 F027, larutan standar Mc Farland II, bakteri Porphyromonas gingivalis (ATCC 33277), aquadest, Trypticase Soya Agar (TSA) (Oxoid), NaCl 0,9%, Klorheksidin (Minosep®) sebagai kontrol positif, dan parafin cair sebagai kontrol negatif.

D. Alat Penelitian

Microbiological Safety Cabinet, oven, piknometer, hand refractometer (Atago), autoklaf, inkubator CO2 (Barnstead Lab-Line), vortex, densichek (Vitek),

alat-alat gelas (Pyrex), jarum ose, stirrer, hotplate, neraca analitik, mikropipet, pelubang sumuran 6 mm, GCMS-QP2010S (Shimadzu), kolom (Rastek stabilwak R-DA), kamera.


(46)

E. Tata Cara Penelitian

1. Karakterisasi minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella Java Oil)

a. Pemeriksaan organoleptis. Pemeriksaan organoleptis yaitu meliputi pemeriksaan warna dan bentuk minyak atsiri.

b. Pengukuran nilai bobot jenis minyak atsiri. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan piknometer. Piknometer dibersihkan dengan menggunakan etanol 70% dan kemudian dikeringkan dengan diberi udara kering. Bagian luar piknometer diseka dengan kain kering. Piknometer didiamkan selama 30 menit lalu ditimbang. Kemudian piknometer diisi dengan menggunakan air suling suhu 25oC, lalu mengkondisikannya pada suhu ± 0,2oC dibawah 25oC selama 30 menit. Selanjutnya dibiarkan selama 30 menit lagi hingga suhu 30oC dan timbang. Hasil timbangan dicatat. Piknometer kemudian dikosongkan dan dicuci dengan etanol 70% lalu dikeringkan dengan diberi udara kering. Kemudian diisi dengan minyak atsiri yang bersuhu 25oC dan mengkondisikannya pada suhu ± 0,2oC dibawah 25oC selama 30 menit. Dibiarkan selama 30 menit lagi hingga suhu 30oC. Lalu piknometer ditimbang. Menghitung bobot jenis minyak atsiri serai wangi. Dilakukan sebanyak tiga kali replikasi.

c. Pengukuran indeks bias minyak atsiri. Pengukuran dengan menggunakan alat hand refractometer. Skala diatur 1, 2, atau 3, jarak jangkau dari skala itu yaitu : “1” :1,333-1,404 (skala sebelah kiri); “2” : 1,404-1,468 (skala tengah); “3” : 1,468-1,520 (skala sebelah kanan). Ujung refraktometer setelah prisma ditetesi dengan minyak atsiri diarahkan ke cahaya dan dilihat melalui lensa dengan memutar skala sampai terlihat garis batas gelap dan terang dengan jelas.


(47)

Kalibrasi yang ditunjukkan oleh garis batas tersebut memperlihatkan nilai dari indeks bias.

2. Uji daya antibakteri minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella Java Oil) terhadap Porphyromonas gingivalis dengan metode difusi sumuran

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Balai Kesehatan Yogyakarta. Uji daya antibakteri minyak atsiri serai wangi dengan metode sumuran dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

a. Pembuatan larutan uji. Minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella Java Oil) dibuat berbagai variasi pengenceran dengan cara dilarutkan dalam parafin cair. Variasi konsentrasi pengenceran yaitu 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7%, 8%, 9% dan 10%.

b. Pembuatan stok bakteri. Diambil 1-3 ose dari bakteri Porphyromonas gingivalis yang telah dibiakkan, kemudian diinokulasikan pada TSA yang sudah berada di cawan petri secara streak plate dan diinkubasikan selama 48 jam pada suhu 37oC di inkubator CO2. Tahap ini digunakan sebagai stok bakteri untuk

tahap selanjutnya.

c. Pembuatan suspensi bakteri. Diambil 1-3 ose stok bakteri Porphyromonas gingivalis, diinokulasikan ke dalam 5 mL NaCl 0,9% dan divortex supaya tercampur homogen lalu ditunggu selama beberapa saat. Setelah itu suspensi bakteri uji disetarakan dengan larutan standar Mc Farland II (6.108 CFU/mL atau diukur dengan menggunakan alat densichek hingga konsentrasinya sama dengan larutan standar Mc Farland II.


(48)

d. Pembuatan kontrol media. Media TSA dituang ke dalam cawan petri dan dibiarkan memadat, kemudian diinkubasi di inkubator CO2 pada suhu 37oC

selama 48 jam. Setelah itu, diamati apakah terdapat bakteri yang tumbuh atau tidak.

e. Pembuatan kontrol pertumbuhan bakteri uji. Media TSA yang telah bersuhu 45-55oC setelah disterilkan, kemudian ditambahkan suspensi bakteri uji Porphyromonas gingivalis dengan kepadatan sesuai dengan standar Mc Farland II lalu dituang ke dalam cawan petri dan digoyang supaya bakteri tersebar merata. Kemudian diinkubasi pada inkubator CO2 dengan suhu 37oC selama 48 jam.

Setelah itu, diamati pertumbuhan bakteri dan dibandingkan dengan perlakuan. f. Uji daya antibakteri minyak atsiri serai wangi Jawa terhadap Prophyromonas gingivalis dengan difusi sumuran. 30 mL TSA yang telah disiapkan kemudian ditambahkan 1 mL suspensi bakteri, lalu dituang ke dalam cawan petri secara pour plate, digoyang, dan dibiarkan memadat. Setelah memadat, media tersebut dilubangi hingga dasar cawan petri menggunakan pelubang sumuran 6 mm. Lubang tersebut kemudian diberi 30 µL media dan dibiarkan hingga memadat. Lalu lubang-lubang sumuran ini diisi dengan berbagai variasi konsentrasi, kontrol negatif (parafin cair), dan kontrol positif (klorheksidin 0,2%) dengan volume masing-masing sebanyak 50 µL. Kemudian diinkubasikan pada inkubator CO2 dengan suhu 37oC selama 48 jam lalu diamati dan diukur


(49)

3. Penentuan KHM dan KBM minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella

Java Oil) terhadap Porphyromonas gingivalis dengan metode dilusi padat

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Balai Kesehatan Yogyakarta. Penentuan KHM dan KBM minyak atsiri serai wangi Jawa dengan metode dilusi padat dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

a. Uji daya antibakteri dengan dilusi padat. Diambil 1 mL larutan uji kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri secara bersamaan dengan TSA yang telah ditambah dengan suspensi bakteri secara pour plate. Kemudian cawan petri digoyang hingga larutan uji merata di seluruh bagian media. Perlu juga dilakukan pembuatan kontrol negatif, kontrol positif, kontrol tumbuh, dan kontrol media sebagai pembanding. Pembuatan kontrol media yaitu dengan menuang media TSA tanpa ada suspensi bakteri secara pour plate di cawan petri. Pembuatan kontrol tumbuh yaitu dengan menuang media TSA yang telah diberi tambahan suspensi bakteri secara pour plate di cawan petri. Pembuatan kontrol positif yaitu dengan menuang 1 mL kontrol positif (klorheksidin 0,2%) bersama dengan media TSA yang telah diberi tambahan suspensi bakteri secara pour plate di cawan petri. Pembuatan kontrol negatif yaitu dengan menuang 1 mL parafin cair bersama dengan media TSA yang telah diberi tambahan suspensi bakteri secara pour plate di cawan petri. Kemudian semuanya diinkubasi pada inkubator CO2 dengan suhu

37oC selama 48 jam dan dibandingkan kekeruhannya dengan kekeruhan kontrol pertumbuhan. Semakin keruh maka diberi tanda (+) lebih banyak dibandingkan dengan yang jernih.


(50)

b. Penentuan nilai KHM dan KBM. Penentuan nilai KHM dan KBM dilakukan dengan melakukan streak plate dari hasil uji daya antibakteri secara dilusi padat. Hasil uji yang digunakan adalah semua media yang memberikan kejernihan media secara visual. Konsentrasi terendah hasil streak plate yang sudah tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri maka ditentukan sebagai KBM, dan konsentrasi terkecil yang dapat menghambat bakteri ditandai dengan bakteri masih dapat tumbuh pada hasil streak plate ditentukan sebagai KHM.

4. Identifikasi komponen minyak atsiri serai wangi Jawa (Citronella Java

Oil) menggunakan GC-MS

Identifikasi minyak atsiri serai wangi dilakukan Jawa di Laboratorium Kimia Organik FMIPA UGM Yogyakarta dengan menggunakan GC-MS - QP2010S (Shimadzu). Minyak atsiri serai wangi tanpa menggunakan pelarut dianalisis secara GC-MS dengan kondisi analisis yaitu jenis kolom Rastek stabilwak R-DA dengan diameter 0,25 mm dan panjang 30 meter, suhu injektor 215oC, gas pembawa helium, kecepatan alir fase gerak 0,9 mL/menit, dan tekanan 49,5 kPa. Suhu kolom diprogram 60oC selama 5 menit kemudian dinaikkan perlahan-lahan dengan kecepatan 4oC/menit hingga suhu mencapai 215oC dan

ditahan selama 30 menit. Identifikasi komponen-komponen minyak atsiri serai wangi yaitu dengan cara membandingkan spektrum massa sampel dengan spektrum massa yang terdapat dalam data library yang memiliki tingkat kemiripan yang paling tinggi.


(51)

F. Analisis Data

Minyak atsiri serai wangi Jawa yang telah dilakukan uji daya antimikroba dengan metode difusi sumuran, diamati diameter zona hambat yang terbentuk setelah masa inkubasi berakhir kemudian diameter zona hambat diukur menggunakan jangka sorong. Besarnya zona hambat yang terbentuk menyatakan besarnya potensi antimikroba dari senyawa uji. Data zona hambat kemudian dianalisis statistik dengan uji normalitas Shapiro-Wilk yang dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis serta uji Wilcoxon untuk mengetahui kebermaknaan dari perbedaan daya antibakteri setiap kosentrasi uji. Selanjutnya, metode dilusi padat akan didapatkan data KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bunuh Minimum) dari senyawa uji terhadap Porphyromonas gingivalis. Data uji antibakteri dengan dilusi padat didapat dengan melihat kekeruhan media secara visual dan dianalisis secara deskriptif. Nilai KHM dan KBM didapat dari hasil penegasan dengan metode streak plate. Identifikasi komponen minyak atsiri dilakukan menggunakan GC-MS dan dianalisis secara eksploratif-deskriptif. Komponen-komponen minyak atsiri serai wangi Jawa ditunjukkan dalam bentuk spektrum massa dan kemudian dicocokkan dengan data library yang telah ada untuk mengetahui senyawa tersebut dengan melihat tingkat kemiripan yang paling tinggi.


(52)

34 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakterisasi Minyak Atsiri Serai Wangi Jawa (Citronella Java Oil) Tujuan dilakukannya karakterisasi yaitu untuk mengetahui sifat fisik dari minyak atsiri serai wangi Jawa secara kualitatif dimana pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan organoleptis, pengukuran nilai bobot jenis, dan pengukuran nilai indeks bias.

1. Pemeriksaan organoleptis minyak atsiri serai wangi Jawa

Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kekhasan dari minyak atsiri serai wangi Jawa berdasarkan warna dan bentuk fisik minyak atsiri. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan indera penglihatan. Apabila minyak atsiri yang digunakan bukan minyak atsiri yang dimaksud, maka kandungan minyak atsirinya juga berbeda dan hasil daya antibakteri juga berbeda.

Tabel I. Pemeriksaan organoleptis minyak atsiri serai wangi Jawa Pemeriksaan organoleptis Hasil pemeriksaan organoleptis

Warna Kuning muda

Bentuk Cair

Berdasarkan Certificate of Analysis (CoA) dari CV. Indaroma dinyatakan bahwa warna kuning muda dan berbentuk cair, sedangkan berdasarkan Panda (2003), minyak atsiri serai wangi berwarna kuning muda dan berbentuk cair. Dari hasil pemeriksaan organoleptis yang dilakukan terhadap minyak atsiri serai wangi (Tabel I), telah menunjukkan kesesuaian dengan CoA dan literatur.


(53)

2. Pengukuran nilai bobot jenis minyak atsiri serai wangi Jawa

Tujuan dari pemeriksaan ini yaitu untuk mengetahui Bobot Jenis (BJ) minyak atsiri serai wangi Jawa. Bobot jenis menggambarkan hubungan antara bobot suatu zat uji terhadap bobot suatu zat baku yaitu air. Bobot jenis memungkinkan pengubahan jumlah zat dalam formula farmasetik dari bobot menjadi volume dan sebaliknya (Ancel, 2004). Selain itu, bobot jenis juga untuk mengetahui kemurnian dari zat yang diuji. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan piknometer.

Tabel II. Pengukuran nilai bobot jenis minyak atsiri serai wangi Jawa

Replikasi Bobot jenis pemeriksaan

Replikasi I 0,881

Replikasi II 0,881

Replikasi III 0,883

Rata-rata ± SD 0,882 ± 0,001

Berdasarkan CoA dari CV. Indaroma tercantum bobot jenis minyak atsiri serai wangi Jawa sebesar 0,885 dengan rentang spesifikasi 0,882-0,888 dan berdasarkan EOA (Essential Oil Association) (USA) No.14 (cit., Panda, 2003) bobot jenis minyak atsiri serai wangi yaitu 0,877-0,893. Dari hasil yang ditunjukkan (Tabel II) sudah menunjukkan kesesuaian dengan CoA dan literatur.

3. Pengukuran indeks bias minyak atsiri serai wangi Jawa

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui nilai indeks bias dari minyak atsiri serai wangi Jawa. Indeks bias berguna untuk identifikasi suatu zat untuk mengukur kemurniannya (Martin, 1990). Pemeriksaan ini menggunakan alat hand refractometer. Prinsip kerja dari hand refractometer ini yaitu memanfaatkan refraksi cahaya, dengan adanya cahaya polikromatis yang mengenai prisma akan diubah


(54)

menjadi cahaya monokromatis, kemudian dibaca skalanya sebagai indeks bias cairan uji.

Tabel III. Pengukuran nilai indeks bias minyak atsiri serai wangi Jawa

Replikasi Indeks bias pemeriksaan

Replikasi I 1,471

Replikasi II 1,471

Replikasi III 1,471

Rata-rata Replikasi 1,471

Berdasarkan CoA minyak atsiri serai wangi Jawa yang diperoleh dari CV. Indaroma dinyatakan bahwa minyak atsiri memiliki indeks bias 1,478 dengan rentang spesifikasi 1,475-1,488. Sedangkan berdasar EOA (Essential Oil Association) (USA) No.14 (cit., Panda, 2003) minyak atsiri serai wangi memiliki indeks bias pada rentang 1,466-1,473. Dari data pemeriksaan sebanyak tiga kali replikasi didapatkan nilai indeks bias yang selalu sama yaitu 1,471 dengan rata-rata 1,471 sehingga dinyatakan bahwa nilai indeks bias telah sesuai dengan literatur, namun belum sesuai dengan CoA.

Hasil pemeriksaan karakterisasi minyak atsiri yang meliputi pemeriksaan organoleptis, pengukuran nilai bobot jenis, dan pengukuran nilai indeks bias memiliki kesesuaian dengan CoA dan literatur EOA sehingga dapat dinyatakan bahwa minyak atsiri yang digunakan benar merupakan minyak atsiri serai wangi.


(55)

B. Uji Daya Antibakteri Minyak Atsiri Serai Wangi Jawa (Citronella Java

Oil) terhadap Porphyromonas gingivalis dengan Metode Difusi Sumuran

Uji daya antibakteri dengan metode difusi sumuran berguna untuk mengetahui besarnya daya antibakteri dari minyak atsiri serai wangi Jawa terhadap bakteri Porphyromonas gingivalis dengan cara dilihat besarnya diameter zona hambat yang muncul. Metode difusi sumuran merupakan metode yang cocok digunakan untuk bahan yang bersifat non polar sebab apabila menggunakan paper disc, maka minyak atsiri tidak dapat diserap secara sempurna ke dalam paper disc. Pada pemeriksaan yang dilakukan perlu adanya kontrol negatif, kontrol positif, kontrol pertumbuhan, dan kontrol media. Keempat kontrol ini penting dilakukan agar hasil yang diberikan valid.

Kontrol negatif yang digunakan yaitu parafin cair. Minyak atsiri dan parafin cair memiliki kesamaan sifat non polar, maka dari itu minyak atsiri serai wangi larut baik dalam parafin cair karena adanya prinsip like dissolve like yaitu zat dapat larut dengan zat yang memiliki kepolaran yang sama. Kontrol positif yang digunakan yaitu Klorheksidin 0,2% (Minocep®) yang merupakan sediaan obat kumur yang berada di pasaran. Pada pH fisiologis, klorheksidin merupakan molekul kation yang memiliki kemampuan mengadsorbsi muatan negatif pada permukaan dinding sel bakteri dan juga mengadsorbsi dengan kuat senyawa fosfat. Akibatnya mengubah integritas dari membran sel bakteri dan klorheksidin tertarik ke arah dalam membran sel. Klorheksidin kemudian berikatan dengan fosfolipid di dalam membran sehingga meningkatkan permeabilitas dari membran dalam dan memfasilitasi pelepasan


(56)

komponen sitoplasma dengan berat molekul rendah seperti ion kalium dan berakibat sel bakteri mengkerut (Dumitrescu, 2011). Ketika konsentrasi klorheksidin dinaikkan, isi sel dengan berat molekul yang lebih tinggi (seperti nukleotida) muncul pada larutan supernatan disekitar sel. Nukleotida ini rusak (bocor) dan bersifat irreversible. Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron ditunjukkan bahwa sitoplasma sel terpresipitasi, presipitasi dapat terjadi karena interaksi antara klorheksidin dengan fosfat yang berada di dalam sitoplasma seperti adenosin trifosfat dan asam nukleat (Williams, 2001). Daya hambat dari berbagai konsentrasi minyak atsiri akan dibandingkan dengan daya hambat sediaan obat kumur Klorheksidin 0,2% (Minocep®) sehingga dapat dilihat apakah perbedaan daya hambat tersebut bermakna atau tidak.

Pada pengujian daya antibakteri ini menggunakan bakteri Porphyromonas gingivalis dimana bakteri ini ditanamkan pada media Trypticase Soya Agar (TSA). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Wakabayashi, Yamauchi, Kobayashi, Yaeshima, Iwatsuki, Yoshie (2009) dan Coykendall dkk. (2013), bakteri Porphyromonas gingivalis dapat ditumbuhkan pada media TSA. Media TSA ini merupakan media yang dapat memfasilitasi pertumbuhan mikroorganisme aerob dan anaerob dengan baik dan juga merupakan media yang bernutrisi (Acumedia, 2010). Kasein pepton dan soya pepton yang terdapat dalam media TSA menyediakan nitrogen, vitamin, dan mineral untuk pertumbuhan bakteri, serta gula alami dari soya pepton juga berperan baik dalam membantu pertumbuhan bakteri (Sigma-Aldrich, 2013).


(57)

Pada pengujian daya antibakteri menggunakan minyak atsiri dengan konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, 7%, 8%, 9% dan 10% dimana dengan konsentrasi yang kecil diharapkan tetap bisa memberikan aktivitas daya antibakteri terhadap Porphyromonas gingivalis. Selain itu, pemilihan konsentrasi kecil juga supaya bisa diketahui dan didapatkan konsentrasi terkecil yang masih dapat menimbulkan daya antibakteri. Daya antibakteri dapat dilihat dari besarnya zona hambat dimana merupakan zona jernih yang terdapat disekitar lubang sumuran dan tidak ada pertumbuhan bakteri. Dari pemeriksaan yang telah dilakukan didapatkan data bahwa konsentrasi 2% merupakan konsentrasi terkecil yang masih dapat menimbulkan zona hambat. Pada kontrol media pada saat pengujian tidak terdapat kontaminan sehingga dapat dinyatakan bahwa langkah pengujian sudah aseptis dan media yang digunakan juga steril. Pada kontrol pertumbuhan terdapat pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis dengan baik dan tidak terdapat mikroorganisme lain yang menunjukkan perbedaan morfologi. Berdasarkan uji daya antibakteri dengan metode sumuran, dapat dinyatakan bahwa semakin besar konsentrasi minyak atsiri maka zona hambat yang ditimbulkan juga semakin besar, hal ini dapat dilihat dari hasil pengujian daya antibakteri (Tabel IV).


(58)

Tabel IV. Diameter zona hambat minyak atsiri serai wangi Jawa terhadap

Porphyromonas gingivalis dengan metode difusi sumuran

Konsentrasi minyak atsiri

Replikasi Rata-rata diameter zona hambat (mm) I (mm) II (mm) III (mm)

10% 5,02 5,12 5,10 5,08

9% 4,52 4,41 4,44 4,46

8% 4,11 4,00 4,10 4,07

7% 3,52 3,69 3,60 3,60

6% 3,43 3,41 3,39 3,41

5% 3,10 2,83 2,90 2,94

4% 2,11 2,01 2,02 2,05

3% 1,22 1,40 1,29 1,30

2% 0,71 0,53 0,59 0,61

1% 0,00 0,00 0,00 0,00

Kontrol positif 30,06 30,04 30,01 30,04

Kontrol negatif 0,00 0,00 0,00 0,00

Menurut Suryawiria (1978) (cit., Moerfiah, 2011), zona hambat dapat dikatakan sangat kuat apabila zona hambat tersebut berdiameter lebih dari 20mm, dikatakan kuat apabila berdiameter antara 10 mm hingga 20 mm, dikatakan sedang apabila berdiameter antara 5 mm hingga 10 mm, dan dikatakan lemah apabila kurang dari 5 mm. Zona hambat yang dihasilkan oleh minyak atsiri dengan konsentrasi 2% hingga 9% termasuk pada zona hambat lemah, sedangkan zona hambat yang dihasilkan oleh minyak atsiri dengan konsentrasi 10% termasuk zona hambat sedang. Kontrol positif termasuk dalam zona hambat yang dapat dinyatakan sangat kuat karena zona hambat secara rata-rata memiliki diameter 30,04 mm, sedangkan pada kontrol negatif tidak terdapat zona hambat sehingga kontrol negatif tidak mengganggu aktivitas daya antibakteri yang ditimbulkan dari berbagai konsentrasi minyak atsiri.


(59)

Data zona hambat yang telah didapat dari pengujian daya antibakteri dengan metode difusi sumuran kemudian dianalisis normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk dan hasilnya menunjukkan data tidak terdistribusi normal (p<0,05). Namun, pada data yang didapat dari hasil pemeriksaan terdapat dua data yang tidak terdistribusi normal, yaitu data kontrol negatif dan konsentrasi minyak atsiri 1%. Analisis statistik dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis untuk melihat apakah terdapat perbedaan bermakna zona hambat antara konsentrasi minyak atsiri, kontrol positif, dan kontrol negatif serta dinyatakan berbeda bermakna apabila nilai p<0,05. Dari hasil statistik uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara zona hambat konsentrasi minyak atsiri, kontrol positif, dan kontrol negatif (p<0,05). Selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon untuk mengetahui perbedaan bermakna zona hambat antar konsentrasi dan antara konsentrasi dengan kontrol. Dari hasil statistik yang telah dilakukan dapat dinyatakan bahwa terdapat perbedaan bermakna zona hambat antar konsentrasi dan antara konsentrasi dengan kontrol, kecuali kontrol negatif dengan konsentrasi minyak atsiri 1% dinyatakan Not Available pada hasil statistik karena keduanya tidak memiliki daya antibakteri (zona hambat 0 mm) sehingga tidak dapat dianalisis. Perbedaan yang bermakna memberikan arti kelompok uji yang satu dengan yang lain memiliki kesamaan dalam memberikan daya antibakteri terhadap Porphyromonas gingivalis, tetapi potensi daya antibakterinya yang ditunjukkan dengan besarnya zona hambat tidak sama setiap kelompok uji.


(60)

Tabel V. Hasil analisis statistik uji Wilcoxon pada pengujian daya antibakteri minyak atsiri serai wangi Jawa terhadap Porphyromonas gingivalis

dengan metode difusi sumuran

K+ K- 1% 2% 3% 4% 5% 6% 7% 8% 9% 10%

K+ - BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB

K- BB - NA BB BB BB BB BB BB BB BB BB

1% BB NA - BB BB BB BB BB BB BB BB BB

2% BB BB BB - BB BB BB BB BB BB BB BB

3% BB BB BB BB - BB BB BB BB BB BB BB

4% BB BB BB BB BB - BB BB BB BB BB BB

5% BB BB BB BB BB BB - BB BB BB BB BB

6% BB BB BB BB BB BB BB - BB BB BB BB

7% BB BB BB BB BB BB BB BB - BB BB BB

8% BB BB BB BB BB BB BB BB BB - BB BB

9% BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB - BB

10% BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB -

Keterangan = BB = Berbeda Bermakna BTB = Berbeda Tidak Bermakna

NA = Not Available (tidak terdapat daya antibakteri) K+ = Kontrol Positif

K- = Kontrol Negatif

Berdasarkan hasil analisis statistik uji Wilcoxon (Tabel V), kontrol positif yang dibandingkan dengan kelompok perlakuan memberikan hasil berbeda bermakna dan kontrol negatif yang dibandingkan dengan kelompok perlakuan juga memberikan hasil berbeda bermakna sehingga dapat dinyatakan bahwa minyak atsiri serai wangi Jawa memiliki daya antibakteri. Semakin besar konsentrasi minyak atsiri serai wangi Jawa, maka semakin besar pula aktivitas daya antibakteri, tetapi aktivitas daya antibakteri tidak sebesar daya antibakteri dari kontrol positif. Setelah diujikan daya antibakteri dengan metode sumuran, kemudian dilanjutkan pengujian dengan metode dilusi padat untuk dapat menentukan Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM).


(61)

C. Penentuan KHM dan KBM Minyak Atsiri Serai Wangi Jawa (Citronella

Java Oil) terhadap Porphyromonas gingivalis dengan Metode Dilusi Padat

Tujuan dari pengujian dengan metode dilusi padat yaitu untuk menentukan KHM dan KBM dari minyak atsiri serai wangi Jawa terhadap Porphyromonas gingivalis. KHM yaitu konsentrasi terkecil yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis dan KBM yaitu konsentrasi terkecil yang dapat membunuh bakteri Porphyromonas gingivalis. Pada pengujian digunakan minyak atsiri serai wangi Jawa dengan konsentrasi sama dengan konsentrasi pada metode difusi sumuran yaitu 1% hingga 10% dan diharapkan pengujian dengan konsentrasi yang kecil akan langsung didapatkan nilai KHM dan KBM. Pada pengujian dengan metode dilusi padat ini juga diperlukan adanya kontrol seperti pada metode difusi sumuran, yaitu kontrol media, kontrol pertumbuhan, kontrol negatif, dan kontrol positif.

Berdasarkan pengamatan secara visual, semakin rendah konsentrasi minyak atsiri serai wangi Jawa, maka hasil yang ditunjukkan semakin keruh media perlakuan. Sebaliknya, semakin tinggi konsentrasi maka hasil yang ditunjukkan semakin jernih media perlakuan. Kekeruhan media perlakuan dipengaruhi oleh adanya daya antibakteri dari konsentrasi minyak atsiri. Kekeruhan setiap kelompok uji dibandingkan dengan kontrol pertumbuhan, hal ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan pertumbuhan bakteri uji dari kelompok uji yang memiliki potensi daya antibakteri. Apabila tingkat kekeruhan semakin rendah maka potensi daya antibakterinya semakin efektif. Selain itu, tingkat kekeruhan juga digunakan sebagai


(62)

perkiraan awal untuk menentukan nilai KHM dan KBM minyak atsiri serai wangi Jawa terhadap bakteri Porphyromonas gingivalis. Berdasarkan hasil pemeriksaan (Tabel VI), diperkirakan bahwa nilai KHM berada pada minyak atsiri konsentrasi 5% dilihat dari perpindahan tingkat kekeruhan dari keruh menjadi sangat keruh dimana konsentrasi 5% merupakan konsentrasi minimum yang masih menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan pada konsentrasi 4% sudah tidak terdapat penghambatan pertumbuhan bakteri karena tingkat kekeruhan yang dihasilkan sama dengan tingkat kekeruhan kontrol pertumbuhan. Nilai KBM diperkirakan berada pada minyak atsiri konsentrasi 9% karena merupakan konsentrasi minimum yang dapat membunuh bakteri yang ditunjukkan dengan menghasilkan tingkat kekeruhan media yang jernih.

Tabel VI. Hasil uji daya antibakteri dengan metode dilusi padat

Konsentrasi Kekeruhan

Replikasi I Replikasi II Replikasi III

Kontrol negatif ++++ ++++ ++++

1% ++++ ++++ ++++

2% ++++ ++++ ++++

3% ++++ ++++ ++++

4% ++++ ++++ ++++

5% +++ +++ +++

6% +++ +++ +++

7% ++ ++ ++

8% ++ ++ ++

9% + + +

10% + + +

Kontrol positif + + +

Keterangan = ++++ = sangat keruh; +++ = keruh;

++ = agak keruh; + = jernih


(63)

Selanjutnya untuk dapat menentukan kepastian nilai KHM dan KBM maka dilakukan uji penegasan dengan metode streak plate untuk semua konsentrasi dan kontrol. Berdasarkan hasil ditunjukkan bahwa nilai KBM berada pada konsentrasi minyak atsiri 4% karena pada konsentrasi terkecil ini sudah tidak terdapat pertumbuhan dari bakteri Porphyromonas gingivalis.

(A) (B)

Gambar 3. Konsentrasi 4% sebagai KBM (A), konsentrasi 2% sebagai KHM (B)

Sedangkan pada media hasil uji penegasan menggunakan metode streak plate konsentrasi 1%, 2%, dan 3% masih terdapat pertumbuhan bakteri. Pada konsentrasi 3% pertumbuhan bakteri sudah terlihat jarang, pada konsentrasi 2% terdapat pertumbuhan bakteri tetapi tidak sepadat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 1%, sedangkan konsentrasi 1% memiliki kepadatan pertumbuhan bakteri yang sama dengan kontrol pertumbuhan. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa nilai KHM berada pada konsentrasi 2% yang merupakan konsentrasi terkecil yang masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri Porphyromonas gingivalis. Nilai KHM dan KBM ini berfungsi sebagai pertimbangan dalam pembuatan sediaan dari


(1)

110


(2)

111


(3)

112


(4)

113

BIOGRAFI PENULIS

Johanes Putra Wicaksono lahir di Gombong pada tanggal 6 April 1991. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Ignatius Djuniarto dan Yosephine Dwi Wijayani. Penulis telah menempuh pendidikan formal di TK Pius Bakti Utama Gombong pada tahun 1996 – 1997, SD Pius Bakti Utama Gombong pada tahun 1997 – 2003, SMP Pius Bakti Utama Gombong pada tahun 2003 – 2006, dan SMA Kolese John de Britto Yogyakarta pada tahun 2006 – 2009. Kemudian penulis melanjutkan studi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma pada tahun 2009 – 2013.

Penulis selama masa studi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma mengikuti banyak kegiatan baik akademik maupun non akademik. Kegiatan akademik yang telah diikuti oleh penulis yaitu sebagai asisten dosen Praktikum Biofarmasetika dan Praktikum Formulasi Teknologi Sediaan Steril. Beberapa kegiatan non akademik yang telah diikuti oleh penulis yaitu sebagai Steering Comittee Hari Anti Tembakau pada Juni 2011, Ketua Panitia Pelepasan Wisuda Fakultas Farmasi pada November 2010, Wakil Komisaris Eksternal ISMAFARSI pada periode 2011 – 2012, dan Wakil Ketua DPMF Farmasi pada periode 2012 – 2013.


(5)

xvii INTISARI

Gingivitis merupakan penyakit umum yang ditemukan dalam jaringan mulut dan dapat menyerang anak-anak dan orang dewasa. Gingivitis disebabkan oleh ketidakteraturan menyikat gigi sehingga muncul plak sebagai tempat berkembangnya Porphyromonas gingivalis. Berdasarkan penelitian oleh Jardim dkk. (2010), P.gingivalis sudah resisten terhadap obat golongan β-laktam, aminoglikosida, kloramfenikol, tetrasiklin, quinolon, dan rifampin. Oleh karena itu, dilakukan penelitian menggunakan minyak atsiri serai wangi Jawa sebagai alternatif antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan P.gingivalis.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola satu arah. Penelitian ini menguji daya antibakteri minyak atsiri serai wangi Jawa terhadap bakteri P.gingivalis dengan menggunakan metode difusi sumuran dilanjutkan dilusi padat. Hasil pengujian metode difusi sumuran berupa zona hambat dianalisis menggunakan uji Shapiro-Wilk, uji Kruskal-Wallis, dan uji Wilcoxon. Kemudian pengujian metode dilusi padat untuk mencari konsentrasi terendah yang dapat membunuh dan menghambat bakteri yang dianalisis secara eksploratif-deskriptif. Pengujian dilanjutkan dengan identifikasi komponen minyak atsiri menggunakan GC-MS.

Hasil dari pengujian terdapat daya antibakteri dari minyak atsiri serai wangi Jawa dengan nilai KHM sebesar 2% dan nilai KBM sebesar 4% serta memiliki 8 komponen yang sesuai dengan literatur yaitu sitronelal, sitronelol, geraniol, linalool, isopulegol, sitronelil asetat, geranil asetat, dan eugenol. berdasarkan hasil analisis GC-MS.

Kata kunci : minyak atsiri serai wangi Jawa, Porphyromonas gingivalis, GC-MS, Kadar Hambat Minimum (KHM), Kadar Bunuh Minimum (KBM)


(6)

xviii ABSTRACT

Gingivitis is a general disease found in the tissues of the mouth and can attacks childrens and adults. Gingivitis is caused by irregularity in brushing teeth so it appeared whack as a place of flourishing Porphyromonas gingivalis. Based on research by Jardim et al. (2010), P.gingivalis already resistant to the drug β -lactams, aminoglycosides, chloramphenikol, tetracycline, quinolones, and rifampin. Therefore, research using Citronella Java Oil as an alternative to inhibit the growth of P.gingivalis.

This research uses pure experimental methods completely randomized design one-way pattern. The research examined antibacterial potency against P.gingivalis using well diffusion and solid dilution methods. The results of well diffusion method is inhibition zone which was analyzed using the Shapiro-Wilk test, Kruskal-Wallis test, and Wilcoxon test. Test of solid dilution method to find the lowest concentration that can kill and inhibit bacteria which were analyzed explorative-descriptive. Testing continued with the identification components of essential oils using GC-MS.

The results of the tests are indicating antibacterial potency of citronella essential oil with MIC 2% and MBC 4% and and has 8 components in accordance with the literature which are citronellal, citronellol, geraniol, linalool, isopulegol, sitronelil acetate, acetic geranil, and eugenol based on GC-MS analysis.

Keyword : Citronella Java Oil, Porphyromonas gingivalis, GC-MS, Minimum Inhibitory Concentration (MIC), Minimum Bactericidal Concentration (MBC)


Dokumen yang terkait

Uji Antibakteri Ekstrak Air Bawang Putih (Allium Sativum) dan Hasil Hidrolisis Enzimatis Minyak Kelapa Murni serta Kombinasinya terhadap Beberapa Bakteri Penyebab Diare

8 122 176

DAYA ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN SIRIH MERAH(Piper crocatum) TERHADAP Porphyromonas gingivalis

0 4 18

Daya Antibakteri Ekstrak Daun Sirih Merah (Pipper crocatum) Terhadap Porphyromonas gingivalis

0 11 5

UJI DAYA ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL KAYU SIWAK (Salvadora persica) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Uji Daya Antibakteri Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora Persica) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Porphyromonas Gingivalis Penyebab Gingivitis In Vitro.

0 1 16

I. PENDAHULUAN Uji Daya Antibakteri Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora Persica) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Porphyromonas Gingivalis Penyebab Gingivitis In Vitro.

0 2 6

UJI DAYA ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL KAYU SIWAK (Salvadora persica) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Porphyromonas gingivalis PENYEBAB Uji Daya Antibakteri Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora Persica) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Porphyromonas Gingivalis Pen

0 1 11

Uji daya antibakteri emulgelantiacne minyak serai wangi Jawa (Cymbopogon winterianus) terhadap Staphylococcus epidermidis.

4 16 111

POTENSI SENYAWA MINYAK SEREH WANGI (CITRONELLA OIL) DARI TUMBUHAN Cymbopogon nardus L. SEBAGAI AGEN ANTIBAKTERI

0 0 8

Uji daya antibakteri emulgelantiacne minyak serai wangi Jawa (Cymbopogon winterianus) terhadap Staphylococcus epidermidis - USD Repository

0 0 109

UJI DAYA ANTIBAKTERI MINYAK ATSIRI SERAI WANGI JAWA (Citronella Java Oil) TERHADAP BAKTERI Porphyromonas gingivalis PENYEBAB GINGIVITIS SKRIPSI

1 6 131