Bidang Fisika dan Pend. Fisika
23
MODIFIKASI PROSES PENYULINGAN MINYAK ATSIRI
–
STUDI KASUS DI DESA PURWASABA, BANJARNEGARA
Sidharta Sahirman, Arief Sudarmaji, Ardiansyah, Krisandi WijayaJurusan Teknologi Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman [email protected]
ABSTRAK
Indonesia menempati peringkat ketujuh negara penghasil minyak atsiri dunia, dengan setidaknya 50 jenis minyak atsiri yang diproduksi, Minyak nilam, cengkih dan pala merupakan tiga komoditas paling potensial dengan nilai ekspor 75% dari total nilai ekspor atsiri Indonesia. Salah satu sektor penting penghasil minyak atsiri adalah usaha kecil dan menengah. Studi kasus tentang metode penyulingan minyak pala di industri kecil ini merupakan bagian dari kegiatan pengabdian yang dilakukan oleh jurusan Teknik Pertanian UNSOED di Desa Purwasaba, Banjarnegara. Mitra dalam kegiatan ini adalah Pesantren Al Ihsan , salah satu UKM yang memproduksi minyak atsiri pala dan jahe . Berdasarkan observasi lapang dan wawancara dengan pekerja dan pengelola UKM, disarikan bahwa proses penyulingan yang diterapkan selama ini menghasilkan rendemen yang kecil, yaitu 7 liter per ton buah pala, dan kualitas yang tidak optimal. Analisa menyeluruh terhadap proses produksi mengindikasikan bahwa akar permasalahan adalah ketidaktepatan metode penyulingan yang diterapkan, dan tidak efisiennya proses produksi (destilasi dan kondensasi). Selain berpengaruh pada rendemen dan kualitas produk, hal itu juga berdampak pada total waktu proses yang diperlukan. Berdasarkan temuan tersebut, metode penyulingan kombinasi uap-air dirancang untuk menggantikan metode penyulingan metode uap yang kini digunakan, dan diperkaya dengan sistem kontrol suhu tiga titik. Sensor suhu dan unit pengendali (aktuator) di ketiga unit (steamer, destilator dan kondensor) dimaksudkan agar tidak terjadi kelebihan panas yang tidak diperlukan, sehingga proses produksi menggunakan energi secara lebih efisien. Unit baru penyulingan minyak atsiri ini telah selesai dirancangbangun dan dirakit di lokasi mitra, siap digunakan untuk proses produksi.
Kata-kata kunci:minyak atsiri, pala, penyulingan, kontrol suhu, rendemen
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara penghasil minyak atsiri yang menghasilkan devisa negara; Minyak pala merupakan salah satu komoditas yang menonjol dan potensial untuk dikembangkan. Pala (Myristica frangans Houtt (Myristicaceae)) memiliki nilai ekonomis tinggi dan multiguna, karena setiap bagian tanaman dapat dimanfaatkan oleh berbagai industri [1]. Sampai saat ini Indonesia menjadi pemasok biji dan fuli pala terbesar ke pasar dunia (sekitar 60%). Ketua Umum Dewan Atsiri Indonesia (DAI) Wien P. Gunawan menyatakan optimis pemenuhan 80% dari permintaan minyak pala (nutmeg oil) di dunia yang mencapai 400 ton - 500 ton per tahun dapat
dipenuhi oleh Indonesia - negara penghasil pala terbesar di dunia [2].
Studi tentang penyulingan minyak pala ini dilakukan di Pesantren Al Ihsan, salah satu UKM (Usaha Kecil dan Menengah) di Desa Purwasaba, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara, yang merupakan mitra pengabdian masyarakat jurusan Teknik Pertanian Unsoed tahun 2013. Seperti umumnya usaha penyulingan minyak atsiri rakyat, proses penyulingan di UKM ini dilakukan secara sederhana dengan menggunakan metode penyulingan uap, sebagaimana disajikan dalam Gambar 1.
(2)
24 Berdasarkan hasil observasi lapangan dan interview dengan pekerja dan pengelola usaha, diketahui permasalahan utama pada mitra adalah rendahnya rendemen produk, yaitu 7 liter minyak per ton buah pala. Metode destilasi yang kurang tepat ditengarai sebagai akar permasalahannya.
Gambar 1. Metode penyulingan mitra Sebagai akibatnya, rendemen yang dihasilkan rendah dan kualitas produkpun tidak seperti yang diharapkan. Solusi yang ditawarkan adalah pengubahan metode penyulingan dari metode penyulingan uap menjadi metode penyulingan uap dan air yang dilengkapi sistem kontrol suhu pada boiler dan bagian kondensasi.
Penerapan kegiatan pengolahan minyak atsiri di UKM ini diharapkan dapat dijadikan percontohan untuk rakyat desa, mengingat pesantren cukup disegani oleh masyarakat sekitar. Produksi minyak atsiri dari dan oleh masyarakat ini diharapkan akan meningkatkan pemanfaatan lahan kosong, menyerap tenaga kerja, meningkatkan nilai jual komoditas minyak atsiri, dan meningkatkan pendapatan masyarakat desa.
METODE PENYULINGAN YANG
DISARANKAN
Metode penyulingan kombinasi uap dan air [3-5] yang ditawarkan pada dasarnya adalah sebagai berikut: Pada tahap awal, air dipompa hingga
tandon terisi penuh. Air dalam tandon kemudian dialirkan untuk mengisi bagian ketel, penampung air dan pendingin (kondensor). Setelah semua bagian terisi air yang cukup, maka biji pala dimasukkan ke dalam ruang destilasi, selanjutnya kompor gas dinyalakan untuk mendidihkan air bersamaan dengan menghidupkan sistem kontrol suhu proses penyulingan. Elemen pemanas bekerja berdasarkan suhu air boiler. Bila suhu di bawah 100 oC maka elemen pemanas akan aktif, sedangkan sensor suhu pada unit/bagian kondensor akan memantau dan mengontrol suhunya. Apabila suhu telah mencapai 60 oC maka katup akan terbuka dan air dalam kondensor akan mengalir ke bak penampung untuk selanjutnya air dalam tandon akan mengisi/ menggantinya dengan air yang lebih dingin. Bila kondisi air dalam boiler berkurang pada level yang ditentukan, maka katup pada boiler akan terbuka sehingga air pre-heating (hasil dari kondensasi dalam bak penampung) akan mengalir mengisi boiler. Hal ini akan meningkatkan efsiensi pemanasan, karena air awal yang digunakan dalam boiler adalah air yang sudah hangat.
Bagan metode penyulingan untuk memperbaiki rendemen dan kualitas produk atsiri mitra disajikan dalam Gambar 2, sedangkan skema kontrol suhu disajikan dalam Gambar 3.
(3)
25 Gambar 2. Metode penyulingan usulan
HASIL DAN DISKUSI
Berdasarkan kesepakatan dengan mitra, unit penyuling metode uap air yang dilengkapi kontrol suhu dirancang bangun. Perancangan alat dan pembuatan diselesaikan dalam waktu dua bulan, sedangkan perancangan dan pembuatan kontrol suhu dirampungkan dalam waktu satu bulan. Alat kontrol suhu [6] diilustrasikan pada Gambar 4, sedangkan unit penyulingan komplit yang siap dikirim ke UKM disajikan dalam Gambar 5. Saat ini, unit baru tersebut telah diterima oleh pihak mitra dan siap digunakan untuk menyuling minyak atsiri, baik pala maupun jahe – produk baru yang sedang dikembangkan di UKM mitra.
Gambar 3. Sistem pengukur suhu tiga titik
Gambar 4. Alat pengendali suhu optimum pada boiler, destilator dan kondensor
(4)
26 Gambar 5. Unit penyulingan baru siap dikirim
KESIMPULAN
Metode penyulingan yang disarankan akan meningkatkan rendeman dan kualitas minyak atsiri yang dihasilkan oleh mitra. Dengan adanya unit baru destilasi minyak atsiri ini, kegiatan usaha pesantren diharapkan akan semakin berkembang sehingga dapat menjadi media pembelajaran kewirausahaan untuk para santri, dan sebagai percontohan untuk masyarakat sekitar. Sebagai tindak lanjut, akan dilakukan penelitian untuk mempelajari tingkat perbaikan efisiensi proses penyulingan metode baru dibandingkan dengan yang diterapkan mitra sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
[1] FAO, 1994, Nutmeg and derivatives. [online], Available:
http://www.fao.org/docrep/v4084e/v4084e00.htm, (21 Mei 2012).
[2] Kontan, 2010,Industri Minyak Pala: Indonesia Isi 80% Minyak Pala Dunia. [online], Available:
http://industri.kontan.co.id/news/indonesia-isi-80-minyak-pala-dunia, (22 Mei 2012).
[3] Ketaren, S., Minyak Atsiri. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Fatemeta-IPB, Bogor, 1975.
[4] Nanan Nurdjannah, Teknologi Pengolahan Pala. Badan penelitian dan pengembangan pertanian, Balai besar penelitian dan pengembangan pascapanen pertanian, 2007. [5] Sumitra, O, Memproduksi Minyak Atsiri Biji Pala. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, 2003.
[6] Sulistyo, S.B. dan A. Sudarmaji, Rancang Bangun Alat Pengukur Suhu Digital Berbasis Mikrokontroler AT89C2051 untuk Pengkondisian Suhu Lingkungan dalam Model Greenhouse. Majalah Ilmiah Unsoed, Lembaga Penelitian, Unsoed, Purwokerto. 2005.
(5)
27
AKTIVITAS SEISMOTEKTONIK DALAM MENENTUKAN
PERCEPATAN DAN KECEPATAN TANAH MAKSIMUM
DI SULAWESI BARAT
Muhammad Altin Massinai1, Lantu2, A. Rixs Jayanti Amruh3 Prodi Geofisika Universitas Hasanuddin Makassar
[email protected]; [email protected]
;
[email protected]ABSTRAK
Wilayah Sulawesi Barat merupakan zona gempa bumi yang bersumber dari pemekaran dasar laut di Selat Makassar. Aktivitas seismotektonik di wilayah ini juga di sebabkan oleh sesar - sesar di daratan di antaranya sesar Saddang, sesar Kaluku, dan di bagian timur wilayah ini terdapat sesar besar Palu Koro. Aktivitas seismisitas wilayah ini didominasi oleh gempa bumi dangkal (kedalaman kurang dari 60 km) dan gempa bumi menengah (kedalaman antara 60 - 300 km). Gempa bumi menengah disebabkan oleh aktivitas pemekaran dasar laut di Selat Makassar. Salah satu pengaruh aktivitas seismik adalah percepatan dan kecepatan tanah. Penelitian ini bertujuan membuat mengenai model matematik hubungan antara percepatan tanah maksimum (PGA) dan kecepatan tanah maksimum (PGV) parameter seismotektonik. Data yang digunakan merupakan hasil rekaman gempa bumi selama 102 tahun di wilayah Sulawesi Barat. Pengolahan data dengan menggunakan formula – formula seismologi yang bernilai empiris. Hasil pengolahan data dan estimasi dilakukan dengan cara analisis statistik regresi. Parameter – parameter yang dianalisis meliputi magnitudo, jarak hiposenter, percepatan tanah maksimum, dan kecepatan tanah maksimum. Dengan menggunakan perangkat lunak SPSS versi 16 diperoleh model yang mempunyai hubungan linier antara percepatan tanah maksimum dan kecepatan tanah maksimum. Hasil perhitungan percepatan tanah maksimum dari yang terkecil sampai yang terbesar adalah 26 cm/s2 - 1069 cm/s2. Nilai kecepatan tanah maksimum dari yang terkecil sampai yang terbesar adalah 61 cm/s - 826 cm/s. Model matematik sebagai kesimpulan memberikan hubungan linear sesuai dengan model matematik yang berlaku.
Kata-kata kunci: seismotektonik, gempa bumi, magnitudo, statistik regresi, percepatan tanah maksimum, kecepatan tanah maksimum
PENDAHULUAN
Kepulauan Indonesia terletak di antara dua kontinen yaitu, kontinen Asia di bagian barat laut dan kontinen Australia di bagian tenggara serta terletak antara dua samudera yaitu, samudera Pasifik dan samudera Indonesia. Indonesia ditinjau dari titik pandang geodinamika kepulauan terletak dalam zona konvergen antara tiga lempeng yang saling bergerak satu terhadap lainnya, yaitu lempeng Benua Eurasia di bagian utara yang relatif diam, lempeng Samudera Pasifik yang bergerak ke arah barat dengan kecepatan 7 – 13 cm pertahun, sedang di tenggara/selatan lempeng Hindia-Australia bergerak ke utara dengan kecepatan 6 – 10 cm pertahun [1, 2].
Pulau Sulawesi terdiri dari 4 lengan, yaitu lengan Utara Sulawesi, lengan Timur Sulawesi, lengan Tenggara Sulawesi, dan lengan Selatan Sulawesi. Keempat lengan Pulau Sulawesi ini menyatu berbentuk huruf K [2]. Kondisi tektonik lengan Selatan Sulawesi sangat mempengaruhi aktivitas kegempaan dan gerakan tanah di daerah Sulawesi Barat [3].
Sesar-sesar yang melintasi Sulawesi Barat terdiri dari :
1)Sesar Palu-Koro [5], di bagian timur Sulawesi Barat memanjang dari Palu ke arah selatan tenggara melalui Sulawesi Selatan/Barat bagian utara memotong sesar Matano menuju ke selatan teluk Bone sampai laut Banda;
(6)
28 pantai Mamuju memotong diagonal melintasi daerah Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan bagian tengah, bagian selatan;
3) Sesar Kaluku memanjang sepanjang wilayah Mamuju di Sulawesi Barat. Kajian seismotektonik Sulawesi Barat [6] menunjukkan struktur sesar-sesar tersebut dipengaruhi aktivitas pemekaran dasar samudera di Selat Makassar. Pergerakan sesar-sesar ini yang mengakibatkan aktivitas gempa bumi cukup tinggi di wilayah ini.
Pergerakan tersebut menyebabkan perpindahan materi. Waktu yang diperlukan untuk perpindahan harus diketahui sehingga kecepatan tanah dan percepatan tanah dapat dihitung. Ketika terjadi gempa bumi timbul getaran yang disebut sebagai gelombang seismik yang menyebabkan tanah mengalami kecepatan. Sementara percepatan menunjukkan perubahan kecepatan mulai dari keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu.
Berdasarkan catatan data historis gempa bumi dan tsunami di wilayah ini selama kurung waktu lebih 100 tahun telah terjadi beberapa kali gempa bumi tektonik dengan kekuatan 5,0 SR. Dampak dari gempa bumi tersebut yaitu terjadinya pergerakan tanah (ground displacement) sebagai penyebab terjadinya percepatan tanah maksimum (PGA) dan kecepatan tanah maksimum (PGV). Berdasarkan uraian tersebut, penelitian untuk penentuan percepatan tanah maksimum dan kecepatan tanah maksimum, dapat dilakukan dengan menggunakan data seismotektonik (intesitas gempa bumi).
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini mengambil lokasi di Propinsi Sulawesi Barat. Pengambilan data gempa dilakukan di stasiun BMKG wilayah IV Makassar.
Bahan terdiri dari perangkat keras berupa komputer intel core TM i3-370M serta
Arc view GIS versi 9.3 ESRI, SPSS 16 dan Microsof Excel.
Data yang digunakan berupa data gempa bumi harian dalam waktu 102 tahun dari tahun 1900 – 2012. Data tersebut terdiri dari waktu kejadian gempa bumi, posisi lintang dan bujur, kedalaman hiposenter, dan magnitudo gempa. Hasil perhitungan percepatan dan kecepatan tanah dibuat menggunakan software SPSS 16. Hasil ini dianalisis untuk mendapatkan model, kemudian dibandingkan dengan yang diperoleh secara analitik dengan persamaan matematik. HASIL DAN DISKUSI
Gempa bumi di wilayah Sulawesi Barat diakibatkan aktivitas seismotektonik dengan klasifikasi gempa dalam. Wilayah ini bermorfologi daerah lipatan dan retakan. Seismotektonik wilayah menunjukkan beberapa struktur tektonik berupa sesar-sesar.
Hasil perhitungan dengan menggunakan analisis statistik memperlihatkan nilai korelasi kekuatan antara variabel PGA dan variabel PGV adalah 0,983. Hal ini berarti kekuatan hubungan antara jarak hiposenter dan magnitudo terhadap variabel PGA dan PGV sangat kuat. Nilai determinasi pengaruh antara variabel PGA dan PGV dapat ditentukan dengan dari jarak hiposenter dan nilai magnitudo sebesar 98,3 %. Variabel lain yang menentukan hubungan sebesar 1,7% merupakan faktor geomorfologi dan litologi lokasi penelitian.
Analisis statistik dengan menggunakan F-test atau uji simultan bertujuan mengetahui pengaruh bersama antara variabel independen dan dependen. Berdasarkan tabel Anova menunjukkan nilai F-hitung (4,994) lebih besar dibanding F-tabel (0,089) seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Perhitungan dengan ANOVA
Model df Rata2 F-hit F-tab
Reg 1 83855,133
4,998 0,089
Res 317 43209,332
(7)
29 Tabel 1 menunjukkan komponen PGA dan PGV sangat dipengaruhi terhadap aktivitas kegempaan di wilayah Sulawesi Barat. Berdasarkan grafik normal regresian standar residual diperoleh bahwa hubungan intensitas baik PGV maupun PGA semuanya membentuk garis linear. Gambar Intensitas Mercalli yang diplot terhadap kecepatan tanah maksimum dan perceapatan tanah maksimum dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Intensitas Mercalli yang diplot terhadap kecepatan tanah maksimum untuk gempa bumi
Gambar 2. Intensitas Mercalli yang diplot terhadap Percepatan tanah maksimum untuk gempa bumi Model korelasi kecepatan tanah maksimum
(PGA) mempunyai persamaan grafik: Y = 119,855 + 004x. Berdasarkan grafik tersebut diperoleh bahwa hubungan antara PGV dengan PGA saing memperkuat. Hal ini berarti bahwa model mendekati arah garis linier. Gambar 3 memperlihatkan model korelasi PGV dengan PGA tahun 1900 – 2013 di Sulawesi Barat.
Gambar 3. Model Korelasi PGV dan PGA Tahun 1900 – 2012
Distribusi gempa bumi di wilayah Sulawesi Barat berkekuatan 5,0 SR terjadi di 22 lokasi. Gempa bumi berkekuatan 5,0 – 6,0 SR terjadi di 21 lokasi, sementara 9 lokasi terjadi gempa dengan 6,0 – 7,0 SR. Gempa bumi dengan kekuatan lebih dari 7,0 SR hanya terjadi pada 1 lokasi di Sulawesi Barat. Dari segi kerusakan gempa bumi di Sulawesi Barat berkisar VI – VII MMI. Skala MMI demikian dapat menghawatirkan bagi masyarakat yang bermukim di sekitar pantai Selat Makassar, karena dapat membangkitkan gelombang tsunami.
Kekuatan gempa bumi berimplikasi pada percepatan tanah dan kecepatan tanah. Percepatan tanah adalah percepatan gelombang
(8)
30 tanah maksimum (PGA) memberikan informasi efek paling parah yang pernah dialami suatu lokasi di Sulawesi Barat yaitu di Kabupaten Mamuju Utara. Kecepatan tanah maksimum (PGV) merupakan kecepatan tanah terbesar pada permukaaan dalam periode waktu tertentu akibat getaran gempa bumi. Percepatan dan kecepatan tanah maksimum yang dianalisis dengan alat seismograf di wilayah Sulawesi Barat memberikan nilai PGA dari yang terkecil 26 cm/det2 sampai yang terbesar 1069 cm/det2. Sementara nilai PGV dari yang terkecil 61 cm/det sampai nilai terbesar 826 cm/det.
Percepatan tanah maksimum dan kecepatan tanah maksimum memberikan gambaran efek terparah dan resiko gempa bumi yang mungkin terjadi di kemudian hari. Makin besar nilai PGA dan PGV, maka semakin besar dampak dan resiko gempa bumi dikemudian hari.
KESIMPULAN
Hasil penelitian dan analisis yang dijelaskan di atas dapat diatarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Gempa bumi yang terjadi di Wialayah Sulawesi Barat dalam kurung waktu 102 tahun yakni dari tahun 1991 – 2013 mempunyai magnitudo sedang 4 – 5 SR terjadi sebanyak 319 kali. Magnitudo 5 – 7,5 SR terjadi sebanyak 53 kali. Hiposenter gempa bumi berdasarkan kedalam sumber antara 30 – 100 km.
2. Nilai percepatan tanah maksimum berkisar 26 cm/det2 sampai yang terbesar 1069 cm/det2. Sementara nilai kecepatan tanah maksimum dari yang terkecil 61 cm/det sampai nilai terbesar 826 cm/det. Model hubungan antara percepatan tanah maksimum dengan kecepatan tanah maksimum berbanding lurus sesuai model matematika yang berlaku.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini tidak akan terwujud apabila tidak didukung oleh pembiayaan penelitian BOPTN UNHAS 2014. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua
biaya penelitian ini. Terima kasih kepada panitia Seminar Nasional Sains dan Pendidikan Sains IX, FSM, UKSW atas dipercayakannya kepada kami untuk mempresentasikan paper ini. Tak lupa kepada rekan-rekan peneliti dan mahasiswa Geofisika UNHAS atas bantuannya selama ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Hamilton, Warren. 1979. Tectonics of the Indonesian Region. Washington: Geological Survey Profesional Paper 1078. [2] Katili, J. A. 1989. Evolution of the
Southeast Asian Arc Complex. Jakarta: Geol. Indon. V. 12, no 1. p.113 – 143. [3] Lantu, Aswad, S., Tahir, I., Kartika, D. I.
2012. Investigasi Pergerakan Tanah Berbasis Pola Kecepatan Tanah Maksimum (PGV) Akibat Gempa Bumi Untuk Identifikasi Stabilitas Wilayah Sebagai Salah Satu Acuan Pembangunan Infra Struktur. Seminar Nasional Sains dan Teknik Universitas Nusa Cendana. Kupang.
[5] Massinai, Muhammad Altin. 2012. Morphotectonic of Jeneberang Watershead and Impact on Bilibili Dam in Gowa Regency South Sulawesi. Proceeding The 37th HAGI Annual Convention, Unconventional & Renewable Energy. Palembang.
[6] Massinai, Muhammad Altin., Sudradjat, Adjat., Lantu : The Influence of Seismic Activity In South Sulawesi Area to the Geomorphology of Jeneberang Watershed. International Journal Engineering & Technology, Volume 3, No. 10, October 2013, p. 945 – 948.
(9)
31
PENGARUH REDAMAN GILBERT TERHADAP POLA PEMBALIKKAN
MAGNETISASI BAHAN FERROMAGNETIK KUAT
COBALT-PLATINUM-CHROMIUM PADA SUHU RUANG
Kukuh Azis Waluyo1, Muhamad Azhar Ma’arif2, Nur Aji Wibowo3
Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga 50711
1[email protected], 2[email protected], 3[email protected]
ABSTRAK
Melalui simulasi mikromagnetik, pengaruh redaman Gilbert terhadap pola pembalikkan magnetisasi bahan ferromagnetik kuat Cobalt-Platinum-Chromium pada suhu ruang telah dikaji dengan menyelesaikan persamaan Landau-Lifshiftz-Gilbert. Parameter-parameter magnetik yang digunakan antara lain konstanta anisotropi tegak lurus, magnetik saturasi, dan konstanta pertukaran, yang nilainya berturut-turut adalah 2×106 erg/cm3, 3700 G, dan 9.99×10-7 erg/cm. Sampel nano-dot yang diteliti berdimensi 50×50×50 nm3 dan terbagi menjadi elemen-elemen balok sejumlah 15×15, dengan masing-masing elemen memiliki orientasi momen magnetik tunggal. Step integrasi yang dipergunakan sebesar 0.12 ps. Simulasi ini dilakukan dengan memvariasi nilai redaman Gilbert sebagai berikut, 0.26, 0.28, 0.30, dan 0.32. Hasil simulasi mikromagnetik ditunjukkan melalui grafik mekanisme pembalikan megnetisasi, visualisasi mekanisme pembalikkan magnetisasi dan hasil yang diperoleh pengaruh redaman terhadap medan pembalik. Dari hasil yang diperoleh melalui grafik mekanisme pembalikkan magnetisasi, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu pembalikan untuk setiap konstanta redaman yang diberikan. Dari hasil visualisasi mekanisme pembalikkan magnetisasi, memperlihatkan bahwa bahan magnetik termagnetisasi dengan pola seragam pada semua bagian tanpa diiukuti pembentukan dinding domain, serta terjadi perbedaan waktu pembalikan untuk setiap sampel nilai redaman. Semakin besar nilai redaman, semakin cepat waktu pembalikkan magnetisasi yang diperlukan. Sedangkan dari hasil evaluasi pengaruh redaman terhadap medan pembalik, diperoleh juga bahwa peningkatan redaman Gilbert mampu menurunkan nilai medan pembalik. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa peningkatan nilai redaman Gilbert pada bahan ferromagnetik kuat Cobalt-Platinum-Chromium mampu mempercepat waktu pembalikan magnetisasi dan sekaligus menurunkan besaran medan pembalik.
Keywords: mikromagnetik, redaman Gilbert, nano-dot, magnetisasi, medan pembalik. PENDAHULUAN
Pesatnya kemajuan teknologi komputer saat ini, diikuti kian maraknya berbagai produk komputer yang beredar dipasaran dengan spesifikasi tertentu. Kebutuhan masyarakat akan komputer dengan harga terjangkau, non-volatile, memiliki kapasitas penyimpanan dan transfer data yang besar, telah menjadi perhatian berbagai perusahaan komputer ternama di seluruh dunia.
Semenjak penemuan efek magnetoresistansi atau Giant Magnetoristance (GMR) pada tahun 1988, media penyimpanan data berbasis magnet (magnetic memory device) dan sensor magnetik
(magnetic sensor) semakin berkembang sebagai upaya menjawab kebutuhan masyarakat di era teknologi saat ini [1][2].
Seperti yang telah diketahui, dalam perkembangan tersebut menggunakan teknologi perekaman magnetik tegak lurus (Perpendicular Magnetic Recording-PMR) yang melibatkan suatu material ferromagnetik ukuran nano dan bahan magnetik dengan anisotropi tegak lurus (Perpendicular Magnetic Anisotropy-PMA) sebagai medianya [3-5]. Salah satu efek penggunaan PMR adalah perlu adanya medan magnet yang besar untuk melakukan pembalikan magnetisasi. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, hal ini bisa
(10)
32 berbantukan panas (Heat Assisted Magnetization Reversal-HAMR) [6]. Selain medan magnet, masih banyak faktor yang saling terkait dalam pengembangan PMR, salah satunya adalah faktor redaman Gilbert [1][4].
Pada makalah ini, proses mekanisme pembalikan magnetisasi tegak lurus pada material magnetik dalam suhu ruang, akan dipelajari melalui simulasi mikromagnetik dengan menyelesaikan persamaan Landau-Lifshitz-Gilbert (LLG) [4]. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki pengaruh redaman Gilbert terhadap pola pembalikkan magnetisasi bahan ferromagnetik kuat Cobalt-Platinum-Chromium.
METODOLOGI PENELITIAN
Secara umum, simulasi pengaruh redaman Gilbert terhadap pola pembalikan magnetisasi bahan beranisotropi tegak lurus dapat dilakukan dengan menyelesaikan persamaan LLG sebagai berikut [7]. eff 2 1 × + − = α γ dt d ) ( eff s 2
)
1
(
× × −+
α
M
γα
(1)
Simulasi ini dilakukan dengan memvariasi konstanta redaman Gilbert(α)dengan mengambil nilai 0.26, 0.28, 0.30, dan 0.32. Dimana adalah vektor magnetisasi, Msadalah magnetisasi jenuh,
γ adalah rasio giromagnetik elektron yang nilainya 1 1 7 .s Oe 10 76 .
1 × − −
=
γ dan effadalah medan
efektif. eff mencakup medan anisotropi ( ) k
,
medan demagnetisasi (d), medan interaksi tukar )
(ex , dan medan eksternal ( ) ext
, seperti yang ditunjukkan pada Persamaan (2) [4][5].
ext ex d k
eff
= + + + (2)
Bahan ferromagnetik kuat CoPtCr pada suhu ruang (298 K) memiliki konstanta anisotropi tegak
lurus (K⊥)= 2×10 erg/cm, magnetik saturasi )
4
( πMs = 3700 G, dan konstanta pertukaran )
(A = 9.99×10-7 erg/cm. Pada simulasi ini, nano-dot yang digunakan berdimensi 50×50×20 nm3 dan terbagi menjadi elemen-elemen balok sejumlah 15×15, dengan masing-masing elemen memiliki orientasi momen magnetik tunggal. Step integrasi yang dipergunakan sebesar 0.12 ps. Pada kondisi awal sebelum medan diberikan, momen magnet termagnetisasi dalam arah sumbu x positif. Medan pengimbas yang diberikan, meningkat secara linier dan mencapai maksimum ketika durasi maksimum diberikan.
HASIL DAN DISKUSI
Gambar 1. Mekanisme pembalikkan magnetisasi untuk ⊥
K = 2×106 erg/cm3, A= 9.99×10-7 erg/cm dan s
4πM =3700Gpada suhu ruang (298 K) dengan α= 0.26, 0.28, 0.30, dan 0.32
Gambar 1 menunjukkan mekanisme pembalikan magnetisasi yang disajikan melalui nilai
sat easy M
M . Saat Measy Msat = 1, bahan
magnetik mula-mula berada pada keadaan termagnetisasi jenuh dalam arah positif. Akibat pemberian medan luar sebesar 1 T , bahan magnetik mengalami pembalikan setelah 0.5 ns yang bersesuaian dengan Measy Msat= 0 . Pada titik tersebut menunjukkan bahwa bahan magnetik termagnetisasi tegak lurus terhadap orientasi magnetisasi semula atau magnetisasi tepat akan berbalik arah. Selanjutnya titik ini disebut sebagai
(11)
33 medan magnet pengimbas dan waktu yang terkait pada titik ini akan disebut sebagai medan pembalik )(Hswt dan titik pembalikkan (tswt).
sat easy M
M = –1, menunjukkan bahwa bahan
magnetik termagnetisasi jenuh dalam arah sejajar dengan medan magnet luar.
Pada titik pembalikkan, terlihat bahwa konstanta redaman yang diberikan menunjukkan perbedaan waktu yang dibutuhkan bahan magnetik untuk melakukan pembalikkan magnetisasi. Efek redaman ini juga dipengaruhi oleh suku kedua pada Persamaan (1) yang memberikan efek disipasi dari gerak presisi.
0.26
0.44 ns 0.46 ns 0.50 ns 0.62 ns
0.28
0.42 ns 0.45 ns 0.50 ns 0.60 ns
0.30
0.40 ns 0.43 ns 0.47 ns 0.58 ns
0.31
0.38 ns 0.40 ns 0.44 ns 0.56 ns Gambar 2. Visualisasi mekanisme pembalikkan
magnetisasi untuk K⊥ = 2×10 erg/cm , A= 9.99×10-7 erg/cm dan 4πMs=3700Gpada suhu ruang
(298 K) dengan α = 0.26, 0.28, 0.30, dan 0.32. Gambar 2 merupakan visualisasi keadaan pembalikkan megnetisasi. Warna hitam menunjukkan keadaan awal sebelum proses pembalikkan, yaitu saat termagnetisasi jenuh dalam arah sumbu x positif. Warna abu-abu cerah menunjukkan bahwa bahan magnetic termagnetisasi dengan arah berkebalikan dari arah semula. Keseragaman warna yang diperlihatkan dalam setiap waktu, menunjukkan bahwa saat magnetisasi berlangsung, konfigurasi dinding domain tidak terbentuk. Artinya, pola pembalikan terjadi secara serempak pada semua bagian. Informasi lain yang didapat dari Gambar 2 adalah perbedaan waktu pembalikkan magnetisasi setiap keadaan dari ke empat sampel α. Semakin besar α, semakin cepat waktu pembalikkan magnetisasi yang diperlukan.
Gambar 3. Pengaruh α terhadap medan pembalik )
(Hswt untuk K⊥ =
3 6
erg/cm 10
2× , A= 9.99×10-7 erg/cm dan 4πMs=3700Gpada suhu ruang (298 K). Gambar 3 merupakan grafik pengaruh redaman terhadap medan pembalik. Teramati dengan jelas, bahwa semakin besar nilai redaman, semakin kecil medan yang dibutuhkan untuk membalik arah magnetisasi agar sejajar dengan medan pembalik. Hal ini mengakibatkan waktu yang diperlukan
(12)
34 cepat.
KESIMPULAN
Dari simulasi diperoleh bahwa faktor redaman Gilbert pada bahan ferromagnetik kuat CoPtCr berpengaruh terhadap waktu pembalikkan magnetisasi. Semakin besar konstanta redaman Gilbert yang diberikan, semakin cepat waktu pembalikkan magnetisasi yang dibutuhkan. Selain itu, nilai medan pembalik juga dapat direduksi dengan memperbesar konstanta redaman Gilbert. DAFTAR PUSTAKA
[1] Mardona, ”Dinamika Domain Wall dan Efek Anisotropi pada Material Ferromagnet Co dan Ni Berbentuk Nanoware,” Tesis, Program Studi Magister Fisika, Universitas Indonesia, 2012.
[2] Ismail, “Studi Micromagnetic Proses Magnetisasi dan Spektrum Suseptibilitas Ferromagnetik Elemen Diamond-Shape,” Tesis, Program Studi Magister Fisika, Universitas Indonesia, 2013.
[3] S. Muhammady, Suharyana, B. Purnama, “Kajian Simulasi Mikromagnetik Ketergantungan Tipe-nukleasi Magnetisasi
Permalloy,” Indonesian Journal of Applied Physics, vol. 2, no. 2, hal. 164, 2012.
[4] W. N. Handayani, A. Setiawan, N. A. Wibowo, “Gilbert Damping Effect on Thermally Assited Magnetization Reversal of Perpendicular Magnetized Nano-dot,” International Journal of Science and Engineering Investigations, vol.2, issue 16, 2013.
[5] A.C.D. Permatasari, S. Trihandaru, N. A. Wibowo, “Micro Magnetic Study of Thermally Assited Magnetization Reversal Mechanism on Perpendicularly Magnetic Anisotropy COxSIyBz,” International Journal of Science and Research (IJSR), vol. 2, issue 5, 2013.
[6] N. A. Wibowo, Cari, B. Purnama, “Heat Assisted Magnetization Reversal on Perpendicular Magnetized Nano-dot,” The Journal for Technology and Science, vol. 22, no. 2, 2011.
[7] R. M. Brilianto, A. Setiawan, N. A. Wibowo, “Heating Mode Effect on Perpendicular Magnetik Recording,” International Journal of Innovation and Applied Studies, vol. 5, no. 1, 2014.
(13)
35
KARAKTERISTIK ELEKTRIK NANOPARTIKEL BaTiO
3UNTUK
APLIKASI MATERIAL MULTIFERROIC
Dwita Suastiyanti1, Moh.Hardiyanto2, Marlin Wijaya3 1,2
Institut Teknologi Indonesia, Jl.Raya Puspiptek-Serpong, 3Departement Fisika FMIPA-UI, Depok
1[email protected], 2[email protected], 3[email protected]
ABSTRAK
Barium titanate (BaTiO3/BTO) merupakan material feroelektrik yang dapat diterapkan sebagai salah satu material dasar penyusun material multiferroic yaitu material yang menunjukkan sifat feroelektrik, feromagnetik dan feroelastisitas secara simultan dalam sebuah material. Untuk dapat digunakan sebagai salah satu material penyusun material multiferroic, BTO harus dalam bentuk nanopartikel,fasa tunggal dan mempunyai nilai polarisasi saturasi elektrik yang cukup tinggi sehingga dapat memunculkan efek kopling magnetoelektrik (ME). Efek kopling ME merupakan karakteristik utama dari material multiferroic. Metode sintesa yang diterapkan adalah sol-gel yang merupakan metode yang mudah dan sederhana. Pengujian yang dilakukan adalah uji TGA/DTA (terhadap gel BTO), X-Ray Diffraction (XRD), Particle Size Analyzer (PSA) dan karakteristik elektrik. Prekursor (senyawa dasar) yang digunakan pada proses sol-gel adalah barium nitrate, titanium oxide, nitrate acid, ammonium nitrate dan citric acid sebagai fuel . Parameter yang divariasikan adalah rasio berat citric acid/BTO = 1:1 dan 2:1, waktu sinter 2 dan 4 jam masing-masing pada temperatur sinter 700oC.Hasil uji XRD menunjukkan bahwa fasa tunggal BTO diperoleh pada rasio citric acid/BTO = 2:1 dengan waktu sinter 2 jam. Dari hasil refinement menggunakan perangkat lunak HighScore Plus terhadap pola difraksi XRD, diperoleh ukuran kristal yang dihasilkan pada kondisi tersebut adalah 25 nm. Hasil pengujian dengan PSA menunjukkan bahwa serbuk BTO pada kondisi tersebut merupakan nanopartikel dengan ukuran partikel 45 nm (<100 nm). Pengukuran dengan alat ukur loop histeresis elektrik menunjukkan bahwa BTO yang dihasilkan dengan kondisi tersebut mempunyai nilai polarisasi saturasi elektrik yang paling tinggi, 44.84μC/cm2. Adanya fasa residual pada serbuk BTO akan menurunkan nilai polarisasi saturasi elektrik.
Kata-kata kunci: multiferroic, nanopartikel, polarisasi elektrik, magnetoelektrik, fasa tunggal
PENDAHULUAN
Material feroelektrik barium titanate (BaTiO3/BTO) banyak diteliti orang karena
memiliki sifat yang menarik seperti dielectric, pyroelectric, piezoelectric dan electro optic
yang sangat baik. Aplikasinya banyak diterapkan untuk divais-divais elektronik [1]. Akan tetapi pada penelitian ini aplikasi material BTO diarahkan bukan sebagai material tunggal untuk divais-divais elektronik tetapi sebagai salah satu material dasar penyusun material
multiferroic berstruktur nanokomposit. Agar
dapat berfungsi sebagai material penyusun material multiferroic, BTO harus sebagai material nanopartikel fasa tunggal [2,3,4] untuk dapat memperoleh efek kopling Magneto
Elektrik (ME) yang cukup kuat yang merupakan karakteristik utama dari material
multiferroic. Di samping itu serbuk BTO harus mempunyai karakteristik elektrik yang cukup baik terutama nilai polarisasi saturasi elektrik yang tinggi. Partikel BTO diperlukan dalam bentuk single electric domain [5]. Ketertarikan mempelajari partikel berukuran nano terletak pada kemampuan untuk menghasilkan senyawa fasa tunggal yang dapat mempengaruhi nilai parameter kristal dan pola difraksinya yang pada akhirnya mempunyai efek terhadap sifat-sifat fisisnya khususnya sifat-sifat elektrik [6]. Beberapa studi yang telah dilakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa ukuran rata rata fasa material dalam skala nanometer menyebabkan
(14)
36
meningkat sejalan dengan bertambah kecilnya ukuran butir. Interaksi yang kuat ini akan menimbulkan adanya efek kopling magnetoelektrik (ME) yang menyebabkan adanya sifat multiferroic pada material. Oleh karena itu, preparasi material BTO harus diarahkan kepada sistem nanopartikel sehingga BTO dapat dijadikan sebagai salah satu material dasar penyusun material multiferroic. Material multiferroic adalah material yang dapat menunjukkan sifat feromagnetik, feroelektrik dan feroelastisitas secara bersamaan dalam sebuah material yang dinyatakan dengan memiliki nilai kopling ME yang cukup besar.Pembentukan nanopartikel dilakukan melalui proses sol-gel yang merupakan metode yang sederhana dan mudah. Dengan metode ini diharapkan akan dihasilkan material nanopartikel BTO fasa tunggal. Keuntungan menggunakan metode sol-gel antara lain : reagen yang diperlukan merupakan senyawa yang sederhana, menghasilkan nanopartikel, tidak diperlukan peralatan khusus, unsur-unsur dopants dapat dengan mudah dimasukkan ke dalam produk akhir, sangat sedikit kemungkinan terjadinya aglomerisasi partikel, memerlukan temperatur proses yang relatif rendah, menghasilkan produk dengan kemurnian tinggi, struktur mikro yang homogen dengan distribusi ukuran yang sempit dan bentuk yang seragam [7].
Hingga saat ini pada umumnya BTO disintesis melalui metode solid state reaction. Akan tetapi metode ini memiliki beberapa kelemahan yaitu suhu sintering yang tinggi (1400-1450oC), masih adanya pengotor yang berasal dari proses ball milling serta ukuran partikelnya masih belum mencapai nano Sekarang ini material BTO banyak dipelajari untuk aplikasi material multiferroic yaitu sebagai salah satu material dasar penyusun material multiferroic.
BAHAN DAN METODE
Sintesa material BTO dilakukan dengan menggunakan senyawa dasar pro analysis produk Merck dengan kemurnian 99,99% yaitu
C6H8O7 sebagai fuel. Senyawa-senyawa dasar
tersebut dilarutkan ke dalam aquabidestilata yang kemudian dipanaskan di atas hot plate pada 80-90oC sampai terbentuk gel (kurang lebih 4 sampai 5 jam). Adapun tahapan proses sintesa ditunjukkan pada Gambar 1.
Penimbangan material dasar Ba(NO3)2, TiO2, C6H8O7, NH4NO3, HNO3 sesuai perhitungan stoikhiometri
Rasio berat C6H8O7/barium titanate = 2:1,dipanaskan 80-90oC selama 4-5 jam
Rasio berat C6H8O7/barium titanate = 1:1, dipanaskan 80-90oC selama 4-5 jam
Pemanasan 150oC selama 1 jam
Pemanasan 450oC selama 24 jam
Pemanasan 700oC selama 2 dan 4 jam
Uji XRD, Particle Size Analyzer dan Loop Histeresis Elektrik
Uji TGA/DTA
Hasil Uji TGA/DTA
Gambar 1. Diagram Alir Sintesa BTO Metode Sol-Gel
Karakterisasi material BTO yang sudah diperoleh dilakukan dengan menggunakan uji X-Ray Diffraction (XRD), Particle Size Analyzer dan loop histeresis elektrik. Pengujian dengan XRD dilakukan dengan menggunakan alat XRD tipe Phillips PW 1835 dengan sudut difraksi 20o-100o dan menggunakan radiasi CuKα. Crystallite size dapat diketahui dari hasil refinement pola difraksi sinar-x sampel dengan menggunakan piranti lunak HighScore Plus. Karakterisasi dengan Particle Size Analyzer dilakukan dengan menggunakan instrumen Beckman Coulter DelsaTM Nano dengan menggunakan larutan pendispersi Ethyl Alcohol yang dibiarkan selama 4 hari kemudian partikel/serbuk dipecah lagi dengan menggunakan ultrasonic. Karakterisasi dengan
(15)
37
(TGA)/Differential Thermal Analysis (DTA) ditujukan untuk mengamati perubahan massa dan panas sampel (masih dalam bentuk gel) terhadap kenaikan temperatur,menggunakan alat TGA/DTA tipe Research Thermal Balance Series LINSEIS L81-I/L81-STA (TGA-DTA). HASIL DAN DISKUSI
Proses sol-gel dilakukan untuk menghasilkan material serbuk BTO berukuran nano. Adapun tahapan prosesnya ditunjukkan seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. (a) dan (b) Proses Pemanasan di atas
Hot Plate, (c) dan (d) Proses Combustion di dalam
Furnace
Tahapan sol-gel dimulai dari proses pemanasan di atas hot plate pada temperatur 80-90oC selama 4-5 jam sampai larutan berubah bentuk menjadi gel (Gambar 2 a dan b). Kemudian gel dipanaskan di dalam furnace pada temperatur 150oC selama 1 jam untuk proses penguapan air (Gambar 2 c). Setelah itu dilakukan proses kalsinasi pada 450oC selama 24 jam (Gambar 2 d) dan dilanjutkan dengan proses sinter pada 700oC selama 2 dan 4 jam. Pada akhir proses diperoleh serbuk BTO seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Serbuk BTO Setelah Proses Sinter Serbuk BTO seperti pada Gambar 3 diperoleh pada akhir proses sol-gel melalui beberapa tahapan reaksi sebagai berikut :
Ba(NO3)2 BaO+N2+ 5[O] (1)
BaO + TiO2 BaTiO3 (2) NH4OH + HNO3 NH4NO3 (3)
NH4NO3 2 H2O + N2 + [O] (4)
C6H8O7 + 9 [O] 6 CO2 + 4 H2O (5)
Material dasar Ba(NO3)2 dengan proses
pemanasan pada 80-90oC akan terurai sesuai dengan persamaan reaksi (1). Untuk selanjutnya senyawa BaO yang terbentuk akan bereaksi dengan material dasar TiO2 menjadi
BaTiO3 sesuai dengan persamaan reaksi (2).
Pada proses pemanasan 80-90oC akan terbentuk pula gas-gas N2, [O] dan H2O. Senyawa
NH4NO3 terbentuk dari penambahan NH4OH
(untuk pengaturan pH = 7) dan HNO3 yang
digunakan untuk melarutkan TiO2.
Pembentukan senyawa ini mengikuti persamaan reaksi (3). Senyawa ini kemudian akan terurai menjadi H2O, N2 dan [O]
mengikuti persamaan reaksi (4). Pada pemanasan 150oC selama 1 jam akan terjadi penguapan sisa H2O yang tidak habis menguap
pada saat pembentukan gel. Proses pembentukan BaTiO3 mengikuti persamaan
reaksi (2) terjadi melalui pengikatan ion-ion Ba2+ dan Ti4+ oleh rantai-rantai C yang berasal dari C6H8O7 pada temperatur 450oC selama 24
jam. Selama proses pengikatan oleh rantai-rantai C tersebut terjadi reaksi (5) dimana C6H8O7 akan teroksidasi dengan [O] yang
a b
(16)
38
CO2 dan H2O yang akan ikut menguap pada
saat pemanasan pada 450oC. Proses sinter pada 700oC atau 800oC akan memperkuat ikatan antar butir BTO dan diharapkan terjadi kristalisasi dari serbuk dengan ukuran nano. Untuk mengetahui temperatur-temperatur tersebut di atas yaitu temperatur terjadinya proses penguapan air, penguapan gas-gas dan perubahan fasa dilakukan pengujian dengan TGA/DTA yang hasilnya ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4.Hasil Uji TGA/DTA Terhadap
Gel BTO
Gambar 4 memperlihatkan bahwa hasil pengujian dengan TGA menunjukkan gel mengalami perubahan berat kurang lebih sebesar 50% yang dimulai pada temperatur 150oC. Pada temperatur di atas 150oC masih terjadi pengurangan berat sampel kurang lebih sebesar 20%. Kehilangan berat ini disebabkan karena terjadi penguapan air yang berasal dari air bidestilata yang ditambahkan pada saat pembentukan gel dan berasal dari proses penguapan NH4NO3 (persamaan reaksi 3).
Hasil pengujian dengan DTA menunjukkan juga suatu perubahan yaitu terjadi peningkatan energi kurang lebih sebesar 120 μV yang dimulai pada temperatur yang sama seperti yang ditunjukkan oleh TGA yaitu 150oC. Pada temperatur 450oC mulai terjadi peningkatan energi kurang lebih sebesar 150 μV yang disebabkan karena adanya penguapan gas-gas
terjadi juga pengurangan berat kurang lebih 5% seperti yang ditunjukkan oleh TGA.Untuk menghilangkan unsur-unsur pengotor lainnya dan memperkuat ikatan antar butir BTO dilakukan proses sinter pada temperatur 700oC. Fenomena-fenomena yang terjadi pada saat gel dipanaskan sampai 1000oC (pada saat pengujian dengan TGA/DTA) menghasilkan acuan temperatur yang untuk selanjutnya digunakan pada proses sintesa BTO khususnya pada beberapa kali proses pemanasan di dalam furnace.
Untuk mengkonfirmasi serbuk apakah merupakan fasa tunggal BTO dilakukan pengujian XRD terhadap seluruh sampel yang hasilnya ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Pola Difraksi Sinar X Serbuk BTO Di antara keempat sampel pada Gambar 5, yang menunjukkan pola difraksi barium titanate tanpa adanya fasa-fasa lain selain fasa BaTiO3
adalah sampel dengan rasio berat citric acid : serbuk BTO = 2:1 dengan temperatur sinter 700oC selama 2 jam. Gambar 5 menunjukkan pula bahwa untuk parameter yang lain masih mengandung adanya fasa Ti2O3 dan BaCO3.
Fasa Ti2O3 terbentuk karena ada sejumlah Ti4+
yang belum larut dan teroksidasi kembali menjadi Ti2O3 selama sintering yang lebih lama
(4 jam).Sedangkan Senyawa BaCO3 terbentuk
(17)
39
bahkan terjadi reaksi antara ion Ba2+ dengan gas CO2 yang berasal dari reaksi (5).
Untuk mengkonfirmasi apakah sampel yang mengalami pemanasan pada 700oC selama 2 jam merupakan fasa tunggal, maka dilakukan refinement dengan menggunakan piranti lunak HighScore Plus yang hasilnya ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Hasil Refinement Pola Difraksi Sinar X Sampel BTO Temperatur Sinter 700oC 2 Jam Gambar 6. memperlihatkan bahwa sampel yang mengalami pemanasan 700oC selama 2 jam mempunyai puncak-puncak pola difraksi yang tepat sama dengan pola difraksi standar BTO tanpa adanya fasa kedua (fasa residual), ditunjukkan oleh daerah puncak yang seluruhnya diarsir warna biru. Hal ini menunjukkan bahwa sampel BTO mengandung 100% BaTiO3 (fasa tunggal). Dari hasil
refinement pola difraksi pada Gambar 6 dapat diperoleh beberapa data kristalografi seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Data Kristalografi BTO Fasa Tunggal
Tabel 1 menunjukkan bahwa sampel BTO fasa tunggal mempunyai sistem tetragonal, ukuran kristal 25 nm dan micro strain 0%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi proses sinter pada temperatur 700oC selama 2 jam merupakan kondisi proses optimum untuk memperoleh serbuk BTO fasa tunggal nanokristalin.
Sebagai perbandingan dengan serbuk BTO komersil yang diproduksi oleh salah satu perusahaan kimia, ternyata serbuk BTO komersil tersebut belum merupakan serbuk BTO fasa tunggal tetapi masih mengandung 1,3 % fasa Ti2O3 seperti ditunjukka pada Gambar 7
yang merupakan hasil refinement terhadap pola difraksi sinar X serbuk BTO komersil.
Gambar 7. Hasil Refinement Pola Difraksi Sinar X Serbuk BTO Komersil
(18)
40
puncak dengan intensitas yang rendah yang bukan merupakan puncak dari pola difraksi BTO melainkan puncak dari Ti2O3 (ditunjukkan
dengan tanda panah). Hal ini menunjukkan bahwa serbuk komersil tersebut bukan merupakan serbuk BTO fasa tunggal.
Dengan menggunakan alat uji PSA (Particle Size Analyzer) Beckman Coulter, dilakukan pengukuran besar partikel BTO yang mengalami sinter 700oC selama 2 jam (BTO fasa tunggal) seperti ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Distribusi Ukuran Partikel BTO Fasa Tunggal
Hasil pengukuran pada Gambar 8. menunjukkan bahwa sebagian besar partikel mempunyai ukuran diameter 45,127 nm (45 nm). Hal ini menunjukkan bahwa serbuk BTO fasa tunggal tersebut adalah merupakan nanopartikel karena ukuran partikelnya < 100 nm.
Untuk mengetahui karakteristik elektrik sampel BTO dilakukan pengujian loop histeresis elektrik. Peralatan yang digunakan ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 9. Rangkaian Instrumen Ukur Loop Histeresis Elektrik
Dengan menggunakan rangkaian instrumen seperti ditunjukkan pada Gambar 9 dilakukan pengujian terhadap seluruh sampel BTO yang hasilnya ditunjukkan pada Gambar 10 sampai dengan Gambar 13.
Gambar 10. Bentuk Loop Histeresis Elektrik BTO Perbandingan Citric Acid/BTO = 2:1 pada
(19)
41
Gambar 11. Bentuk Loop Histeresis Elektrik BTO Perbandingan Citric Acid/BTO = 2:1 pada
Temperatur Sinter 700oC 4 Jam
Gambar 12. Bentuk Loop Histeresis Elektrik BTO Perbandingan Citric Acid/BTO = 1:1 pada
Temperatur Sinter 700oC 2 Jam
Perbandingan Citric Acid/BTO =1:1 pada Temperatur Sinter 700oC 4 Jam
Gambar 10 sampai dengan 13 memperlihatkan bahwa seluruh sampel memiliki bentuk loop histeresis elektrik yang cukup baik yang menandakan bahwa sampel-sampel tersebut mempunyai nilai polarisasi saturasi elektrik. Nlai polarisasi saturasi elektrik dari seluruh sampel dapat dilihat pada Gambar 10 sampai dengan Gambar 13 yang dapat ditabelkan seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Polarisasi Saturasi Elektrik BTO
Sinter
Rasio Citric Acid
/BTO
Polarisasi Saturasi Elektrik ((μC/cm2)
Komposisi Fasa
700oC 2 Jam
2:1 44,84 BaTiO3
700oC 4 Jam
2:1 43,82 BaTiO3
Ti2O3 700oC
2 Jam
1:1 42,80 BaTiO3
Ti2O3 BaCO3 700oC
4 Jam
1:1 40,76 BaTiO3
Ti2O3 BaCO3
Nilai polarisasi saturasi elektrik makin meningkat jika fraksi berat citric acid bertambah pada proses sinter yang lebih pendek. Nilai polarisasi saturasi elektrik yang paling besar, 44.84 μC/cm2 dimiliki oleh serbuk BTO yang mempunyai fraksi berat citric acid 2 bagian dan waktu sinter 2 jam. Di samping itu Tabel 2 memperlihatkan pula bahwa nilai polarisasi saturasi elektrik yang paling besar tersebut dimiliki oleh sampel BTO fasa tunggal. Adanya fasa-fasa lain (fasa residual) selain
(20)
42
elektrik dan makin banyak fasa residual tersebut maka makin rendah nilai polarisasi saturasi elektriknya.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Metode sol-gel dengan rasio berat fuel citric acid/BTO = 2:1 dan proses sinter pada 700oC selama 2 jam dapat diterapkan pada sintesa serbuk barium titanate untuk menghasilkan serbuk nanopartikel fasa tunggal.
2. Nilai polarisasi saturasi elektrik yang paling besar 44,84 μC/cm2 dimiliki oleh serbuk barium titanate dengan fasa tunggal.
3. Adanya fasa-fasa residual selain fasa BaTiO3 dapat menurunkan nilai polarisasi
saturasi elektrik dan makin banyak fasa residual maka makin kecil nilai polarisasi saturasi elektriknya.
4. Rasio berat citric acid lebih dari 1 bagian dapat meningkatkan nilai polarisasi saturasi elektrik terutama pada waktu sinter yang lebih pendek.
5. Serbuk BaTiO3 yang dihasilkan dengan fasa
tunggal dapat diaplikasikan sebagai salah satu material dasar penyusun material multiferroic karena menunjukkan karakteristik elektrik yang cukup baik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dapat terlaksana dengan dukungan sebagian dana dari Hibah Desentralisasi Skim Fundamental 2014, DIKTI, No. 0284/E5.1/PE/2014, 0263/E5/2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
[1] S.Srimala,F.M.N Ahmad, A.A Zainal, O.Radzali, W.Anthony, “Structural and Electrical Characteristic of Crystalline Barium Titanate Synthesized by Low Temperature Aqueous Method”, Journal
vol.195, pp. 171-177, 2008.
[2] D.Suastiyanti, B. Soegijono, M. Hikam, “Simple Recipe to Synthesize BaTiO3
-BaFe12O19 Nanocomposite Bulk System
with High Magnetization”, Applied Mechanics and Materials, vol. 493, pp. 634-639 2014.
[3] D. Suastiyanti, B. Soegijono, M. Hikam, “Magnetic Behaviors of BaTiO3
-BaFe12O19 Nanocomposite Prepared by
Sol-gel Process Based on Differences in Volume Fraction”, Advanced Materials Research, vol. 789, pp. 118-123, 2013. [4] D. Suastiyanti, B. Soegijono, M. Hikam,
“Magnetoelectric Coupling Phenomena Based on The Changes of Magnetic Properties in Multiferroic Nanocomposite BaTiO3-BaFe12O19 System”, Advanced
Materials Research, vol. 896, pp. 385-390, 2014.
[5] J. Lin, Y. Zeng, C. Guo, W. Zhang, X. Yang, “One Step Synthesis of Barium Hexaferrite Nano Powders via Microwave Assisted Sol – gel Auto Combustion”, Elsevier Science Direct Ceramics International, vol. 30, pp. 993-997, 2010. [6] M. Hikam, D. Suastiyanti, S.R. Adnan, B.
Soegijono, “The Influence of BaTiO3
-BaFe12O19 Differents Composition on Its
Ferroelectric Properties”, Journal of Physics: Conference Series, vol. 495, 012007, 2014.
[7] D. Bahadur, S. Rajakumar, A. Kumar, “Influence of Fuel Ratios on Auto Combustion Synthesis of Barium Ferrite Nano Particles”, J.Chem, Sci, vol 118 no. 1, pp. 15-21, 2006.
(21)
43
PENGUKURAN KONSENTRASI LARUTAN GULA MENGGUNAKAN
SENSOR ULTRASONIK
Indria Puspa Yaniar1, Nur Aji Wibowo2, Andreas Setiawan2 1
Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Sains dan Matematika 2
Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50711, Indonesia [email protected]
ABSTRAK
Gula merupakan salah satu bahan pemanis yang biasa digunakan untuk makanan dan minuman dalam kehidupan sehari-hari dan konsentrasi kadar gula mengambil peran penting dalam menentukan cita rasa makanan. Dengan memanfaatkan bidang hardware dan software yang diaplikasikan pada Gelombang Ultrasonik, maka dirancang sebuah alat yang digunakan untuk mengukur konsentrasi kadar gula pada sebuah larutan. Beberapa alat yang diperlukan dalam penelitian antara lain catu daya, generator sinyal, tranduser, osiloskop, pipa PVC (Polivinil Klorida), dan tiang statif. Untuk mengukur konsentrasi larutan gula, pipa PVC (Polivinil Klorida) diisi larutan yang berisi air dan gula cair ±300ml atau sepanjang 40cm. Dalam penelitian ini pengukuran larutan gula didasarkan pada kecepatan gelombang yang merambat di dalam larutan tersebut. Konsentrasi sampel larutan gula cair yang digunakan dalam pengukuran dilakukan secara bertahap antara lain 0%, 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 60%, hingga 70%. Dari sampel-sampel tersebut diperoleh bahwa Gelombang ultrasonik mampu merambat lebih cepat pada larutan dengan konsentrasi gula yang lebih tinggi, dalam hal ini larutan gula dengan konsentrasi 70% yaitu sebesar 1666.667 m/s, sedangkan larutan dengan konsentrasi yang lebih rendah atau tanpa konsentrasi gula yakni dengan konsentrasi 0%, perambatan gelombang ultrasoniknya lebih lambat yaitu sebesar 1333.333 m/s. Hal ini menyatakan bahwa Sensor Ultrasonik dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi gula dalam larutan.
Kata kunci: gula, gelombang ultrasonik, kecepatan gelombang, konsentrasi larutan, sensor
PENDAHULUAN
Gula merupakan salah satu bahan pemanis yang biasa digunakan untuk makanan dan minuman dalam kehidupan sehari-hari. Gula juga menjadi bahan baku bagi industri [1] makanan dan minuman. Proses produksi makanan atau minuman dalam skala besar tentunya diperlukan alat ukur bahan baku yang tepat agar cita rasa makanan sesuai yang diinginkan.
Konsentrasi kadar gula [2] juga mempengaruhi cita rasa pada makanan, semakin ketat kosentrasi gula pada larutan, semakin manis pula rasa larutan tersebut. Pada industri makanan atau minuman, pengukuran konsentrasi gula merupakan suatu hal yang sangat penting agar dapat menentukan takaran yang tepat. Pengukuran konsentrasi gula dapat dilakukan secara ilmiah. Dalam penelitian ini dirancang alat untuk mengukur konsentrasi gula secara
fisika yang diharapkan bisa melengkapi metode sebelumnya, yaitu metode difraksi [3] dan metode interferometer michelson [4].
Dengan memanfaatkan bidang hardware dan software yang diaplikasikan pada gelombang ultrasonik, maka dalam tugas akhir ini dirancang sebuah alat yang digunakan untuk mengukur konsentrasi kadar gula pada sebuah larutan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari pengaruh konsentrasi gula terhadap kecepatan rambat gelombang ultrasonik, dengan menggunakan tranduser ultrasonik type Airmart AT200 sebagai sumber sinyal ultrasonik yang ditampilkan pada Osiloskop untuk melihat kecepatan gelombang didalam larutan gula.
(22)
44
Dalam penelitian ini langkah awal yang dilakukan adalah merangkai alat untuk meneliti larutan gula. Peralatan yang digunakan antara lain:
1) Catu daya (sumber tegangan) yang digunakan sebagai sumber energy pada generator sinyal.
2) Generator sinyal berfungsi sebagai penghasil pulsa dan juga merupakan sirkuit internal peralatan elektronik, alat ini berfungsi untuk memberikan penguatan pada pulsa yang ditransmisikan, sehingga pantulan pulsa dapat terlihat jelas pada osiloskop.
3) Tranduser berfungsi sebagai pengirim dan penerima gelombang ultrasonik.
4) Osiloskop berfungsi untuk memberikan tampilan gelombang ultrasonic dan pantulan gelombang ultrasonik.
5) Pipa pralon dengan diameter 2,5 cm dan panjang 50 cm sebagai tabung untuk menampung larutan gula kyang akan diteliti. 6) Statif berfungsi sebagai penyangga tabung
agar dapat berdiri dengan vertical.
Setelah peralatan sudah tersedia langkah berikutnya adalah merangkai alat. Generator pulsa dihubungkan dengan catu daya sebagai sumber daya kemudian dihubungkan dengan tranduser sebagai pengirim gelombang sekaligus sensor gelombang dan dihubungkan juga dengan osiloskop untuk dapat melihat tampilan gelombang. Berikut skema alat yang digunakan untuk mengukur konsentrasi larutan gula.
Gambar 1. Skema alat ukur larutan gula Generator pulsa diberi daya dari catu daya sebesar 12 volt untuk menghasilkan sinyal elektrik yang ditransmisikan ke tranduser. Sinyal elektrik dari generator sinyal akan dikonversi menjadi gelombang ultrasonik oleh tranduser. Sinyal elektrik yang telah dikonversi menjadi gelombang ultrasonik dipancarkan kedalam tabung yang berisi larutan gula yang akan diteliti konsentrasi gula dalam larutan tersebut. Tranduser selain sebagai pengirim gelombang ultrasonik juga berfungsi sebagai sensor pantulan gelombang ultrasonik. Gelombang utrasonik yang dpancarkan dalam tabung berisi larutan gula akan merambat dalam larutan. Gelombang yang sampai di ujung tabung terhalang dengan tutup tabung, maka dari itu sebagian gelombang akan diteruskan dan sebagian lagi dipantulkan oleh dinding penghalang. Pantulan gelombang ultrasonik yang kembali ke arah tranduser akan ditangkap oleh sensor tranduser kemudian sinyal gelombang ultrasonic akan dikonversi menjadi sinyal elektrik lagi dan diteruskan pada generator pulsa kembali. Osiloskop yang terhubung dengan generator pulsa dapat menampilkan gelombang ultrasonic yang dipancarkan dan pantulan gelombang ultrasonik.
(23)
45
Gambar 2. Gambar pantulan gelombang dalam tabung
Gambar 3. Contoh tampilan gelombang pada layar osiloskop
Berdasarkan tampilan gelombang dalam osiloskop kita dapat mengetahui waktu yang diperlukan saat gelombang memancar hingga gelombang pantul kembali lagi mengenai sensor tranduser. Waktu rambat gelombang pancar sampai gelombang pantul ditampilkan dengan kode X1 dan X2 pada layar osiloskop.
Dalam penelitian ini tabung yang digunakan untuk mengukur konsentrasi larutan berdiameter 2,5 cm dengan panjang 50cm, namun yang diisi dengan larutan hanya sepanjang 40 cm hal ini dikarenakan 10 cm dari tabung diinginkan untuk dudukan sensor tranduser. Berdasarkan ukuran tabung yang digunakan maka kita dapat mengetahui panjang larutan yang dirambati gelombang ultrasonik. Dengan mengetahui jarak dan waktu rambatan gelombang ultrasonik maka kita dapat menghitung kecepatan gelombang pada larutan yang akan diteliti.
kadar gula dalam sebuah larutan didasarkan dengan membandingkan kecepatan rambatan gelombang ultrasonik di setiap larutan yang diteliti. Penelitian ini menggunakan sampel larutan gula dengan perbandingan gula cair 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 60%, 70%. Berdasarkan sampel larutan yang digunakan diharapkan kita dapat mengetahui tingkatan konsentrasi gula pada larutan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pengukuran yang dilakukan didapatkan data kecepatan gelombang ultrasonik dengan perbandingan gula cair 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 60%, 70% seperti pada tabel berikut:
Tabel 1. Hasil Pengukuran air gula cair x(m) t (µs) t/2 (µs) t/2 (s) v(m/s)
100% - 0.4 600 300 0.00030 1333.333 90% 10% 0.4 550 275 0.00028 1454.545 80% 20% 0.4 580 290 0.00029 1379.310 70% 30% 0.4 540 270 0.00027 1481.481 60% 40% 0.4 530 265 0.00027 1509.434 50% 50% 0.4 510 255 0.00026 1568.627 40% 60% 0.4 490 245 0.00025 1632.653 30% 70% 0.4 480 240 0.00024 1666.667
Dari hasil pengukuran didapatkan data kecepatan rambatan gelombang ultrasonik pada setiap larutan. Dalam perhitungan larutan waktu rambatan harus dibagi dua dikarenakan waktu yang tercantum dalam osiloskop adalah waktu gelombang ultrasonik dipancarkan sampai gelombang pantul kembali mengenai sensor tranduser, sedangkan jarak larutan yang dirambati gelombang adalah posisi sensor ultrasonik dengan tutup ujung tabung.
Berdasarkan data yang diperoleh kita dapat membandingkan kecepatan gelombang pada setiap larutan. Data hasil perhitungan memperlihatkan bahwa semakin besar konsentrasi gula pada larutan maka kecepatan gelombang ultrasonic yang melaluinya juga semakin cepat. Hal tersebut dapat kita lihat dengan jelas pada grafik perbandingan kecepatan dengan kosentrasi air gula.
(24)
46
Gambar 4. Perbandingan konsentrasi gula terhadap kecepatan gelombang
Dari gambar 4 dapat dilihat bahwa perbandingan konsentrasi air terhadap kecepatan gelombang yang mengalir pada larutan gula. Pada konsentrasi air 30% berarti mengandung 70% gula cair kecepatan gelombang ultrasonik tampak paling cepat. Kecepatan gelombang tampak menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi air dalam larutan yang berarti konsentrasi gula semakin berkurang.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan dan analisa secara umum maka dapat dinyatakan bahwa gelombang ultrasonik dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi gula dalam larutan. Gelombang ultrasonik mampu merambat lebih cepat pada larutan dengan konsentrasi gula yang lebih tinggi. Pengukuran konsentrasi gula menggunakan sensor gelombang ultrasonik beracuan pada kecepatan gelombang pada larutan yang diukur.
Penelitian ini memerlukan pengembangan untuk penelitian selanjutnya agar gelombang ultrasonik tidak hanya dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi gula namun juga untuk jenis larutan lain.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Abd. Rahman Razak, dkk, “Optimalisasi Hidrolisis Sukrosa Menggunakan Resin Penukar Kation Tipe Sulfonat,” Jurnal Natural Science, vol. 1.(1) 119-131, 2012. [2] Satria Bagus Pratama, dkk, “Studi Pembuatan Sirup Tamarillo (Kajian Perbandingan Buah Dan Konsentrasi Gula),” Jurnal Industria, vol. 1, no. 3, hal. 180 – 193. [3] Lusiana Weni Setyarini, dkk, “Perancangan Sistem Pengukuran Larutan Gula Menggunakan Metode Difraksi,”Jurnal Teknik Pomits, vol. 1, no. 1, 1-5, 2012. [4] Friska Ayu Nugraheni, dkk, “Perancangan Sistem Pengukuran Konsentrasi Larutan Gula Dengan Menggunakan Interferometer Michelson,”Jurnal Teknik Pomits, vol. 1, no. 1, 1-5, 2012.
DISKUSI
Pertanyaan : Apakah sudah diujikan terhadap larutan gula yang konsentrasi gulanya belum diketahui? Bagaimana jika dibandingkan dengan metode lain?
Jawab : Belum dilakukan riset pada larutan gula yang konsetrasinya tidak diketahui untuk memprediksi konsentrasi gula. Ada beberpa metode lain seperti inframater Michelson dan difraksi tapi dalam riset ini tidak dilakukan sebagai pembanding.
(25)
STUDI DAN EKSPERIMEN DASAR
PULSE DETONATION ENGINE
DENGAN BAHAN BAKAR HIDROGEN - OKSIGEN.
Jayan Sentanuhady1), Arwanto Lakat2) 1)
Jurusan Teknik Mesin dan Industri Universitas Gadjah Mada (UGM) Jl. Grafika. No 2. Sleman Yogyakarta
Email :[email protected] 2)
Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada (UGM). Yogyakarta. Email :[email protected]
ABSTRAK
Pemanfaatan gelombang detonasi sebagai gaya dorong pada umumnya diterapkan untuk roket – roket atau dioperasikan pada mesin– mesin kecepatan super tinggi. Keuntungan menggunakan gelombang detonasi sebagai gaya dorong adalah tidak diperlukan lagi sudu – sudu penekan gas dan ukuran mesinnya dapat dibuat lebih kecil. Pulse detonation engine (PDE) adalah mesin yang memanfaatkan gelombang detonasi yang memberikan impuls pada dinding pipa dan mendorong nyala pembakaran gas sehingga keceptaan perambatan nyala lebih cepat, seiring dengan peningkatan kecepatan gas pembakaran maka terjadilah gaya dorong pada PDE. Untuk memperoleh impuls maksimum maka perlu dilakukan variasi waktu pembukaan dan penutupan katup selenoid serta tekanan awal bahan bakar sebelum masuk keruang bakar agar tekanan detonasi tidak menyebabkan berkurangnya pasokan campuran bahan bakar yang dimasukkan keruang bakar untuk siklus berikutnya, fenomena ini memang perlu diteliti lebih jauh lagi karena menyangkut impuls yang dihasilkan dan tekanan detonasi. Hasil pengujian menunjukkan semakin banyak kapasitas bahan bakar yang diinjeksikan keruang bakar PDE maka semakin besar gaya dorong yang dihasilkan PDE, semuanya bisa dilihat mulai dari tekanan awal, Po=100 kPa, menghasilkan gaya dorong, F = 31963,265 N. dan Po = 90 kPa, menghasilkan gaya dorong, F = 23919,7168 N. Hal ini disebabkan karena semakin besar kapasitas bahan bakar berdasarkan tekanan dan kerapatan bahan bakar maka makin besar tekanan detonasi yang terjadi seiring dengan kenaikan kecepatan reaksi pembakaran yang berhubungan dengan kecepatan gas keluar dari pipa detaonasi dari PDE. Kata-kata Kunci: Detonation, Impulse, Tekanan, Gaya dorong, P.D.E.
1. PENDAHULUAN
Pemanfaatan gelombang detonasi sebagai gaya dorong pada umumnya diterapkan untuk roket – roket atau mesin –mesin yang dioperasikan pada kecepatan super tinggi. Keuntungan menggunakan gelombang detonasi sebagai gaya dorong adalah tidak diperlukan lagi sudu – sudu penekan gas dan ukuran mesinnya dapat dibuat lebih kecil. Pulse detonation engine (PDE) adalah mesin yang memanfaatkan gelombang detonasi (detonation wave) yang memberikan impuls pada dinding pipa dan mendorong nyala pembakaran gas sehingga keceptaan perambatan nyala lebih cepat, seiring dengan peningkatan kecepatan gas pembakaran dan impuls maka terjadilah gaya dorong pada PDE. Berbagai teori menyebutkan bahwa PDE merupakan penyempurnaan dari pulsejet dan berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan diperoleh prestasi yang lebih tinggi dibanding pulsejet, hal ini disebabkan karena campuran bahan bakar dibakar pada tekanan yang cukup tinggi sehingga kerapatan gas meningkat dan hasil pembakarannya menimbulkan tekanan yang besar, tekanan inilah yang nantinya
akan memberikan impuls, menaikkan keceptan reaksi dan memadatkan campuran bahan bakar untuk semprotan campuran bahan bakar berikutnya.
Pembakaran bahan bakar pada PDE berlangsung dari deflagrasi ke detonasi (detonation) sehingga shock wave yang dihasilkan PDE lebih tinggi dibanding pulsejet, prestasi yang dihasilkan PDE tidak lepas dari konstruksi peralatan yang terpasang pada PDE seperti sistem pemasukkan bahan bakar hidrogen – oksigen, sistem penyalaan dan frekwensi yang diatur oleh suatu sitem kontrol otomatis, sistem – sistem inilah yang menentukan besar dan banyaknya impuls yang dihasilkan PDE. Untuk memperoleh impuls maksimum maka perlu dilakukan variasi waktu pembukaan dan penutupan katup selenoid untuk mengatur kapasitas campuran bahan bakar serta tekanan awal bahan bakar sebelum masuk keruang bakar agar tekanan detonasi tidak menyebabkan berkurangnya pasokan bahan bakar yang dimasukkan keruang bakar untuk siklus berikutnya, fenomena ini memang perlu diteliti lebih jauh lagi karena menyangkut impuls yang dihasilkan dan ledakan detonasi. Variabel – variabel lainnya yang ikut berpengaruh pada PDE yaitu kerapatan campuran gas yang terjadi akibat dari tekanan
(1)
USAHA MENUMBUHKAN KREATIVITAS PESERTA DIDIK DALAM
MEMBUAT KARYA IPA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN
PROBLEM BASED INSTRUCTION
DI
SMP NEGERI 1 TEMANGGGUNG
Bambang Surahmadi1, Ishafit2
Magister Pendidikan Fisika Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Makalah ini menyajikan penelitian mengenai usaha menumbuhkan kreativitas peserta didik dalam membuat karya IPA dengan model pembelajaran Problem Based Instruction (PBI) di kelas VIII F SMP N I Temanggung tahun pelajaran 2013/2014. Kondisi peserta didik di kelas VIII F kurang tergalinya kreativitas peserta didik dalam pembelajaran IPA khususnya fisika. Dalam melakukan eksperimen, peserta didik masih harus dibantu dengan Lelmbar Kerja Siswa (LKS) yang rinci seperti resep membuat makanan dan bimbingan guru. Guru tidak pernah memberi peluang pada peserta didik dalam menunjukkan kreasinya dalam pembuatan karya IPA melalui pembelajaran yang dilakukan di kelas. Secara garis besar Problem Based Instruction menyajikan pembelajaran kepada peserta didik melalui situasi otentik dan bermakna yang dapat memberi kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Peranan guru dalamProblem Based Instructionadalah mengajukan masalah, memfasilitasi penyelidikan dan dialog peserta didik, serta mendukung belajar peserta didik. Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap yaitu tahap rencana tindakan, tahap pelaksanaan tindakan, tahap pengamatan, dan tahap refleksi. Dari hasil analisis data pengamatan dan pengukuran ketuntasan belajar peserta didik dapat disimpulkan bahwa melalui pembelajaran model Problem Based Instruction pada konsep alat optik di kelas VIII F SMP Negeri 1 Temanggung Kabupaten Temanggung dapat menumbuhkan kreativitas kelompok peserta didik dalam membuat alat optik sederhana. Melalui pembelajaran dengan modelProblem Based Instructionterlihat adanya peningkatan nilai pemahaman konsep dan kreativitas belajar kelompok peserta didik.
Kata kunci:kreativitas, optik,Problem Based Instruction(PBI), model pembelajaran, lembar kerja siswa (LKS)
PENDAHULUAN
Mata pelajaran Fisika merupakan cabang utama dari sains karena prinsip-prinsipnya dijadikan dasar bagi cabang-cabang sains yang lain. Adapun tujuan utama dalam mempelajari fisika adalah memahami gejala-gejala alam bukan hanya mempelajari benda dan energi saja. Mempelajari IPA tidak sekedar hafal rumus, tetapi juga penerapan konsep-konsep IPA pada kehidupan sehari-hari.
SMP Negeri 1 Temanggung merupakan salah satu sekolah favorit yang berlokasi di kota Kabupaten Temanggung. Walaupun nilai hasil belajar peserta didik cukup tinggi dengan hampir mencapai
ketuntasan minimal 80, tetapi nilai ini hanya muncul pada aspek kognitif belum muncul pada aspek psikomotoriknya, sehingga dibutuhkan kreativitas siswa untuk mendorong aspek psikomotorik tersebut. Pembelajaran IPA khususnya, dari hasil wawancara dengan teman sejawat dan peserta didik ternyata pembelajaran IPA dilakukan 70% bermetode ceramah, dan kurang dari 10% menggunakan alat atau media pembelajaran, apalagi melakukan pembelajaran yang melatih peserta didik untuk menciptakan suatu karya.
Kondisi peserta didik di kelas VIII F kurang tergalinya kreativitas Peserta Didik kelas VIII F
(2)
dalam pembelajaran IPA khususnya fisika. Dalam melakukan eksperimen, Peserta Didik masih harus dibantu dengan LKS yang rinci seperti resep membuat makanan dan bimbingan guru. Guru tidak pernah memberi peluang pada Peserta Didik dalam menunjukkan kreasinya dalam pembuatan karya IPA melalui pembelajaran yang dilakukan di kelas.
Peserta Didik SMP Negeri 1 Temanggung memiliki potensi yang tinggi untuk berprestasi. Kelas VIII F ternyata belum memiliki kemampuan berkreasinya dalam membuat suatu karya IPA. Pada pembelajaran yang dilakukan guru masih sekedar memberikan suatu informasi bagi Peserta Didik. Pembelajaran belum sampai pada menggali kreativitas Peserta Didik dalam menerapkan konsep yang telah diterima.
Peningkatan kreativitas Peserta Didik dipengaruhi oleh pembelajaran yang dilakukan. Dalam rangka menumbuhkan kreativitas Peserta Didik ini, perlu adanya desain pembelajaran yang mampu mengakomodasi kreativitas Peserta Didik tersebut. Salah satu model pembelajaran yang dapat menumbuhkan kreativitas adalah Problem Based Instruction (PBI). Model pembelajaran Problem Based Instruction memberi keleluasan pada Peserta Didik untuk mengorganisasi tugas guru dan merencanakan pembuatan suatu karya untuk membahas masalah yang disajikan guru. Melalui pembelajaran seperti ini setidaknya dapat memberi peluang pada Peserta Didik untuk berkreasi membuat karya yang berkaitan dengan IPA. Dari berbagai latar belakang dan permasalahan di atas maka timbullah ide penulis untuk melakukan inovasi pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual sebagai berikut : ”Upaya Menumbuhkan Kreativitas peserta didik dalam membuat karya IPA melalui model pembelajaran Problem Based Instruction di SMP Negeri 1 Temanggung”.
DASAR TEORI A. Kreativitas
Kreativitas adalah kemampuan untuk mencipta (KBBI, 2001 :559). Dalam buku Pembinaan dan Pengembangan Klub Bakat, Minat dan Kreativitas Peserta Didik Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menciptakan suatu produk baru[1]. Ciptaan itu tidak perlu seluruh produknya harus baru,
mungkin saja gabungannya, kombinasinya, sedangkan unsur-unsurnya sudah ada sebelumnya. Jadi di sini kreativitas adalah kemampuan unuk membuat kombinasi-kombinasi baru, atau melihat hubungan-hubungan baru antara unsur, data, atau hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Kreativitas terletak pada kemampuan untuk melihat asosiasi antara hal-hal atau obyek-obyek yang sebelumnya tidak ada atau tidak tampak hubungannya[2].
Kreativitas Peserta Didik dapat ditingkatkan melalui berbagai cara dengan penarapan 3 (tiga) tingkat kreativitas[3].
a. Teknik untuk peningkatan kreativitas tingkat I :
1) Keterbukaan : di dalam kegiatan seperti ini kita tidak mencoba satu jawaban yang benar melainkan berbagai urun pikiran. 2) Penerimaan berbagai perbedaan ide dan
jawaban : kadang-kadang jawaban yang dirumuskan oleh peserta didik bersifat aneh atau lucu.
3) Penerimaan pendapat baru dan menjangkau keluar dari pikiran yang terkait pada kebiasaan berpikir.
b. Teknik untuk peningkatan kreativitas tingkat II :
1) Penjelasan tentang nilai
Membantu peserta didik memahami nilai-nilai,sumber-sumbernya, dan dampaknya terhadap kehidupan. Dengan teknik ini, tidak semata-mata mengarahkan secara khusus apa yang harus menjadi nilai hidup seseorang, tetapi juga bagaimana caranya membentuk nilai di dalam dirinya, dan bagaimana mamahaminya, serta memahami dampaknya. Dengan teknik ini sekaligus peserta didik belajar mengenal kembali, menyaring, serta berbuat sesuatu terhadap nilai dan kepercayaannya. 2) Aplikasi konsep dan nilai dalam situasi
belajar
Aplikasinya adalah membuat suatu permainan. Permainan ini menyajikan masalah. Pilihan pemecahannya merupakan perantara yang harus ditaati dan merupakan pola atau organisasi tertentu yang menyangkut suatu kesimpulan. Partisipasi terhadap permainan merupakan simulasi terhadap kejadian sebenarnya.
(3)
3) Peramalan
Dengan menjangkau masa depan berdasarkan fakta yang dimilikinya, peserta didik dilatih menghubungi pola kejadian di masa yang akan datang berdasarkan penemuan fakta (fact finding) hari ini, yaitu situasi aktualnya. Bila kita hendak menemukan masalahnya (problem finding), maka pertanyaan yang harus diajukan adalah: mengapa? Perspektif baru mana yang harus dikaitkan di sini? Di sini guru diharapkan dapat mengajukan pertanyaan terbaik untuk mengundang pengembangan.
c. Teknik untuk peningkatan kreativitas tingkat III :
Dalam persiapan untuk terlibat penuh dalam kehidupan sehari-hari adalah penting bagi peserta didik untuk mengetahui bagaimana caranya melakukan penelitian dan apa yang biasa diteliti. Ada beberapa langkah yang sangat praktis untuk hal tersebut, dikembangkan oleh Project Clue, di Memphis, Tennesse City Schools [3]. 1) Pemilihan topik/masalah
2) Mempersempit/membatasi masalah 3) Merencanakan kerangka
4) Mengumpulkan data dan mengenal sumber
5) Mengatur data
6) Menulis naskah untuk melaporkan hasil 7) Menyusun kepustakaan
8) Mengembangkan media lain bila perlu 9) Menghasilkan laporan
10) Menyunting laporan
11) Membagi hasil dengan forum persetujuan
Dengan membuat karya IPA, kreativitas yang dimiliki oleh peserta didik dapat diekspresikan melalui produk yang dihasilkan peserta didik. Perilaku kreatif dapat dituangkan dengan membuat karya IPA agar kreativitas bisa berkembang. Dengan kata lain, kreativitas akan muncul apabila seseorang banyak melakukan kreativitas atau latihan. Pada penelitian ini ada beberapa unsur yang diamati dan nilai untuk mengetahui sejauhmana kreativitas peserta didik, yaitu :
1) Kesederhanaan alat/bahan yang digunakan untuk membuat karya. 2) Manfaat dari alat hasil karya Peserta
Didik.
3) Penampilan alat hasil karya Peserta Didik.
4) Hasil karya dapat bekerja dengan baik atau tidak.
B. Problem Based Instruction (PBI)
Secara garis besar Problem Based Instruction menyajikan pembelajaran kepada Peserta Didik melalui situasi otentik dan bermakna yang dapat memberi kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri[4]. Peranan guru dalam Problem Based Instruction adalah mengajukan masalah, memfasilitasi penyelidikan dan dialog peserta didik, serta mendukung belajar peserta didik.
Tabel 1.Sintaks modelProblem Base Instruction FASE-FASE TINGKAH LAKU GURU Fase 1
Orientasi Peserta Didik kepada masalah.
Fase 2
Mengorganisasikan Peserta Didik untuk belajar.
Fase 3 Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok.
Fase 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
Fase 5
Menganalisis dan mengevaluasi
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi Peserta Didik terlibat pada Kreativitas pemecahan masalah yang dipilih.
Guru membantu Peserta Didik yang
mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Guru mendorong Peserta Didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Guru membantu Peserta Didik dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Guru membantu Peserta Didik untuk melakukan refleksi
Model pembelajaran ini sangat efektif untuk mengajarkan proses berpikir tingkat tinggi, membantu peserta didik memproses informasi yang telah dimilikinya, dan membantu peserta didik membangun sendiri pengetahuannya tentang
(4)
dunia sosial dan fisik di sekelilingnya. Pembelajaran Problem Based Instruction berdasarkan permasalahan yang bertumpu pada psikologi kognitif dan pandangan para konstruktivis mengenai belajar[5]. Problem Based Instruction tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada peserta didik. Problem Based Instruction utamanya dikembangkan untuk membantu peserta didik mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri[6].
METODE PENELITIAN
Prosedur penelitian dilakukan dengan memberikan tindakan pada setiap siklus kegiatan dengan urutan sebagai berikut :
a. Tahap Rencana Tindakan(Planning)
Persiapan dan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yaitu menetapkan tujuan pembelajaran, menentukan metode maupun model pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran, merancang LKS, merancang instrumen penilaian, menyusun angket, merancang lembar observasi, dan menyiapkan alat dan bahan yang dipakai pada proses pembelajaran.
b.Tahap Pelaksanaan Tindakan(Acting)
Upaya Meningkatkan kreativitas peserta didik Kelas VIII F SMP Negeri 1 Temanggung dalam Pembelajaran Alat optik melalui PBI dilakukan menggunakan alat terbuat dari bahan sederhana dan mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik yaitu kertas karton, kertas tissue, kaca pembesar, gunting, senter, isolasi, stoples bulat, cermin datar, air, dan kabel. Pada siklus I peserta didik diajak untuk mendiskusikan cara kerja mata dan kamera. peserta didik diajak untuk merancang sekaligus membuat model mata dan kamera dengan alat/bahan seperti tersebut di atas melalui eksperimen. Pada siklus II peserta didik diajak untuk merancang dan membuat kamera. Pada siklus III peserta didik diajak untuk membuat teropong dengan alat dan bahan yang sudah dibawa oleh peserta didik melalui tugas yang
diberikan oleh guru pada pertemuan sebelumnya. Rencana kegiatan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2.Rencana kegiatan tiap siklus
Siklus / Konsep / Waktu
Rencana Tindakan
Awal Kegiatan Inti Akhir
Siklus I / Alat Optik Mata / (2 x 40 menit)
Peserta Didik mempersiap kan LKS 1, Guru membagi Diskusi, mengarahka n dan memotivasi Peserta Didik
• Melalui diskusi informasi guru menjelaskan pembentukan bayangan yang terjadi pada mata.
• Guru membimbing Peserta Didik dalam merancang pembuatan model mata sederhana.
• Dibantu teman sejawat guru melakukan pengamatan proses pembelajaran • Peserta Didik mempres entasi kan hasil karya kelompok • Guru mengatur presentasi karya Peserta Didik di kelas Siklus II / Alat Optik Kamera/ (2 x 40 menit)
Peserta Didik mempersiap kan LKS 2, Guru membagi LKS, mengarahka n dan memotivasi Peserta Didik
• Peserta Didik secara berkelompok melakukan eksperimen membuat model kamera dengan bantuan LKS 2 tentang kamera
• Guru membimbing Peserta Didik dan melakukan pengamatan kinerja Peserta Didik dibantu teman sejawat • Peserta Didik mempres entasi kan hasil karya kelompok • Guru mengatur presentasi karya Peserta Didik di kelas Siklus III / Alat Optik Teropon g / (2 x 40 menit)
Peserta Didik mempersiap kan LKS 3, Guru membagi LKS, mengarahka n dan memotivasi Peserta Didik
• Peserta Didik secara berkelompok melakukan eksperimen membuat model teropong dengan bantuan LKS 3 tentang teropong
• Guru membimbing Peserta Didik dan melakukan pengamatan kinerja Peserta Didik dibantu teman sejawat • Peserta Didik mempres entasi kan hasil karya kelompok • Guru mengatur presentasi karya Peserta Didik di kelas
c. Tahap Pengamatan(Observing)
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan tindakan
yang dilakukan, guru melakukan
observasi/pengamatan pada peserta didik dalam proses pembelajaran.
(5)
Kegiatan pada tahap refleksi ini adalah melakukan analisis terhadap data–data yang dihasilkan selama tindakan berlangsung baik data kualitatif maupun kuantitatif. Hasil analisis ini digunakan untuk menentukan atau merancang kegiatan yang akan dilakukan pada siklus berikutnya.
Gambar 1. Skema kerangka penelitian Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan teknik tes dan non tes. Teknik tes digunakan untuk mengetahui tingkat pemahaman konsep peserta didik tentang alat optik menggunakan alat pengumpulan data berupa soal tes formatif. Bentuk tes formatif adalah soal uraian sesuai konsep yang sedang dipelajari.
Teknik non tes dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :
1. Observasi menggunakan alat pengumpulan data berupa lembar observasi yang pada setiap
siklus dari 3 (tiga) siklus yang dilakukan, yaitu siklus I sebagai siklus awal diberikannya tindakan dilanjutkan dengan siklus II dan siklus III sebagai pemantapan penggunaan tindakan. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kreativitas peserta didik dalam pembelajaran.
2. Angket pendapat peserta didik dengan lembar pengumpulan data berupa lembar angket. Teknik ini dipakai untuk mengetahui sejauh mana kesan peserta didik terhadap pembelajaran yang disajikan.
HASIL DAN DISKUSI
Pembelajaran melalui model Problem Based Instruction yang dilakukan untuk menumbuhkan kreativitas dilakukan dengan langkah awal memberikan permasalahan yang terkait dengan IPA. Selanjutnya kelompok peserta didik diajak untuk menemukan solusi melalui pembuatan alat IPA. Adapun solusi tersebut diawali dengan membuat rancangan alat, merakit bahan-bahan sehingga terbentuk alat IPA, kemudian mempresentasikan hasil karya alat IPA tersebut di depan kelas. Pembelajaran dengan langkah-langkah tersebut ternyata dapat menumbuhkan kreativitas kelompok peserta didik.
Setiap akhir siklus dilakukan tes formatif untuk mengukur ketuntasan belajar aspek kognitif. Hasil tes formatif tersebut mengalami perubahan meningkat dari siklus satu ke siklus berikutnya. Pada siklus I rata-rata perolehan nilai peserta didik adalah 9,31 mengalami peningkatan menjadi 9,47 pada siklus II, sedangkan pada siklus III meningkat lagi menjadi 9,72. Pada setiap tes formatif yang dilakukan tidak ada satupun peserta didik yang mendapatkan nilai kurang dari 8,0 (batas KKM), sehingga setiap tes formatif ketuntasan klasikal kelas adalah 100 %. Hal ini menunjukkan bahwa kelas selalu mencapai ketuntasan secara klasikal karena memiliki ketuntasan belajar klasikal lebih dari 85 %.
Perolehan hasil belajar melalui tes formatif yang telah dan selalu mencapai batas tuntas secara individu maupun klasikal, menunjukkan bahwa model pembelajaran yang diterapkan pada setiap siklus tidak berdampak negatif terhadap hasil belajar peserta didik. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran yang diterapkan dapat Permasalah
an
Siklu s I
Perencanaa n tindakan I
Refleksi I
Pelaksanaa n tindakan I
simpulan Permasalahan baru hasil refleksi
Siklus III
Perencanaa n tindakan III
Refleksi III
Pelaksanaa n tindakan III
Pengamata n tindakan III Pengamata n tindakan I
Permasalahan baru hasil refleksi
Siklus
Perencanaa n tindakan II
Refleksi II
Pelaksanaa n tindakan II
Pengamata n tindakan II
(6)
digunakan dan cocok untuk mencapai Kompetensi Dasar yang diharapkan.
Setelah melakukan sederetan siklus, dilakukan evaluasi belajar pada Kompetensi Dasar yang digunakan saat penelitian. Hasil evaluasi belajar digunakan untuk mengukur ketuntasan belajar peserta didik dalam Kompetensi Dasar tersebut. Hasil evaluasi belajar dianalisis apakah model pembelajaran berdampak negatif terhadap ketuntasan belajar kognitif peserta didik.
Evaluasi belajar yang dilakukan mencakup seluruh materi yang terkait dalam Kompetensi Dasar 6.4. Mendiskripsikan alat-alat optik dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Materi tersebut adalah Mata, Kamera, Lup, Teropong dan Proyektor.
Pada evaluasi belajar tersebut terdapat empat peserta didik yang memiliki nilai di bawah batas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah yaitu 80. Dengan demikian ketuntasan secara klasikal adalah 87,50 yang berarti kelas telah melampaui batas tuntas klasikal, yaitu lebih dari 85% peserta didik mencapai atau melebihi batas KKM.
KESIMPULAN
Dari hasil analisis data pengamatan dan pengukuran ketuntasan belajar peserta didik dapat disimpulkan bahwa melalui pembelajaran model Problem Based Instructionpada konsep alat optik di kelas VIII F SMP Negeri 1 Temanggung dapat menumbuhkan kreativitas belajar kelompok peserta didik dalam membuat alat optik sederhana. Melalui pembelajaran dengan model Problem Based Instruction terlihat dengan adanya peningkatan skor kreativitas kelompok peserta didik. Model pembelajaran Problem Based Instruction yang dilakukan akan mengurangi peran guru dalam proses pembelajaran teacher center.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kepada semua pihak yaitu guru-guru dan karyawan SMP N 1 Temanggung yang telah membantu dalam penelitian ini. Terimakasih juga kepada dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penelitian dan menyusun makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Depdiknas. 2002. Pembinaan dan Pengembangan Klub Bakat, Minat dan Kreatifitas Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jakarta : Depdiknas
[2] Munandar, S.C. Utami, 1999.Kreativitas dan Keterbakatan, Strategi mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
[3] Semiawan, C dan Munandar, U. 1984. Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah. Jakarta : Gramedia [4] Robert E. Slavin. 2008.Cooperative Learning
Teori, Riset, dan Praktik. Bandung : Nusamedia
[5] Suharsimi, Suharjono & Supardi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : PT Bumi Aksara
[6] Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. Jakarta : Depdiknas
[7] Widagdo Mangunwiyoto. 2005.Pokok-pokok Fisika SMP kelas VIII. Jakarta : Penerbit Erlangga
DISKUSI
Pertanyaan : PBI apa diberikan tahap untuk kreativitas? Perbedaan kelas 1 dan 2? Tahapan berbasis masalah?
Jawab: ada masalah yang harus dipecahkan Perbedaan materi pembelajaran
Ada permasalahan lalu project PTIL terjadi peningkatan