PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TRAITS DENGAN DISPEPSIA FUNGSIONAL PADA PASIEN DI POLIKLINIK PENYAKIT DALAM DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR.

(1)

SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR


(2)

Pengaruh personality traits dengan dispepsia fungsional telah diteliti pada populasi umum, terutama berhubungan dengan kecenderungan kecemasan, mudah marah, depresi, atau rentan terhadap peristiwa stres. Belum banyak penelitian yang mempelajari pengaruh Big Five personality traits dengan terjadinya dispepsia fungsional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Big Five personality traits dengan terjadinya dispepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Penelitian potong lintang dilakukan bulan Agustus- September 2015 terhadap 62 pasien yang tercatat di register poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar melalui simple random sampling untuk mencari kejadian dispepsia fungsional. Responden mengisi kuesioner Big Five personality traits berdasarkan International Personality Item Pool-Five Factor Inventory (IPIP-FFI) dan DASS-42. Data dianalisis dengan menggunakan regresi logistik. Angka prevalensi dispepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar didapatkan sebesar 43,50%, dengan rerata umur 51,31 ± 14,830, 35 orang (56,50%) berjenis kelamin laki-laki, 8 orang (12,90%) mengalami depresi, 13 orang (21,00%) mengalami kecemasan dan 7 orang (11,30%) mengalami stres. Neuroticism mempunyai pengaruh protektif terjadinya dispepsia fungsional dengan Adjusted Odd Ratio = 0,598 (p = 0,014). Kesimpulan yang didapat bahwa setiap kenaikan 10 unit skala neuroticism maka kemungkinan untuk menjadi dispepsia fungsional meningkat 5,15 kali.


(3)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau ketidaknyamanan yang berpusat di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman secara spesifik meliputi rasa cepat kenyang, rasa penuh, rasa terbakar, kembung di perut bagian atas dan mual. Gejala tersebut bersifat umum dan merupakan 30% sampai 40% dari semua keluhan lambung yang disampaikan kepada dokter ahli Gastroenterologi (O’Mahony dkk, 2006 ). Gejala–gejala yang timbul disebabkan berbagai faktor seperti gaya hidup merokok, alkohol, berat badan berlebih, stres, kecemasan, dan depresi yang relevan dengan terjadinya dispepsia (Abdullah & Gunawan, 2012).

Berdasarkan penyebab dan keluhan gejala yang timbul maka dispepsia dibagi 2 yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, dan cholelithiasis yang bisa ditemukan secara mudah melalui pemeriksaan klinis, radiologi, biokimia, laboratorium, maupun gastroentrologi konvensional (endoskopi). Sedangkan dispepsia fungsional apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional atau tidak ditemukan adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik (Djojoningrat, 2006).


(4)

mempengaruhi fungsi saluran cerna melalui mekanisme brain gut axis. Adanya stimulasi atau stresor psikis menimbulkan gangguan keseimbangan saraf otonom simpatis dan parasimpatis secara bergantian (vegetatif imbalance). Stimulasi stresor juga mempengaruhi fungsi hormonal, sistem imun ( psiko– neuro-imun-endokrin ), serta HPA Axis melalui pelepasan CRH dari hipotalamus dan menyebabkan penurunan regulasi reseptor CRH hipofisis. Akibatnya hipofisis tidak berespons lagi atau responnya terhadap stresor menjadi datar. Ketidakseimbangan jalur-jalur tersebut secara langsung atau tidak langsung, terpisah atau bersamaan dapat mempengaruhi saluran cerna, yaitu : mempengaruhi sekresi asam lambung, motilitas, vaskularisasi dan menurunkan ambang rasa nyeri (Andre dkk, 2013 ).

Suatu studi dilakukan kepada 38 pasien dengan dispepsia fungsional, diperoleh sebanyak 26 orang (68%) mengalami kejadian hidup yang tidak diinginkan, 35 orang (92%) mengalami kecemasan, dan sebanyak 38 orang (100%) mengalami depresi. Secara statistik peristiwa hidup yang tidak diinginkan dan depresi tidak berhubungan dengan dispepsia fungsional. Namun kasus kecemasan secara statistik berhubungan dengan dispepsia fungsional (Tack dkk, 2006 ).

Prevalensi dispepsia di seluruh dunia cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Populasi orang dewasa di negara barat yang dipengaruhi oleh dispepsia berkisar antara 14-38%. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia 2007, dispepsia rawat inap di rumah sakit tahun 2006 dengan jumlah pasien


(5)

terbanyak pasien 1,59%. Sedangkan insiden kasus dispepsia kategori non-ulcer (dispepsia fungsional ) di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2011 sebanyak 231 orang (Widya dkk, 2015).

Dalam penelitian tertutup yang dilakukan di RSCM disebutkan dari 100 pasien dengan keluhan dispepsia, 80 % mengalami keluhan dispepsia fungsional (Ambarwati, 2005). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar kunjungan pasien rawat jalan yang mengalami keluhan dispepsia terjadi peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun hal ini disebabkan RSUP Sanglah merupakan rumah sakit negeri kelas A, mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis, sebagai pusat rujukan tertinggi atau disebut pula sebagai rumah sakit pusat untuk seluruh wilayah kabupaten di Bali, termasuk Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, serta melayani rujukan bagi peserta BPJS Mandiri dan BPJS Non Mandiri (RSUP Sanglah, 2013).

Dispepsia fungsional merupakan penyakit psikosomatis yang erat hubungannya dengan kepribadian seseorang dalam merespon penyakit (Andre dkk, 2013). Suatu studi penelitian oleh Widyasari (2011), tentang hubungan antara kecemasan dan tipe kepribadian introvert dengan dispepsia fungsional menemukan bahwa ada hubungan antara kecemasan dan tipe kepribadian introvert dengan dispepsia fungsional. Kepribadian dalam penelitian ini dilihat berdasarkan the big five personality yang dikembangkan oleh McCrae. Big five personality meliputi extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticsm serta openness to experience (Pervin dkk, 2005).


(6)

fungsional belum banyak dijelaskan. Penelitian Grantika (2015), menyebutkan extraversion memiliki pengaruh terhadap nyeri kepala primer sedangkan neuroticism, openness, agreeableness dan conscientiousness tidak berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya nyeri kepala primer, dan traits ini berperan sebagai prediktor penyakit psikosomatis.

Data 2014, menunjukan peningkatan pasien rawat jalan yang datang berobat ke poliklinik Penyakit Dalam Rumah Umum Sakit Umum Pusat Sanglah khususnya bagian Gastroenterohepatologi selama periode Januari sampai Desember tahun 2014 yaitu sebesar 647 pasien, dimana 370 pasien yang datang dengan keluhan dispepsia, dan sebanyak 39,21 % yaitu 120 pasien didiagnosis dengan dispepsia fungsional setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, sehingga dari latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian untuk mengetahui pengaruh Big Five personality traits dengan dispepsia fungsional terutama pada pasien rawat jalan di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut “apakah ada pengaruh Neuroticism trait, Extraversion trait, Openness trait, Agreeableness trait, dan Conscientiousness trait dengan dispepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar?


(7)

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh Big Five Personality Traits dengan dispepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengaruh Neuroticism trait dengan dispepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

b. Untuk mengetahui pengaruh Extraversion trait dengan dispepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

c. Untuk mengetahui pengaruh Openness to Experience trait dengan dispepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

d. Untuk mengetahui pengaruh Agreeableness trait dengan dispepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

e. Untuk mengetahui pengaruh Conscientiousness trait dengan dispepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

1.4.Manfaat

1.4.1. Manfaat Akademik


(8)

dispepsia fungsional

b. Mendapatkan informasi tentang pengaruh Big Five personality traits pada pasien dispepsia fungsional

c. Menambah literatur mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dispepsia fungsional

1.4.2. Manfaat Klinis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang aktual tentang pengaruh big five personality dengan dispepsia fungsional sehingga keluhan atau gejala yang muncul serta penatalaksanaannya melibatkan berbagai disiplin khususnya Ilmu Penyakit Dalam, dan Ilmu Kesehatan Jiwa atau yang lebih dikenal dengan CLP (Consultation-Liaison Psychiatry ) yang akan menjembatani ilmu kedokteran medik dengan aspek biopsikososiobudaya dan spiritual dengan tujuan akhir terapi yaitu memulihkan kualitas hidup pasien.


(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pengertian Dispepsia

Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein (digestion= pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang berarti sulit atau ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia didefinisikan sebagai kesulitan dalam mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau terbakar di epigastrium yang persisten atau berulang atau rasa tidak nyaman dari gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan atau cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal) (Talley & Holtmann, 2008). Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu kelainan struktural setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi dispepsia fungsional berdasarkan konsensus kriteria Roma III, harus memenuhi satu atau lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti kelainan struktural melalui pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis (Brun & Kuo, 2010). Definisi lain dari dispepsia fungsional adalah penyakit yang bersifat kronik, gejala yang berubah-ubah, mempunyai riwayat gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak responsif dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya oleh pasien, serta secara klinis pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang gejala cenderung menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta secara klinis pasien tampak kesakitan (Abdullah & Gunawan, 2012).


(10)

Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 klasifikasi, yakni postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distres syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan dan perasaan cepat kenyang sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome.

Klasifikasi dispepsia fungsional seperti disajikan pada table 2.1 dibawah ini : Tabel 2.1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III

Dispepsia Fungsional

Postprandial Distres Syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. Kriteria penunjang

1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan

2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium. Epigastric Pain Syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu


(11)

2. Nyeri timbul berulang

3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrium

4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin

5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfingter Oddi

Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. Kriteria penunjang

1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal

2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa

3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan. (Diambil dari Appendix B: Roma III. 2010)

2.2.Epidemiologi

Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik pengobatan. Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab yang jelas sering didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan presentase dispepsia karena kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75% tanpa penyebab yang jelas. Di seluruh dunia mempunyai prevalensi sekitar 10%- 40%. Hal itu menunjukan bahwa diagnosis dan evaluasi harus segera dilakukan. Keterlambatan diagnosis akan menyebabkan pasien dalam penderitaan dan peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan (Randall dkk, 2014).

Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh dunia dan semua penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi kriteria Roma III. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan


(12)

peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2010, dispepsia fungsional dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer (Lee dkk, 2014).

Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya menunjukkan perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional daripada laki-laki yaitu 1,4 : 1 di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di Malaysia dan 1,16 : 1,01 di Singapura. Sedangkan pada ulkus peptikum perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus meningkat pada usia pertengahan (Pulanic, 2011). Namun, suatu penelitian di Jepang menunjukkan perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu 2:1 (Kumar dkk, 2012).

Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur ditemukan meningkat secara signifikan yaitu : 7,7% pada umur 15-17 tahun, 17,6% pada umur 18-24 tahun, 18,3% pada umur 25-34 tahun, 19,7% pada umur 35-44 tahun, 22,8% pada umur 45-54 tahun, 23,7% pada umur 55-64 tahun, dan 24,4% pada umur di atas 65 tahun (Brun & Kuo, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati (2005), di FKUI-RSCM ditemukan bahwa rentang umur kunjungan pasien ke Poliklinik Penyakit Dalam adalah 15 sampai 70 tahun. Variabel demografik seperti tingkat sosial atau derajat urbanisasi tidak mempengaruhi prevalensi dispepsia . Berdasarkan data dari berbagai rumah sakit di Indonesia frekwensi dispepsia fungsional sekitar 60%-70% dari seluruh pasien yang masuk ke Bagian Ga stroenterology-hepatology (Cahyanto dkk, 2014).


(13)

2.3.Patofisiologi Dispepsia Fungsional

Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus peptikium masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini menunjukan bahwa dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi menghubungkan mekanisme patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H. Pylori, ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi HCO3) (Yehuda, 2010).

Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori dibawah ini (Yehuda, 2010) :

2.3.1. Infeksi H. Pylori

Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai saat ini masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli Gastrohepatologi. Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli berpendapat H. Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan


(14)

penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan lambung akan semakin cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan membuat lambung kosong lebih lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin menginfeksi lambung tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.

2.3.2. Ketidaknormalan Motilitas

Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam lambung. Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang “kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus lambung menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa sebagai predictor ulkus peptikum.

2.3.3. Gangguan Sensori Visceral

Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap distensi lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi lambung intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.


(15)

2.3.4. Faktor Psikososial

Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada gangguan keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada hormon kortisol yang tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat. Jadi semakin tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin beratnya klinis dispepsia. Begitu juga dengan perubahan gaya hidup seperti kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur juga memiliki efek terhadap peningkatan asam lambung dan perubahan aktivitas otot dinding lambung yang meningkatkan kemungkinan terjadinya dyspepsia (Micut, 2012).

2.3.5. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin

Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin melalui poros hipotalamus pituitary adrenal ( HPA axis). Pada keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung (Gene, 2012).

2.3.6. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif

Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks serebri ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf otonom vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf simpatis yang


(16)

mengakibatkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik meninggalkan sistem saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ yang dipersarafi secara langsung yaitu : mempersarafi lambung dengan cara merangsang sekresi asetilkolin, gastrin, dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi difungsi persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis juga mensekresikan neurotransmiter sinaps yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua neurotransmitter tersebut akan mengaktivasi atau menginhibisi presinap maupun postsinap saraf simpatik dan parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ lambung. Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas, sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia (New & Siever, 2008).

2.3.7. Perubahan Dalam Sistem Imun

Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan menerima berbagai input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron bagian Medial Paraventriculer Hypothalamus melalui pengaktifan sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang berulang atau


(17)

kronis, maka akan terjadi disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA ) melalui kegagalan dari mekanisme umpan balik negative. Faktor psikis dan stres juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang menyebabkan peningkatan pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan Limfosit T, dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan stres dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada akhirnya akan muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada organ lambung dengan manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan somatik ini berlangsung lama, bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik berupa ulkus peptikum atau duodenum (Gene, 2012).

2.4.Manifestasi Klinis Dispepsia Fungsional

Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau ketidaknyamanan di perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa kenyang lebih awal, mual, muntah, atau bersendawa. Pada dispepsia organik, kecenderungkan keluhan tersebut menentap, disertai rasa kesakitan dan jarang memiliki riwayat psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia fungsional terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome, dan b) epigastric pain syndrome (Drug & Stanciu, 2007).

Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda tergantung pada apakah gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan makanan dan atau berkaitan dengan ketidakmampuan untuk menyelesaikan makan (postprandial


(18)

distres syndrome) atau lebih didominasi oleh rasa sakit (epigastric pain syndrome) (Abdullah & Gunawan, 2012).

Sementara pola ini dikembangkan lebih berdasarkan kepada pendapat ahli daripada bukti klinis, beberapa data yang mendukung relevansi klinis untuk perbedaan ini mulai muncul dengan satu penelitian misalnya, menunjukkan bahwa kecemasan berhubungan dengan postprandial distres syndrome tetapi tidak berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan yang lain menunjukkan bahwa genetik berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan tidak berhubungan dengan postprandial distres syndrome (Abdullah & Gunawan, 2012).

2.5.Kriteria Diagnosis Dispepsia Fungsional

Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila ditemukan adanya kelainan organik atau struktural organ lambung, perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik pada pemeriksaan endoskopi (Abdullah & Gunawan, 2012). Roma III memberikan kriteria diagnostik untuk dispepsia fungsional seperti table 2.2 berikut:


(19)

Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik Roma III untuk Dispepsia Fungsional Dispepsia Fungsional

Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:

 Rasa penuh setelah makan yang mengganggu.  Rasa cepat kenyang.

 Nyeri epigastrium.

 Rasa terbakar di epigastrium. dan

 Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala. Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan sebelum diagnosis.

(Diterjemahkan dari Chang, 2006).

2.6.Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional

Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit untuk mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa masalah utama dari pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia bertujuan untuk mengendalikan gejala daripada pengobatan permanen penyakitnya. Pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan adanya gangguan struktural seperti pemeriksaan endoskopi sangatlah diperlukan. Langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan dari terapi. Langkah ini harus memperhatikan tujuan dasar dilakukannya pengobatan yaitu tidak hanya mencegah kematian, tetapi juga menolong kehidupan. Tujuan terapi pada pasien dispepsia fungsional adalah bagaimana pasien mampu mengelola kekhawatiran terhadap penyakitnya dan mampu meningkatkan kualitas kesehatannya (Loyd & McClelan, 2011). Dalam Ilmu Kesehatan Jiwa atau Ilmu Psikiatri terdapat


(20)

subspesialisasi Consultation Liaison Psychiatry (CLP) yang mempunyai peranan menjembatani Bagian Psikiatri dengan Bagian Spesialisasi lainnya atau sebaliknya. CLP bertujuan memberikan pelayanan yang holistik, tidak hanya kesembuhan penyakit secara fisik namun juga meliputi kesehatan mental serta kualitas hidup pasien (Musana dkk, 2006). Secara umum pengobatan gangguan dispepsia fungsional dengan pendekatan CLP dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu : somatoterapi, psikoterapi, manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pembagian tersebut hanyalah merupakan bentuk karya ilmu yang dipergunakan untuk mempermudah pemikiran. Manusia sebagai makhluk Bio-Psiko-Sosial- Spiritual yang tidak dapat terpisahkan menuntut ketiga golongan penatalaksanaan tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan komprehensif (Loyd & McClelan, 2011).

2.6.1Consultation Liaison Psychiatry (CLP)

Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan subspesialis dari psikiatri yang berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama antara psikiater dengan spesialis medis lain. Dalam CLP seorang psikiater berperan sebagai penyalur keahlian psikiatri dengan disiplin ilmu lainnya yaitu : Ilmu Penyakit Dalam untuk membantu penanganan komorbiditas psikologik, psikiatrik, dan psikofisiologik pada pasien yang mengalami keluhan dispepsia. Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran komorbiditas medik (Aksis III) dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang psikiater Consultation Liaison harus mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu pengetahuan yang luas dalam hal interaksi antara obat psikotropik dan medis lainnya (Loyd & McClelan, 2011).


(21)

CLP didasarkan pada enam prinsip dalam penanganan dispepsia fungsional (Loyd & McClelan, 2011). :

 Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan internist. Hubungan ini menjadi lebih penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk dasar dari laporan pribadi antara dokter selama proses konsultasi.

 Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pasien, terutama setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi dan tidak ditemukan adanya suatu kelainan structural.

 Keterlibatan dalam seluruh team medis pada terapi pasien dispepsia.melalui kerjasama yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan keperawatan, psikiater dapat memperluas perannya termasuk pengawasan terhadap orang yang terlibat dalam perjalanan diagnosis dan perawatan dari pasien dispepsia

 Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien dispepsia. Konsultasi yang sederhana tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP harus mengikuti seluruh perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah pemutusan hubungan dilakukan.

 Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis dan intrakeluarga. Hubungan psikoterapi antara pasien dan psikiater dapat mempertimbangkan keuntungan bagi pasien dan keluarga.

 Perhatian terhadap fungsi dari “medical ombudsman.” Psikiater liaison dapat menolong penerimaan terhadap teknologi dan badan pelayanan kesehatan mutakhir


(22)

2.6.2.Penanganan Secara Farmakologi

Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik, penanganan gangguan dispepsia fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan disiplin Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi yang bisa diberikan pada pasien dispepsia fungsional : antasida, Histamine H2 receptor antagonists (H2RA), Proton pump inhibitors (PPI), Cytoprotective or mucoprotective agents, Prokinetic agents, obat-obat anti H. Pylori, dan obat-obat psikotropik antara lain : antipsikotik, antidepressant, antianxiety, mood stablizer. Walaupun pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan adanya suatu kelainan struktural, tetapi pemberian farmakologi masih termasuk didalam penanganan gangguan dispepsia fungsional. Penanganan ini lebih dikenal dengan nama Somatoterapi(Kandulski dkk, 2011).

2.6.3.Penanganan Secara Psikoterapi

Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP adalah psikoterapi, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan bahwa tidak terdapat gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan pemeriksaan fisik yang teliti disertai tes laboratorium. Beri kesempatan pasien untuk bertanya dan terangkan mekanisme fisiologi serta keterangan tentang gejala-gejala. Kedua, beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat dimengerti dan gejala tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat. Bantu pasien mengenali permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat yang akan bermanfaat. Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan dan ketegangan psikis namun dapat diobati setelah beberapa waktu. Terapi


(23)

cognitive-Behavior terbukti efektif pada pasien dengan dispepsia fungsional. Terapi ini membantu pasien secara sadar mengenali gejala nyeri pada daerah episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah cara berpikir mengenai ide- ide penyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas, memberikan tehnik relaksasi dan melakukan pengalihan perhatian (Soo dkk, 2004).

2.6.4.Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan dan Sosioterapi

Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fungsional sebagai bagian dari CLP adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini akan melibatkan orang-orang terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti pasangan, keluarga dan kerabat untuk membantu mewujudkan pola therapeutic community (Soo dkk, 2004).

2.7.Kepribadian

Kepribadian berasal dari kata latin yaitu persona yang berarti sebuah topeng yang biasa digunakan dalam sebuah petunjukan drama atau teaterikal, yang digunakan para aktor romawi kuno dalam menjalankan perannya. Namun seiring berjalannya waktu, kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen dan mempunyai karakteristik yang unik yang secara konsisten mempengaruhi perilakunya (Feist & Feist, 2009).

Larsen dan Buss mendefinisikan kepribadian adalah seperangkat sifat-sifat psikologikal dan mekanisme di dalam diri individu yang diatur yang relatif menetap dan dapat mempengaruhi interaksi individu dengan yang lain serta untuk beradaptasi dengan lingkungan baik intrafisik, fisik, dan lingkungan sosial. Trait digambarkan sebagai karakteristik yang mendiskripskan kebiasaan dimana setiap


(24)

orang berbeda dengan yang lain (Larsen & Buss, 2002) Penelitian lainnya, mendefinisikan kepribadian sebagai jumlah total dari cara seseorang untuk bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain.

2.7.1.Big Five Personality

Big Five personality adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima dimensi trait kepribadian tersebut adalah neuoriticism, extraversion, agreeableness, openness dan conscientiousnes (Friedman & Schustack, 2008).

Big Five merupakan model dari struktur trait kepribadian. Trait kepribadian didefinisikan sebagai dimensi dari perbedaan individual yang cenderung menunjukkan pola pikiran, perasaan, dan perbuatan yang konsisten. Ketika mendeskripsikan individu dengan trait yang baik ini berarti bahwa individu tersebut cenderung berbuat baik setiap waktu dan pada setiap situasi. Definisi yang luas ini menyatakan bahwa traits dapat dibagi menjadi tiga fungsi utama: traits dapat digunakan untuk meringkas, memprediksi dan menjelaskan tingkah laku seseorang, sehingga salah satu alasan terkenalnya konsep traits adalah bahwa traits menyediakan jalan yang ekonomis untuk meringkas bagaimana seseorang dapat berbeda dengan yang lainnya. Traits memperkenankan seseorang untuk membuat prediksi mengenai perilaku seseorang selanjutnya (Feist & Feist, 2009).


(25)

2.7.2.Dimensi Big Five Personality

Dimensi-dimensi Big Five personality menurut Costa & McCrae adalah sebagai berikut (Feist & Feist, 2009) :

a. Neuroticism (N)

Individu dengan skor tinggi pada dimensi neuroticism, memiliki kecenderungan untuk mengalami kecemasan, temperamental, mengasihani diri sendiri, sadar diri, emosional, dan rentan terhadap gangguan stres. Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah akan lebih gembira dan puas terhadap hidup jika dibandingkan dengan yang memiliki tingkat neuroticism tinggi, sedangkan individu dengan skor yang rendah pada N, biasanya tenang, bertemperamental datar, puas akan diri sendiri, dan tidak emosional.

b. Extraversion (E)

Extraversion juga sering disebut dengan surgency. Individu dengan skor tinggi pada dimensi extraversion (E) cenderung penuh dengan kasih sayang, periang, banyak bicara, suka berkumpul, dan menyukai kesenangan. Selain itu, individu tersebut akan mengingat seluruh interaksi sosial, berinteraksi dengan lebih banyak orang jika dibandingkan dengan individu yang memiliki skor E rendah. Dimensi extraversion dicirikan dengan kecenderungan yang positif seperti memiliki antusiasme tinggi, mudah bergaul, energik, tertarik dengan banyak hal, mempunyai emosi positif, ambisius, workaholic serta ramah terhadap orang lain. Extraversion juga memiliki motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama serta dominan dalam lingkungannya. Sebaliknya,


(26)

individu dengan tingkat extraversion rendah lebih menyukai berdiam diri, tenang, pasif, dan kurang mampu mengungkapkan perasaannya.

c. Openness (O)

Dimensi openness membedakan antara individu yang memilih variasi dibandingkan dengan individu yang menutup diri serta individu yang mendapatkan kenyamanan dalam hubungan mereka dengan hal-hal dan orang- orang yang mereka kenal. Individu yang terus menerus mencari perbedaan dan pengalaman yang bervariasi akan memiliki skor tinggi pada dimensi (O). Openness mengacu pada bagaimana individu tersebut bersedia untuk melakukan penyesuaian terhadap suatu situasi dan ide yang baru. Individu tersebut memiliki ciri mudah bertoleransi, memiliki kapasitas dalam menyerap informasi, fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Individu dengan tingkat openness yang rendah digambarkan sebagai pribadi yang berpikiran sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan.

d. Agreeableness (A)

Dimensi agreeableness membedakan antara individu yang berhati lembut dengan yang tidak mengenal belas kasihan. Individu dengan skor yang lebih mengarah pada dimensi ini memiliki kecenderungan untuk memiliki kepercayaan yang penuh, dermawan, suka mengalah, penerima, dan baik hati. Dimensi A ini juga disebut dengan social adaptibility atau likability, yaitu mencirikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah dan menghindari konflik. Sedangkan pada individu dengan tingkat agreeableness yang rendah, suka


(27)

mencurigai, kikir, tidak ramah, mudah tersinggung, cenderung untuk lebih agresif dan mengkritik orang lain serta kurang kooperatif.

e. Conscientiousness (C)

Conscientiouness digambarkan dengan individu yang patuh, terkontrol, teratur, ambisius, berfokus pada pencapaian, dan disiplin diri. Dimensi conscientiouness ini dapat juga disebut dengan dependability, impulse control dan will to achive. Secara umum, individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini adalah pekerja keras, cermat, tepat waktu, dan tekun. Sebaliknya, pada individu yang berskor rendah dalam dimensi ini cenderung tidak teratur, lalai, pemalas, dan tidak memiliki tujuan serta mudah menyerah ketika menemui kesulitan dalam tugas-tugasnya.

Tabel 2.3. Dimensi Big Five Personality(Pervin dkk, 2005).

Skor Tinggi Skala Dimensi Skor Rendah

Mudah khawatir, gugup, emosional, merasa tidak aman, tidak mampu, mudah panik

Neuroticism Tenang, rileks, tidak

emosional,

memiliki daya tahan terhadap stres, merasa aman, puas atas diri sendiri

Suka bergaul, aktif, banyak bicara, orientasi pada orang lain, optimis, terbuka terhadap perasaannya, penuh kasih sayang

Extr aversion Suka menyendiri, sederhana, tidak berlebihan dalam kesenangan, menjauhkan diri, orientasi pada tugas, pemalu, serius

Memiliki rasa ingin tahu yang besar, minat yang

Openness Sederhana, minat yang


(28)

luas, kreatif dan modern analitis, rendah hati dan menjaga tradisi

Bersifat lembut, baik hati, mudah percaya, penolong, pemaaf, penurut, jujur

Agr eea bleness Suka mengejek, tidak sopan, curiga, kasar, tidak kooperatif, pendendam, cepat marah, suka memerintah dan manipulatif

Orang yang suka mengatur, dapat diandalkan, pekerja keras, disiplin, rapi, ambisius dan tekun

Conscientiousness Tidak memiliki tujuan, tidak bisa diandalkan, lalai, pemalas, tidak perhatian, ceroboh, memiliki kemauan yang lemah

2.7.3.Pengukuran Big Five Personality

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur Big Five personality, diantaranya NEO-PI-R, CPI, 16-PF, Big Five Factor Maker dan lain-lain (Mastuti, 2005). Sedangkan menurut Pervin dkk, 2005 terdapat dua instrumen untuk mengukur Big Five personality, yaitu:

a. NEO-PI-R yang di kembangkan oleh Costa dan McCrae (1992).

b. International Personality Item Pool NEO (IPIP-NEO) yang dibuat oleh Lewis Goldberg pada tahun 1992. Skala ini dibuat berdasarkan teori Big Five yang digunakan oleh Costa dan McCrae dalam membuat NEO PI-R. Skala ini terdiri dari 50 transparent bipolar adjective dan 100 unipolar adjective markers.


(29)

2.8. Big Five Personality dan Dispepsia Fungsional

Faktor emosi, memori, dan self esteem merupakan komponen yang membentuk kepribadian manusia (Martens dkk, 2008). Kepribadian merupakan pola kompleks perilaku yang dihasilkan dari interaksi antara ciri kepribadian dengan neurobehaviour (Lenzenweger & Clarkin, 2005). S. Freud pada teori psikoanalitik klasik berhasil mengembangkan teori kepribadian yang membagi struktur mind ke dalam tiga bagian yaitu : consciousness (alam sadar), preconsciousness (ambang sadar) dan unconsciousness (alam bawah sadar). Dari ketiga aspek kesadaran, unconsciousness adalah yang paling dominan dan paling penting dalam menentukan perilaku manusia Di dalam unsconscious tersimpan ingatan masa kecil, energi psikis yang besar dan instink. Preconsciousness berperan sebagai jembatan antara conscious dan unconscious, berisi ingatan atau ide yang dapat diakses kapan saja. Consciousness hanyalah bagian kecil dari mind, namun satu-satunya bagian yang memiliki kontak langsung dengan realitas (Koenigsberg dkk, 2009). Konflik yang terjadi pada masa awal-awal kehidupan, terutama pada usia 0 sampai 6 tahun yaitu pada fase oral, anal, dan phalik, sangat berperan terbentuknya kepribadian seseorang setelah dewasa. Semua konflik- konflik yang terjadi pada fase tersebut akan terrepresi atau tersimpan ke alam bawah sadar atau unconscious. Saat dewasa, energi negatif yang tersimpan di alam bawah sadar pada awal kehidupan (fase oral, anal dan phalik) akan muncul dalam bentuk suatu demensi kepribadian tertentu atau personality traits misalnya terfiksasi fase oral akan bisa membentuk suatu kepribadian skizoid atau paranoid, bila terfiksasi di fase anal atau phalik akan membentuk kepribadian


(30)

histrionik, dependen atau cemas menghindar. Khususnya pada kepribadian histrionik dan cemas menghindar konflik-konflik yang tersimpan di alam bawah sadar akan dimunculkan ke alam sadar dalam bentuk gejala-gejala konversi sebagai bentuk mekanisme pembelaan diri. Gejala-gejala konversi bila berlangsung berulang kali akan muncul keluhan-keluhan fisik dalam wujud Somatisasi, salah satunya dispepsia fungsional (Oldham dkk, 2009; Kaplan dkk, 2010). Teori Psikoanalisis dari S. Freud lainnya mengembangkan suatu konsep struktur kepribadian, yaitu id, ego dan super ego. Id adalah struktur paling mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut prinsip kesenangan, tujuannya pemenuhan kepuasan yang segera. Ego berkembang dari id, struktur kepribadian yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia. Superego, berkembang dari ego saat manusia mengerti nilai baik buruk dan moral. Superego merefleksikan nilai-nilai sosial dan menyadarkan individu atas tuntuta moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah. Ego selalu menghadapi ketegangan antara tuntutan id dan superego. Apabila tuntutan ini tidak berhasil diatasi dengan baik, maka ego terancam dan muncullah kecemasan (anxiety). Dalam rangka menyelamatkan diri dari ancaman, ego melakukan reaksi defensif atau pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang jenisnya bisa bermacam-macam, salah satunya: konversi, represi yang bila berlangsung lama, akan muncul keluhan-keluhan somatik salah satunya adalah mengenai organ lambung yang dikenal dengan istilah sindrom dispepsia (Kaplan dkk,2010;Krueger& Tackett, 2006).


(31)

Memori merupakan inti dari kepribadian. Memori individu didapat dari kognitif atau dari trauma yang dialami saat masa perkembangan. Kepribadian dipengaruhi oleh derajat trauma, tahap perkembangan saat terjadi trauma, keluarga meliputi dinamika interpersonal, genetik, dan neurobiologi (Magnavita, 2004). Kepribadian juga ditentukan oleh mekanisme koping yang dilakukan individu tersebut akibat suatu stresor. Stresor atau stimulus asing yang berlangsung lama akan menyebabkan respon neurobiologi sebagai berikut: 1) adanya perasaan negatif dari kecemasan karena merasa tidak aman dan tidak yakin, 2) peningkatan gejala otonomik untuk cadangan energi dalam potensial aksi sel, 3) selektif dalam perhatian untuk memaksimalkan input sensorik pada lokasi tertentu, 4) peran kognitif untuk menerapkan strategi tertentu. Daerah hipotalamus dan amigdala terangsang dan terjadi peningkatan CRH sebagai respon terhadap stimulus yang ada. Jalur CRH di sistem peripheral yang berlokasi di nukleus paraventrikular dari hipotalamus akan teraktivasi dan menyebabkan pengeluaran kortisol dari kelenjar adrenal. Kortisol akan masuk ke pembuluh darah dan meningkatkan glukoneogenesis dan jika kadarnya berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan neurotransmiter yang mengatur emosi, memori, dan kemauan. Amigdala sentral dan amigdala basolateral mengaktifkan neuron CRH di lateral hipotalamus. CRH di lateral hipotalamus akan memodulasi kerja dari sistem saraf otonomik. Proyeksi neuron ke intermediolateral cell coloumn ke spinal cord akan mengaktifkan sistem otonom simpatik preganglion. Jalur CRH juga mengaktifkan Locus coeruleus sehingga norepinephrine dikeluarkan ke


(32)

reseptor beta adrenergik yang menciptakan emosi yang tidak spesifik (Lenzenweger & Clarkin, 2005).

Neurotransmiter yang juga terpengaruh adalah dopamin. Peningkatan aktivasi amigdala menyebabkan kadar metabolit dopamin di CSF rendah, ikatan dopamin transporter juga rendah, dan jumlah reseptor D2 berkurang sehingga menyebabkan perubahan perilaku yang terjadi dan jika berlangsung lama maka perilaku tersebut bisa menetap dan membentuk kepribadian individu tersebut (Oldham dd, 2009). Genetik berhubungan erat dengan terbentuknya struktur kepribadian. Genetik berhubungan erat dengan extravertion dan neuroticism, sedangkan pengaruh genetik pada concientiousness, agreeableness, dan openness masih diragukan. Extraversion dan neuroticism berhubungan dengan proses psikologi seperti perhatian, persepsi, memori, dan emosi. Neuroticism berkaitan dengan peningkatan aktivasi amigdala dan subgenual Anterior Cingulate Cortex pada saat menghadapi konflik emosional (John dkk, 2008). Aktivasi saraf simpatis akan menyebabkan berbagai respon tubuh salah satunya di lambung. Kadar kortisol yang tinggi dalam darah juga akan menyebabkan seseorang menjadi rentan terhadap stimulus dan stresor dari luar dirinya. Gangguan lambung yang bersifat fungsional merupakan manifestasi dari sensitivitas menyeluruh terhadap adanya rangsangan yang baru atau stimulus yang dianggap bersifat ancaman. Gangguan lambung fungsional yang paling sering terjadi adalah dispepsia fungsional ( Ammerman, 2006).


(33)

BAB III

KERANGKA BERFIKIR, KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1.Kerangka Berfikir

Gangguan dispepsia fungsional dan dispepsia organik merupakan bagian dari gangguan gastrointestinal dan memiliki karakteristik umum yang ditandai oleh adanya gejala gastrointestinal dan tidak adanya kelainan struktural melalui pemeriksaan klinik, laboratorium dan pemeriksaan endoskopi. Patogenesis dispepsia meliputi beberapa mekanisme yang mungkin, antara lain: Infeksi Helicobacter pylori (H. pylori), ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, perubahan sistem saraf otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, sistem imun dan faktor psikososial. Faktor lain yang juga berpengaruh timbulnya dispepsia fungsional antara lain: depresi, kecemasan, stress, jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan. Kaitan antara kepribadian seseorang dengan dispepsia merupakan suatu mekanisme yang kompleks antara faktor organobiologi dengan faktor psikososial. Kepribadian adalah pola sifat yang relatif permanen dan mempunyai karakteristik yang unik yang secara konsisten mempengaruhi perilakunya. Kepribadian mempengaruhi kognitif, emosi dan motivasi seseorang dalam menghayati health awareness. Big five Personality traits model dapat digunakan sebagai teori kepribadian yang dikaitkan dengan penyakit dispepsia fungsional. Big five Personality traits model merupakan dimensi kepribadian ke dalam lima dimensi yaitu Neuroticism (N) Extraversion (E), Openness to Experience (O), Agreeableness (A) dan Conscientiousness (C). Model personality


(34)

traits yang dikembangkan secara leksikal ini dikenal dengan Big Five model. Berdasarkan teori Psikoanalisis dari S. Freud mengembangkan suatu konsep struktur kepribadian, yaitu id, ego dan super ego. Struktur kepribadian ego yang paling memegang peranan penting terhadap terbentuknya kepribadian dan munculnya dispepsia fungsional. Ego berkembang dari id, struktur kepribadian yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia. Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah. Ego selalu menghadapi ketegangan antara tuntutan id dan superego. Apabila tuntutan ini tidak berhasil diatasi dengan baik dan berlangsung lama, maka ego terancam dan muncullah kecemasan (anxiety) yang selanjutnya akan membentuk suatu Neurotism Personality Trait, atau apabila tuntutan berasil diatasi dengan baik maka ego tidak terancam dan muncullah sikap sabar, mengalah, menerima, yang pada akhirnya membentuk suatu Agreeableness Personality Trait. Pada dimensi trait kepribadian Big Five model yang memiliki skor yang rendah, dimana ego merasa terancam maka ego akan melakukan reaksi defensif atau pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang jenisnya bisa bermacam-macam, salah satunya yang imatur adalah : konversi, dan represi. Bila gejala koversi dan represi terus berlangsung lama, akan memunculkan keluhan-keluhan somatik salah satunya adalah mengenai organ lambung yang dikenal dengan istilah sindrom dispepsia.


(35)

Bagan di bawah ini menunjukkan hubungan antara Big five Personality traits model dengan gangguan dispepsia

Gambar 3.1. Kerangka Berpikir

Faktor Penyebab :

 Infeksi H. Pylori

 Ketidaknormalan motilitas

 Gangguan sensori visceral

 Faktor psikososial

 Faktor sistem saraf otonom, neuroendokrin, sistem imun

 Kecemasan,Depresi,Stres, jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan

Diagnosis setelah endoskopi : fungsional dan organik

Gejala Dispepsia :

 Rasa penuh setelah makan yang mengganggu.

 Rasa terbakar di epigastrium

 Nyeri epigastrium

 Rasa cepat kenyang.

Big Five personality traits:

Extraversion

Openness

Agreeableness


(36)

 Depresi

 Kecemasan

 Stres

 Jenis kelamin

 Pendidikan

 Pekerjaan

 Umur

 Status pernikahan

Dependent Variables:

Dispepsia Fungsional

Independent Variables

Big Five personality traits:

Neuroticism

Extraversion

Openness

Agreeableness

Conscientiesness

3.2.Kerangka Konsep

Keterangan : --- (garis putus-putus) : variabel yang diteliti

Gambar 3.2 kerangka konsep penelitian

3.3.Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian pustaka kerangka berpikir dan konsep yang telah diuraikan di atas, maka dapatlah dikemukakan rumusan hipotesis sebagai berikut 1. Terdapat pengaruh antara Neuroticism trait dengan dispepsia fungsional pada

pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

2. Terdapat pengaruh antara Extraversion trait dengan dyspepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.


(37)

3. Terdapat pengaruh antara Openness trait dengan dispepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

4. Terdapat pengaruh antara Agreeableness trait dengan dispepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

5. Terdapat pengaruh antara Conscientiousness trait dengan dyspepsia fungsional pada pasien di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.


(38)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian

4.1.1.Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di poliklinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

4.1.2 Waktu Penelitian

Penelitian dimulai pada Agustus sampai September 2015

4.2.Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu studi dengan menggunakan rancangan penelitian observasional analitik dengan rancangan yang digunakan potong lintang (cross sectional analytic) untuk mengetahui pengaruh Big Five Personality Traits dengan dispepsia fungsional pada pasien rawat jalan poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian dimulai dengan identifikasi kasus, yaitu individu yang mengalami keluhan dispepsia dan sudah terdiagnosis dengan dispepsia fungsional dan dispepsia organik setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, kemudian dilakukan wawancara dan kuesioner pada pasien dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil evaluasi ini berupa hasil wawancara dan kuesioner dengan responden.


(39)

Big Five personality traits:

 Openness

 Conscientiesness

 Extraversion

 Agreeableness

 Neuroticism

Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:

Dispepsia Fungsional Dispepsia Organik

Gambar 4.1. Rancangan Penelitian

4.3.Populasi dan Sampel

4.3.1.Populasi Target

Populasi target (target population) adalah semua pasien dengan dispepsia

4.3.2.Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau (accessible population) adalah semua pasien dengan dispepsia yang pernah rawat jalan di poliklinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit

Eligible sampling: Dispepsia Populasi


(40)

tahun 2014.

4.3.3. Sampel (intended sample)

Sampel yang dipilih dari populasi terjangkau setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subyek yang diteliti (actual study subjects) adalah sampel yang benar-benar mau ikut serta dalam penelitian dengan mengisi formulir informed consent.

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu:

1. Seluruh penderita yang menderita dispepsia fungsional dan dispepsia organik yang tercatat di register rawat jalan poliklinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dari bulan Januari 2014 sampai Desember 2014, yang telah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang ( endoskopi ) sesuai standar medik yang berlaku dan didiagnosis dispepsia fungsional dan dispepsia organik oleh dokter Spesialis Penyakit Dalam di RSUP Sanglah.

2. Bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani formulir informed consent.

3. Mampu membaca dan berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia

b. Kriteria Ekslusi

1. Penderita dengan dispepsia fungsional atau dispepsia organik yang yang tinggal di luar Bali, atau sudah meninggal


(41)

2 2

2

Skizofrenia, Retardasi Mental Berat

3. Penderita dengan penyakit kronik seperti Diabetes Melitus, Hipertensi, Gagal Ginjal, Sirosis Hepatis, dan penyakit keganasan

4. Penderita dispepsia yang terganggu fungsi panca indra terutama pengeliatan dan pendengaran

5. Penderita yang tidak tercatat no HP atau telepon rumah pada komputer registrasi RSUP

6. Menolak ikut dalam penelitian

c. Besar Sampel

Penghitungan besar sampel pada penelitian ini memakai rumus besar sampel untuk penelitian analitik korelatif sebagai berikut (Dahlan, 2009):

n = (nnn) 2 n n =

(1,96) × 0,20 × (1 ' 0,20)

0,12

n = (nnn) 2 n n =

3,84× 0,20 × 0,8

0,12

n = 0,614 0,01

n = 61,4 dibulatkan menjadi 62orang Keterangan:

Zα =Kesalahan tipe I ditetapkan 5% = 1, 96

d =Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki ditetapkan sebesar 10%

Q =1 – P


(42)

Pasien rawat jalan yang tercatat di register poliklinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah dari 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2014. Sampel penelitian memenuhi syarat berdasarkan kriteria inklusi, dan dipilih secara simple random sampling: dimulai dengan membuat daftar identitas pasien yang memenuhi syarat sebagai sampel, kemudian pemilihan diawali dengan menjatuhkan pensil untuk menentukan sampel pertama, sedangkan untuk sampel berikutnya dengan kelipatan tiga, sampai besar sampel terpenuhi. Sampelnya adalah yang telah dilakukan pemeriksaan endoskopi oleh dokter Penyakit Dalam dan didiagnosis dispepsia fungsional dan dispepsia organik

3.4. Variabel Penelitian

Pada penelitian ini variabel merupakan karakteristik sampel penelitian yang diukur baik secara numerik maupun nominal (Sastroasmoro, 2011). dan disusun menurut rancangan penelitian cross sectional analytic.

4.4.1. Variabel Bebas

Variabel bebas yang diteliti adalah Big Five Personality Traits terdiri dari : Neuroticism trait, Extraversion trait, Openness trait, Agreeableness trait, dan Conscientiousness trait

4.4.2.Variabel Tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah dispepsia fungsional

4.4.3. Variabel Perancu

Variabel perancu pada penelitian ini adalah : kecemasan, depresi, stress, jenis kelamin, umur, pendidikan, status pernikahan, dan pekerjaan


(43)

Untuk keseragaman dan agar tidak terjadi kerancuan maka variabel- variabel yang digunakan dalam penelitian ini perlu didefinisikan. Definisi operasional dari variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut.

a. Big five personality adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah dimensi kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima dimensi personality traits tersebut adalah neuoriticism, extraversion, agreeableness, openness dan conscientiousness (Friedman & Schustack, 2008). Data disajikan dalam bentuk numerik.

b. Dispepsia fungsional adalah bagian dari gangguan gastrointestinal fungsional dan memiliki karakteristik umum yang ditandai oleh adanya gejala gastrointestinal dan tidak adanya kelainan struktural memenuhi salah satu gejala atau lebih gejala rasa penuh setelah makan yang mengganggu, rasa cepat kenyang, nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium dan tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala. Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan sebelum diagnosis dan didiagnosis oleh Dokter Penyakit Dalam. Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal dikotomi (Abdullah & Gunawan, 2012 ).


(44)

dimana penyebabnya sudah jelas setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi serta didiagnosis oleh Ahli Penyakit Dalam. Misalnya adanya ulkus peptikum atau duodenum, karsinoma lambung, atau cholelithiasis.

d. Umur adalah umur yang tertera pada kartu tanda penduduk (KTP) pasien yang juga dikonfirmasi melalui wawancara saat dilakukan penelitian dan pada rekam medis. Data disajikan dalam bentuk skala non kategorikal. e. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang tertera di kartu tanda penduduk

(KTP) dan tertera di catatan medik responden. Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal.

f. Pendidikan adalah pendidikan yang dapat diklasifikasi kedalam kelompok : Tidak Sekolah, SD, SMP, SMA atau sederajat, Diploma atau Sarjana g. Pekerjaan adalah dapat diklasifikasi kedalam kelompok : Bekerja, dan

Tidak Bekerja

h. Status pernikahan meliputi : tidak menikah, menikah, duda, dan janda i. Stres adalah tekanan psikis akibat adanya tuntutan dalam diri dan

lingkungan, misalnya tuntutan belajar menjelang ujian, menghadapi masalah keluarga atau hubungan antar teman dengan menggunakan kuesioner DASS 42 (Rathus & Nevid, 2007).

j. Depresi adalah suasana hati (afek) atau hilang minat atau kesenangan dalam semua aktifitas selama sekurang-kurangnya dua minggu, disertai beberapa gejala berhubungan (Maslim, 2001).


(45)

ketakutan disertai tanda somatik pertanda sistem saraf otonom yang hiperaktif (Maslim, 2001). Depresi, kecemasan, dan stres diukur dengan Depression Anxiety Stres Scale (DASS) 42 (Lovibond, 1995; Crawford & Henry, 2003; Kholifah, 2013 ).

 Depresi (ada) : bila skor DASS 42 untuk depresi > 9 Tidak ada : bila skor DASS untuk depresi 0-9

 Kecemasan (ada) : bila skor DASS 42 untuk kecemasan > 7 Tidak ada : bila skor DASS 42 untuk kecemasan 0-7

 Stres (ada) : bila skor DASS 42 untuk stres > 14 Tidak ada : bila skor DASS 42 untuk stres 0-14 Data disajikan dalam bentuk skala kategorikal nominal.

4.6. Bahan dan Instrument Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: formulir kuesioner yang digunakan untuk mengeksplorasi faktor demografi (umur, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan dan pekerjaan). Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah berbentuk kuesioner yang berbentuk skala Likert. Kuesioner adalah salah satu jenis alat pengumpulan data berupa daftar pertanyaan. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari dua alat ukur. Adapun dua alat ukur tersebut adalah:

a. Alat ukur Big Five personality

Big Five personality akan diukur dengan IPIP-FFI (International Personality Item Pool-Five Factor Inventory). Alat ukur ini merupakan


(46)

berjumlah 50 item yang memilki rentang diri sangat tidak sesuai (skala 1) sampai sangat sesuai (skala 5), dimana setiap variabelnya terdiri dari 10 item (5 favorable dan 5 unfavorable) yaitu openness to experience, conscientiousness, extraversion, agreeableness, dan neuroticism. Instrumen ini telah melalui uji reliabilitas dan validitas berdasarkan penilaian Cronbach’s alpha dengan nilai di atas 0,6 (Donnellan dkk, 2006).

b. Alat ukur depresi, kecemasan dan stres

Instrumen lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah DASS 42 menilai ada tidaknya depresi, kecemasan, dan stres. Instrumen DASS 42 terdiri dari 42 item pertanyaan yang terdiri dari 3 subvariabel yaitu fisik, psikologi dan perilaku. Nilai depresi, kecemasan, dan stres ditentukan oleh nilai dari komponen DASS yang relevan untuk masing-masing kriteria. Komponen DASS untuk depresi adalah 3, 5, 10, 13, 16, 17, 21, 24, 26, 31, 34, 37, 38, 42. Kecemasan diukur oleh komponen nomor 2, 4, 7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 28, 30, 36, 40, 41. Sedangkan stres ditunjukkan oleh komponen 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39. Instrumen ini telah melalui uji reliabilitas dan validitas berdasarkan penilaian Cronbach’s alpha sebesar 0,91 (Lovibond & Lovibond, 1995; Crawford & Henry, 2003; Kholifah, 2013).


(47)

Setelah data terkumpul kemudian dilakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan data tersebut. Data hasil penelitian dilakukan perhitungan dan dianalisis secara statistik dengan bantuan komputer menggunakan perangkat lunak komputer. Jika ada data yang belum lengkap akan dilengkapi kemudian dilakukan serangkaian analisis statistik menggunakan SPSS.20 sebagai berikut:

4.7.1. Statistik Deskritif

Analisis statistik deskriptif untuk menggambarkan karakteristik data sampel variabel usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, kecemasan, depresi, dan stres

4.7.2. Uji normalitas data

Data mengenai umur dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Data dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05 dan tidak apabila nilai p < 0,05. Levene’s test digunakan untuk mengetahui homogenitas kedua kelompok.

4.7.3. Uji parametrik t tidak berpasangan.

Uji parametrik t-test tidak berpasangan digunakan untuk uji hipotesis pada data numerik yang berdistribusi normal. Uji non-parametrik Mann-Whitney digunakan untuk uji perbandingan pada data yang tidak berdistribusi normal, sedangkan uji Chi-Square digunakan untuk uji perbandingan pada data kategorik (Dahlan, 2009). Dalam penelitian ini ditentukan derajat kemaknaan α = 0,05 (p < 0,05)


(48)

Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas dengan variabel tergantung dilakukan analisis multivariat, dengan terlebih dahulu melakukan analisis bivariat menggunakan regresi logistik terhadap masing-masing variabel Big Five personality traits (neuroticism, openness, extraversion, agreeableness, dan conscientiousness) sebagai variabel bebas dengan dyspepsia fungsional sebagai variabel tergantung dengan metode enter. Variabel yang dimasukkan ke dalam analisis multivariat apabila nilai p < 0,5.

4.7.5.Statistik Multivariat

Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan regresi logistik terhadap masing-masing variabel Big Five personality traits (neuroticism, openness, extraversion, agreeableness, dan conscientiousness) sebagai variabel bebas dihubungkan dengan dispepsia sebagai variabel tergantung setelah dikontrol dengan variabel depresi, kecemasan, stress. Pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, jenis kelamin, umur dengan metode enter.

4.8. Alur Penelitian

4.8.1. Tahap Persiapan

Sampel penderita yang didiagnosis dispepsia fungsional dan dispepsia organik dipilih secara simple random sampling. Instrument kuesioner dan wawancara terpimpin disiapkan.

4.8.2.Pelaksanaan Penelitian

Sebelum pelaksanaan penelitian semua yang menyangkut etika penelitian dikonsultasikan dengan Komisi Etika Penelitian Unit penelitian dan


(49)

Pasien Dispepsia Fungsional dan dispepsia organik yang sudah tegak diagnosa yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak kriteria eksklusi dan tercatat di buku register poliklinik

Informed Consent

kelaikan etika. Semua penderita yang didiagnosis dispepsia fungsional dan dispepsia organik diberikan penjelasan rinci tentang tujuan penelitian dan setelah memahami barulah dilanjutkan dengan penandatanganan informed consent.

4.8.3.Alur Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan setelah mendapatkan kelaikan etik (ethical clearence) dari RSUP Sanglah. Alur adalah sebagai berikut :

Gambar 4.3 Bagan Alur Penelitian

Pengumpulan data

Laporan Hasil Penelitian Analisis statistik Data

Wa wancara

Kuesioner IPIP-FFI untuk Big five personality traits Kuesioner DASS 42 untuk cemas, depresi, stres

Simpel random sampling Sampling


(50)

48

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Dasar

Berdasarkan data register kunjungan pasien yang melakukan pemeriksaan endoskopi di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Sanglah selama tahun 2014 adalah sebanyak 647 orang, 370 orang memenuhi syarat sebagai sampel penelitian ini. Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling. Sebanyak 13 orang tidak dimasukan sebagai sampel karena alasan menolak, alamat tidak jelas ( tidak tercantum nomor HP atau telepon rumah di komputer registrasi), atau alamat tidak ditemukan. Pada akhir penelitian ini didapatkan total sampel sebesar 62 orang, dan mereka bersedia mengisi kuesioner Big Five Personality Traits dan DASS 42. Hasil yang didapat dari kuesioner yang diisi oleh sampel, didapatkan 62 kuesioner yang terisi secara lengkap. Karakteristik dasar subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1.


(51)

N % Umur

Jenis kelamin

51,31 ± 14,830

Laki-laki 35 56,50

Perempuan 27 43,50

Pekerjaan

Bekerja 24 38,70

Tidak bekerja 38 61,30

Pendidikan

Tidak sekolah 8 12,90

SD 14 22,60

SMP 4 6,50

SMA 30 48,40

Diploma/sarjana 6 9,70

Pernikahan

Tidak menikah 12 19,40

Menikah 32 51,60

Duda 11 17,70

Janda 7 11,30

Dispepsia

Fungsional 27 43,50

Organik 35 56,50

Depresi

Tidak Depresi 54 87,10

Depresi 8 12,90

Cemas

Tidak Cemas 49 79,00

Cemas 13 21,00

Stres

Tidak Stres 55 88,70

Stres 7 11,30

Data umur ditampilkan dalam rerata ± SD

Berdasarkan Tabel 5.1. dapat dilihat bahwa karakteristik umur didapatkan rerata 51,31 ± 14,830. Berdasarkan jenis kelamin, proporsi laki-laki lebih tinggi yaitu sebesar 56,50%, sedangkan proporsi perempuan sebesar 43,50%. Berdasarkan karakteristik pekerjaan yang tercatat, proporsi tertinggi adalah tidak bekerja sebesar 61,30%, dan terendah bekerja sebesar 38,70%. Proporsi tertinggi


(52)

SMP sebesar 6,50%. Berdasarkan status pernikahan yang tercatat, proporsi tertinggi adalah menikah sebesar 51,60% dan terendah adalah janda sebesar 11,30%. Sedangkan responden yang mengalami depresi didapatkan pada 12 orang (12,90%), kecemasan didapatkan pada 13 orang (21,00%) dan stres didapatkan pada 7 orang (11,30%).

Dari 62 responden yang menjadi sampel penelitian, 27 orang (43,50%) termasuk dalam kategori dispepsia fungsional dan sisanya sejumlah 35 orang (56,50%) dispepsia organik. Data variabel umur akan diuji normalitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Data dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05 dan tidak apabila nilai p < 0,05. Selanjutnya dilakukan uji beda pada kedua rerata umur tersebut dengan menggunakan uji t tidak berpasangan bila data berdistribusi normal. Bila distribusi data tidak normal maka kedua rerata umur dilakukan analisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney. Uji beda karakteristik subjek pada kelompok dispepsia fungsional dan dispepsia organik dapat dilihat pada Tabel 5.2.


(53)

Variabel

Dispepsia Fungsional N (%) Total = 27

Dispepsia Organik N (%) Total = 35

Nilai p

Umur 48,29 ± 14,525 53,66 ± 14,838 0,134** Jenis kelamin

Pekerjaan

0,094***

Bekerja 14(51,90%) 10 (28,60%) 0,062***

Tidak bekerja 13 (48,10%) 25(71,40%) Pendidikan

Tidak sekolah 3 (11,10%) 5 (14,30%)

SD 3 (11,10%) 11 (31,40%)

SMP 3 (11,10%) 1 (2,90%) 0,121*

SMA 14 (51,90%) 16 (45,70%)

Diploma/Sarjana 4 (14,80%) 2 (5,70%) Pernikahan

**

**

** Data umur ditampilkan dalam rerata ± SD

* Uji Mann-Whitney ** Independent sampel test *** Uji Pearson Chi-Square **** Uji Fisher’s exact

Pada kelompok dispepsia fungsional kami dapatkan umur dengan rerata 48,29 ± 14,525, dan rerata umur untuk kelompok dispepsia organik adalah 53,66 ± 14,838. Kedua data tersebut didapatkan berdistribusi normal dengan nilai p adalah 0,200 (p ˃ 0,05), dan homogen pada levene test dengan nilai p adalah 0,69

Laki-laki 12 (44,40%) 23 (65,70%) Perempuan 15 (55,60%) 12 (34,30%)

Tidak Menikah 8 (29,60%) 4 (11,40%)

Menikah 14 (51,90%) 18 (51,40%) 0,059*

Duda 2 (7,40%) 9 (25,70%)

Janda 3 (11,10%) 4 (11,40%)

Depresi

Tidak Ada 26 (96,30%) 28(80,00%)

0,123** Ada

Kecemasan

1 (3,70%) 7 (20,00%) Tidak Ada 15 (55,60%) 34(97,10%)

0,000**

Ada 12 (44,40%) 1 (2,90%)

Stres

Tidak Ada 25 (92,60%) 30 (85,70%)

0,455**


(54)

menggunakan uji t tidak berpasangan. Uji beda kedua rerata umur tersebut didapatkan hasil tidak ada perbedaan bermakna dengan nilai p adalah 0,134 ( -5,9 ± SE 3,906; CI 95%: -13,754 sampai 1,872; t = -1,521; p = 0,134). Pada variabel jenis kelamin, dan pekerjaan yang merupakan variabel katagorikal, uji beda menggunakan pearson chi-square test. Pada uji beda tersebut didapatkan tidak ada perbedaan bermakna pada variabel jenis kelamin dan pekerjaan (nilai p > 0,05). Pada variabel pendidikan dan variabel pernikahan, uji beda menggunakan uji Mann-Whitney. Pada uji beda tersebut didapatkan tidak ada perbedaan bermakna pada variabel pendidikan, dan variabel pernikahan (nilai p > 0,05). Pada variabel depresi, kecemasan, dan stress yang merupakan variabel katagorikal uji beda tidak dapat menggunakan pearson chi-square test karena terdapat sel yang bernilai kurang dari 5 sehingga digunakan uji alternatif fisher’s exact test, pada uji beda tersebut didapatkan perbedaan bermakna pada variabel kecemasan (nilai p < 0,05).

Secara statistik didapatkan bahwa variabel kecemasan pada kedua kelompok ada perbedaan secara signifikan (p 0,05). Sedangkan variabel umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, pernikahan, depresi, dan stres pada kedua kelompok secara statistik tidak didapatkan perbedaan secara signifikan (p 0,05).

5.2 Uji Hipotesis

Permasalahan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah apakah ada pengaruh antara masing-masing variabel pada Big Five personality traits dengan dispepsia fungsional Peneliti ingin menguji lima hipotesis tentang pengaruh


(55)

Sebagai langkah awal dilakukan analisis bivariat masing-masing variabel pada Big Five personality traits (Openess, Concienstiousness, Extraversion, Agreeableness dan Neuroticism) sebagai variabel bebas dengan dispepsia fungsional sebagai variabel tergantung. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3 Analisis Bivariat Pengaruh Antara Big Five Personality Traits Sebagai Variabel Bebas dan Dispepsia fungsional Sebagai Variabel Tergantung

Variabel Big Five personality traits B

Una djusted Odd Ratio

CI 95% Low

OR

High p Value

Neuroticism 0,576 0,562 0,416 0,760 0,000

Extraversion 0,290 1,337 1,108 1,612 0,002

Openness -0,182 1,200 1,025 1,404 0,023

Agreeableness 0,267 1,306 1,135 1,504 0,000

Conscientiousness -0,743 0,476 0,323 0,701 0,000

Sesuai kesepakatan, variabel personality traits pada analisis bivariat yang akan dimasukkan kembali pada analisis multivariat menggunakan regresi logistik apabila memiliki nilai p < 0,25. Sehingga ada lima variabel personality traits yang bisa dimasukkan ke dalam analisis multivariat, yaitu Openess, Concienstiousness, Extraversion, Agreeableness dan Neuroticism. Dari hasil analisis bivariat, dapat dikatakan bahwa dispepsia fungsional berpengaruh dengan Openess, Concienstiousness, Extraversion, Agreeableness dan Neuroticism.

Dari analisis multivariat antara personality traits sebagai variabel bebas dengan dispepsia fungsional sebagai variabel tergantung setelah dikontrol dengan variabel kecemasan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.4.


(56)

Tergantung setelah dikontrol dengan variabel kecemasan

Big Five

Personality Traits B

Adjusted OR

CI 95% Low

OR

High p value

Neuroticism 0,515 0,598 0,396 0,901 0,014

Extraversion -0,144 0,866 0,395 1,898 0,719

Openness -0,347 1,415 0,741 2,700 0,293

Agreeableness -0,090 0,914 0,580 1,441 0,699

Conscientiousness -0,435 0,647 0,404 1,035 0,070

Anxiety_nominal 0,313 1,367 0,025 75,859 0,879

Pada tabel di atas dapat kita lihat ada satu trait yang memiliki nilai p < 0,05 dan nilai CI 95% yang tidak bersinggungan dengan nilai satu yaitu Neuroticism (p=0,014; CI 95% 0,396-0,901). Neuroticism menunjukkan Adjusted OR sebesar 0,598 dan nilai B yang positif yang berarti setiap kenaikan 1 unit skala Neuroticism akan meningkatkan kemungkinan terjadinya dispepsia fungsional sebesar 0,515 kali. Dengan kata lain setiap kenaikan 10 unit skala Neuroticism akan meningkatkan risiko terjadinya dispepsia fungsional sebesar 5,15 kali. Dengan demikian hipotesis pertama yaitu Neuroticism memiliki pengaruh terhadap dispepsia fungsional terbukti.

Sedangkan untuk openness walaupun memiliki nilai OR > 1 namun secara statistik tidak signifikan (nilai p > 0,05). Begitu pula untuk extraversion, agreeableness, dan conscientiousness secara statistik tidak signifikan (p > 0,05). Ini berarti extraversion, openness, agreeableness dan conscientiousness tidak berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya dispepsia fungsional. Dengan demikian hipotesis kedua yang menyatakan adanya pengaruh extraversion dengan dispepsia fungsional tidak terbukti. Hipotesis ketiga yang menyatakan adanya pengaruh openness dengan dispepsia fungsional tidak terbukti. Hipotesis keempat


(57)

tidak terbukti. Hipotesis kelima yang menyatakan adanya pengaruh conscientiousness dengan dispepsia fungsional juga tidak terbukti.


(58)

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Pembahasan Karakteristik Dasar

Data deskriptif pada penelitian ini dapat digambarkan dari data yang diperoleh diantaranya yaitu: 62 orang sampel yang dipilih secara simple random sampling ditemukan perbedaan angka prevalensi antara dispepsia fungsional dengan dispepsia organik pada pasien rawat jalan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar yaitu sebesar 43,50% pada dispepsia fungsional dan 56,50% pada dispepsia organik. Angka ini serupa dengan data penelitian yang dilakukan oleh Kumar dkk, yang menemukan perbedaan prevalensi dispepsia fungsional dengan dispepsia organik di Mumbai India sebesar 34,2% dan 65,80% (Kumar dkk, 2012), bahkan penelitian yang dilakukan oleh Nwokediuko dkk, di Nigeria menemukan angka prevalensi dispepsia fungsional lebih tinggi dibandingkan dengan dispepsia organik yaitu sebesar 64,90% (Nwokediuko dkk, 2012). Meningkatkan angka prevalensi dispepsia fungsional pada beberapa penelitian mungkin berkaitan dengan stresor psikososial. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Cheng dkk, didapatkan derajat stresor psikososial berhubungan bermakna pada penderita dispepsia fungsional. Semakin banyak stresor psikososial yang dialami, semakin tinggi sindrom dispepsia yang menyertai penderita dispepsia fungsional. Adapun stresor psikososial pada dispepsia fungsional terbanyak ditemukan berturut – turut adalah masalah pekerjaan (47,5


(1)

Classification Tablea,b

Observed Predicted

Dispepsia Percentage

Correct Fungsiona

l

Organik Fungsional

Step 0 Dispepsia Organik

Overall Percentage

0 27 ,0

0 35 100,0

56,5

a.Constant is included in the model.

b.The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant ,260 ,256 1,026 1 ,311 1,296

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables A Overall Statistics

18,171 1 ,000

18,171 1 ,000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square Df Sig.

Step Step 1 Block

Model

21,580 1 ,000

21,580 1 ,000

21,580 1 ,000

Model Summary

Step -2 Log

likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 63,335a ,294 ,394

a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.

Classification Tablea

Observed Predicted

Dispepsia Percentage

Correct Fungsiona

l

Organik Fungsional

Step 1 Dispepsia Organik

Overall Percentage

18 9 66,7

9 26 74,3

71,0 a. The cut value is ,500


(2)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a A Constant

,267 ,072 13,854 1 ,000 1,306 1,135 1,504

-7,461 2,045 13,305 1 ,000 ,001

a. Variable(s) entered on step 1: A.

LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Dispepsia /METHOD=ENTER C

/PRINT=CI(95)

/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10) ITERATE(20) CUT(0.5). Logistic Regression

[DataSet3] C:\Users\lovemealways\Documents\Data Penelitian Wangsa.sav Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Included in Analysis Selected Cases

Missing Cases Total

Unselected Cases Total

62 100,0

0 ,0

62 0 62

100,0 ,0 100,0 a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding Original

Value

Internal Value Fungsional

Organik

0 1 Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed Predicted

Dispepsia Percentage

Correct Fungsiona

l

Organik Fungsional

Step 0 Dispepsia Organik

Overall Percentage

0 27 ,0

0 35 100,0

56,5

a.Constant is included in the model.


(3)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant ,260 ,256 1,026 1 ,311 1,296

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables C Overall Statistics

37,844 1 ,000

37,844 1 ,000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square Df Sig.

Step Step 1 Block

Model

53,061 1 ,000

53,061 1 ,000

53,061 1 ,000

Model Summary

Step -2 Log

likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 31,854a ,575 ,771

a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than ,001.

Classification Tablea

Observed Predicted

Dispepsia Percentage

Correct Fungsiona

l

Organik Fungsional

Step 1 Dispepsia Organik

Overall Percentage

23 4 85,2

2 33 94,3

90,3 a. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a C Constant

-,743 ,198 14,119 1 ,000 ,476 ,323 ,701

23,949 6,329 14,320 1 ,000 25173013890,493


(4)

LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Dispepsia /METHOD=ENTER N E O A C Anxiety_nominal /PRINT=CI(95)

/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10) ITERATE(20) CUT(0.5).

Logistic Regression

[DataSet1] D:\ \Data Penelitian Wangsa.sav Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Included in Analysis Selected Cases Missing Cases

Total Unselected Cases Total

62 100,0

0 ,0

62 0 62

100,0 ,0 100,0 a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value Fungsional

Organik

0 1

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed Predicted

Dispepsia Percentage

Correct

Fungsional Organik

Fungsional Dispepsia

Step 0 Organik

Overall Percentage

0 27 ,0

0 35 100,0

56,5 a. Constant is included in the model.

b. The cut value is ,500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)


(5)

Variables not in the Equation

Score df Sig.

N E O Variables

Step 0 A

C

Anxiety_nominal Overall Statistics

44,945 1 ,000

10,820 1 ,001

5,701 1 ,017

18,171 1 ,000

37,844 1 ,000

15,908 1 ,000

46,546 6 ,000

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step Step 1 Block

Model

68,186 6 ,000

68,186 6 ,000

68,186 6 ,000

Model Summary

Step -2 Log

likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 16,729a ,667 ,894

a. Estimation terminated at iteration number 8 because parameter estimates changed by less than ,001.

Classification Tablea

Observed Predicted

Dispepsia Percentage

Correct

Fungsional Organik

Fungsional Dispepsia

Step 1 Organik

Overall Percentage

25 2 92,6

1 34 97,1

95,2 a. The cut value is ,500


(6)

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

N E O A Step 1a

C Anxiety_ nominal Constant

,515 ,210 6,029 1 ,014 ,598 ,396 ,901

-,144 ,400 ,129 1 ,719 ,866 ,395 1,898

-,347 ,330 1,105 1 ,293 1,415 ,741 2,700

-,090 ,232 ,149 1 ,699 ,914 ,580 1,441

-,435 ,240 3,294 1 ,070 ,647 ,404 1,035

,313 2,049 ,023 1 ,879 1,367 ,025 75,859

28,803 11,986 5,774 1 ,016 3227503037249,815