21 CINEMA CENTRE BANYUWANGI.
TUGAS AKHIR
21 CINEMA CENTRE
BANYUWANGI
Dipersiapkan dan disusun oleh :
ACHMAD RUSTAM FAUZI
NPM : 0651010061
Telah dipertahankan didepan tim penguji
Pada tanggal : 15 Oktober 2010
Pembimbing Utama
Ir. Syaifuddin Zuhri, MT
NPTY. 19621019 199403 1 00 1
Pembimbing Pendamping
Heru Subiyantoro, ST., MT
NPTY. 3 7102 96 0061 1
Penguji
Ir. Muchlisiniyati Safeyah, MT
NPTY. 3 6706 94 0034 1
Ir. Eva Elviana, MT
NPTY. 3 6604 94 0032 1
Ir. Lily Syahrial, MT
NIP. 19550908 199103 1 00 1
Tugas Akhir ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan
untuk memperoleh gelar Sarjana (S-1)
Tanggal :
(2)
21 CINEMA CENTRE
ACHMAD RUSTAM FAUZI / 0651010061
ABSTRAKSI
Pada dekade terakhir ini, peningkatan jumlah penonton bioskop
mengalami kenaikan dengan angka 20% tiap tahunnya. Faktor menguatnya daya
beli masyarakat, meningkatkan jumlah produksi film nasional maupun
internasional ( khususnya Hollywood ) ikut mempengaruhi animo masyarakat
untuk datang ke bioskop. Dalam hal itu, praktek menonton film memiliki
hubungan erat dengan komoditas, aktivitas, dan struktur kebudayaan modern yang
lain (Barnston, 2005:154). Kondisi tempat pemutaran film yang berbeda - beda
ikut mengubah film di hadapan penonton. Citra – citra yang ditampilkan lewat
film tidak lagi dalam kontrol si produsen film, akan tetapi oleh kondisi fisik
bioskop serta sumber daya dan komitmen si pemutar film.
Karena hal tersebut maka timbul gagasan bahwa 21 Cinema center adalah
suatu alternatif dari bangunan bioskop yang ada pada saat ini atau dapat menjadi
bangunan bioskop modern yang ada di kota Banyuwangi satu-satunya. 21 cinema
centre adalah suatu tempat pertunjukan film yang ada di kota Banyuwangi dengan
didukung oleh brand cineplex 21. Dengan demikian, setelah mengusung brand 21
ke dalam obyek perancangan nantinya akan tercipta sebuah tempat pertunjukan
film dengan standarisasi dan didukung dengan fasilitas penunjang lainnya. Dan
menjadi sebuah bioskop kebanggaan yang dimiliki oleh masyarakat kota
Banyuwangi.
Dalam perancangan ini, 21 Cinema Centre yang direncankan berlokasi di
Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Banyuwangi. Dengan konsep Hybird style yang
nantinya akan diusung dalam perancangan 21 cinema centre ini untuk
mewujudkan bangunan bioskop berkarakter baru dan kontekstual terhadap
lingkungan sekitar dengan aplikasi dari nilai – nilai arsitektur tradisional Using
yang berupa rumah tinggal. Konsep ini juga diperuntukkan mengenalkan citra
kota Banyuwangi kepada masyarakat luas melalui sebuah bentuk arsitektur lokal
kedalam bentuk modern
.
(3)
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur ditujukan kehadirat Allah SWT, yang mana atas
rahmat dan ridho-Nya, sehingga penyusunan Proposal Tugas Akhir ini dapat
terselesaikan dengan baik. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam
memperoleh Gelar Sarjana Teknik ( S-1 ) Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran“
Jawa Timur di Surabaya. Setiap mahasiswa diwajibkan memenuhi persyaratan
kurikulum , dimana salah satunya adalah Tugas Akhir. Mahasiswa yang akan
mengambil Tugas Akhir diwajibkan untuk melakukan kegiatan - kegiatan
penyusunan usulan judul sebelum menyusun proposal, konsep dan
perancangannya sendiri .
Proposal Tugas Akhir ini dimaksudkan untuk memberi gambaran secara
garis besar mengenai lingkup proyek yang akan dikerjakan baik keluasan maupun
kedalamanya. Adapun judul yang dapat diusulkan oleh penyusun adalah : “21
CINEMA CENTRE” yang kelak akan dipergunakan dalam proses perancangan
tugas akhir. Pemilihan judul ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebuah tempat
pemutaran film yang ada dikota Banyuwangi saat ini, yaitu Irama theater
mengalami sepi penonton karena sistem pemutaran film yang tidak update dan
juga kondisi fisik bangunan yang kuno. Sehingga mengurangi minat masyarakat
banyuwangi menonton film di bioskop. Maka timbullah ide / gagasan untuk
merancang sebuah gedung bioskop yang modern dengan sistem pemutaran film
yang selalu update mengikuti perkembangan produksi film saat ini. Sehingga
mengembalikan minat masyarakat Banyuwangi untuk menonton film digedung
bioskop.
Penulis menyadari dalam penyusunan laporan tugas akhir ini masih
banyak kekurangan, membuka diri untuk kritik serta saran yang membangun dari
pembaca guna adanya perbaikan yang berarti, yang pasti nantinya akan dapat
(4)
HALAMAN PERSEMBAHAN
Syukur alhamdulilah atas semua Rahmat dan Hidayah yang diberikan Allah SWT kepada umat-NYA yang tiada henti
Keluargaku ; Bapak, Ibu dan adik – adik yang aku cintai, terima kasih atas kasih sayang, didikan, support, doa dan materi yang telah diberikan dari memulai proses pendidikan hingga saat ini. Serta keluarga pak lek Slamet yang berada di Sidoarjo, yang juga memberikan support, materi dan do’a serta kesabarannya dalam mendidik sebagai ayah kedua.
Pembimbing, bapak Ir. Syaifuddin Zuhri, MT., terima kasih atas dukungan serta saran yang telah diberikan selama menempuh pendidikan sampai pada tugas akhir ini, dan kesabaran bapak dalam membimbing selama proses penyelesaian tugas akhir ini...Juga bapak Heru Subiyantoro, ST., MT, yang memberikan bimbingan terhadap konsep yang saya pilih, serta saran – saran yang diberikan selama bimbingan, sehingga proses penyelesaian tugas akhir ini bisa terwujud dengan baik...terima kasih atas bimbingan bapak mulai dari Seminar hingga selesai...
Seluruh Dosen dan staff teknik Arsitektur UPN, terima kasih atas didikan dan saran – saran yang telah diberikan kepada kami sebagai mahasiswa.
Teman - teman seperguruan! Angkatan 2006 Arsitektur UPN dan para senior! Selalu semangat teman dalam menjalani hidup ini.
Suwek sekeluarga, yang memberikan bantuan do’a dan materi dalam proses penyelesaian tugas akhir ini. Terima kasih bapak dan ibu.
Serta untuk mbak Sely vivi rahayu sekeluarga, yang telah memberikan do’a serta supportnya. Terima kasih banyak, semoga dibalas oleh Allah SWT.
(5)
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Lembar Pengesahan ... ii
Abstraksi ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar isi ... v
Daftar tabel ... xiii
Daftar Gambar ... xiii
Bab I. Pendahuluan ... 1
1. 1. Latar Belakang ... 1
1. 2. Maksud dan Tujuan Perancangan ... 6
1. 3. Lingkup Perancangan ... 6
1. 4. Batasan dan Asumsi ... 7
1. 5. Metode Perancangan ... 8
Bab II. Tinjauan Obyek Perancangan ... 11
2. 1. Tinjauan Umum Perancangan ... 11
2. 1. 1. Pengertian Judul ... 11
2. 1. 2. Studi Proyek Sejenis ... 11
2.1.2.1. Studi Literatur ... 11
2.1.2.2. Studi Kasus Obyek Sejenis ... 27
2. 1. 3. Analisa Hasil Studi ... 40
2. 1. 4. Persyaratan Pokok Proyek ... 41
2. 2. Tinjauan Khusus Perancangan ... 44
2. 2. 1. Lingkup Pelayanan ... 44
(6)
2. 2. 4. Program Ruang ... 54
Bab III. Tinjauan Lokasi Perancangan... 55
3. 1. Latar Belakang Pemilihan Lokasi ... 55
3. 2. Penetapan Lokasi ... 59
3. 3. Kondisi Fisik Lokasi ... 61
3. 3. 1. Eksisting Site ... 61
3. 3. 2. Aksesibilitas ... 64
3. 3. 3. Potensi Lingkungan ... 65
3. 3. 4. Infrastruktur Kota ... 67
3. 3. 5. Peraturan Bangunan Setempat ... 69
Bab IV. Analisa Perancangan ... 71
4. 1. Analisa Ruang ... 71
4. 1. 1. Organisasi Ruang ... 71
4. 1. 2. Hubungan Ruang dan Sirkulasi ... 75
4. 1. 3. Diagram Abstrak ... 78
4. 2. Analisa site ... 78
4. 2. 1. Analisa Pencapaian ... 78
4. 2. 2. Analisa iklim ... 80
4. 2. 3. Analisa Lingkungan Sekitar... 81
4. 2. 4. Analisa Zoning ... 81
Bab V. Konsep Perancangan ... 83
5. 1. Konsep Dasar Perancangan ... 83
5. 2. Konsep Bentuk ... 86
5. 3. Konsep Tampilan ... 88
5. 4. Konsep Sirkulasi ... 89
5. 5. Konsep Tatanan Massa ... 89
(7)
5. 7. Konsep Ruang Dalam ... 91
5. 8. Konsep Struktur ... 91
5. 9. Konsep Mekanikal Elektrikal ... 92
Bab VI. Aplikasi Konsep Perancangan ... 95
6. 1. Aplikasi Tatanan massa dan Orientasi Bangunan ... 95
6. 2. Aplikasi Bentuk dan Tampilan ... 96
6. 3. Aplikasi Sirkulasi ... 97
6. 4. Aplikasi Ruang Luar ... 98
6. 5. Aplikasi Ruang Dalam Bangunan ( Interior ) ... 99
Penutup ... 100
Daftar Pustaka ... 101
Lampiran ...
(8)
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Penonton Bioskop...2
Tabel 1.2 Jumlah Produksi Film Nasional dan Internasional ...3
Tabel 2.1 Analisa Hasil Studi ...40
Tabel 2.2 Aktifitas Kebutuhan Ruang...44
Tabel 2.3 Perhitungan Luas Ruang ...47
(9)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Bentuk studio untuk pemutaran film 35mm dan 70mm...20
Gambar 2.2. Jarak antar tempat duduk...21
Gambar 2.3. Susunan baris tempat duduk...22
Gambar 2.4. Grafik ketinggian baris tempat duduk...23
Gambar 2.5. Bentuk Layar pada Ketinggian yang Sama ...25
Gambar 2.6. Jarak Pandang Maksimum – Minimum ...25
Gambar 2.7. Jarak Pandang Maksimum Baris Terdepan...25
Gambar 2.8. Pandangan penonton secara horizontal ...26
Gambar 2.9. Struktur Lantai...26
Gambar 2.10. Struktur Lantai Akustik...26
Gambar 2.11. Tampak Bangunan Teater Keong Mas...27
Gambar 2.12. Film 70 mm ...28
Gambar 2.13. Jumlah kursi dan lebar layar...29
Gambar 2.14. Ide bentuk...29
Gambar 2.15. Struktur shell pada kubahan masa bangunan ...30
Gambar 2.16 Material kaca pada kanopi...30
Gambar 2.17 Pemasangan poster film ...31
Gambar 2.18 Lobby MPX Grande ...32
Gambar 2.19. Loket penjualan tiket...33
Gambar 2.20. Koridor menuju studio ...35
Gambar 2.21. Lobi Tunjungan 21 ...35
Gambar 2.22. Movie Selection...35
Gambar 2.23. Kantin Tunjungan Cineplex 21 ...36
(10)
Gambar 2.26. Susunan Tempat Duduk Tunjungan Cineplex 21 ...39
Gambar 2.27. Acoustic control seating ...42
Gambar 2.28. Pencahayaan buatan ...42
Gambar 2.29. Sistem ducting AC central pada ruang bioskop ...43
Gambar 3.1 Peta batas – batas Kota Banyuwangi...55
Gambar 3.2 Peta lokasi ( BWK Pusat Kota ) ...61
Gambar 3.3 Foto existing site ( dari Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo )...62
Gambar 3.4 Site...62
Gambar 3.5 Batas utara ...63
Gambar 3.6 Batas selatan...63
Gambar 3.7 Batas barat ...64
Gambar 3.8 Batas timur ...64
Gambar 3.9 Gambar jalan kolektor sekunder ...65
Gambar 3.10Taman Blambangan...65
Gambar 3.11 Pendopo...66
Gambar 3.12 Komplek pertokoan ...66
Gambar 3.13 Tampak depan Bank Mandiri...67
Gambar 3.14 Jaringan listrik ...68
Gambar 3.15 Hasil luas perhitungan KDB terhadap luas site...70
Gambar 4.8 Perletakan Main entrance, site entrance dan service entrance ...79
Gambar 4.9 Pengaruh orientasi matahari terhadap bangunan...80
Gambar 4.10 Pengaruh orientasi matahari terhadap bangunan...80
Gambar 4.11 Pengelompokan ruang Lt. 1 dan Lt. 2 ...82
Gambar 5.1. Tampilan bangunan bioskop yang berkesan berani ...83
Gambar 5.2. Zoning ruang dalam rumah arsitektur ...85
Gambar 5.3. Sketsa bentuk atap rumah adat Using ...85
(11)
Gambar 5.5. Kontur bising...87
Gambar 5.6. Zoning ruang terhadap akustik lingkungan...87
Gambar 5. 7. Sketsa rumah dengan 1, 2 dan 3 atap ...88
Gambar 5. 8. Struktur dan tampilan rumah tradisional Using ...88
Gambar 5. 9. Sirkulasi dalam site ...89
Gambar 5. 10. Tata ruang pada rumah tradisional Using ...90
Gambar 5. 9. Vegetasi pengarah sirkulasi...91
Gambar 5.10. Struktur...91
Gambar 5. 11. Sistem Ac Sentral All Water System ...93
Gambar 6. 1. Tata ruang pada rumah tradisional Using ...95
Gambar 6. 2. Tipologi bentuk struktur rumah tinggal ...96
Gambar 6. 3. Perspektif 21 Cinema Centre...96
Gambar 6. 4. Sirkulasi dalam site ...97
Gambar 6. 5. Vegetasi...98
Gambar 6. 6. Vegetasi...98
Gambar 6. 7. Detail arsitektur ...98
Gambar 6. 8. Bentuk bioskop kipas ...99
(12)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ada dua aspek penting dari awal sejarah film untuk melihat bagaimana status dan peranan film ditumbuhkan; dimana film dilahirkan sebagai tontonan umum ( awal 1900-an ), karena semata – mata menjadi alternatif bisnis besar jasa hiburan di masa depan dan film dikatakan sebagai ‘ hiburan rendahan ‘ orang kota. Namun sejarah membuktikan film mampu melakukan kelahiran kembali untuk kemudian menembus seluruh lapisan masyarakat, juga lapisan menengah dan atas, termasuk lapisan intelektual dan budayawan. Bahkan kemudian seiring dengan kuatnya dominasi sistem Industri Hollywood, lahir film – film perlawanan yang ingin lepas dari wajah seragam Hollywood yang kemudian melahirkan film – film amatir. Yakni film – film personal sutradara yang sering disebut sebagai film seni. Dalam pertumbuhannya, baik film hiburan yang mengacu pada Hollywood ataupun film-film seni kadang tumbuh berdampingan, saling memberi namun juga bersitegang. Masing-masing memiliki karakter diversifikasi pasar, festival dan pola pengembangannya sendiri.
Sementara pada proses pertumbuhan film Indonesia tidak mengalami proses kelahiran kembali, yang awalnya dicap rendahan menjadi sesuai dengan nilai-nilai seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelas menengah ke atas, juga intelektual dan budayawan. (sumber : Sudwikatmono: Gramedia 1992)
Di Indonesia awal order baru dianggap masa yang menawarkan kemajuan perbioskopan, baik dalam jumlah produksi film nasional maupun bentuk dan sarana tempat pertunjukan. Fasilitas perbioskopan itu sendiri bervariasi yang dapat dibedakan oleh beberapa faktor, antara lain ; bioskop indoor dan outdoor atau bioskop dengan fasilitas 3D atau bioskop dengan teknologi 4D yang saat ini mengalami kenaikan pengunjung. Kemajuan ini memuncak pada tahun 1990-an. Pada dasawarsa itu produksi film nasional 112 judul. Sementara sejak tahun 1987
(13)
bioskop dengan konsep sinepleks-gedung bioskop dengan lebih dari satu layar-semakin marak. (Kompas, 21/6/1998).
Cinepleks tidak hanya menjamur di kota besar, tetapi juga menorobos kota kecamatan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang memberikan masa bebas pajak dengan cara mengembalikan pajak tontonan kepada ”bioskop depan”. Akibatnya, pada tahun 1990 bioskop di Indonesia mencapai puncak kejayaan : 3.048 layar. Sebelumnya, pada tahun 1987, di seluruh Indonesia terdapat 2.306 layar.
Dalam hal itu, praktek menonton film memiliki hubungan erat dengan komoditas, aktivitas, dan struktur kebudayaan modern yang lain (Barnston, 2005:154). Kondisi tempat pemutaran film yang berbeda - beda ikut mengubah film di hadapan penonton. Citra – citra yang ditampilkan lewat film tidak lagi dalam kontrol si produsen film, akan tetapi oleh kondisi fisik bioskop serta sumber daya dan komitmen si pemutar film.
Pada dekade terakhir ini, peningkatan jumlah penonton bioskop itu sendiri mengalami kenaikan dengan angka 20% tiap tahunnya ( perhitungan prosentase kenaikan jumlah penonton pada tiap tahunnya didapatkan dari data pada tabel dibawah ini, hal tersebut dikarenakan adanya jumlah peningkatan produksi dari perfilman pada akhir-akhir ini.
Tabel 1.1 Perkembangan jumlah penonton bioskop di Indonesia JUMLAH PENONTON
NO TAHUN
NASIONAL INTERNASIONAL
1 2003 252.064 2.898.736
2 2004 425.025 3.825.225
3 2005 840.038 4.760.212
4 2006 1.331.690 5.326.760
5 2007 1.718.310 6.092.190
6 2008 2.280.088 6.840.262
(14)
Faktor menguatnya daya beli masyarakat, meningkatkan jumlah produksi film nasional maupun internasional ( khususnya Hollywood ) ikut mempengaruhi animo masyarakat untuk datang ke bioskop.
Adanya peningkatan jumlah minat para penonton bioskop ini pada tiap tahunnya, maka produser film yang ada juga bersemangat dalam meningkatkan kuantitas filmnya dengan tidak kalah penting juga disertai kualitas film yang berbeda pula. Dapat dilihat pada tabel 1.2 yang menunjukkan kenaikan jumlah produksi film nasional maupun internasional seiring dengan kenaikan jumlah penonton.
Tabel 1.2 Jumlah produksi film nasional dan internasional yang beredar di Indonesia
JUMLAH PRODUKSI
NO TAHUN
NASIONAL INTERNASIONAL
1 2003 10 120
2 2004 19 154
3 2005 28 168
4 2006 38 183
5 2007 57 204
6 2008 76 234
Sumber : www.perfilmanindonesia.com & www.perfilmaninternasional.com
Karena hal tersebut maka timbul gagasan bahwa 21 Cinema center adalah suatu alternatif dari bangunan bioskop yang ada pada saat ini atau dapat menjadi bangunan bioskop modern yang ada di kota Banyuwangi satu-satunya. Dengan mengambil kata ” 21 ” sebagai sebuah nama yang akan disandang pada bioskop ini. ” 21 ” itu sendiri adalah jaringan bioskop terbesar di Indonesia, dan merupakan pelopor jaringan cineplex di Indonesia. Jaringan bioskop ini tersebar di beberapa kota besar di seluruh Nusantara dan sebagian besar di antaranya terletak di dalam pusat perbelanjaan, dengan film-film Hollywood dan Indonesia sebagai menu utama, dan didukung oleh teknologi tata suara Dolby Digital dan THX. Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, Cineplex 21 Group telah melakukan sejumlah pembenahan dan pembaharuan, di antaranya adalah dengan
(15)
membentuk jaringan bioskopnya menjadi 3 merek terpisah, yakni Cinema 21, Cinema XXI, dan The Premiere untuk target pasar berbeda.
Dengan perkembangan pertunjukan film ini, dimaksudkan untuk mengenalkan juga menghadirkan fasilitas bioskop yang telah berkembang teknologinya kepada masyarakat Banyuwangi pada umumnya dengan tidak melupakan standarisasi bangunan pertunjukan film. Sehingga 21 cinema center ini nantinya akan menjadi bioskop favorit masyarakat Banyuwangi khususnya dan dapat dikenal oleh masyarakat lainnya, serta menjadi pusat bioskop yang ada di kota Banyuwangi. Dengan adanya 21 Cinema Center ini nantinya akan melengkapi fasilitas hiburan yang ada di kota Banyuwangi yang merupakan salah satu kota pariwisata yang ada di propinsi Jawa Timur.
Kota Banyuwangi merupakan salah satu kota pariwisata yang ada di propinsi Jawa Timur. Pariwisata yang ada di kota Banyuwangi adalah wisata alam dan budaya. Sehingga tidak sedikit turis yang datang baik mancanegara maupun domestik yang mampir di kota ini untuk menikmati keindahan alamnya maupun kesenian dan kebudayaan. Namun untuk potensi alam yang ada pada saat ini belum sepenuhnya diolah sebagai fasilitas hiburan.
Di kota Banyuwangi masih belum banyak adanya gedung bioskop layaknya di kota-kota besar, adapun gedung bioskop yang terdapat di kota banyuwangi ini hanya terdapat 1 buah gedung bioskop yang terletak di pusat kota. Namun fasilitas yang ada dalam bioskop ini masih kurang mencukupi dalam standarisasi sebuah gedung bioskop. Dan juga fasad bangunan yang terlihat kuno dengan tidak adanya pemugaran terhadap fisik bangunan tersebut. Sehingga dapat mengurangi penonton yang datang untuk menikmati sajian film yang ada baik film nasional maupun internasional. Sebagai acuan dalam standarisasi sebuah bangunan pertunjukan film dapat di ambil sebuah studi kasus yang berada di kota Surabaya yaitu bioskop 21.
Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu wadah dimana orang dapat memilih 21 cinema center sebagai pusat gedung bioskop di kota banyuwangi. Dimana di dalamnya dapat mewadai keinginan orang untuk menyaksikan film dan hiburan dengan fasilitas yang mendukung, sehingga dapat memberikan kenyamanan
(16)
kepada penonton. Hal tersebut bisa di wujudkan bersama keluarga, teman-teman, orang terdekat maupun sendirian.
1.2. Maksud dan Tujuan Perancangan
Untuk merealisasikan semua permasalahan tersebut dibutuhkan maksud dan tujuan guna menuntun perancangan ini menuju keberhasilan sesuai dengan keinginan. Dan maksud dari perancangan 21 cinema center yaitu :
Untuk menciptakan sebuah bangunan gedung bioskop baru yang memenuhi standarisasi.
Menggantikan gedung bioskop yang ada pada saat ini ( yang telah ada/kuno ).
Dapat dijadikan tempat hiburan dalam bidang film dengan berbagai genre ( produk nasional maupun internasional )
Dapat dijadikan sebuah tempat hiburan alternatif yang ada di kota Banyuwangi
Menggairahkan kembali bisnis perfilman nasional yang ada, karena produksi film nasional meningkat setiap tahunnya
Adapun tujuan yang akan dicapai pada perancangan 21 cinema center di Banyuwangi tersebut, yaitu:
Memberikan sebuah bangunan pertunjukan film yang mempunyai sensasi yang dapat disesuaikan dengan genre film.
Memberikan sebuah bangunan pertunjukan film dengan teknologi yang bervariasi (3D & 4D).
Menunjukkan suatu bangunan bioskop yang mempunyai nilai lebih dari bangunan bioskop yang ada di Banyuwangi (kuno dan belum tersentuh oleh pemugaran bangunan).
Menghadirkan suatu bangunan bioskop yang mempunyai nilai – nilai arsitektural, tanpa melupakan dari segi fungsi bangunan bioskop itu sendiri.
Terpenuhi keinginan masyarakat akan sebuah gedung pertunjukan film (bioskop) yang representatif.
(17)
1.3. Lingkup Perancangan
Dalam mendirikan sebuah bangunan arsitektur dibutuhkan beberapa aspek standarisasi sebuah bangunan pertunjukan film. Agar dapat terpenuhi fungsi dengan maksimal dan memberikan suatu kenyamanan bagi user dalam bangunan tersebut. Dimana terdapat beberapa lingkup perancangan dalam mendirikan bangunan pertunjukan film, antara lain:
Segmen akustik ruang yang ditujukan untuk ruang-ruang pertunjukan film.
Penekanan aspek – aspek dalam lingkup disiplin ilmu arsitektur, sedangkan aspek lain diluar ilmu arsitektur akan dibahas sejauh yang diperlukan dengan asumsi, hipotesa logika sederhana tanpa preincian bukti yang mendalam, berdasarkan pada penalaran yang logis. Apabila dikaji lebih lanjut, 21 cinema center mempunyai latar belakang arsitektur modern dan penggunaan teknologi.
1.4. Batasan Dan Asumsi
Pembahasan hanya dibatasi dari segi teknis, perencanaan dan perancangan arsitektur yang disesuaikan dengan judul. Analisa – analisa yang ada lebih banyak didasarkan pada sisi arsitektur, sedangkan masalah non teknis lainnya yang tidak berkaitan dengan bidang arsitektur adalah sebagai penunjang dan pelengkap dalam proses perencanaan dan perancangan.
Batasan obyek perancangan adalah sebagai berikut :
• 21 Cinema Centre merupakan pusat bioskop yang ada di kota Banyuwangi
dengan memberikan fasilitas tambahan yang menunjang dalam dunia pertunjukan film.
• Aktifitas yang terjadi pada 21 Cinema Centre ini tidak hanya pada ruang
ticketing, snack corner dan waiting room. Tetapi juga terdapat fasilitas penunjang dan pelengkap, seperti ; Galeri Perfilman, Game dan Biliard, Store, Café, Foodcourt, dll.
• Teknologi pemutaran yang akan disajikan dalam 21 cinema center ini, antara
(18)
Film Reguler, Film yang dimainkan seperti pada bioskop umumnya, baik film produksi nasional maupun internasional ( khususnya Hollywood ), film ini menggunakan ukuran film 35 mm.
Film 3D ( 3 Dimensi ), Film yang dimainkan dengan menggunakan
teknologi Dolby Digital Cinema 3D. Untuk menonton film dengan teknologi
3D ini, kita harus menggunakan kacamata khusus untuk kualitas gambar lebih terasa.
Mini Home Theater, Film yang disajikan dalam mini home theater ini menggunakan teknologi dari LCD dengan ukuran layar yang lebih kecil dari ukuran layar film reguler. Fasilitas ini digunakan untuk kapasitas 20 orang saja.
Asumsi obyek perancangan pada 21 Cinema Centre ini adalah sebagai berikut :
Sistem pengelolaan 21 Cinema Center ini dibawahi oleh pihak swasta yaitu 21. Dalam hal ini pihak pengelola dengan pembagian tugas dan spesialisasi tersendiri.
Dianggap bahwa dana yang dipersiapkan untuk membangun proyek 21 Cinema Center yang direncanakan adalah milik swasta baik perorangan maupun kelompok yang bekerja sama dengan pihak swasta lain yang berkepentingan.
1.5. Metode Perancangan
Untuk menghasilkan suatu hasil karya arsitektur yang mendekati kata sempurna maka sangat diperlukan data – data pendukung dan permasalahan beserta pemecahannya secara akurat. Ini dapat dilakukan dengan banyak cara dengan sistematis. Dalam mengumpulkan data – data tersebut dan masukkan yang berguna bagi proses perencanaan dan perancangan proyek ini, maka cara – cara yang digunakan adalah sebagai berikut :
Studi Literatur
Studi tentang pengenalan masalah yang berhubungan dengan proyek yang direncanakan untuk melengkapi data masukan dalam proses perencanaan dan
(19)
perancangan. Literatur yang membahas tentang standarisasi ruang dan bentuk gedung bioskop diambil dari :
1. Akustik lingkungan ( Leslie L. Dolle : Erlangga )
2. Faktor Akustik dalam perancangan disain interior ( J. Pamudji Suptandar :
PT. Penerbit Jambatan ).
3. Ernest Neuferts Standar. Jilid 1 dan 2, versi Bahasa Indonesia.
Sedangkan literatur yang diambil sebagai dasar – dasar dalam perancangan arsitektur yaitu :
1. Arsitektur Bentuk Ruang dan Susunannya ( Francis F. K. Ching penerbit :
Erlangga ) Studi Banding
Studi yang dilakukan dengan cara mempelajari dan mengenal lebih dalam pada bangunan sejenis untuk mendapatkan gambaran – gambaran tentang arsitektural dimana hal tersebut dijadikan pertimbangan menuju arah perencanaan yang berhubungan dengan proyek yang direncanakan.
Wawancara
Proses Tanya jawab terhadap instansi terkait guna memperoleh data yang berkaitan dengan system kerja dan lainnya yang juga dijadikan pertimbangan sebagai perencanaan.
Survey Lapangan
Dengan melakukan studi lapangan pada sute yang telah dipilih guna mengenali karakter site yang menyangkut batasan, kendala dan potensi yang ada.
Pengolahan Dan Penyusunan Data
Data – data yang sudah terkumpul untuk kemudian diolah dan diproses guna untuk mendapatkan pedoman dalam perencanaan dan perancangan 21 Cinema Center.
(20)
Asas Dan Metode Perancangan
Dari hasil data – data yang telah terkumpul dan disusun, maka sebagai langkah awal dalam proses perancangan adalah memilih refrensi asas dan metode perancangan arsitektur yang tepat dari tokoh – tokoh arsitektur terkemuka. Sebagai pedoman dalam kegiatan mendesain obyek perancangan tugas akhir.
Penyusunan Tema Dan Konsep Perancangan
Setelah asas dan metode perancangan diperoleh maka kegiatan selanjutnya adalah menyusun tema dan konsep perancangan yang akan diaplikasikan kedalam proses desain obyek perancangan arsitektur.
Gagasan Ide
Dari hasil penyusunan tema dan konsep nantinya, maka akan muncul sebuah ide atau gagasan yang diaplikasikan kedalam proses perancangan. Sehingga tercipta bangunan berarsitektur yang diharapkan dengan karakter yang berbeda dari lainnya.
Pengembangan Perancangan
Proses akhir dari metode perancangan ini adalah pengembangan perancangan. Yaitu proses desain dengan menggunakan data – data yang ada dan asas metode perancangan yang telah dipilih sebagai pedoman dalam proses mendesain arsitektur.
1.6. Sistematika Laporan
Dari data – data yang diperoleh di atas maka tahapan berikutnya yaitu Metodologi Perancangan di mana di dalamnya terdapat rumusan – rumusan dari data yang diperoleh,seperti berikut;
(21)
BAB I :
Pendahuluan, yang menjabarkan mengenai latar belakang pemilihan judul proyek tugas akhir, maksud dan tujuan, ruang lingkup perancangan, batasan dan asumsi, metode perancangan dan sistematika perancangan.
BAB II :
Tinjauan proyek, menjabarkan tentang pengertian judul, studi proyek sejenis, studi literatur, studi kasus, dan studi standarisasi yang berkaitan dengan proyek dimana menyangkut tentang aspek kualitas dan kuantitas serta persyaratan pokok proyek. Tinjauan khusus obyek rancangan membahas : lingkup pelayanan, aktifitas dan kebutuhan ruang, perhitungan luas ruang, serta pengelompokan ruang.
BAB III :
Tinjauan lokasi perancangan yang menjabarkan tentang : latar belakang pemilihan lokasi, penetapan lokasi, keadaan fisik lokasi, aksesibilitas, potensi bangunan sekitar, infrastruktur kota.
BAB IV :
Analisa perancangan, menjabarkan analisa perancangan dimana
didalamnya terdapat tema yang akan diterapkan dalam rancangan. BAB V :
Konsep perancangan, merupakan analisa dan pembuatan konsep yang didasari atas hasil analisa yang di dalamnya terdapat penyelesaian – penyelesaian terhadap permasalahan yang ada tersebut. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai analisa dan konsep rancangan yang diinginkan untuk direalisasikan pada obyek perancangan.
BAB VI :
Aplikasi perancangan, menjabarkan tentang aplikasi persyaratan –
persyaratan yang ada pada bab sebelumnya untuk kemudian diterapkan pada penyelesaian gambar perancangan tugas akhir yang akan diuji dengan kaidah – kaidah dan azas – azas perancangan sehingga dapat diperoleh hasil desain perancangan yang paling optimal.
(22)
BAB II
TINJAUAN OBYEK PERANCANGAN
2.1. Tinjauan Umum
2.1.1. Pengertian Judul Proyek Tugas Akhir
21 Cinema Center adalah suatu tempat pertunjukan film di kota Banyuwangi dengan didukung oleh brand Cineplex 21. 21 Cinema Center merupakan pusat bioskop yang ada di kota Banyuwangi dengan memberikan fasilitas tambahan yang menunjang dalam dunia pertunjukan film. Sedikit tentang 21 Cinema adalah Bioskop 21 (Cineplex 21 Group) dengan jaringan bioskop terbesar di Indonesia, dan merupakan pelopor jaringan cineplex di Indonesia. Jaringan bioskop ini tersebar di beberapa kota besar di seluruh Nusantara dan sebagian besar di antaranya terletak di dalam pusat perbelanjaan, dengan film-film Hollywood dan Indonesia sebagai menu utama, dan didukung oleh teknologi tata suara Dolby Digital dan THX.
Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, Cineplex 21 Group telah melakukan sejumlah pembenahan dan pembaharuan, di antaranya adalah dengan membentuk jaringan bioskopnya menjadi 3 merek terpisah, yakni Cinema 21, Cinema XXI, dan The Premiere untuk target pasar berbeda.
Dengan demikian, setelah mengusung brand 21 ke dalam obyek rancangan ini nantinya akan tercipta sebuah tempat pertunjukan film dengan standarisasi dan didukung dengan fasilitas penunjang lainnya. Dan menjadi sebuah bioskop kebanggaan yang dimiliki oleh masyarakat kota Banyuwangi.
2.1.2. Studi Proyek Sejenis 2.1.2.1.Studi Literatur
A. Pengertian Bioskop
Bioskop ( Belanda: bioscoop dari bahasa Yunani dan berarti " gambar hidup " ) adalah tempat untuk menonton pertunjukan film dengan
(23)
menggunakan layar lebar. Gambar film diproyeksikan ke layar menggunakan proyektor.
Wadah bagi masyarakat untuk menikmati pertunjukan film, dimana mereka mencurahkan segenap perhatiannya dan seluruh perasaannya kepada gambar hidup yang disaksikan, seolah-olah mereka menyaksikan sesuatu cerita yang benar – benar terjadi di hadapannya.
Bioskop di Indonesia
Bioskop pertama di Indonesia berdiri pada Desember 1900, di Jl Tanah Abang 1, Jakarta Pusat, karcis kelas I harganya dua gulden (perak) dan harga karcis kelas dua setengah perak
Bioskop jaman dulu bermula di sekitar Lapangan Gambir (kini Monas). Bangunan bioskop masa itu menyerupai bangsal dengan dinding dari gedek dan beratapkan kaleng / seng. Setelah selesai pemutaran film, bioskop itu kemudian dibawa keliling ke kota yang lain. Bioskop ini di kenal dengan nama Talbot (nama dari pengusaha bioskop tsb). Bioskop lain diusahakan oleh seorang yang bernama Schwarz. Tempatnya terletak kira-kria di Kebon Jahe, Tanah Abang. Sebelum akhirnya hancur terbakar, bioskop ini menempati sebuah gedung di Pasar Baru. Ada lagi bioskop yang bernama De Callone ( nama pengusahanya ) yang terdapat di Desa Park De CaJlone ini mula-mula adalah bioskop terbuka di lapangan, yang dijaman sekarang disebut "misbar", gerimis bubar. De Callone adalah cikal bakal dari bioskop Capitol yang terdapat di Pintu Air.
Bioskop-bioskop lain seperti, Elite di Pintu Air, Rex di Kramat Bunder, Cinema di Krekot, Astoria di Pintu Air, Centraal di Jatinegara, Rialto di Senen dan Tanah Abang, Surya di Tanah Abang, Thalia di Hayam Wuruk, Olimo, Orion di Glodok, Al Hambra di Sawah Besar, Oost Java di Jl. Veteran, Rembrant di Pintu Air, Widjaja di Jalan Tongkol/Pasar Ikan, Rivoli di Kramat, dan lain-lain merupakan bioskop yang muncul dan ramai dikunjungi setelah periode 1940-an. Film-film yang diputar di dalam bioskop tempo dulu adalah film gagu alias bisu atau tanpa suara. Biasanya pemutaran ini diiringi musik orkes, yang ternyata jarang "nyambung" dengan film. Beberapa film yang kala itu yang menjadi favorit
(24)
masyarakat adalah Fantomas, Zigomar, Tom Mix, Edi Polo, Charlie Caplin, Max Linder, Arsene Lupin, dll.
Di Jakarta pada tahun 1951 diresmikan bioskop Metropole yang berkapasitas 1.700 tempat duduk, berteknologi ventilasi peniup dan penyedot, bertingkat tiga dengan ruang dansa dan kolam renang di lantai paling atas. Pada tahun 1955 bioskop Indra di Yogyakarta mulai mengembangkan kompleks bioskopnya dengan toko dan restoran.
Di Indonesia awal Orde Baru dianggap sebagai masa yang menawarkan kemajuan perbioskopan, baik dalam jumlah produksi film nasional maupun bentuk dan sarana tempat pertunjukan. Kemajuan ini memuncak pada tahun 1990-an. Pada dasawarsa itu produksi film nasional 112 judul. Sementara sejak tahun 1987 bioskop dengan konsep sinepleks ( gedung bioskop dengan lebih dari satu layar ) semakin marak. Sinepleks-sinepleks ini biasanya berada di kompleks pertokoan, pusat perbelanjaan, atau mal yang selalu jadi tempat nongkrong anak-anak muda dan kiblat konsumsi terkini masyarakat perkotaan. Di sekitar sinepleks itu tersedia pasar swalayan, restoran cepat saji, pusat mainan, dan macam-macam.
Sinepleks tidak hanya menjamur di kota besar, (tetapi juga menerobos kota kecamatan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang memberikan masa bebas pajak dengan cara mengembalikan pajak tontonan kepada "bioskop depan". Akibatnya, pada tahun 1990 bioskop di Indonesia mencapai puncak kejayaan: 3.048 layar. Sebelumnya, pada tahun 1987 di seluruh Indonesia terdapat 2.306 layar.
B. Penggolongan Gedung Bioskop
Gedung – gedung bioskop di jawa timur dibagi menjadi beberapa golongan yang ditetapkan oleh PEMDA II bersama GPBSI ( golongan pengusaha bioskop seluruh indonesia ). Penerapannya dilihat dari beberapa segi, yaitu :
Keadaan gedung Letak gedung
(25)
Penggolongan bioskop ini dibagi menjadi :
Golongan A A:
a. Keadaan gedung dan halamannya : * Bentuk gedung megah dan modem
* Mempunyai ruangan untuk tunggu berkapasitas 10% penonton * Tersedia catetaria yang cukup memadai
* Tersedia tempat parkir mobil 25% dari kapasitas jumlah penonton * Tersedia tempat parkir sepeda-sepeda dan sepeda motor
* Full AC b. Letak gedung:
Di tengah-tengah kota propinsi atau di tengah-tengah kota karisidenan. c. Keadaan kamar kecil:
* Tersedia untuk pria dan wanita dengan terpisah tempatnya * Dinding dibuat dari porselen termasuk bak air
* Tersedia wastafel lengkap
d. Peralatan dan sarana atau keadaan lantai: * Kursi penonton dilapisi spon
* Lantai tiap deretan kursi bertahap * Jalur lintas penonton memakai karpet
* Keadaan proyektor tahun 1971 keatas (sepasang) kool spit 75 Am * Sound sistem memadai
Golongan A:
a. Keadaan gedung dan halamannya: * Keadaan gedung cukup megah
* Tersedianya ryang tunggu cukup memadai * Tersedia cafetaria
* Tersedia tempat parkir 10% dari kapasitas jumlah penonton * Tersedia tempat parkir sepeda atau sepeda motor
b. Letak gedung:
Di tengah-tengah kota piopinsi dan di tengah-tengah kola karesidenan juga di tengah-tengah kota kabupaten,
(26)
c. Keadaan kamar kecil:
* Tersedianya untuk pria dan wanita yang terpisah ruangnya meskipun satu tempat
* Dinding seluruhnya alau separuhnya terbuat dari tegel atau teraso d. Peralatan dan sarana atau keadaan lantai:
* Kursi penonton bahan rotan, plastik, atau spon
* Lantai tempat kursi bertahap atau lantai (belakang makin meninggi) * Keadaan proyektor, tahun 1970 keatas, sepasang kool spit 6(1 Am. suara
jelas.
Golongan B:
a. Keadaan gedung dan halamannya: * Gedung megah (cukup baik) * Tidak mutlak tersedia ruang tunggu
* Tersedia tempat parkii sepeda atau sepeda motor * Letak gedung.
Di tengah-tengah propinsi, di tengah-tengah atau dekat pinggir-pinggiran kota Karesidenan, bisa di tengah-tengah Kabupaten
b. Keadaan kamar kecil:
* Tersedianya untuk pria dan wanita yang terpisah tetapi pada satu tempat dengan pintu tersendiri
* Dinding tembok dan serbal plesteran. c. Peralatan dan sarana atau keadaan lantai:
* Kursi terbuat dari rotan atau plastik * Lantai landai
* Keadaan proyektor sekitar tahun 1960 sepasang, kool spit 50 Am, suara jelas.
Golongan C:
1) Keadaan gedung dan halamannya:
Tersedianya tempat penitipan sepeda atau sepeda motor 25% dan kapasitas penonton.
(27)
2) Letak gedung:
Di pinggir kota propinsi, di tengah-tengah kota atau di pinggiran kota karesidenan, juga bisa berada di tengahtengah kota kabupaten dan di tengah -tengah kota kecamatan. Di pusat atau di -tengah - -tengah antara pedesaan. 3) Keadaan kamar kecil:
Tersedianya untuk pria dan wanita yang terpisah tetapi berada pada suatu tempat dengan pintu tersendiri.
4) Peralatan dan sarana atau keadaan lantai:
* Kursi penonton bahan plastik dan ada yang seng atau plat dapat dilipat. * Lantai landai
* Keadaan proyektor sekitar tahun 1950, tunggal kool spit 50 Am, suara jelas.
C. Sejarah Perkembangan Pertunjukan Film
Sejak Kinetoscope yang diciptakan oleh Thomas A. Edison hingga kini, Sejarah perkembangan tersebut adalah sebagai berikut (berdasarkan Kronologi Teknologi Film):
Tahun 1901 :Di Perancis, Ferdinand Fecca membuat film dengan judul " The Story of Crime " yang merupakan film bisu.
Tahun 1902 :Di Perancis, Edwin S. Foster membuat filmdengan judul " The Life of American Man " merupakan film bisu.
Tahun 1903 :Di Amerika, " The Great Train Robberry " juga merupakan film bisu dan dianggap sebagai film cerita pertama.
Tahun 1927 :Di Broadway Amerika Serikat, muncul film bicara pertama tetapi dalam keadaan yang belum sempurna.
Tahun 1950 :Setelah Perang Dunia II, muncul felevisi yang merupakan ancaman bagi pertunjukan film. Para pengusaha film berusaha membuat film yang kolosal dengan layar besar dan menampilkan pemandangan yang kompleks. Pada tahun ini diperkenalkan " Wide Screen " yang mempengaruhi design teater (bioskop).
(28)
Tahun 1952 : Fred Walker memperkenalkan system Cinerama dengan layar enam kali lebih besar dari layar film biasa pada waktu itu. Tetapi system ini tidak berkembang karena biaya yang lerlalu mahal dan banyak kesulitan teknis lainnya.
Tahun 1953 : System 3 dimensi ditemukan suatu system gambar dapat menimbulkan kesan kedalamnya, karena apa yang dilihat penonton tidak rata seperti biasanya, melainkan ada yang seolah-olah menonjol keluar dan ada yang di dalam. System ini pun belum dapat berkembang, karena banyaknya kesulitan teknis. Pada tahun ini juga perusahaan 20th Century Fox memperkenalkan " Cinemascope " dengan layar yang lebih besar meskipun tidak selebar Cinerama. System ini dapat berkembang dan sekarang banyak dipakai. Selain Cinemascope adapula system Vista Vision yang layarnya lebih kecil dari Cinemascope tetapi lebih tajam gambarnya.
Pada tahun berikutnya muncul system khusus yang menciptakan gambar 360 derajat di sekeliling penonton. Terdiri dari Circarama (oleh Walt Disney), Kinopanorama (oleh Rusia) dan Circlorama (oleh Inggris). Ketiganya menggunakan 11 proyektor yang diarahkan ke layar film yang berbentuk lingkaran, dengan penonton didalamnya.
Pada tahun 1970, muncul system Imaz yang dipamerkan pada Expo Osaka. Sistem ini memakai kamera serta proyektor khusus, layarnya berbentuk mirip kubah. Salah satunya ada di Taman Mini Indonesia Indah yaitu Teater Imax Keong Mas.
D. Definisi dan klasifikasi film
Film adalah suatu material tipis, flexibel. transparan dan dilapisi oleh lapisan emulsi foto yang sensitif. Dimana sanggup merekam gambar-gambar dengan menggunakan proyektor, film ini diproyeksikan ke sebuah layar dengan menggabungkan alur bunyi dengan tllm lersebut maka terjadi kesatuan efek-efek bunyi yang cerah. Jenis-jenis film
(29)
a. Menurut ukuran Celloid, film dibagi alas : 8 mm
16 mm 35 mm 70mm
b. Menurut ukuran gambar film (proyeksi pada layar): Non anamorphic :
o 35 mm wide screen
o 35 mm vista vision Anamorphic :
o 16 mm dan 35 mm cinemascope
o 6 mm dan 35 mm icnerama
o 70 mm
o 70 mm Todd Ac
Perbandingan dari gambar-gambar proyeksi pada layar tersebut c. Menurut proses pengambilan gambar film : positif (+) dan negatif (-) d. Menurut proses warna film dibagi menjadi:
Film hitam putih Film warna e. Menurut cerita film :
Film berita Film dokumenter
Film cerita : komersial dan non komersial (mengandung nilai seni dan pendidikan)
f. Menurut asal negara produksi; Film Amerika Eropa Film Mandarin
Film Asia Non Mandarin
(30)
a. Film sebagai media komunikasi massa. Sebab film merupakan rekaman tata laku kehidupan manusia, ruang dan waktu dapat dinikmati oleh urang banyak.
b. Film berfungsi sebagai alat penerangan c. Film dapat berperan sebagai alat pendidikan
d. Film sebagai bahan hiburan, dengan memasukkan unsur-unsur cerita yang menarik.
E. Teknik dan peraturan
Prinsip-prinsipnya hampir sama dengan gedung pertunjukan. Persyaratan lama (di Inggris) untuk ruang terbuka di sekeliling gedung masih berlaku, karenanya setiap arsitek harus membahas persyaratan ini sejak awal perencanaannya. Penggunaan taman atau teras terbuka menjadi lebih umum dipakai dalam skema yang terpadu, karena selain taman terbuka ruang yang dilindungi dari bahan kebakaran tidak dapat dianggap sebagai jalan untuk keluar.
Pintu dan koridor
Lebarnya harus memenuhi persyaratan untuk pintu darurat. Pintu-pintu membuka keluar ke arah aliran ke luar pada koridor dan harus bebas halangan, kecuali untuk pencegah panik. Tinggi pegangan sampai 75 masih diperkenankan pada tempat yang menuju keluar tetapi pintu-pinlu tersebut harus memenuhi ukuran ruang bebas yang terhitung dari muka pintu ke kerangkanya ketika dalam keadaan terbuka. Pintu-pintu tersebut umumnya harus bebas serta dapat menutup sendiri.
Tangga
Harus sesuai dengan persyaratan yang berlaku, lebar bebas hambatan diukur dari dinding ke dinding yang berhadapan atau dinding dengan pagar tangga. Jumlah anak tangga yang diperkenankan tidak kurang dari 3 dan tidak lebih dari 16 anak tangga pada tangga langsung. Maksimum 2 jalur tangga tanpa belokan diperkenankan tetapi jumlah anak tangga dikurangi menjadi 12. Bordes di bagian atas, bawah dan di aniara 2 jalur tangga harus memiliki lebar yang disyaratkan. Tinggi anak tangga (di Inggris) tidak boleh lebih dari 150,
(31)
sedangkan lebar anak tangga sekurang-kurangnya 280, peraturan AS bervariasi.
Auditorium
Jalan masuk ke auditorium pada tempat duduk berjenjang dapat dari bawah melalui gang ke atas dari belakang, masing-masing akan melalui persilangan gang-gang. Gang samping atau belakang perlu diperlebar untuk memudahkan jalan keluar dan untuk mengawasi penonton.
Kapasitas tempat duduk berkisar antara 100-600 kursi, pada umumnya dipakai sebagai ukuran auditorium minimum dan maximum (di Inggris).
Bentuk Studio / Theatre
Bentuk yang paling cocok yaitu bentuk kipas dengan adanya kemiringan lantai. Ukuran besar kecilnya ruang teater selain tergantung dari kapasitas penonton, juga tergantung pada ukuran layar.
Gambar 2.1. Bentuk studio untuk pemutaran film 35mm dan 70mm ( Patricia Tutt, 1976 )
F. Tempatduduk
Tempat duduk harus mempunyai jarak antara kursi depan, minimal jaraknya 45 cm. Hal tersebut berfungsi sebagai sirkulasi penonton.
(32)
Gambar 2.2. Jarak antar tempat duduk ( Ernest Neuferts, 2003 )
Dalam menonton film di gedung cineplex ini, orang cenderung untuk duduk santai dengan kaki membentuk sudut sekifar 30° terhadap arah vertikal. Oleh karena itu, jarak antara barisan yang baik adalah jarak yang cukup untuk menampung posisi duduk yang seperti ini. Jarak ini didekati dengan tinggi lutut (DIM 13) sin 30°, yaitu sebesar 5428 sin 30° sama dengan 27.14. Jarak ini masih harus ditambah dengan allowance mengingat susunan tempat duduk yang berupa barisan ini memungkinkan orang lain untuk keluar masuk.
Kebanyakan dari gedung bioskop modern didesign agak sempit, maka pola tempat duduk pada posisi yang memberikan ketidaknyamanan adalah pada sisi dekat dinding.
Susunan tempat duduk dalam gedung-gedung cineplex seharusnya lebih memperhatikan kenyamanan penonton, khususnya bagi penonton yang duduk pada posisi paling pinggir dekat dinding gedung, baik pada bagian kiri dan kanan layar. Penonton pada baris ini cenderung untuk memiringkan tubuhnya untuk mencapai posisi yang nyaman jika susunan tempat duduk yang digunakan adalah bentuk persegi, Thompson (47) dalam New Horizon for Human factors in design
merekomendasikan sebuah garis penglihatan pada sebuah permukaan disuplay dari 60° sampai 90° dan tidak pernah kurang dari 45°.
Bentuk baji memepat (truncated wedge) atau bentuk kipas (fanshaped)
menghasilkan sebuah sudut penglihatan yang bertemu pada kriteria 60°. Bentuk ini dibuat untuk memberikan kenyamanan bagi penonton yang duduk pada baris ujung dekat dinding gedung.
(33)
Gambar 2.3. Susunan baris tempat duduk ( Patricia Tutt, 1976 )
Sudut penglihatan vertikal (atas dan bawah) seharusnya tidak melampaui 10° selain itu penonton tidak dikehendaki untuk miring ke belakang atau untuk mencapai sebuah garis penglihatan (LOS) yang normal (90°).
Ada beberapa macam teknik design yang dapat digunakan untuk mencapai sudut yang dimaksudkan. Teknik pertama, adalah meninggikan layar (tinggi yang sebenarnya bervariasi, dengan kedalaman dari sebuah gedung cineplex yang mempunyai sebuah lantai miring). Sebuah layar yang ditinggikan adalah baik untuk baris-baris belakang, tetapi tidak dapat diakomodasi oleh penonton pada baris depan, penonton pada garis depan pasti mundur sekurang-kurangnya selebar dan lebar layar. Solusi yang lain adalah dengan cara memiringkan layar sedikit ke depan. Sebuah sudut bicesting pada pusat layar hampir lebih dan 10° terhadap vertikal dan LOS pada penonton-penonton baris depan dan sudut ini masih dapat diterima dari balkon jika dalam gedung tersebut terdapat balkon.
Solusi yang lain untuk baris depan adalah dengan membalik lingkaran atau kenaikan kemiringan dari lantai dibuat perlahan pada 10 sampai 11 baris pertama. Hal ini tidak hanya mengurangi atau memperkecil sudut penglihatan, tetapi juga mengurangi tolal pengangkatan dari tempat - tempat duduk dari sebuah kedalaman gedung cineplex. Tinggi dari langit-langit yang dikehendaki dapat dikurangi, juga tinggi sebuah balkon dapat lebih rendah, selain itu pengembangan sudut penglihatan vertikal untuk penonton ini lebih baik,
Masalah lain yang sering dialami adalah harus melihat secara langsung di atas kepala penonton yang lain terutama jika ketinggian antara suatu baris tempat duduk dengan baris tempat duduk di depannya kurang tinggi.
(34)
Salah satu solusinya adalah membuat ketinggian antara sebuah baris tempat duduk dengan baris tempat duduk didepannya tidak terlalu rendah. Ketinggian ini dapat didekati dengan jarak antara dagu dan puncak kepala (JDPK.) yaitu sebesar 21,51 cm. Solusi lain adalah menggeser barisan tempat duduk yang ada dibelakangnya, sehingga seorang penonton di barisan kedua dapat melihat langsung di atas tempat sandaran tangan dari kedua tempat duduk pada baris depannya. Sebuah kemiringan perlahan-lahan dari 4° sampai 8° akan mengijinkan seorang penonton yang pendek dapat melihat bahu seseorang penonton yang tinggi dengan sebuah rintangan yang minimum pada layar.
Gambar 2.4. Grafik ketinggian baris tempat duduk ( Patricia Tutt, 1976 )
G. Ruang proyektor
Biasanya dipisahkan menjadi kamar untuk menggulung dan memproyeksikan film yang dilengkapi ruang pengatur cahaya, ruang baterai, ruang tempat distribusi. listrik, ruang pegawai, bengkel dan gudang, masing-masing cukup mempuuyai luas 6-10 m2.
Sistem peralatan otomatis modern dapat menggunakan ruang yang sama dan perlu dilengkapi dengan meja untuk menggulung film sehingga memudahkan kegiatan di ruang tersebut.
(35)
Jenis peralatan yang digunakan harus ditetapkan sejak semula agar dimensi detailnya dapat diselesaikan.
Cermin untuk proyektor dan pengamatan dapat digunakan bila ruang terbatas dan belum menggunakan peralatan otomatis. Dengan menggunakan beberapa cermin maka satu ruang proyeksi dapat melayani bioskop berganda yang letaknya vertikal. Tetapi menurut kebiasaan, lebih baik tidak menggunakan cermin proyeksi tersebut. (Sumber: Ciunarsa, Singgih D. : 2004)
H. Besar gambar
Ukuran gambar pada layar bervariasi sesuai dengan sistem film yang dipakai, karenanya operator harus dapat menentukan ukuran yang diperlukan. Kemajuan teknologi mengakibatkan munculnya berbagai ukuran tinggi maupun lebar gambar, dimana ukuran lampu yang digunakan ditentukan oleh efek maksimum luas gambar yang diperoleh dengan menggunakan rasio luas setara yang berbeda. Bila menggunakan film 70 mm mungkin membutuhkan rasio luas setara yang berbeda. Lebar layar maksimum yang biasa dipakai adalah 20 m untuk film 70,13 m untuk film 35. Untuk menghitung lebar gambar yang diperoleh dari lensa tertentu dapat menggunakan rumus :
Rumus diatas dikalikan 2
Disarankan pengguuaan panjang lensa standart dari menghindari gambar yang terlalu kecil. Gambar yang lebih besar akan memerlukan lensa yang lebih khusus.
I. Ukuran Layar
Ukuran layar harus sebesar mungkin sesuai ukuran maksimumnya atau hingga mencapai lebar tempat duduk:
(36)
Gambar 2.5. Bentuk Layar pada Ketinggian yang Sama ( Ernest Neuferts, 2003 )
J. Jarak pandang
Rasio lebar terhadap jarak pandang maksimal sebaiknya dari 1:2 hingga 1:3
Gambar 2.6. Jarak Pandang Maksimum – Minimum ( Ernest Neuferts, 2003 )
Gambar 2.7. Jarak Pandang Maksimum Baris Terdepan ( John, Gerain & Heard, 1981)
(37)
Gambar 2.8. Pandangan penonton secara horizontal ( Ernest Neuferts, 2003 )
K. Teori tentang Lantai
Bahan yang dipakai biasanya mempunyai tingkat soundproofing tinggi seperti misalnya parket, solid rubber interlocking tiles dengan ketebalan 1,2cm dan sebagainya. Untuk mengoptimalkan akustik ruang bioskop maka lantai salah satunya harus direncanakan dengan seksama mi sal dengan memperhatikan struktur lantai. Diatas struktur beton lantai sebaiknya diberi lapisan waterproof membrane dan diatasnya diberi polymeric flooring untuk meredam ^uara barn untuk finishing akhir bam dipakai bahan yang elastisitasnya tinggi. ( Ching, 31 ).
(38)
2.1.2.2. Studi Kasus Obyek Sejenis A. Teater Imax Keong Mas
Profil Bangunan
Letak : Kawasan Kompleks Taman Mini Indonesia Indah Jl. Raya Pondok Gede, Jakarta Timur
Tahun Pengerjaan : 20 April 1982 Tahun Peresmian : 20 April 1984 Luas Lahan : 30.000 m² Luas Bangunan : 4000 m²
Tinjauan Lokasi
Salah satu teater imax yang ada di Indonesia terletak di TMII Jakarta. Alasan lokasi ditempatkannya teater ini adalah sebagai penunjang fasilitas hiburan yang ada pada Taman Mini Indonesia Indah, sekaligus sebagai wahana pendidikan melalui pertunjukan film 3D. Teater ini menyuguhkan sebuah pertunjukan film dengan teknologi tinggi, dengan efek visual yang lain dari pada pemutaran film secara regular ( dengan ukuran film 35mm ). Sehingga tinjauan bangunan terhadap lokasi bangunan tetaer imax ini hanya bersifat edukasi bukan bisnis.
Gambar 2.11. Tampak Bangunan Teater Keong Mas
(39)
Fungsi
Bangunan tersebut merupakan gedung bioskop yang menggunakan sistem IMAX. Sistem IMAX yaitu sistem perfilman yang menerapkan teknologi tinggi, berusaha membuat menarik penonton dan memberikan impresi yang tak terlupakan. Inti dari keberhasilan sistem IMAX itu sendiri yaitu semakin besar bingkai film yang digunakan semakin sempurna kualitas gambar yang dihasilkan. Ukuran film yang dipergunakan pada IMAX yaitu 70mm, sedangkan film biasa atau bioskop pada umumnya menggunakan 35mm. Dimana kita bisa merasakan film yang mempunyai ” emosi ” gambar sedikit lebih hidup dari bioskop biasa.
Gambar 2.12. Film 70 mm
Ukuran layer Teater Imax Keong Mas tersebut mempunyai ukuran 21.5 x 29.3 m, termasuk layar terbesar di dunia. Sehingga dengan layar ukuran yang besar tersebut, Teater Imax Keong Mas mempunyai kapasitas penonton 800 orang. Segi akustik sangat berperan dalam rancangan teater ini.
(40)
Fasilitas
Fasilitas utama pada Teater Keong Mas tersebut yaitu ruang bioskop itu sendiri. Dengan kapasitas sebanyak 800 tempat duduk. Dimana terdapat 2 kelas, yaitu :
Kelas VIP Kelas Regular Ruang tunggu VIP Ruang tunggu regular
Tampilan bangunan
Secara bentukan, Teater Imax Keong Mas memakai bentuk yang terinspirasi dari bentuk keong. Hal tersebut mengalami proses transformasi dari bentuk awal cangkang keong. Gambar dibawah ini dapat menjelaskan bahwa terjadi beberapa perubahan bentuk yang diambil dari bentuk keong sawah.
Gambar 2.14. Ide bentuk
Kemudian bentuk tersebut diolah berdasarkan fungsinya, yang kemudian dari fungsinya tersebut dipelajari lagi untuk lebih dapat memenuhi secara fungsi. Dan proses akhirnya lebih direalisasikan untuk menjadikan menjadi sebuah bangunan.
Untuk memperjelas dari karakter Keong Mas, maka pada permukaan dindingnya menggunakan keramik yang berwarna kuning keemasan. Hal ini dapat mempertegas dari fasad bangunan, bahwa bangunan tersebut terinspirasi dari cerita rakyat Keong Mas.
(41)
Sistem Struktur
Pada bangunan tersebut terdapat kubah pada belakang bangunan. Kubah tersebut menggunakan sistem struktur shell yang merupakan kubah beton terbesar di Indonesia yaitu dengan diameter 46m dengan ketebalan 20cm untuk bagian bawah serta 15cm untuk bagian atasnya.
Gambar 2.15. Struktur shell pada kubahan masa bangunan
Sedangkan pada sistem kanopi menggunakan konstruksi beton tekan 3 dimensi dengan rib baja tarik serta pengisi bidang kaca khusus.
Penampilan Ruang Dalam
Pada area hall dan ruang tunggu regular mempunyai orientasi keluar. Hal tersebut dikarenakan bukaan pada entrance bangunan mempunyai bukaan yang cukup luas. Hal tersebut bertujuan untuk memasuki unsur ruang luar ke dalam. Selain itu, untuk mengatasi jumlah penonton dengan kapasits yang banyak yang masih menunggu jadwal pertunjukan film.
Gambar 2.16 Material kaca pada kanopi yang memberikan pencahayaan alami
(42)
Pada kanopi entrance bangunan menggunakan material kaca. Hal tersebut bertujuan untuk memasukkan pencahayaan alami. Dan juga tidak merasa kepanasan akan cahaya yang masuk, karena penggunaan material kaca film. Pada area tunggu tersebut disajikan beberapa poster film yang sedang dimainkan dalam Teater Imax.
Gambar 2.17 Pemasangan poster film
Hal tersebut juga dapat memberi kesan pada ruang dalam yang sangat kental akan dunia film.sedangkan pada area tunggu VIP sedikit berbeda secara penyelesaian arsitekturalnya. Karena berdasarkan fungsi dari ruangan tersebut, yaitu untuk tamu VIP. Tampilan pada ruang tersebut lebih berkesan elegan. Hal tersebut terlihat dari pemakaian lampu hias yang terbuat dari kristal. Dan pemakain material-material lainnya juga mencerminkan suasana elegan ingin diciptakan.
Bentukan Ruang Teater
Pada Teater Imax Keong Mas, mempunyai bentukan denah ruang dan bentukan denah pola lantai atau susunan kursi bioskop mempunyai bentukan pola kipas. Dimana bentukan dari denah ruang bioskop menyesuiakan dari bentukan lantai ruang bioskop.
Bangunan Teater Imax Keong Mas termasuk bentukan organik, karena memakai bentukan dari keong. Karena perwujudan tersebut, Keong Mas telah mendapat penghargaan dari Guiness Book Record karena telah mewujudkan bentukan keong sebagai bangunan. Oleh karena itu, adanya penyelesaian
(43)
arsitektural pad bangunan tersebut. Salah satunya yaitu tanpa adanya pemakaian kolom pada entrance bangunan. Karena pada kanopi entrance bangunan menggunakan sistem rib baja tarik.
Hal tersebut terjadinya juga pada ruang studio bioskop, dimana yang mempunyahi dimensi luas, dimana pada ruang tersebut mempunyai bentukan kubah yang menggunakan struktur shell.
Sirkulasi
Pengunjung datang dari teras kenudian membeli karcis di aula luar, kenudian menunggu di aula. Setelah pintu di buka, penonton masuk ke dalam ruang bioskop. Keluar seusai pertunjukan kembali ke teras.
B. MPX Grande
Gambar 2.18 Lobby MPX Grande Tinjauan Lokasi
Terletak di Pasaraya Grande lantai 10, MPX berada. Dimana letak dari bangunan ini sangat strategis, dengan berada pada zoning one stop entertainment yaitu zona denfan fasilitas perbelanjaan, zona permainan, dan food court. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sangatlah tepat kehadiran MPX Grande ini melengkapi fasilitas yang ada pada zona one stop entertainment yang ada di lantai 10 Pasaraya Grande.
(44)
Fungsi
Citra MPX sebagai entertainment ikon sudah terbentuk sejak di lobi. Berbeda dengan sinema dalam jaringan 21 umumnya yang sumpek, lobi MPX justru menyisakan ruang nafas yang lapang (langit-langit setinggi 10 meter). Di sini terdapat kafetaria, petugas customer relations, puluhan boks lampu neon berisikan poster film, serta loket yang masing-masing ditata apik. Minus sofa, tidak sebagaimana bioskop umumnya. Di atas pintu masuk sinema, dipasang dua buah layar teve (big screen) berukuran 48 inci yang memutar trailer film-film mendatang. Namun, situasinya jangan dibayangkan hiruk-pikuk. Di sini, kenyamanan panca indera Anda tetap terjaga.
Fasilitas
Gambar 2.19. Loket penjualan tiket
Fasilitas loket didesain sistematis demi kenyamanan pengunjung. Dari lima loket yang ada, layanan dibagi berdasarkan kepentingan, yaitu dua loket melayani pengunjung yang membayar dengan kartu kredit, sisanya masing-masing melayani “MPX card” (anggota pelanggan), penonton kelas diamond, dan pembelian tiket secara tunai. Setiap loket dilengkapi komputer dengan software khusus yang memudahkan accounting system pengelola dan kenyamanan penonton memilih tempat duduk lewat monitor.
Khusus penonton diamond class, disediakan diamond lounge yang terhubung dengan sinema. Di ruang tunggu tersebut terdapat beberapa sofa, toilet dan minibar yang menyediakan makanan / minuman ringan, layaknya sebuah ruang keluarga. Sambil menunggu jam tayang, penonton bisa menghabiskan waktu dengan membaca majalah pilihan, termasuk majalah film yang tersedia.
(45)
Tak heran, dengan standar kenyamanan di atas, MPX Grande mengklaim dirinya sebagai boutique cinema. Artinya, ia tidak saja menjual kualitas gambar dan suara, melainkan juga interior (suasana).
MPX Grande memiliki enam sinema. Tiga sinema berkapasitas 53 tempat duduk, dua sinema berkapasitas 236 tempat duduk, dan satu sinema (diamond class) berkapasitas 24 tempat duduk. Sinema diamond class, boleh dibilang model home entertainment sesungguhnya. Tata suara dan kualitas gambar di layar perak jangan ditanya. Yang membedakan diamond class dengan sinema MPX lain (gold class) sebetulnya pada tata letak tempat duduk; diletakkan per dua buah (sepasang). Setiap pasang tempat duduk dilengkapi meja kecil. Selain itu, masing-masing tempat duduk dapat disetel secara elektrik, baik sandaran punggung maupun sandaran kaki. Apalagi masih ditambah selimut dan bantal kecil yang mengingatkan pada kursi penumpang KA Argo.
Penampilan Ruang Dalam
Pendar lampu berkedip mengelilingi beberapa poster di sisi kanan, tepat dekat bagian informasi. Aroma Las Vegas, pusat judi Amerika Serikat sangat kental terlihat. Sedangkan tempat pembelian tiket terlihat lengkungan-lengkungan yang menyekat tiap loketnya. Lengkung berwarna kuning yang semakin melebar ke atasnya. Masih di ruang lobi, disini tersedia kafe dan tempat membeli cemilan. Di masing-masing dinding terpasang poster beberapa lukisan kenamaan, salah satunya karya Vincent van Gogh Beach at Saint Marie. Sedangkan di bagian atas sisi pintu masuk, terpajang dua layar televisi besar yang menyuguhkan video musik.. Menurut R. Trianggono, General Manager PT Multiplex Grande, desain sepenuhnya dikerjakan arsitek Filipina. Dasar pengambilan desain sendiri dipilih berdasar keunikannya. Ia mengambil contoh pengambilan warna-warna kursi di bioskopnya. Dari ruang sinema yang ada, masing-masing memiliki warna kursi yang berbeda yakni merah, maroon, biru, hitam, dan ungu.
Bioskop ini memang menyajikan desain yang unik, dan mungkin tak terbayangkan, karena rancangannya seperti diluar akal sehat. Begitu memasuki lorong menuju studio, terhampar ruang seperti kabin pesawat, tepatnya seperti
(46)
pesawat ruang angkasa yang banyak ditemui di film-film Hollywood. Di tiap dindingnya yang berwarna kuning itu, dipajang poster-poster film klasik. Sedangkan di sudut antara lantai dan dinding, keluar cahaya lembut yang memberi nuansa futuristik. Jalur masuk terdiri dari dua akses, yakni untuk penonton pemegang tiket Gold dan Diamond. Jalur ini digunakan untuk penonton jenis Gold.
Gambar 2.20. Koridor menuju studio
C. Tunjungan Cineplex 21, Surabaya
• Alamat: Jl. Basuki Rachmat 8-21, Plasa Tunjungan III Lt. 5 Surabaya • Berdiri tanggal 16 Oktober 1996
• Waktu Operasional:
o Minggu – Jumat :12.00 - 20.30
o Sabtu :12.00-23.00
• Security dari jam 21.00- 12.00
• Loket menggunakan computer (otomatis).
(47)
• Ruang-ruang yang tersedia:
4 bh gedung theater Loket 2 lajur Kantin
Gambar 2.23. Kantin Tunjungan Cineplex 21
Ruang Proyektor
Gambar 2.24. Ruang Proyektor Tunjungan Cineplex 21
Ruang Teknisi Kantor Pengurus Toilet Wanita dan Pria
• Kapasitas Tempat Duduk:
Tunjungan 1 : 248 tempat duduk Tunjungan 2 : 224 tempat duduk Tunjungan 3 : 184 tempat duduk Tunjungan 4 : 248 tempat duduk
(48)
Gambar 2.25. Tempat Duduk Tunjungan Cineplex 21
• Ukuran pita film yang digunakan 35 mm. setiap filmnya menggunakan kurang lebih 6 roll yang digulung menjadi 1 roll besar kemudian ditayangkan oleh proyektor. Proses penggulungan 6 roll menjadi 1 roll besar memerlukan waktukurang lebih ½ Jam.
• Tunjungan 21 dalam memutar film tidak bergantian dengan Cineplex yang lain sehingga tidak pernah lerjadi di tengah-tengah film karena pita film terlambat dikirim dari Cineplex yang lain.
• Ukuran layar 6 m X 12m • Jarak layar dari lantai 2 m
• Jarak layar dengan kursi barisan pertama 5 m • Lapisan plafon : Karpet
• Lapisan dinding:
• Triplek • Partikel Board
• Karpet Lapisan Lantai
• Karpet dan Vinyl (Studio Theamer) • Granit (Lobby)
• Keramik(K.antor, lokel)
• Menggunakan Sprinkler pada setiap ruang untuk mengatasi kebakaran • AC menggunakan AC Central milik Tunjungan Plasa
(49)
• Tata suara:
• Tunjungan 1 : SDDS (Sony Dinamie Digital Sound) - K channel • Tunjungan 2 : Dolby Digital - 6 channel
• Tunjungan 3 : Dolby Digital - 6 channel
• Tunjungan 4 : DTS (Digital Theater System) - 6 channel
• Cross Offer Aktif:
Proyektor jenis Victoria 5 Cineme C Canica Milano Italy SDDS (Sony Dinamic Digital Sound) DFP - D 2000 No. 12766 CP 500 Digital Cinema Processor No. 250
THX Monitor Model D. 1138 Serial No. C 0514 Digital Sound Head 700 No. 503913
Digital Film Sound Reader DFP - R 2000 No, 12627 Amplifier:
Crown Marco-Tech 1200 No. A 303749 Crown Marco-Tech 1200 No. A 3 04097 Crown Marco - Tech 1200 No. A 304085 Crown Marco-Tech 1200 No. A 304101 Crown Marco-Tech 1200 No. A 304086 Crown Marco - Tech 2400 No. A 244964 Crown Marco - Tech 2400 No. A 245007 Crown Marco - Tech 2400 No. A 245005
(50)
• Susunan Tempat Duduk
(51)
2.1.3. Analisa Hasil Studi
Kesimpulan dari ketiga contoh studi kasus diatas adalah : Tabel 2.1 Analisa hasil studi
2.1.4. Persyaratan Pokok Proyek
Dalam gedung bioskop harus diperhatikan cahaya dan penghawaannya, dimana memiliki perbedaan antara ruang yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan aktivitas yang terjadi di ruangan itu. Selain kebutuhan ruang untuk pementasan di mana akustik ruang harus tersedia. Berikut ini adalah persyaratan
IMAX KEONG MAS MPX GRANDE TUNJUNGAN 21
CINEPLEX - Bentukan yang diambil dari
keong, dimana bentukan diapikasikan kedalam bentukan bangunan. Sehingga muncul fasad bangunan yang unik.
- Pengolahan ruang dalam benar-benar diperhatikan menurut fungsinya. Salah satunya , contohnya yaitu yang terdapat pada ruang tunggu VIP, dimana pada ruang tersebut arsitekturnya memakai gaya yang elegan.
- Bentukan denah dan lantai Teater Imax Keong Mas mempunyai bentuk yang sama yaitu bentuk kipas. Demi tercapainya kenyamanan seluruh penonton dari segi melihat dan mendengar.
- Berlokasi di dalam sebuah Mal di Jakarta, MPX Grande hadir sebgai sebuah boutique Cinema yang tidak hanya menjual sebuah film, namun kenyamanan. Dengan unsur imajinasi sebuah kabin pesawat, MPX Grande hampir dapat dikatakan mampu menunjukkan idealisnya sebagai sebuah ruang bioskop yang memberi imajinasi bagi para pengunjung.
- Tata suara, sistem akustik dan gambar yang ditawarkan juga memberi kenyamanan dan kepuasan yang maksimal bagi para penikmat film di gedung ini.
- Pembagian zona menonton antara kelas regular dan vip sudah dibagi, hal ini guna kenyamanan dan kesan menonton yang berbeda sesuai dengan tarif tiket yang dibeli.
- Bentukan kurang atraktif atau terkesan datar dan monoton seperti bentuk bioskop pada umumnya.
- Teknologi dan fasilitas yang disediakan kurang bervariasi, sehingga penonton tidak mempunyai banyak pilihan dalam kegiatan menonton film
- Bentuk denah pada ruang bioskop mempunyai bentukan kotak. Demi mencapai target penjualan tiket secara maksimal.
(52)
kondisi mendengar yang baik dalam suatu gedung boiskop. ( sumber : Akustik Lingkungan, Leslie L. Doelle )
1. Kekerasan (loudness ) yang cukup
Dalam pengadaan kekerasan yang cukup terutama dalam auditorium ukuran sedang dan besar, terjadi karena energi yang hilang pada perambatan gelombang bunyi dan karena penyerapan yanng besar oleh penonton dan isi ruang ( tempat duduk empuk, karpet, tirai dan lain-lain ).
2. Akustik
Ruang penonton yang berdekatan harusnya dipisahkan dengan dinding pemisah kira-kira 85 db 18-2000 Hz. Dalam ruang bioskop, sumber bunyi asli tidak ada, tetapi diproduksi dari rekaman bunyi oleh pengeras suara. Bunyi reproduksi yang didengar menggambarkan karakteristik akustik studio film dimana adegan diambil. Kondisi mendengar yang disukai didapatkan dengan ukuran-ukuran akustik ruang sebagai berikut :
Bentuk lantai empat persegi panjang dengan lantai horizontal harus dihindari. Denah lantai berbentuk kipas dan cukup dimiringkan akan paling cocok dengan persyaratan untuk melihat dan kebutuhan akustik. Hal tersebut terkecuali pada bentukan denah teater 4D, karena pada teater tersebut menggunakan sistem yang berbeda dari sistem bioskop pada umumnya.
Kesenjangan penundaan waktu mula-mula antara bunyi langsung dari pengeras suara ( dibelakang layer ) dan bunyi pantul pertama dari tiap permukaan pemantul tidak boleh melampaui 40 m²/detik.
Lantai penonton harus dimiringkan dengan curam pada bagian belakang untuk menyediakan pengadaan bunyi langsung yang banyak.
Tempat duduk dengan banyak lapisan empuk harus digunakan untuk meimbangi pengaruh akustik ruang yang merusak karena jumlah penonton yang sangat banyak berfluktuasi.
(53)
Gambar 2.27. Acoustic control seating
3. Ruang harus bebas dari cacat akustik seperti gema, pemantulan yang berkepanjangan, gaung, bunyi, distorsi, bayangan bunyi dan resonansi ruang.
B. Pencahayaan
Penggunaan cahaya buatan didalam gedung bioskop lebih menguntungkan dibanding dengan pencahayaan alami karena lebih mudah diatur. Sistem pencahayaan bagi teater dipergunakan untuk :
Pintu keluar dan mood lightning yang digunakan selama sebelum dan sesudah pertunjukan.
Pencahayaan pada saat istirahat
Pencahayaan dengan intensitas yang cukup untuk pengumuman
Gambar 2.28. Pencahayaan buatan
Sumber dan cahaya yang digunakan :
Cahaya yang dipantulkan dari layar dengan intensitas yang beragam tergantung dari jenis film.
(54)
Penerangan permukaan dinding dan langit-langit dengan lampu standart atau tabung yang dipasang pada permukaan area yang akan diterangi.
Cahaya akan diproyeksikan pada dinding, langit-langit atau area penonton dari daerah tersembunyi.
Semua cahaya yang dibutuhkan selama presentasi disediakan bagi barisan tempat duduk depan sampai dengan tengah dari cahaya pantulan layar. Bagian tengah sampai belakang diterangi oleh sumber cahaya yang lain, yang ditempatkan sedemikian sehingga cahaya tidak dalam jarak pandang penonton.
C. Penghawaan
Penghawaan yang diperlukan pada ruang bioskop yaitu penghawaan buatan, karena pada ruang bioskop harus tertutup rapat. Penghawaan yang digunakan menggunakan jenis AC central dengan distribusi dari arah samping sisi dinding. Sehingga efisiensi penghawaan mengenai semua sisi ruangan.
Gambar 2.29. Sistem ducting AC central pada ruang bioskop Layar
Main ducting
(55)
2.2. Tinjauan Khusus
2.2.1. Lingkup pelayanan
Lingkup pelayanan proyek, dibagi dalam beberapa lingkup :
Lingkup pelayanan regional, diharapkan dapat dimanfaatkan masyarakat kota Banyuwangi khususnya serta oleh masyarakat di luar Banyuwangi sebagai tempat hiburan.
Lingkup pelayanan internasional, dapat dimanfaatkan sebagai tempat hiburan bagi para wisatawan asing.
2.2.2. Aktivitas dan kebutuhan ruang
Aktifitas dan kebutuhan ruang di dalam Banyuwangi Cinema Center maka harus diperhatikan siapa saja yang akan menggunakan gedung ini :
Tabel 2.2 Aktivitas dan kebutuhan ruang
FASILITAS KEGIATAN / AKTIFITAS PEMAKAI KEBUTUHAN RUANG FAS. UTAMA
Bioskop Menonton film
Memproyeksikan film Mengatur tata suara Mengatur tata cahaya Mengatur penghawaan Penonton Pengelola Pengelola Pengelola Pengelola Auditorium Tempat duduk R. proyeksi R. kontrol R. kontrol R. kontrol Kegiatan penerimaan publik Masuk Bertanya Menanti pertunjukan Menunggu Membeli tiket
Siap masuk r. pertunjukan Makan dan minum
Penonton Hall / foyer R. display Lobby hall Loket
Kantin makanan
FAS. PENUNJANG
Kantor pengelola Aktifitas manajer Pengelola R. manajer utama R. tamu
(56)
FASILITAS KEGIATAN / AKTIFITAS PEMAKAI KEBUTUHAN RUANG Kegiatan humas
Kegiatan manajemen keuangan
Kegiatan manajemen pemasaran
Kegiatan manajemen umum
Komputerisasi data / arsip Rapat
Menyiapkan konsumsi untuk pengelola
Beribadah Metabolisme
Kegiatan perawatan bangunan
Kegiatan pengoperasian utilitas bangunan
Kegiatan pengamanan Kegiatan pelayanan kesehatan
Penyediaan fasilitas makan / minum
R. staf humas R. staf keuangan R. staf akuntan R. staf pemasaran R. staf administrasi pemasaran
R. staf promosi R. staf inventaris perlengkapan R. rapat Musholla Lavatory
R. karyawan kebersihan
Gudang kebersihan R. genset
R. trafo
R. panel listrikr. Mesin AC R. pompa Tangki air Gudang R. kontrol R. satpam R. P3K
Outdoor cafe Makan / minum Mendengarkan dan menonton band Memainkan alat musik Melayani pengunjung Memasak Pengelola Pemain band Pengelola Ruang cafe Panggung Kantor
(57)
FASILITAS KEGIATAN / AKTIFITAS PEMAKAI KEBUTUHAN RUANG Koki makanan dan
minuman Servis Area Parkir penonton
Parkir pementas Parkir pengelola Genset Trafo Panel listrik Mesin AC Pompa Tangki air Simpan barang Satpam Penonton Pemain Pengelola
Area parkir mobil, motor dan bus
R. Genset R. Trafo R. Panel Listrik R. Mesin AC R. Pompa Tangki Air R. Control R. Satpam Gudang FAS. PELENGKAP Galeri Film
Melihat benda benda pameran
Pengunjung dan karyawan
Ruang Galeri
Game ZONE Bermain game Panel listrik Mesin AC
Pengunjung Area video game R. panel listrik R. mesin AC Store Melihat
Membeli VCD, DVD, dan souvenir
Pengunjung dan karyawan Biliard area Bermain billiard
Menunggu
Pengunjung R. biliard
Sumber : Analisa penulis, 2009
2.2.3. Perhitungan Luas Ruang
Untuk perhitungan luas ruang pada 21 Cinema Center ini adalah merupakan rujukan dari hasil studi lapangan kapasitas tempat duduk bioskop yang ada di kota Banyuwangi. Hasil dari studi lapangan terhadap kapasitas tempat
(58)
duduk kedua bioskop tersebut adalah 450 tempat duduk. Perhitungan standar ruang juga berdasarkan literatur yang ada yaitu :
- NAD : Neufert Architect Data - NMH : New Metric Handbook - SB : Studi Banding
- AS : Asumsi
- PAH : Planing the Architect’s Handbook
Perhitungan studi ruang berdasarkan pertimbangan : - Kapasitas pemakai
- Sirkulasi
- Peralatan pendukung - Kenyamanan pemakai
Asumsi :
- Studi Kasus dan studi banding
Tabel 2.3 Perhitungan luas ruang
I. Fasilitas Utama Bioskop Regular
RUANG KAPASITAS SUMBER STANDART PERHITUNGAN LUAS Studio 1 Studio 2 Studio 3 Studio 4 248 kursi 248 kursi 224 kursi 184kursi
PAH 22.5 m x 21 m
21.5 m x 18.75 m 19.5 m x 17 m
( 22.5 x 21 ) x2
( 21.5 x 18.75 ) ( 19.5 x 17 )
945 m² 403 m² 331 m² R. Proyektor R.Sound dan Lighting
R. untuk Layar
NMH 7 m x 5 m
Kedalaman = 1.8 m Tebal Layar = 0.6 m Lebar Layar = 17 m
4 studio x (7 x 5 )
{( 1.8 + 0.6 )x17}x4
140 m² 163 m² Toilet (2 pasang ) 520 pria 520 wanita Pria :
- 3 toilet = @1,8 m² - 5 urinal = @0,4 m² - 3 wastafel = @0,54 m²
Wanita : - 5 wc = @1,8 m² - 3 wastafel = @ 0,54 m²
- 2 x (3 x 1,8) = 10,8m² - (5 x 0,4) = 2m² - (3 x 0.54) = 1.62m²
- 2 x (3 x
14.42 m²
(59)
0,54)=3,24m² - 2 x (3 x 1,8) = 10,8m² Total Sirkulasi 30 % Total seluruh
2010.46m² 603.14m² 2613.6m²
Bioskop Dolby 3D
RUANG KAPASITAS SUMBER STANDART PERHITUNGAN LUAS Studio 3D 300 kursi SB 200 m²/ 50 orang 200 x ( 300:50 ) 1200m² R. proyektor,
R.Sound dan Lighting
Layar
SB
Kedalaman = 1.8 m Tebal Layar = 0.6 m
Lebar Layar = 20 m
( 1.8 + 0.6 ) x 20
70 m² 48 m² Toilet (2 pasang ) 250 pria 250 wanita Pria :
- 2 toilet = @1,8 m² - 5 urinal = @0,4 m²
- 2 wastafel = @0,54 m² - sirkulasi 30% Wanita : - 3 wc = @1,8 m² - 2 wastafel = @0,54 m² - sirkulasi 30%
- 2 x (2 x 1,8) = 7.2 m² - (5 x 0,4) = 2m² - (2 x 0,54)= 1.08m²
- 2 x (3 x 1,8) = 10,8m² - (2 x 0,54)= 1.08m²
10.3 m²
11.9 m²
Total Sirkulasi 30 % Total seluruh
1340.2 m² 402.1 m² 1742.3m²
Mini Home Theater
RUANG KAPASITAS SUMBER STANDART PERHITUNGAN LUAS Mini home
theater
20 kursi SB dan AS 200 m²/ 50 orang 200 x ( 20:50 ) 80 m²
R. proyektor, R.Sound dan Lighting Layar SB NMH
7 m x 5 m
Kedalaman = 1.8 m Tebal Layar = 0.6 m
( 7 x 5 )
{( 1.8 + 0.6 )x7.5}
35 m²
(1)
Ruang yang terjadi pada 21 cinema centre merupakan sebuah proses translasi dari bentuk tradisional kedalam bentuk modern dengan metode disjunction yaitu pemisahan dari bentuk asli tetapi masih mengandung nilai – nilai tradisionalnya. Bentuk ini juga sangat membantu dalam mengelompokkan ruang berdasar fungsi dan karakter serta pertimbangan bising terhadap akustik ruang.
6. 2. Aplikasi Bentuk Dan Tampilan
Tipologi bangunan menganut nilai – nilai arsitektur tradisional Using, yaitu dengan mentransformasikan tipologi bangunan yang mempunyai kesan tertutup menjadi terbuka. Yang digunakan sebagai tampilan depan bangunan dan penanda area pintu masuk bangunan.
Gambar 6. 2. Tipologi bentuk struktur rumah tinggal Arsitektur tradisional using
Penggunaan atap cerocogan ( 1 atap ) pada rumah tradisional Using diaplikasikan pada ruang – ruang bioskop dan juga ticketing. Atap terlihat terpisah satu sama lainnya, ini untuk memberi kesan keragaman aktifitas yang ada pada 21 Cinema Centre. Juga untuk mengenalkan hadirnya bioskop 21 baru di kota Banyuwangi dengan fasilitas yang lebih dari yang ada sebelumnya. Perubahan bentuk atap cerocogan dilakukan dengan metode
difference, yaitu mengubah bentuk asal ke bentuk baru tapi masih masih dapat dikenali
cerocogannya.
Gambar 6. 3. Perspektif 21 Cinema Centre 96
(2)
Dinding luar bangunan depan diberi sebuah sun shading berupa kisi – kisi yang meng-cover permukaan dinding yang lebar dari sinar matahari karena orientasi bangunan yang menghadap arah selatan. Kisi – kisi tersebut dilengkungkan ke arah samping bangunan sebagai penunjuk arah sirkulasi bagi kendaraan pengunjung.
6. 3. Aplikasi Sirkulasi
Sirkulasi dalam site menggunakan pola sirkulasi linier, dengan pengelompokkan pengguna kendaraan bermotor dan servis. Penggunaan pola sirkulasi ini agar dapat memudahkan dan memperjelas arah yang akan dituju bagi pengunjung karena hanya menggunakan satu entrance.
Main entrance
Motor Mobil Side entrance
Servis
Gambar 6. 4. Sirkulasi dalam site
Bentuk bangunan yang melengkung mengarahkan alur sirkulasi pengunjung yang datang. Untuk pengunjung yang membawa mobil diarahkan samping kiri dengan tujuan parkir luar dan basement, sedangkan pengendara motor dan kendaraan servis diarahkan ke samping kanan.
(3)
6. 4. Aplikasi Ruang Luar
Penyelesaian ruang luar pada 21 Cinema Centre di Banyuwangi ini antara lain :
1. Memberikan pola vegetasi seperti pohon-pohon peneduh, sawo kecik, dan sebagainya untuk memperkuat kesan sirkulasi dan sebagai penanda arah sirkulasi. Selain itu juga mampu menunjang keberadaan sikuen – sikuen lansekap.
Gambar 6. 5. Vegetasi
2. Permainan elevasi lantai diterapkan pada beberapa poin. Perbedaan elevasi ini diterapkan kedalam bentuk ramp dan juga bentuk tangga. Hal ini untuk mengarahkan pengunjung dan menghindari kesan jenuh.
Gambar 6. 6. Vegetasi
3. Penggunaan detail arsitektur pada material membentuk sikuen – sikuen penunjuk arah sirkulasi dalam site.
Gambar 6. 7. Detail arsitektur 98
(4)
6. 5. Aplikasi Ruang Dalam Bangunan (Interior)
Sebuah fokus perubahan dalam 21 Cinema Centre di Banyuwangi ini adalah suasana dan bentuk ruang dalam bioskop dari bentuk yang sudah ada sebelumnya. Dari bentuk yang ada sebelumnya yaitu bentuk persegi diubah menjadi bentuk kipas, dengan ketentuan yang dianut menurut refrensi yang ada. Perubahan ini bentuk ruang bioskop ini adalah untuk memberikan suasana nyaman penonton terutama penonton yang berada dipinggir dekat dinding. Penonton pada posisi ini cenderung memiringkan tubuhnya untuk mendapatkan posisi nyaman.
Gambar 6. 8. Bentuk bioskop kipas
Dari studi kasus inilah sebuah konsep merubah ruang interior bioskop yang tadinya berbentuk persegi menjadi bentuk kipas dengan sudut susunan kursi yang disesuaikan dengan sudut pandang kearah layar.
Gambar 6. 9. Bentuk bioskop 21 Cinema Centre
Sehingga membentuk ruang bioskop yang berkesan 3 dimensi, bukan flat / datar seperti yang ada sebelumnya. Interior bioskop juga didukung dengan teknologi material akustik artificial untuk mendapatkan sound dan lighting yang optimal.
Konsep yang ingin ditampilkan pada interior 21 Cinema Centre adalah tren masa kini, yaitu modern minimalist. Hal ini untuk menggambarkan karakter 21 sebagai tempat hang out anak muda yang modern dengan tren masa kini.
(5)
PENUTUP
Dengan berakhirnya penyusunan laporan tugas akhir sebagi rangkaian proses Tugas Akhir yang harus ditempuh di Jurusan Teknik Arsitektur.
Karena keterbatasan waktu dan data-data yang penyusun terima di dalam proses penyusunan laporan tugas akhir, maka mohon segala kritik dan saran dari bapak dan ibu dosen jurusan teknik arsitektur dan pembaca akan sangat diharapkan demi tercapainya suatu hasil yang baik didalam pengerjaan laporan Tugas Akhir ini.
Demikian laporan Tugas Akhir ini telah tersusun dan apabila terdapat kata-kata maupun penggunaan bahasa yang kurang tepat, selaku penyusun mohon maaf yang sebesar - besarnya sekian saya ucapkan terima kasih
(6)
101
DAFTAR PUSTAKA
Anomimus, Laporan Akhir RDTRK Kota Banyuwangi, 2008, Unit Pengembangan Satelit
Dolle, Leslie L,: Akustik Lingkungan, 1990, Erlangga
Hewlett - Packard, Existing Building Type - City Stars Cinema Complex, 1976 Indonesia Design.Volume 4. No 20.2007 / Blitz Megaplex Bandung
Neufert Ernest, Data Arsitek jilid 1 dan 2, 2003, Erlangga
Peter Lord and Duncan Templeton 2nd edition, Detailing for Acoustics, 1995, Paperback
Pickard Quentin, New Metric Handbook, 2002, Blackwell Science, UK
Tutt Patricia, The Architects’ Handbook, 1976, The Architectural Press, London
Y.B. Mangunwijaya, Pengantar Fisika Bangunan, 1989
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/ Galeri Tempo Doeloe, Potensi Wisata Sejarah Perfilman Nasional
www.budpar.go.id/ Industri Perfilman Menjadi Industri
www.ebizzasia.com/MPX Grande