Pengaruh proporsi Drug Load terhadap profil disolusi dispersi padat kurkumin ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dalam Polyvinyl Pyrrolidone (PVP) dengan spray drying.

(1)

i

PENGARUH PROPORSI DRUG LOAD TERHADAP PROFIL DISOLUSI DISPERSI PADAT KURKUMIN EKSTRAK TEMULAWAK

(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DALAM POLYVINYL PYRROLIDONE (PVP) DENGAN SPRAY DRYING

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh: Saka Adhiyudha NIM: 098114115

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“dari terbit matahari, sampai pada waktunya, biarlah nama Tuhan dipuji

Apa yang saya kerjakan semoga dapat membantu anda untuk memandangNya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

(6)

(7)

vii

PRAKATA

Puji Tuhan atas kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri yang Tuhan karuniakan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Proporsi Drug Load Terhadap Profil Disolusi Dispersi Padat Kurkumin Ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dalam Polyvinyl Pyrrolidone (PVP) dengan Spray Drying” sebagai salah satu syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis mengucapkan terimakasih teruntuk bimbingan, semangat dan motivasi kepada:

1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Prof. Dr. H. Achmad Fudholi, DEA., Apt. selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, ilmu dan nasehat dari perencanaan hingga penyusunan skripsi.

3. Enade Perdana Istyastono, Ph.D., Apt., selaku Dosen Pembimbing Pendamping atas segala segala statistik, pertemanan, dan sarannya.

4. Dewi Setyaningsih, M.Sc., Apt., yang membimbing, memberikan ide, teguran, pengertian, alat bahan dan menanggung biaya penelitian.

5. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt., atas pemberian baku kurkumin dan mau berdiskusi dengan kami mengenai validasi metode dan analisis.

6. Para Dosen Penguji.

7. Mas Bimo, Pak Musrifin, Mas Ketul, Mas Sarwanto, Mas Dwi, Mas Narto, Mas Andri, Mas Shinchan, Mas Agung, Pak Iswandi, Pak Heru, Mas Kayat, Mas Pardjiman, Mas Sigit, Pak Mukminin, Mas Wagiran, Pak Parlan, Mas


(8)

viii

Kunto, Mas Ottok, Mas Danang dan segenap Security atas surat ijin, kelancaran, diskusi dan perhatian selama pengerjaan skripsi ini.

8. Pak Bambang dan Mas Sigit selaku laboran Laboratorium Teknologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, atas bantuan, kerjasama dan pengetahuan baru yang telah diberikan selama penulis melakukan penelitian khususnya dalam pengoperasian spray dryer.

9. Felix Pradana dan Jati Panantya selaku teman seperjuangan, teman lembur serta lagu-lagu itu dan atas bantuan, keluhan, dan persahabatannya.

10.Keluarga yang selalu memberikan perhatian terhadap skripsi ini. 11.Hendrika Hayu Lakshita atas abstrak dan kasih yang diberikan.

12.Para Dosen dan dan teman-teman Fakultas Farmasi terkhusus kepada Genk Galak atas pemberian senyum dan tawanya.

13.Semua pihak dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu farmasi dan semakin mendukung setiap kita untuk melakukan penelitian yang berguna untuk membangun diri dan sesama.

Yogyakarta, 13 Juni 2013

Saka Adhiyudha

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

INTISARI ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I. PENGANTAR ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan masalah ... 5

C.Keaslian penelitian ... 6

D.Manfaat penelitian ... 6

E.Tujuan Penelitian ... 7

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 8


(10)

x

B.Dispersi Padat ... 9

C.PVP ... 11

D.Spray Drying ... 12

E.Disolusi ... 13

F. KLT ... 14

G.Densitometri ... 19

H.Validasi Metode Analisis ... 21

I. Landasan Teori ... 25

J. Hipotesis ... 26

BAB III. METODE PENELITIAN ... 27

A.Jenis dan Rancangan Penelitian ... 27

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 27

C. Bahan Penelitian... 28

D. Alat Penelitian ... 28

E. Tata Cara Penelitian ... 29

1. Pembuatan dispersi padat... 29

2. Pembuatan campuran fisik ... 29

3. Uji disolusi ... 30

4. Penetapan kadar kurkumin hasil disolusi dengan KLT-Densitometri .. 31

F. Analisis Hasil ... 35

1. Validasi metode ... 35

2. Analisis statistik penetapan kadar kurkumin terlarut ... 35

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(11)

xi

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A.Pembuatan Dispersi Padat ... 36

B.Pembuatan Campuran Fisik ... 37

C. Pembuatan Fase Gerak ... 37

D.Pembuatan Larutan Baku ... 38

E.Penetapan Panjang Gelombang Maksimum Kurkumin ... 38

F. Pengamatan Nilai Rf dan Pembuatan Kurva Baku Kurkumin ... 40

G.Validasi Metode Analisis ... 42

H.Penentuan Akurasi dan Presisi Baku Kurkumin dalam Sampel ... 45

I. Uji Disolusi ... 46

J. Hubungan Proporsi Drug Load Terhadap Disolusi Kurkumin ... 48

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

A.Kesimpulan ... 52

B.Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

LAMPIRAN ... 57


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Elemen-elemen data yang dibutuhkan untuk uji validasi ... 23

Tabel II. Perbandingan Tiap Formula Ekstrak temulawak dengan PVP ... 29

Tabel III. Data replikasi kurva baku kurkumin... 41

Tabel IV. Data % recovery ... 42

Tabel V. Data CV kadar kurkumin ( g/ml) ... 43

Tabel VI. Recovery dan CV baku kurkumin dalam sampel ... 46

Tabel VII. Hasil perhitungan persen kurkumin terdisolusi dalam dispersi padat dan serbuk campuran fisik ekstrak rimpang kunyit-PVP ... 47

Tabel VIII. Perbandingan Disolusi Sampel ... 50

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Kurkumin ... 8

Gambar 2. Struktur PVP ... 11

Gambar 3. Spektra max kurkumin 425 nm konsentrasi 200 g/ml ... 39

Gambar 4. Peak table Rf baku kurkumin replikasi 2 ... 40

Gambar 5. Grafik hubungan antara persentase ekstrak-PVP yang terdisolusi dalam waktu ... . 49


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Penimbangan ... 59

Lampiran 2. Skema Pembuatan Seri Larutan Baku ... 59

Lampiran 3. Perhitungan Seri Baku Kadar Kurkumin ... 60

Lampiran 4. Rf Baku Kurkumin dan Sampel ... 60

Lampiran 5. Baku Kurkumin Tiap Replikasi ... 61

Lampiran 6. Kromatogram dari Masing-Masing Konsentrasi Baku ... 61

Lampiran 7. Gambar Kurva Baku Kurkumin (AUC vs Konsentrasi) ... 64

Lampiran 8. Nilai AUC dan Contoh Perhitungan Recovery Kurkumin ... 64

Lampiran 9. Perhitungan Kadar Terukur ... 65

Lampiran 10. Adisi Sampel ... 67

Lampiran 11. Perbandingan Disolusi Tiap Formula ... 71

Lampiran 12. Uji Statistik Formula ... 75

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(15)

xv

INTISARI

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) secara empiris telah digunakan oleh masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit. Temulawak memliki kandungan yang disebut dengan kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, demetoksikurkumin, dan bis-demetoksikurkumin. Kurkumin merupakan komponen terbesar dari kurkuminoid dan memiliki banyak efek farmakologi, seperti antioksidan, antiinflamasi, antimikrobia, antikanker. Kurkumin memiliki permasalahan dalam hal kelarutannya yang sangat rendah dalam air, hal ini membuat kurkumin tidak terdisolusi dan terabsorbsi sempurna sehingga menurunkan bioavailabilitas oral senyawa tersebut. Untuk meningkatkan kelarutan senyawa tersebut maka dibuat dispersi padat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi drug load terhadap profil disolusi dispersi padat ekstrak temulawak. Dispersi padat dibuat dengan campuran fisik kurkumin dengan senyawa pembawa yaitu Polyvinyl Pyrolidon

(PVP) menggunakan metode pengupan pelarut atau spray drying. Dalam pembuatannya digunakan 3 formula dimana Formula 1 yang terdiri dari ekstrak temulawak : PVP (1:1), Formula 2 yang terdiri dari ekstrak temulawak : PVP (1:2), dan Formula 3 yang terdiri dari ekstrak temulawak : PVP (1:4). Uji disolusi menggunakan alat disolusi dalam medium buffer phosphat, kemudian diukur kadarnya menggunakan KLT-Densitometri. Kadar kurkumin terlarut dinyatakan sebagai persentase terdisolusi, dan dilanjutkan dengan perhitungan Disolusi Efisiensi (DE) untuk setiap formula. Nilai-nilai DE diuji statistik menggunakan

ANOVA dan uji t.

Hasil dari uji disolusi menunjukkan perbedaan DE antar formula, yaitu pada Formula 3 menunjukkan DE paling tinggi kemudian diikuti Formula 2, dan yang paling kecil adalah Formula 1.

Kata Kunci : Temulawak, kurkumin, disolusi, bioavailabilitas, dispersi padat,

drug load, PVP, spray drying, KLT-Densitometri, Disolusi Efisiensi.


(16)

xvi

ABSTRACT

Curcuma (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) empirically has been used by people to treat various diseases. Curcuma has a content which is called curcuminoids; this content consists of curcumin, demetoxicurcumin, and

bisdemetoxicurcumin. Curcumin is the largest component of curcuminoids and it has many pharmacological effects; such as antioxidant, anti-inflammatory, antimicrobial, anticancer. Curcumin has a problem in terms of its low solubility in the water, it makes the curcumin cannot be dissolved and absorbed perfectly, therefore, it reduces the oral bioavailability of the compound. As a result, solid dispersion is made to improve the solubility of the compound.

This study aimed to determine the effect of the variation on dissolution profiles of curcuma extract solid dispersions. Solid dispersion was made by physical mixture of curcumin with the carrier compounds, Polyvinyl Pyrolidon (PVP), using evaporating solvent method or spray drying method. There were three formulas which were used in spray drying making process; 1st Formula was consisted of Curcuma extract: PVP (1:1), 2nd Formula was consisted of Curcuma extract: PVP (1:2), and 3rd Formula was consisted of curcuma extract: PVP (1:4). The dissolution test was used in phosphate medium buffer; thus, the curcumin level was measured using TLC-densitometry. The dissolved-curcumin solute level was considered as a dissolute percentage, and it was continued using the Dissolution Efficiency calculation (DE) for each formula. DE values were statistically tested using ANOVA and t test.

The dissolution test result showed some differences in each DE formula, the 3rd formula shows the highest DE, followed by the 2nd Formula, and the smallest is the 1st Formula.

Keywords : Curcumin, dissolution, bioavailability, solid dispersions, drug load, PVP, spray drying, TLC-densitometry, Dissolution Efficiency.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(17)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar belakang

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) secara empiris telah digunakan oleh masyarakat sebagai antikoagulan, antiedemik, obat sakit perut, memperbanyak air susu ibu, stimulan, mengobati keseleo, memar dan rematik. Bagian Temulawak yang paling sering digunakan adalah rimpang Temulawak yang mengandung senyawa yang berkhasiat obat, yaitu kurkuminoid, yang terdiri dari kurkumin (sebanyak 60%), demetoksikurkumin, dan bis-demetoksikurkumin (Parinussa dan Timotius, 2010). Kandungan kurkumin ini akan mempengaruhi aktivitas. Kurkumin (1,7-bis-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-1,6-heptadiena-3,5-dion) merupakan senyawa turunan fenolik dari isolasi rimpang tanaman temulawak yang berwarna kuning dan memiliki banyak efek farmakologi, seperti antioksidan, antiinflamasi, antimikrobia, antikanker, anti-HIV (Xu, Wang, Jin, Mei, and Xu, 2006) dan secara turun-temurun digunakan sebagai antikoagulan, antiedemik, menurunkan tekanan darah, obat malaria, obat cacing, obat sakit perut, stimulan, mengobati keseleo, memar dan rematik (Kaewnopparat, Kaewnopparat, Jangwang, Maneenaum, Chucome, dan Panichayupakaranant, 2009).

Kurkumin merupakan komponen terbesar dari kurkuminoid, yaitu sebesar 60%. Kurkumin murni sangat sulit diperoleh langsung dari rimpang Temulawak karena kemungkinan besar tercampur dengan turunannya, yaitu demetoksikurkumin dan bis-demetoksikurkumin. Kadar total kurkuminoid


(18)

2

dihitung sebagai persen kurkuminnya sehingga banyak penelitian baik fitokimia maupun farmakologi lebih ditekankan pada kandungan kurkuminnya (Donatus, 1994).

Dewasa ini banyak penggunaan bahan obat yang kembali lagi ke alam, hal itu dipilih karena efek samping yang rendah pada beberapa obat yang mengandung zat aktif dari alam, termasuk juga Temulawak yang memiliki kandungan kurkumin. Namun kurkumin memiliki keterbatasan, yaitu tidak stabil dalam larutan. Stabilitas kurkumin dalam larutan sangat dipengaruhi oleh pH, pada pH asam kurkumin memiliki stabilitas yang sangat baik, sedangkan dalam suasana basa kurkumin mudah tedekomposisi, terhidrolisis dan terdegradasi (pada pH 7-10). Produk utama dekomposisi kurkumin adalah asam ferulat, feruloilmetana (4-fenil-3-butena-2-on), yang secara cepat mengalami kondensasi retroaldol menjadi aseton dan vanilin, yang ditunjukkan dengan larutan yang berwarna kuning kecoklatan (Tonnesen dan Karlsen, 1985). Selain mudah terdegradasi dalam suasana basa, kurkumin juga mudah terdekomposisi oleh cahaya menjadi ferulat aldehid, asam ferulat, adihidrosinaftalen, vinilguaiacol, vanilin, dan asam vanilat. Faktor dekomposisi kurkumin ini disebabkan gugus metilen aktifnya (Nugroho, 2007). Stabilitas kurkumin pada pH fisiologis, yaitu pH 7,2 menunjukkan adanya hidrolisis kurkumin menjadi trans-6-(4’ -hidroksi-3-metoksifenil)-2,3-diokso-5-heksenal (Wang, Pan, Chang, Hsieh, and Lin, 1997).

Kurkumin memiliki permasalahan dalam hal kelarutannya yang sangat rendah dalam air pada kondisi pH asam maupun netral (Leung dan Kee, 2009), karena kurkumin memiliki nilai log P yang kecil yaitu 2,56. Hal ini membuat


(19)

kurkumin tidak terdisolusi dan terabsorbsi sempurna sehingga menurunkan bioavailabilitas oral kurkumin yang hanya sekitar 60% (Kaewnopparat dkk., 2009). Bioavailabilitas oral senyawa tergantung pada kelarutan dan kecepatan disolusi, sehingga seringkali diperlukan peningkatan disolusi dari senyawa yang sukar larut dalam air (Malviya, Srivastava, Bansal, dan Sharma, 2010).

Banyak strategi yang telah dilakukan untuk meningkatkan bioavailabilitas oral kurkumin, yaitu dengan meningkatkan kelarutan dan laju disolusi kurkumin dalam formulasinya. Kelarutan senyawa dapat ditingkatkan dengan beberapa cara, yaitu dengan micronization, dispersi padat, pembentukan garam, pelarutan, nanopartikel, penguapan pelarut, dan penyisipan gugus polar ke dalam molekul (Voigt, 1984). Metode yang dipilih dalam penelitian kali ini adalah pembuatan dispersi padat. Peningkatan kelarutan kurkumin diketahui dengan mengukur disolusi kurkumin dalam dispersi padat, menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT).

Dispersi padat merupakan salah satu metode yang sering digunakan dan berhasil digunakan untuk meningkatkan kelarutan dan kecepatan disolusi (Malviya dkk., 2010). Selain itu metode ini dapat mendispersikan satu atau banyak bagian zat aktif pada pembawa atau matriks yang inert, yang disiapkan dengan cara dilarutkan (Rajarajan, Baby, Ramesh, dan Singh, 2009). Pembuatan dispersi padat, partikel obat akan berada dalam bentuk amorf atau terdistribusi secara halus (fines) sehingga lebih mudah larut dibandingkan dengan bentuk kristalnya (Chiou dan Riegelman, 1971).


(20)

4

terdispersi secara molekular atau sebagai partikel yang sangat kecil. Dengan ukuran partikel yang kecil, luas permukaan kontak partikel saat disolusi meningkat sehingga dapat meningkatkan kelarutan obat (Srinarong, Kouwen, Visser, Hinrichs, dan Frijlink, 2009).

Pembuatan dispersi padat yang dilakukan dengan cara menambahkan bahan pembawa dan serbuk temulawak yang sesuai dengan proporsi drug load

akan menyebabkan penurunan laju disolusi. Fenomena ini menandakan kristalisasi obat yang tidak terkontrol terjadi karena adanya supersaturasi pada daerah pelepasan obat tersebut. Kristalisasi yang tidak terkontrol ini menghasilkan bentuk kristal dalam jumlah besar, yang akan terlarut dengan lambat (Srinarong dkk., 2009).

Cara yang dipilih untuk meningkatkan disolusi adalah dengan dispersi padat amorf. Dispersi padat amorf dapat meningkatkan laju disolusi dari obat yang memiliki kelarutan yang rendah. Secara umum dispersi padat terdiri dari pembawa hidrofilik dimana obat terdispersi secara molekular atau dalam ukuran partikel yang kecil. Selain itu, ketika pembawa terdispersi secara molekular, dimana senyawa yang semula berbentuk kristal dalam larutan menjadi bentuk amorf, sehingga air dapat terjebak pada bentuk amorf. Senyawa berbentuk amorf mempunyai energi yang lebih tinggi dibandingkan bentuk kristal, sehingga meningkatkan kelarutan dalam air (Srinarong dkk., 2009).

Beberapa macam metode dalam pembuatan dispersi padat antara lain dengan vacuum drying, spray drying, fusion method, penggunaan surfaktan,

electrostatic, spinning method, liofilisasi, dan super critical fluid technology


(21)

(Sharma dan Joshi, 2007). Pembuatan dispersi padat pada penelitian ini menggunakan metode penguapan pelarut atau spray dying dimana dalam proses ini digunakan spray dryer sebagai alat untuk memperoleh serbuk kering dan untuk menghasilkan partikel obat dalam keadaan amorf. Proses pengeringan ini dilakukan dengan cara menyemprotkan massa cair (berupa larutan, emulsi atau suspensi) dengan atau tanpa bahan tambahan pada medium kering yang panas (udara) (Sriningsih, Kadarsih, dan Sumaryono, 2004).

Bahan pembawa yang digunakan adalah dalam pembuatan dispersi padat adalah polimer hidrofilik. Polimer yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Polyvinylpirrolidone (PVP). Alasan pemilihan PVP adalah karena PVP dapat meningkatkan kelarutan dan disolusi dari obat yang kelarutannya rendah (Kaewnopparat dkk., 2009). PVP juga dapat berinteraksi dengan banyak senyawa lipofilik, khususnya dalam dispersi padat. Oleh karena itu, dispersi padat yang diteliti akan menunjukan terjadinya ikatan hidrogen molekular antara kurkumin dengan PVP. Ikatan ini menyebabkan perubahan struktur kristal kurkumin menjadi bentuk amorf (Kaewnopparat dkk., 2009).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas timbul permasalahan, yaitu: apakah ada pengaruh antara proporsi drug load terhadap profil disolusi dispersi padat kurkumin dari ekstrak temulawak dalam PVP dengan spray drying?


(22)

6

C. Keaslian Penelitian

Berdasarkan uji literatur yang dilakukan, penelitian mengenai pengaruh proporsi drug load terhadap profil disolusi dispersi padat kurkumin dari ekstrak temulawak dalam PVP dengan spray drying belum pernah dilakukan. Penelitian tentang dispersi padat dari kurkumin adalah Increase Solubility, Dissolution and Physicochemical Studies of Curcumin-PVP K-30 Solid Disperse, Characterization of Curcumin-PVP Solid Dispersion Obtained by Spray Drying (Kaewnopparat dkk., 2009).

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai cara peningkatan disolusi kurkumin dengan pembuatan dispersi padat isolat ekstrak rimpang Temulawak PVP.

2. Manfaat Metodologis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai jenis bahan pembawa dan proporsi drug load yang dapat digunakan dalam pembuatan dispersi padat.

3. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan dengan metode dispersi padat dapat memperbaiki disolusi dan memberikan fleksibilitas, variasi, dan efisiensi yang lebih baik dalam formulasi oral obat bahan alam kurkumin.


(23)

E. Tujuan Penelitian

Mengetahui pengaruh proporsi drug load terhadap profil disolusi dispersi padat kurkumin ekstrak temulawak dalam PVP dengan spray drying.


(24)

8

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A.Kurkumin

Kurkumin (1,7-bis -(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)-1,6-heptadiene-3,5-dione) adalah senyawa turunan fenolik dari ekstrak temulawak (Curcuma xanthorriza). Senyawa tersebut memiliki 2 gugus vinilguaiacol (karbonil tak jenuh) yang saling dihubungkan dengan rantai alfa beta diketon (Prasetyo, 2010). Senyawa tersebut memiliki efek farmakologi sebagai anti inflamasi, anti bakteri, dan antikanker (Kaewnopparat dkk., 2009).

Kurkumin praktis tidak larut dalam air pada kondisi pH asam maupun netral. Kurkumin tidak terabsorbsi sempurna, dengan bioavailabilitas oral sekitar 60% (Kaewnopparat, dkk., 2009). Kurkumin larut dalam pelarut organik seperti etanol, dimetilsulfoksida dan aseton (Sharma dan Joshi, 2007). Kurkumin tidak stabil pada temperatur tinggi (Stankovic, 2004) dan dalam larutan dengan pH asam, tetapi tidak stabil dalam kondisi basa dan kondisi terang (adanya cahaya) (Tonnesen dan Karlsen, 1985).

Gambar 1. Struktur Kurkumin (Anonim, 2010)

Kurkumin (C21H20O6) memiliki stabilitas yang baik pada pH asam,

sedangkan pada pH basa, kurkumin mudah mengalami dekomposisi atau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(25)

degradasi. Larutan kurkumin memiliki warna yang tidak konstan hal ini tergantung degradasi atau pelarutnya. Pada larutan dengan pH asam larutan kurkumin berwarna kuning, tetapi akan berubah warna menjadi merah kecoklatan atau merah tua dalam larutan basa (Tonnesen dan Karlsen, 1985).

Kurkumin berwarna kuning terang, mempunyai bobot molekul 368,37 (C=68,47 %; H=5,47 %; O=26,06 %). Titik lebur kurkumin adalah 183°C. kurkumin larut dalam alkohol dan asam asetat glasial dan tidak larut dalam air (Wahyuni dan Yamrewav, 2004). Nilai log P kurkumin adalah 3,62 (Genome, 2009).

B.Dispersi Padat

Metode dispersi padat ini mendispersikan satu atau banyak bagian zat aktif pada pembawa atau matriks yang inert, yang disiapkan dengan cara dilarutkan (Rajarajan dkk., 2009). Dispersi padat didefinisikan sebagai dispersi satu atau lebih zat aktif dalam pembawa hidrofilik atau matriks inert pada bentuk padat, yang dibuat dengan metode peleburan (fusion), pelarut, atau peleburan pelarut (Kaewnopparat dkk., 2009).

Dispersi padat sering digunakan untuk meningkatkan laju disolusi dari obat dengan kelarutan yang rendah (Srinarong dkk., 2009). Dispersi padat merupakan salah satu metode untuk meningkatkan kelarutan dan bioavaibilitas dari obat yang memiliki kelarutan yang rendah dalam air (Li, Jang, Kang, Bae, Lee, dan Oh, 2009). Dispersi padat merupakan dispersi dari satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa inert atau matriks pada keadaan padat (Sutriyo,


(26)

10

Rosmaladewi, dan Filosane, 2005). Pembuatan dispersi padat dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain: metodepeleburan (melting method), metode pelarutan (solvent method), dan metode campuran (melting-solvent method) (Chiou dan Riegelman, 1971).

Peningkatan laju disolusi dari dispersi padat menggunakan empat macam mekanisme, yaitu sebagai berikut:

a. Meningkatkan pembasahan obat melalui kontak langsung obat dengan matriks hidrofilik

b. Konsentrasi jenuh pada partikel kecil lebih besar dibandingkan pada partikel besar

c. Meningkatkan luas permukaan

d. Obat memiliki energi yang tinggi pada tingkat amorphous dibandingkan dalam bentuk kristalin

(Waard, Hinrichs, Visser, Bologna, dan Frijlink, 2008). Dispersi padat amorphous dapat meningkatkan laju disolusi dari obat yang memiliki kelarutan yang rendah. Secara umum dispersi padat terdiri dari pembawa hidrofilik dimana obat terdispersi secara molekular atau dalam ukuran partikel yang kecil (Srinarong dkk., 2009).

Bila dispersi padat kontak dengan air, pembawa akan terlarut, dan obat dilepaskan dengan ukuran partikel yang kecil (partikel koloidal). Oleh karena terjadi peningkatan luas permukaan partikel obat, laju disolusi dan bioavailabilitasnya juga mengalami peningkatan (Chaudhari, Sharma, Badagale, Dave, Kaulkarni, dan Baharte, 2006).


(27)

Obat dapat terdispersi secara molekular dalam pembawa membentuk larutan solid atau dapat terdispersi sebagai partikel. Selain itu, obat juga dapat sebagian terlarut dan sebagian lagi terdispersi dalam pembawa. Untuk obat dengan banyak lapisan, lebih baik jika terdispersi molekular, sedangkan bila terdispersi sebagai partikulat, obat akan lebih mudah lepas dari matriks pembawanya (Chaudhari dkk., 2006).

Peningkatan drug load dan atau saat pembawa terlarut dengan cepat, akan menyebabkan penurunan laju disolusi. Hal ini menunjukkan terjadinya kristalisasi obat yang tidak terkontrol, yang disebabkan oleh supersaturasi pada daerah pelepasan obat tersebut. Kristalisasi yang tidak terkontrol ini menghasilkan bentuk kristal dalam jumlah besar, yang akan terlarut dengan lambat (Srinarong dkk., 2009).

C.Polyvinyl Pyrrolidone (PVP)

PVP merupakan serbuk berwarna putih kekuningan yang bersifat higroskopis, memiliki bau khas samar, larut dalam air dan pelarut organik lainnya, bebas larut dalam etanol dan dalam metanol, sedikit larut dalam aseton.

Gambar 2. Struktur PVP (Sutriyo dkk., 2005)


(28)

12

dispersi padat (Sutriyo dkk, 2005). PVP dalam bentuk polimer mempunyai rumus molekul (C6H9NO). PVP berupa serbuk putih atau putih kekuningan, berbau

lemah atau tidak berbau, higroskopik, mudah larut dalam air, etanol 95% P, dan kloroform P, tidak larut dalam eter P. Bobot molekul PVP antara 10.000 hingga 700.000 (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995).

PVP mempunyai nama lain, yaitu povidone. PVP yang digunakan dalam penelitian terdapat banyak grade, yaitu PVP K-12, PVP K-17, PVP K-25, PVP K- 30, PVP K-90. Nilai K pada PVP menunjukkan nilai karakterisasi dari berat molekulnya.

D.Spray Drying

Spray drying adalah metode untuk memproduksi bubuk kering dari cairan atau bubur dengan pengeringan cepat terhadap gas panas. Ini adalah metode pengeringan yang paling banyak digunakan untuk bahan yang mudah rusak terhadap panas seperti makanan dan farmasi. Distribusi partikel dengan ukuran yang seragam adalah alasan digunakannya metode spray drying untuk beberapa produk industri, seperti katalis. Udara adalah media pengeringan panas, namun jika pelarut yang digunakan mudah terbakar seperti etanol atau produk tersebut sensitif terhadap oksigen maka digunakan nitrogen (Mulja dan Suharman, 1995).

Spray dryer adalah perangkat yang digunakan dalam spray drying. Dibutuhkan udara panas yang dapat memisahkan zat terlarut atau suspensi menjadi serbuk kering dan mengubah pelarut ke dalam bentuk kabut. Serbuk


(29)

kering ini biasanya dikumpulkan dalam drum atau siklon. Aliran zat cair ini disemprotkan melalui nozzle ke dalam aliran uap panas dan kemudian pelarutnya menguap. Sebuah nozzle biasanya digunakan untuk membuat ukuran droplet sekecil mungkin, memaksimalkan perpindahan panas dan laju penguapan air. Ukuran droplet berkisar antara 20-180 µm tergantung pada jenis nozzle. Ada dua jenis nozzle, yang pertama high pressure single fluid nozzle (50 sampai 300 bar) dan two-fluid nozzles: satu fluida adalah cairan kering dan yang kedua adalah gas terkompresi (umumnya pada 1 sampai 7 bar). Spray dryer dapat mengeringkan produk dengan cepat dibandingkan dengan metode pengeringan lainnya (Niessen, 2002).

E. Disolusi

Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat padat melarut. Secara prinsip, proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut (Syukri, 2002).

Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuran partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan serta keterbasahan berperan terhadap munculnya permasalahan dalam disolusi seperti terbentuknya flokulasi, flotasi dan aglomerasi (Syukri, 2002).

Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian antara persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan


(30)

14

kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan dalam masing-masing monografi , uji disolusi atau uji waktu hancur tidak setara khusus dinyatakan untuk sediaan bersalut enterik, maka digunakan cara pengujian untuk sediaaan lepas lambat , kecuali dinyatakan lain pada masing-masing monografi (Ditjen POM, 1995).

F. Kromatografi Lapis Tipis

1. Tinjauan Umum

Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis oleh sistem yang terdiri dari 2 fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan didalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion, sehingga masing-masing zat dapat diidentifikasi atau ditetapkan dengan metode analitik (Ditjen POM, 1995).

Teknik kromatografi umum membutuhkan zat terlarut terdistribusi di antara dua fase, satu diantaranya diam (fase diam), yang lainnya bergerak (fase gerak). Fase gerak membawa zat terlarut melalui media, hingga terpisah dari zat terlarut lainnya, yang terelusi lebih awal atau lebih akhir. Umumya zat terlarut dibawa melalui media pemisah oleh aliran pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen. Fase diam dapat bertindak sebagai adsorben, seperti halnya adsorben alumina yang diaktifkan, silika gel, dan resin penukar ion, atau dapat


(31)

bertindak melarutkan zat terlarut sehingga partisi antara fase diam dan fase gerak. Dalam proses terakhir ini suatu lapisan cairan dalam suatu penyangga yang inert berfungsi sebagai fase diam (Ditjen POM, 1995).

Kromatografi lapis tipis (KLT) bersama-sama dengan kromatografi kertas dengan berbagai macam variasinya pada umumnya merupakan kromatografi planar. KLT dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. Pada KLT, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat alumunium, atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Rohman, 2009).

Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan bahwa hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat (Rohman, 2009).

Pemilihan pelarut yang digunakan untuk senyawa yang akan dianalisis dengan metode KLT, harus dapat melarutkan analit dengan sempurna, mudah menguap, viskositas rendah, serta dapat membasahi lapisan penyerap (Sherma and Fried, 1996).

Deteksi bercak pemisahan pada KLT dapat dilakukan dengan cara-cara berikut: a. menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan

bereaksi secara kimia dengan seluruh solut yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak menjadi berwarna. Kadang-kadang


(32)

16

bercak dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas warna bercak.

b. mengamati lempeng di bawah lampu ultraviolet dengan panjang gelombang 254 atau 366 nm untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap atau bercak yang berfluoresensi terang pada dasar yang berfluoresensi

c. menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu dipanaskan untuk mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak sebagai bercak hitam kecoklatan

d. memaparkan lempeng dengan uap iodium dalam chamber tertutup e. melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densitometer

(Gandjar dan Rohman, 2007). Pada kromatografi planar, senyawa yang berbeda dalam campuran sampel menempuh jarak yang berbeda sesuai dengan seberapa kuat mereka berinteraksi dengan fase diam dibandingkan dengan fase gerak. Semakin polar solut maka semakin tertahan kuat ke dalam adsorben polar (silika gel). Solut-solut non polar tidak mempunyai afinitas atau mempunyai sedikit afinitas terhadap adsorben polar, sementara solut-solut yang terpolarisasi memiliki afinitas yang kecil terhadap adsorben polar disebabkan adanya interaksi dipol atau interaksi-interaksi yang diinduksi oleh dipol. Solut-solut polar, terutama yang mampu membentuk ikatan hidrogen, akan terikat kuat pada adsorben karenanya butuh fase gerak yang cukup polar untuk mengelusinya. Berikut adalah urutan polaritas solut-solut organik: alkana < alkena < aromatis < eter < ester < keton dan aldehid


(33)

< tiol < amin dan amida < alkohol < fenol < asam-asam organik (Gandjar dan Rohman, 2007).

Retardation factor (Rf) merupakan parameter karakteristik KLT. Harga Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak senyawa dari titik awal dan jarak tepi muka pelarut dari titik awal (Roth, 1994). Angka Rf berjangka antara 0,00 sampai 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal (Stahl, 1985).

Harga Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan harga standar. Pengukuran yang sering dipakai lainnya menggunakan pengertian Rx atau Rstd yang didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak yang digerakkan oleh senyawa yang tidak diketahui dengan jarak yang digerakkan oleh senyawa standar yang diketahui (Hardjono, 1983).

Pengekoran noda kromatogram terjadi apabila proses pemisahan yang terjadi tidak sempurna. Terlalu tingginya konsentrasi komponen yang ditentukan juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kromatogram yang berekor. Penyebab pengekoran yang lain adalah ketidakjenuhan chamber. Ketidaktepatan pemilihan fase gerak terhadap jenis fase diam dan macam sampel yang dianalisis juga merupakan penyebab pengekoran kromatogram yang lainnya (Mulja dan Suharman, 1995).

2. Sistem KLT

a. Fase diam.

Fase diam yang sering digunakan dalam KLT adalah bahan penjerap (adsorben). Silika gel merupakan penjerap yang paling banyak digunakan dalam KLT. Pada umumnya ditambah dengan bahan pengikat


(34)

18

untuk memberikan kekuatan perlekatan pada pendukungnya. Bahan pengikat yang sering digunakan adalah gipsum, dan silika gel yang diberikan tambahan senyawa, ini dikenal dengan istilah ”silika gel G”. Kadang-kadang untuk mempermudah identifikasi diatambah zat yang berfluoresensi sehingga dikenal dengan istilah silika gel GF. Bahan penjerap lain yang digunakan adalah alumina, selulosa, sefadex, poliamida, kieselguhr, dan amilum (Harborne, 1973).

Adanya air dari atmosfer yang diserap oleh permukaan silika gel mampu mendeaktifkan permukaan silika gel karena air akan menutup sisi aktif silika gel. Hal seperti ini dapat diatasi dengan memanaskan plat pada suhu 105ºC (Gandjar dan Rohman, 2007).

b. Fase gerak

Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Fase gerak bergerak di dalam fase diam yaitu lapisan berpori karena ada gaya kapiler. Yang digunakan adalah pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem pelarut multikomponen, maka harus berupa suatu campuran sederhana mungkin terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1985).

Pemilihan sistem pelarut untuk mencapai sistem pemisahan yang diperlukan mungkin melibatkan beberapa percobaan, tetapi pilihan pelarut cukup terbatas dengan pertimbangan interferensi respon detektor atau kerusakan yang mungkin terjadi dari fase diam (Dean, 1995).


(35)

G.Densitometri

Densitometri merupakan metode analisis instrumental yang mendasarkan pada interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan bercak pada plat KLT. Densitometri lebih dititikberatkan untuk analisis kuantitatif analit-analit dengan kadar kecil, yang mana diperlukan pemisahan terlebih dahulu dengan KLT (Rohman, 2009).

KLT-densitometri merupakan salah satu dari metode analisa kuantitatif. Penetapan kadar suatu senyawa dengan metode ini dilakukan dengan mengukur kerapatan bercak senyawa yang dipisahkan dengan cara KLT. Pada umumnya pengukuran kerapatan bercak tersebut dibandingkan dengan kerapatan bercak senyawa standar yang dielusi bersama-sama (Hardjono, 1985).

Metode densitometri mempunyai cara kerja yang sederhana dan cepat. Pada metode densitometri diperlukan adsorbens dan fase gerak yang murni. Untuk memperoleh hasil yang baik umumnya digunakan adsorbens siap pakai yang telah mengalami pra pencucian (Gritter, Bobbit, dan Schartin, 1991).

Alat densitometer mempunyai sumber sinar yang bergerak di atas bercak pemisahan pada lempeng kromatografi yang akan ditetapkan kadar komponennya. Lempeng digerakkan menyusuri berkas sinar yang berasal dari sumber sinar tersebut. Bercak yang kecil dan intensif akan menghasilkan suatu puncak kurva absorbsi yang sempit dan tajam, sebaliknya bercak yang lebar akan menghasilkan puncak kurva absorbsi yang melebar dan tumpul (Sudjadi, 1988).


(36)

20

Teknik pengukuran dapat didasarkan atas pengukuran intensitas sinar yang diserap (absorbansi), intensitas sinar yang dipantulkan (reflaktansi) atau intensitas sinar yang difluoresensikan (fluoresensi) (Mintarsih, 1990).

Pada beberapa alat TLC scanner sudah dilengkapi alat pemroses data atau mikro komputer, sehingga integrasi luas puncak atau tinggi puncak tersebut dapat langsung direkam atau dicatat sebagai data sekaligus dengan kromatogramnya dan dapat pula direkam dan dicatat langsung sebagai kadarnya, melalui teknik pemrogaman tertentu. Penelusuran bercak dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal (scanning horizontal atau scanning vertical). Penelusuran bercak secara horisontal dapat dilakukan satu persatu, atau apabila satu pelat bercak yang diperoleh segaris semua maka dapat dilakukan penelusuran untuk semua bercak sekaligus. Sedangkan cara penelusuran vertikal, hanya dapat dilakukan satu per satu. Pada penelusuran bercak horisontal dengan penelusuran beberapa bercak sekaligus hanya dapat dilakukan apabila bercak-bercak tesrsebut benar-benar berada dalam satu baris. Cara ini akan mengalami kesulitan jika bercak yang sangat dekat dengan bercak yang akan ditetapkan, karena ada kemungkinan bercak yang tidak diinginkan ikut tertetapkan (Mintarsih, 1990).

Penelusuran bercak akan mendapatkan hasil yang baik apabila dilakukan pada panjang gelombang maksimum, karena perubahan konsentrasi pada bercak sedikit saja sudah terdeteksi. Pengukuran dilakukan dengan menelusuri bercak yang akan ditetapkan kadarnya pada kisaran panjang gelombang zat tersebut (Mintarsih, 1990).


(37)

Pelat yang digunakan untuk KLT pada densitometri sebaiknya digunakan pelat buatan pabrik, karena pada pelat buatan sendiri fase diamnya kurang rata, sehingga akan mempengaruhi hasil penelusuran dengan densitometri, yaitu berupa puncak yang lebar dan kasar. Puncak yang lebar disebabkan kurang kompaknya fase diam, puncak yang kasar disebabkan permukaan pelat kurang rata (Mintarsih, 1990).

Ada dua cara penetapan dengan alat densitometer. Pertama, setiap kali penetapan ditotolkan sediaan baku dari senyawa yang bersangkutan dan dielusi bersama dalam satu lempeng, kemudian Area Under Curve (AUC) sampel dibandingkan dengan AUC zat baku. Yang kedua, dengan membuat kurva hubungan antara jumlah zat baku dengan AUC. Kurva baku diperoleh dengan membuat totolan zat baku pada pelat KLT dengan bermacam-macam konsentrasi (minimal tiga macam konsentrasi). Bercak yang diperoleh dicari AUC dengan densitometer. Dari kurva baku diperoleh persamaan : y = bx + a, dimana x adalah banyaknya zat yang ditotolkan dan y adalah AUC (Supardjan, 2002).

H.Validasi Metode Analisis

1. Tinjauan Umum

Validasi metode menurut USP dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis bersifat akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Secara singkat, validasi merupakan aksi konfirmasi bahwa metode analisis yang akan digunakan sesuai dengan tujuan yang diinginkan (Rohman, 2009).


(38)

22

Kategori yang terdapat dalam United State of Pharmacopeia (USP) dan

International Conference on Harmonization (ICH): a. Kategori I

Metode untuk kuantifikasi komponen mayor dalam produk ruahan aktif, termasuk senyawa-senyawa pengawet dalam produk akhir obat, diklasifikasikan dalam kategori I. Metode uji dan keseragaman kandungan masuk dalam kategori ini. Analisis ini tidak diisyaratkan pada uji keseragaman kandungan ini, karenanya penentuan Limit of Detection

(LOD) dan Limit of Quantification (LOQ) dalam uji ini tidaklah penting (Rohman, 2009).

b. Kategori II

Metode kategori II ditujukan untuk menentukan pengotor/pengganggu (impurities) dalam ruahan obat (bulk), produk-produk degradasi dalam produk-produk akhir obat atau dalam proses pembersihan (cleanng process). Metode ini lebih lanjut dibagi menjadi 2 yaitu ke dalam uji kuantitatif dan uji batas (limit test) (Rohman, 2009). c. Kategori III

Metode-metode yang digunakan untuk menentukan karakteristik kinerja produk akhir jatuh pada kategori III. Uji disolusi (tidak termasuk pengukurannya) dan uji-uji pelepasan obat merupakan contoh metode yang masuk kategori ini (Rohman, 2009).


(39)

Tabel I. Elemen-elemen data yang dibutuhkan untuk uji validasi

Parameter Pengujian Pengujian kategori II

Uji kategori Kinerja kategori I

Kuantitatif Uji Batas

III Analisis

Akurasi Ya Ya * *

Presisi Ya Ya Tidak Ya

Spesifisitas Ya Ya Ya *

LOD Tidak Tidak Ya *

LOQ Tidak Ya Tidak *

Linieritas Ya Ya Tidak *

Kisaran (range) Ya Ya * *

Ruggedness Ya Ya Ya Ya

*mungkin dibutuhkan, tergantung pada uji spesifiknya

2. Parameter Validasi

a. Akurasi

Akurasi atau kecermatan metode analisis adalah kedekatan hasil analisis yang diperoleh dengan menggunakan metode tersebut dengan nilai yang sebenarnya. Penentuan kecermatan metode analisis biasanya dinyatakan dengan persen perolehan kembali terhadap sampel yang kadarnya telah diketahui dengan pasti (Mulja dan Suharman, 1995).

b. Presisi

Presisi suatu metode analisis merupakan sejumlah pencaran hasil yang diperoleh dari analisis berulang kali pada suatu sampel homogen. Presisi umumnya dinyatakan dalam coefficient of variation (CV) (Mulja dan Hanwar, 2003).


(40)

24

c. Linearitas

Linearitas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil-hasil uji yang secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang diberikan. Linearitas suatu metode merupakan ukuran seberapa baik kurva kalibrasi yang menghubungkan antara respon (y) dengan konsentrasi (x) (Rohman, 2009). Persyaratan data linearitas yang bisa diterima jika memenuhi nilai koefisien korelasi (r) > 0,999 (Yuwono dan Indrayanto, 2005).

d. Selektivitas

Selektivitas atau spesifisitas merupakan kemampuan suatu metode yang hanya mengukur zat tertentu saja secara cernat dan seksama dengan adanya kompoenen lain yang mungkin ada dalam matriks sampel. Selektivitas seringkali dapat dinyatakan sebagai derajat penyimpangan metode terhadap sampel yang mengandung bahan yang ditambahkan berupa cemaran, produk degradasi, senyawa sejenis, dan senyawa asing lain, kemudian dibandingkan dengan hasil analisis sampel yang tidak mengandung bahan yang ditambahkan tersebut. Selektivitas pada metode kromatografi ditunjukkan melalui nilai resolusi (Harmita, 2004). Dalam teknik pemisahan, daya pisah (resolusi) antara analit yang dituju dengan pengganggu lainnya harus > 1,5 (Swartz dan Krull, 1997).


(41)

e. Range

Menurut ICH, kisaran suatu prosedur analisis adalah interval antara konsentrasi (jumlah) analit pada level atas dan pada level bawah dalam suatu sampel, yang mana dapat ditunjukkan bahwa prosedur analisis mempunyai level akurasi, presisi, dan linearitas yang sesuai.

I. LANDASAN TEORI

Kurkumin merupakan senyawa yang dapat diekstrak dari Temulawak ataupun kunyit. Senyawa tersebut dikenal memiliki beberapa aktivitas seperti antioksidan (anti radikal bebas), anti inflamasi (anti radang), anti kolesterol, dan anti kanker. Kurkumin memiliki beberapa kelemahan, seperti kelarutan dalam air yang rendah sehingga bioavailibilitas (ketersediaan dalam darah) yang rendah oleh karena itu harus dicari penyelesaian dari masalah tersebut.

Untuk memecahkan masalah tersebut, maka dilakukan pembuatan dispersi padat kurkumin dengan matriks PVP. Dispersi padat adalah dispersi satu atau lebih bahan aktif dalam suatu pembawa inert atau matriks dalam bentuk padat yang dibuat dengan metode peleburan, pelarutan atau pelarutan-peleburan. Teknik dispersi padat pertama kali diperkenalkan oleh Sekiguchi dan Obi (1961) dengan pembawa yang mudah larut diantaranya: PVP, polyethylen glicol (PEG), dan urea dengan tujuan untuk memperkecil ukuran partikel, meningkatkan laju dissolusi obat yang tidak larut dalam air.


(42)

26

Drug load yaitu jumlah kurkumin yang terkandung dalam keseluruhan total kurkumin dan pembawa. Semakin tinggi nilai drug load menunjukkan bahwa semakin banyak obat yang terkandung dalam dispersi padat sedangkan jumlah pembawa yang ada semakin sedikit sehingga disolusi obat menjadi lebih rendah.

Uji disolusi menggunakan alat uji disolusi. Metode uji disolusi yang dilakukan adalah dengan metode klasik. Metode ini mengukur jumlah zat aktif yang terlarut hanya pada waktu tertentu. Kemudian kadar kurkumin diukur dengan KLT Densitometri.

J. HIPOTESIS

Berdasarkan landasan teori, dapat disusun hipotesis bahwa dispersi padat kurkumin ekstrak temulawak dengan pembawa PVP dengan berbagai proporsi

drug load yang dihasilkan dengan metode spray drying akan meningkatkan laju disolusi kurkumin ekstrak temulawak, dimana semakin besar drug load

diperkirakan semakin lambat disolusi kurkumin.


(43)

27

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian acak, pola searah.

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel

a. Variabel bebas pada penelitian ini adalah proporsi drug load.

b. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah persen kurkumin terdisolusi.

c. Variabel pengacau

i. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah intensitas cahaya selama penyimpanan dan kelembaban selama penyimpanan. ii. Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah suhu

dan kelembaban ruangan.

2. Definisi Operasional

a. Dispersi padat adalah mendispersikan kurkumin sebagai zat aktif dalam ekstrak temulawak pada PVP, yang disiapkan dengan metode pelarutan. Dispersi padat dibuat dengan 3 variasi drug load; Formula 1 dengan drug load 6%, Formula 1 dengan drug load 4%, Formula 1 dengan drug load


(44)

28

b. Spray drying adalah metode penguapan pelarut menggunakan atomizer

Pelarut diubah bentuknya menjadi butiran-butiran pelarut dan diberikan udara panas sehingga memisahkan pelarut dengan serbuknya. Hasil didapat adalah serbuk yang dibawa oleh pelarut yang menguap tersebut. c. Persen terdisolusi didefinisikan sebagai suatu bagian melarutnya zat

kimia atau senyawa obat dari sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu dibandingkan dengan berat teoretis atau hasil real hasil disolusi. d. Pengukuran disolusi kurkumin pada dispersi padat dilakukan dengan

KLT-Densitometri.

C. Bahan Penelitian

Baku kurkumin (dari Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt.), ekstrak temulawak (PT. Phytochemindo Reksa), kapsul cangkang keras gelatin No.00 (PT. Brataco Chemika), metanol p.a. (E. Merck), PVP K-25 (PT. Brataco) etanol 70% (PT. Brataco); etanol p.a. (E. Merck), kloroform (E. Merck), aquadest, etil asetat (PT. Brataco Chemika), buffer fosfat pH 6, SLS, silika gel GF 60.

D. Alat Penelitian

Alat-alat gelas, Disolution tester (Erweka), mikropipet (Socorex Propette) mortir, stamper, ayakan no. mesh 50, neraca analitis (Sartorius, Metler Toledo), KLT-Densitometer (Camag), chamber, vortex, dry box, magnetic stirer

(Labinco BV-Netherlands), pH indikator universal (Merck).


(45)

E. Tata Cara Penelitian

1. Pembuatan Dispersi Padat

Sistem dispersi padat ini dibuat dengan menggunakan metode pelarutan. Setelah masing-masing bahan ditimbang sesuai dengan perbandingan, ekstrak temulawak dilarutkan dalam 100 ml etanol 70%, PVP dilarutkan dalam etanol. Larutan kurkumin dicampur dengan larutan PVP dengan proporsi drug load yaitu 6 %, 4 %, dan 2,4 %. Setelah itu campuran kedua bahan dikeringkan dengan spray drying operating parameter sebagai berikut: suhu inlet, 100 oC; suhu outlet ±60

o

C; feed rate 4 ml/min. Massa yang terbentuk kemudian dikumpulkan, diayak menggunakan ayakan no mesh 50, dimasukkan ke dalam kapsul ukuran 00 dan di masukan ke dalam dry box terlindung cahaya dengan RH < 30 % dan disiapkan untuk proses disolusi.

Tabel II. Perbandingan Tiap Formula Ekstrak temulawak dengan PVP

Formula F1

(1:1)

F2 (1:2)

F3 (1:4) Ekstrak temulawak (g) 5 5 5

PVP (g) 5 10 20

Drugload (%) 6 4 2,4

2. Pembuatan Campuran Fisik

Campuran fisik dibuat dengan mencampurkan serbuk ekstrak temulawak dan PVP, yang telah diayak sebelumnya dengan ayakan no. mesh 50. Pencampuran kedua serbuk dilakukan diatas mortir sehingga homogen. Jumlah


(46)

30

serbuk ekstrak temulawak dan PVP yang dicampurkan dengan proporsi drug load

6 %, 4 %, dan 2,4 %.

3. Uji disolusi

Medium disolusi : buffer fosfat pH 6 Volume : 500 ml

Temperatur : 37 ± 0,5 oC Putaran : 100 rpm

Metode : dayung (paddle apparatus)

Dispersi padat dan campuran fisik dimasukkan medium disolusi yaitu buffer fosfat pH 6 yang telah dibuat terlebih dahulu dengan menimbang 3,12 g NaH2PO4.2H2O kemudian dilarutkan ke dalam aquades 1000 mL dan

ditambahkan NaOH hingga pH 6. Dalam larutan tersebut kemudian ditambahkan SLS 5 g. Kemudian medium disolusi dimasukkan ke alat uji disolusi sebanyak 500 ml ke dalam tabung disolusi dan diatur putaran 100 rpm. Sediaan uji dimasukkan ke dalam tabung disolusi, lalu dihidupkan alat tersebut. Kemudian setiap 0, 5, 10, 15, 30, 45, 60, dan 120 menit diambil cuplikan menggunakan pipet sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan medium disolusi diganti dengan 5 ml medium disolusi yang baru setelah pengambilan sampel. Setiap pengambilan cuplikan diganti dengan medium disolusi dalam jumlah yang sama. Cuplikan yang telah diambil dalam tabung reaksi tersebut kemudian diekstraksi dengan etil asetat, dimasukkan ke dalam flakon, kemudian dilakukan


(47)

pemekatan dan dianalisis kadarnya dengan KLT-Densitometri pada panjang gelombang 425 nm.

4. Penetapan Kadar Kurkumin Hasil Disolusi dengan KLT-Densitometri

a. Pembuatan fase gerak

Fase gerak menggunakan kloroform : etanol : aquadest (25 : 0,96 : 0,004) (Martono, 1996).

Fase gerak dibuat dalam erlenmeyer 50 mL kemudian digojog sampai bening.

b. Pembuatan larutan baku kurkumin

1) Pembuatan larutan stok kurkumin 2000 g/ml.

Menimbang seksama 50,0 mg baku kurkumin, dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml dan diencerkan dengan etanol p.a. hingga tanda. 2) Pembuatan seri larutan baku

Mengambil 0,25 ml; 0,5 ml; 0,75 ml; 1 ml; 1,25 ml; 1,5, ml; dan 1,75 ml larutan stok kurkumin, dimasukkan ke dalam labu takar 10 ml dan diencerkan dengan etanol hingga tanda, sehingga didapatkan konsentrasi 50 g/ml, 100 g/ml, 150 g/ml, 200 g/ml, 250 g/ml, 300 g/ml, dan 350 g/ml.

c. Penetapan panjang gelombang maksimum

Seri larutan baku konsentrasi rendah, sedang, tinggi atau 50 g/ml, 200 g/ml, dan 350 g/ml masing-masing ditotolkan dengan volume penotolan 1 µL pada plat KLT fase diam silika gel GF 60 yang sudah


(48)

32

dikeringkan dahulu menggunakan oven dan setelah totolan kering kemudian dikembangkan dalam chamber kromatografi yang telah dijenuhi dengan fase gerak. Jarak rambat yang dicapai hingga 6,5 cm. Setelah mencapai jarak rambat yang dikehendaki plat dikeluarkan dari bejana dan dikeringkan menggunakan oven. Plat hasil pengembangan kemudian dianalisis panjang gelombang serapan maksimumnya dengan alat KLT-densitometer.

d. Pembuatan kurva baku dan pengamatan nilai Retardation Factor (Rf) kurkumin

Seri larutan baku konsentrasi 50 g/ml, 100 g/ml, 150 g/ml, 200 g/ml, 250 g/ml, 300 g/ml, dan 350 g/ml yang sudah dibuat, masing-masing ditotolkan dengan volume penotolan 3 µL pada plat KLT fase diam silika gel GF 60 yang sudah dikeringkan dahulu menggunakan oven dan setelah totolan kering kemudian dikembangkan dalam chamber kromatografi yang telah dijenuhi dengan fase gerak. Jarak rambat yang dicapai hingga 6,5 cm. Setelah mencapai jarak rambat yang dikehendaki plat dikeluarkan dari bejana dan dikeringkan menggunakan oven. Plat hasil pengembangan kemudian dianalisis dengan alat KLT-densitometer, dimana pada alat tersebut terlihat AUC dan nilai Rf kurkumin untuk setiap penotolan. Dilakukan replikasi sebanyak 3 kali dan dipilih persamaan kurva baku yang paling baik.


(49)

e. Penentuanparameter recovery dan Coefficient of Variations (CV) baku Seri larutan baku konsentrasi rendah, sedang, tinggi atau 50 g/ml, 200

g/ml, dan 350 g/ml, masing-masing ditotolkan dengan volume penotolan 3 µL pada plat KLT fase diam silika gel GF 60 yang sudah dikeringkan dahulu menggunakan oven dan setelah totolan kering kemudian dikembangkan dalam chamber kromatografi yang telah dijenuhi dengan fase gerak. Jarak rambat yang dicapai hingga 6,5 cm. Setelah mencapai jarak rambat yang dikehendaki plat dikeluarkan dari bejana dan dikeringkan menggunakan oven. Plat hasil pengembangan kemudian dianalisis dengan alat KLT-densitometer, dimana pada alat tersebut terlihat AUC dan nilai Rf kurkumin untuk setiap penotolan. Replikasi dilakukan sebanyak 5 kali. Selanjutnya dihitung kadar terukur menggunakan persamaan kurva baku yang telah dibuat sehingga dapat ditentukan recovery dan CVnya.

f. Penentuan parameter recovery dan CV baku dalam sampel 1) Pembuatan larutan sampel

Menimbang seksama 50,0 mg ekstrak temulawak dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml dan diencerkan dengan etanol p.a. hingga tanda. Dilakukan replikasi sebanyak 5 kali.

2) Pembuatan larutan sampel dengan penambahan baku kurkumin (adisi) Sebanyak 2,25 ml larutan kurkumin dimasukkan dalam labu takar 50 ml, kemudian ditambahkan 50 mg ekstrak temulawak dan


(50)

34

ditambahkandengan etanol p.a. hingga tanda. Dilakukan replikasi sebanyak 5 kali.

3) Pengembangan dan pengukuran

Larutan sampel dan larutan adisi diberi perlakuan seperti pada poin masing-masing ditotolkan dengan volume penotolan 3 µL pada plat KLT fase diam silika gel GF 60 yang sudah dikeringkan dahulu menggunakan oven dan setelah totolan kering kemudian dikembangkan dalam chamber kromatografi yang telah dijenuhi dengan fase gerak. Jarak rambat yang dicapai hingga 6,5 cm. Setelah mencapai jarak rambat yang dikehendaki plat dikeluarkan dari bejana dan dikeringkan menggunakan oven. Plat hasil pengembangan kemudian dianalisis dengan alat KLT-densitometer, dimana pada alat tersebut terlihat AUC. Kadar baku kurkumin dalam sampel adalah selisih larutan adisi dengan kadar larutan sampel kemudian dihitung

recovery dan CVnya.

F. Analisis Hasil

1. Validasi metode

Validasi metode yang digunakan berdasarkan parameter berikut. a. Akurasi

Akurasi metode analisis dinyatakan sebagai recovery dan dihitung dengan rumus berikut:

% recovery = �� � �

�� � ℎ� � x 100%


(51)

Metode digunakan untuk menganalisis bahan obat dengan kadar lebih dari 0,1% dan kurang dari 1%, maka rentang recovery yang digunakan yaitu 80-120% (Rohman, 2009).

b. Presisi

Presisi dinyatakan dengan koefisien variasi, dengan rumus: CV = ��

� x 100%

Metode ini dikatakan baik bila nilai CV yang diperoleh < 2%. Semakin kecil nilai CV, presisi metode yang digunakan semakin baik (Rohman, 2009)..

c. Linearitas

Parameter linearitas dilihat dari nilai koefisien korelasi (r) hasil pengukuran larutan seri baku kurkumin. Metode dikatakan memiliki linearitas yang baik bila r > 0,99 atau r (Rohman, 2009).

2. Analisis statistik penetapan kadar kurkumin terlarut

Data uji disolusi kurkumin dibuat dalam bentuk kurva hubungan antara jumlah persen terdisolusi kurkumin terhadap waktu. Kemudian dilakukan perhitungan statistik hasil dari Disolusi Efisiensi (DE) dalam waktu 120 menit yang dibandingkan tiap formulanya.


(52)

36

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembuatan Dispersi Padat

Dispersi padat dibuat dengan mencampurkan ekstrak temulawak dengan PVP sesuai dengan proporsi drug load dalam tabel II. Ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari PT. Phytochemindo Reksa Ekstrak temulawak tersebut memiliki kandungan kurkuminoid sebanyak 15%. Kurkuminoid terdiri dari yang terdiri dari kurkumin, desmetoksikurkumin, dan bisdesmetoksikurkumin Hasil analisa menggunakan metode KLT-Densitometri diperoleh kadar kurkumin dari ekstrak yaitu sebesar 12,12 % dengan perhitungan terlampir. Masing-masing bahan ditimbang sesuai dengan perbandingan, ekstrak temulawak dilarutkan dalam 100 ml etanol 70%. PVP dilarutkan dalam etanol. PVP merupakan pembawa yang digunakan yang memiliki karakteristik serbuk putih kekuningan dan bersifat higroskopis. PVP merupakan polimer hidrofilik yang digunakan sebagai pembawa dari dispersi padat yang dibuat dan dapat membantu meningkatkan kelarutan dari kurkumin yang tersispersi bersama PVP, dimana kurkumin tersebut memiliki kelarutan yang rendah di dalam air. Larutan kurkumin dicampur dengan larutan PVP dengan proporsi drug load yaitu 6 %, 4 %, dan 2,4 %. Setelah itu campuran kedua bahan dikeringkan dengan spray drying operating parameter sebagai berikut: suhu inlet, 100 oC; suhu outlet ±60 oC; feed rate 4 ml/min.


(53)

Prinsip kerja spray dryer yaitu dengan adanya uap panas akan mengubah cairan campuran antara isolat temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)-PVP dengan penguapan pelarut menjadi serbuk kering. Serbuk yang tebentuk berupa serbuk kering berukuran kecil, berwarna kekuningan, dan higroskopis. Serbuk yang terbentuk kemudian dikumpulkan, diayak menggunakan ayakan no mesh 50, serbuk yang terbentuk dimasukkan ke dalam kapsul ukuran 00 sesuai dengan perhitungan, dibungkus dengan alumunium foil dan di masukan ke dalam dry box

terlindung cahaya dengan RH < 30 % dan untuk selanjutnya disiapkan untuk proses disolusi.

B. Pembuatan Campuran Fisik

Campuran fisik dibuat dengan cara mencampur dalam mortir sampai homogen antara isolat temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dengan PVP dari hasil perhitungan sesuai dengan tabel II, Campuran fisik diberi perlakuan yang sama dengan dispersi padat yaitu dengan memasukkan ke dalam kapsul No. 00 dan dibungkus dengan alumunium foil untuk selanjutnya disiapkan dalam proses disolusi. Hasil disolusi dari campuran fisik akan dibandingkan dengan dispersi padat.

C. Pembuatan Fase Gerak

Pembuatan fase gerak menggunakan fase gerak yang yaitu kloroform : etanol : aquadest (25 : 0,96 : 0,004). Pemilihan fase gerak harus menggunakan fase gerak yang optimal karena hal ini berkaitan dengan polaritas fase gerak dengan sampel yang dapat mempengaruhi nilai Rf, baseline pengukuran dan


(54)

38

pemisahan komponen-komponen dalam sampel yang akan dianalisis. Sistem kromatografi yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan kromatografi fase normal, karena fase gerak pada penelitian ini bersifat non polar, sedangkan fase geraknya, yaitu silika gel GF 60 yang bersifat polar.

D. Pembuatan Larutan Baku

Penelitian ini menggunakan 7 seri konsentrasi baku kurkumin, yaitu 50 g/ml, 100 g/ml, 150 g/ml, 200 g/ml, 250 g/ml, 300 g/ml dan 350 g/ml. Larutan baku kurkumin dibuat dengan melarutkan baku kurkumin menggunakan etanol p.a. Pemilihan seri konsentrasi ini disesuaikan dengan melihat respon detektor terhadap peak yang dihasilkan. Ketika konsentrasinya terlalu kecil, maka sinyal tersebut dapat terganggu oleh noise yang dihasilkan alat. Pemilihan seri konsentrasi ini juga bertujuan agar respon analit yang terdapat dalam sampel yang kita teliti dapat masuk ke dalam range respon seri larutan baku. Dengan diperolehnya persamaan kurva baku yang diperoleh dapat digunakan untuk penetapan kadar analit dalam sampel.

E. Penetapan Panjang Gelombang Maksimum Kurkumin

Penetapan panjang gelombang maksimum kurkumin dilakukan dengan tujuan didapatkan panjang gelombang kurkumin yang memberikan respon maksimum, sehingga memberikan hasil yang reprodusibel pada pengulangan pengukuran, memiliki sensitivitas pengukurannya tinggi, dan diharapkan dapat meminimalkan kesalahan pada pengukuran. Penetapan panjang gelombang


(55)

maksimum dilakukan pada konsentrasi tengah, yaitu konsentrasi 200 g/ml. Tujuan penggunaan 3 seri konsentrasi ini adalah untuk melihat apakah ketiga konsentrasi yang mewakili ini menghasilkan spektrum serapan maksimum yang sama. Scanning panjang gelombang maksimum kurkumin dilakukan pada panjang gelombang 200-700 nm, karena panjang gelombang maksimum teoritis kurkumin adalah 425 nm. Kurkumin memiliki gugus kromofor yang panjang serta auksokrom, sehingga dapat memberikan serapan pada panjang gelombang visibel. Dari hasil scanning dengan densitometer, diperoleh panjang gelombang maksimum ( maks) ketiga seri konsentrasi pada 425 nm.


(56)

40

F. Pengamatan nilai Retardation Factor (Rf) dan Pembuatan Kurva Baku

Kurkumin

Nilai Rf merupakan parameter analisis kualitatif yang nantinya digunakan untuk mengetahui ada tidaknya analit dalam sampel. Nilai Rf yang sama menunjukkan senyawa analit terdapat dalam sampel. Dari hasil pengamatan, nilai Rf baku kurkumin adalah antara 0,61-0,63.

Gambar 4. Peak table Rf baku kurkumin replikasi 2

Nilai Rf kurkumin dari KLT ini dipengaruhi oleh interaksi kurkumin dengan fase gerak dan fase diamnya. Interaksi kurkumin dengan fase geraknya lebih dominan, kloroform dengan kurkumin akan menyebabkan lepasnya interaksi hidrogen antara kurkumin dengan permukaan silika gel. Hal ini akan menyebabkan kurkumin dapat terelusi oleh fase gerak dan mencapai jarak rambat tertentu.

Pembuatan kurva baku kurkumin dilakukan dengan 3 replikasi, dengan tujuan untuk mendapatkan nilai koefisien korelasi yang paling baik. Koefisien korelasi akan menunjukkan korelasi hubungan antara konsentrasi dengan respon pengukuran antara tinggi peak dan AUC. Respon yang menunjukkan nilai korelasi


(57)

terhadap konsentrasi yang paling baik, digunakan dalam pembuatan persamaan kurva baku.

Hasil pengukuran respon dari tiap kadar baku kurkumin pada tiga replikasi dapat dilihat pada tabel III:

Tabel III.Data replikasi kurva baku kurkumin

Baku kurkumin

Replikasi I Replikasi II Replikasi III Seri

Baku (µg/ml)

AUC Tinggi peak

Seri Baku (µg/ml)

AUC Tinggi peak

Seri baku (µg/ml)

AUC Tinggi peak

50 2524,3 68,8 49 2434,3 67,5 50 2543,3 68,5

100 6870,3 172,8 98 6162,4 166,6 100 6722 170,5

150 10964,8 275,1 147 9956,3 267,6 150 10710,2 272,8

200 14335,4 372,4 196 13971,2 363,3 200 13495,5 369,9

250 18322,3 443,7 245 17373,3 434,4 250 17487,3 441,3

300 21434,4 484,2 294 20832,5 472,1 300 20351,6 481,4

350 24593,2 528,2 343 24342,2 516 350 24976,6 525,5

A 521,1 A 1058 A 721,3

B 73,35 B 74,69 B 72,38

r 0,9979 r 0,9999 r 0,9979

Kurva baku yang digunakan adalah kurva baku yang memiliki linearitas yang baik yaitu memiliki r mendekati 1. Linearitas menyatakan adanya hubungan respon pengukuran yang secara langsung proporsional terhadap konsentrasi (jumlah) analit. Dilihat dari tabel diatas tiap replikasi kurva baku memiliki linearitas yang paling baik dilihat dari nilai r yang memdekati 1.


(58)

42

G. Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis dilakukan untuk membuktikan bahwa metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini memiliki validitas sehingga memberikan hasil analisisnya dapat dipertanggungjawabkan. Validasi metode analisis dilakukan dengan membuat 3 seri konsentrasi sebanyak 5 replikasi. Konsentrasi yang digunakan adalah konsentrasi rendah, sedang, dan tinggi yang diperoleh dari konsentrasi seri larutan baku, yaitu konsentrasi 50 g/ml, 200 g/ml, dan 350 g/ml. Pemilihan ketiga seri konsentrasi ini diharapkan dapat mewakili setiap konsentrasi dari seri baku antara 50 g/ml sampai 350 g/ml. Parameter-parameter yang digunakan dalam validasi metode analisis ini adalah selektivitas, linearitas, akurasi, presisi, dan range.

1. Akurasi

Akurasi menggambarkan apakah suatu metode menghsilkan nilai pengukuran yang sama atau mendekati nilai sebenarnya. Recovery/perolehan kembali merupakan parameter untuk akurasi suatu metode analisis. Persen

recovery merupakan persen perolehan kembali kadar terukur terhadap kadar sebenarnya.

Tabel IV. Data % recovery

Kadar kurkumin

( g/ml)

% Recovery

Rata Rata I II III IV V

50 99,1 101,26 101,2 99,97 99,49 100,21 ± 0,99

200 101,25 100,64 99,36 101,78 101,57 100,92 ± 0,97

350 98,57 101,38 99,32 99,01 99,03 99,46 ± 1,1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(59)

Nilai recovery dari ketiga seri yang diukur masuk pada rentang 98-102%, artinya metode ini dikatakan memiliki akurasi yang baik sehingga bisa dikatakan metode ini memenuhi kriteria validasi untuk akurasi.

2. Presisi

Presisi menunjukkan apakah metode yang digunakan memiliki ketelitian sehingga pada pengulangan pengukuran akan menghasilkan nilai yang sama. Presisi dihitung sebagai persen Coefficient of Variation (CV). Presisi yang baik bila nilai CV < 2%.

Tabel V. Data CV kadar kurkumin ( g/ml) Kadar Kadar Terukur

SD Rata-rata

CV (%) kurkumin

( g/ml) I II III IV V

50 49.55 50.63 50.60 49.99 49.75 0.49 50.10 0.98

200 202.51 201.28 198.73 203.56 203.13 1.94 201.84 0.96

350 345.00 354.82 347.63 346.52 346.60 3.86 348.11 1.11

Dari ketiga konsentrasi memenuhi kriteria presisi yaitu < 2% sehingga memenuhi kriteria validasi untuk presisi.

3. Linearitas

Linearitas merupakan kemampuannya untuk memperoleh hasil uji yang linear pada sampel yang dinyatakan dengan koefisien korelasi (r), dimana nilai r ini menunjukkan korelasi hubungan antara konsentrasi dengan respon pengukuran yang dinyatakan dalam AUC. Suatu metode dikatakan memiliki linearitas yang baik apabila nilai r > 0,999.


(60)

44

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pembuatan kurva baku dari

tabel III diperoleh nilai r untuk replikasi I = 0,9979, replikasi II = 0,9999 dan replikasi III = 0,9979. Nilai r yang baik dari ketiga replikasi ini menunjukkan bahwa metode KLT-densitometri yang digunakan memenuhi persyaratan kriteria validasi linearitas. Hubungan linear ini menunjukkan hubungan antara konsentrasi dengan AUC dimana dengan meningkatnya konsentrasi maka akan meningkat pula respon dalam bentuk AUC yang dihasilkan demikian juga sebaliknya.

4. Selektivitas

Selektivitas merupakan kemampuan metode penetapan kadar kurkumin dalam Temulawak secara akurat dan memisahkan secara selektif semua komponen yang terdapat dalam sampel. Pertama kali sampel dilarutkan dalam etanol p.a., untuk mengambil kurkumin dari sampel dilakukan ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan meletakkan pada ultrasonikator. Ultrasonikator mengeluarkan gelombang ultrasonik untuk memberikan getaran maksimal yang akan mendorong keluarnya kurkumin dari sampel. Kurkumin yang keluar tersebut akan terlarut dalam etanol. Namun terdapat komponen senyawa dalam sampel yang juga memiliki kelarutan yang baik dalam etanol, seperti demetoksikurkumin dan bis-demetoksikurkumin, sehingga dapat ikut terekstraksi bersama kurkumin. Oleh karena itu, selektivitas yang baik dari suatu metode sangat diperlukan untuk mengukur analit secara akurat tanpa terganggu oleh komponen lain.

Parameter dari selektivitas adalah spesifisitas, yang dalam penelitian ini adalah dengan membandingkan nilai Rf analit dari baku dengan nilai Rf analit dari sampel. Nilai Rf ini merupakan parameter analisis kualitatif suatu senyawa


(61)

analit dalam campuran pada metode KLT, sehingga dapat digunakan sebagai parameter selektivitas. Parameter lain dari selektivitas adalah resolusi, dimana suatu metode dikatakan memiliki selektivitas yang baik apabila memiliki nilai resolusi > 1,5. Dari hasil perbandingan nilai Rf baku dan analit dalam sampel menunjukkan nilai yang hampir sama. Nilai Rf rata-rata dari baku adalah 0,62 dan nilai Rf rata-rata dari analit di dalam sampel adalah 0,61.Resolusi yang diperoleh menunjukkan nilai resolusi > 1,5. Dari hasil yang diperoleh metode ini memiliki selektivitas yang baik.

5. Range

Range merupakan interval antara konsentrasi analit pada level bawah sampai konsentrasi pada level atas dalam sampel. Interval tersebut harus memenuhi parameter linearitas, akurasi, dan presisi. Range konsentrasi dalam metode ini adalah 50-350 g/ml. Pada range ini menunjukkan area analisis yang memenuhi parameter linearitas, akurasi, dan presisi.

H. Penentuan Akurasi dan Presisi Baku Kurkumin dalam Sampel

Penentuan akurasi dan presisi baku kurkumin dalam sampel dilakukan dengan metode adisi. Metode adisi dilakukan dengan menambahkan baku kurkumin ke dalam sampel. Penambahan baku ke dalam sampel diamati terjadinya penambahan luas area. Apabila luas area pada peak tersebut bertambah ketika baku kurkumin ditambahkan maka dapat dipastikan bahwa peak yang dimaksud merupakan peak dari kurkumin.


(62)

46

Berdasarkan hasil yang diperoleh, terjadi penambahan luas area pada

peak yang memiliki nilai Rf yang sama dengan nilai Rf pada baku kurkumin. Dapat disimpulkan peak tersebut merupakan kurkumin, sehingga dapat dilakukan penentuan akurasi dan presisi baku kurkumin dalam sampel. Penentuan akurasi dan presisi ini bertujuan untuk mengetahui seberapa akurat metode ini dalam mengukur respon baku kurkumin yang terdapat dalam sampel. Tabel menunjukkan akurasi dan presisi kurkumin dalam sampel.

Tabel VI. Recovery dan CV baku kurkumin dalam sampel

Rep %

Recovery CV (%) 1 98,72

2,74

2 103,07

3 104,01

4 97,86

5 99,37

Dilakukan 5 replikasi dengan menambahkan konsentrasi 90 g/ml baku ke dalam sampel. Menurut USP, nilai recovery yang dapat diterima yaitu 95-105% dan nilai CV ≤ 16%. Dari data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa metode KLT-Densitometri ini dapat mengukur analit dalam sampel secara akurat.

I. Uji Disolusi

Pada uji disolusi, menunjukkan bahwa campuran fisik isolat ekstrak temulawak-PVP tidak terdisolusi atau tidak bisa dikatakan terlarut karena tidak jernih dan membentuk suatu medium yang keruh dan mirip dengan suspensi.


(1)

V1 V2 1 DE_A 43.83 2 DE_A 44.00 3 DE_A 43.50

> shapiro.test(data_DE_A$V2)

Shapiro-Wilk normality test data: data_DE_A$V2

W = 0.967, p-value = 0.6511

> data_DE_B=read.csv("DE_B.csv", header = F) > data_DE_B

V1 V2 1 DE_B 66.10 2 DE_B 66.39 3 DE_B 61.40

> shapiro.test(data_DE_B$V2)

Shapiro-Wilk normality test data: data_DE_B$V2

W = 0.7934, p-value = 0.09891

> data_DE_C=read.csv("DE_C.csv", header = F) > data_DE_C

V1 V2 1 DE_C 69.47 2 DE_C 73.40 3 DE_C 67.69

> shapiro.test(data_DE_C$V2)

Shapiro-Wilk normality test data: data_DE_C$V2

W = 0.9549, p-value = 0.5912

> data_DE_ABC=read.csv("DE_ABC.csv", header = F) > data_DE_ABC

V1 V2 1 DE_A 43.83 2 DE_A 44.00 3 DE_A 43.50 4 DE_B 66.10 5 DE_B 66.39 6 DE_B 61.40 7 DE_C 69.46 8 DE_C 73.40 9 DE_C 67.69

> levene.test(data_DE_ABC$V2, as.factor(data_DE_ABC$V1), location = "mean")

classical Levene's test based on the absolute deviations from the mean


(2)

( none not applied because the location is not set to median )

data: data_DE_ABC$V2

Test Statistic = 4.541, p-value = 0.06296

> anova_DE_ABC=aov(data_DE_ABC$V2 ~ as.factor(data_DE_ABC$V1)) > anova_DE_ABC

Call:

aov(formula = data_DE_ABC$V2 ~ as.factor(data_DE_ABC$V1)) Terms:

as.factor(data_DE_ABC$V1) Residuals Sum of Squares 1163.0131 32.9075 Deg. of Freedom 2 6 Residual standard error: 2.34192

Estimated effects may be unbalanced

> summary(anova_DE_ABC)

Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F) as.factor(data_DE_ABC$V1) 2 1163.0 581.5 106 2.08e-05 ***

Residuals 6 32.9 5.5 ---

Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

> t.test(data_DE_B$V2, data_DE_A$V2, "greater")

Welch Two Sample t-test data: data_DE_B$V2 and data_DE_A$V2

t = 12.8422, df = 2.033, p-value = 0.002822

alternative hypothesis: true difference in means is greater than 0

95 percent confidence interval: 16.16381 Inf

sample estimates: mean of x mean of y 64.63000 43.77667

> t.test(data_DE_C$V2, data_DE_A$V2, "greater")

Welch Two Sample t-test data: data_DE_C$V2 and data_DE_A$V2

t = 15.5976, df = 2.03, p-value = 0.001917

alternative hypothesis: true difference in means is greater than 0

95 percent confidence interval: 21.51578 Inf

sample estimates: mean of x mean of y 70.18667 43.77667


(3)

Welch Two Sample t-test

data: data_AUC_C$V2 and data_AUC_B$V2

t = 11.4483, df = 3.987, p-value = 0.0001691

alternative hypothesis: true difference in means is greater than 0

95 percent confidence interval: 823.3475 Inf

sample estimates: mean of x mean of y 2708.070 1696.103

> t.test(data_AUC_B$V2, data_AUC_C$V2, "greater")

Welch Two Sample t-test

data: data_AUC_B$V2 and data_AUC_C$V2 t = -11.4483, df = 3.987, p-value = 0.9998

alternative hypothesis: true difference in means is greater than 0

95 percent confidence interval: -1200.586 Inf

sample estimates: mean of x mean of y 1696.103 2708.070

> save.image("D:\\data\\data disolusi\\saka\\statistik sampel\\csv\\.RData")


(4)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi yang berjudul Pengaruh Proporsi Drug Load Terhadap Profil Disolusi Dispersi Padat Kurkumin Ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza) dalam Polyvinyl Pyrrolidone (PVP) dengan Spray Drying ini bernama lengkap Saka Adhiyudha. Penulis lahir di Boyolali, 26 November 1990 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis telah menyelesaikan pendidikannya di TK (Keluarga) Santo Fransiskus Kanisius Boyolali pada tahun 1997, SDN (Teladan) 9 Boyolali pada tahun 2003, di SMP Regina Pacis Surakarta pada tahun 2006, dan di SMA Kristen Laboratorium Satya Wacana Salatiga pada tahun 2009. Penulis kemudian melanjutkan pendidikannya di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2009. Beberapa Kegiatan yang diikuti di dalam kampus meliputi Koordinator Seksi Dokumentasi Inisiasi Sanata Dharma 2010, Koordinator Seksi Publikasi Dekorasi Dokumentasi Hari Anti Tembakau 2010, Steering Comitte Temu Alumni Akbar Fakultas Farmasi 2012, Wakil Gubernur BEMF periode 2012. Di bidang akademik, penulis pernah menjadi asisten dosen praktikum Farmasi Fisika, asisten dosen praktikum Formulasi Teknologi Sediaan Semi Solid-Liquid, dan asisten dosen praktikum Analisis Farmasi dan Validasi Metode Analisis, mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang didanai DIKTI berjudul Pemanfaatan Limbah Kulit Pisang Menjadi Produk Minuman Beralkohol Hasil

Fermentasi “Winenana” sebagai Anti Depresan tahun 2011, mendapatkan

Beasiswa Wirausaha Mandiri untuk produk fermentasi, Juara I dan favorit lomba photostory 2012 di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Juara I Kompetesi Film Pendek Interprofessional Education HPEQ DIKTI bidang Pharmacy di Makasar pada November 2012. Selain menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma penulis juga aktif dalam kegiatan diluar kampus dengan menekuni fotografi dan mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Fotografi Lens Club dan Kelas Pagi Yogyakarta, Member Juventus Club Indonesia, dan Paguyuban Vespa Salatiga.


(5)

xv

INTISARI

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) secara empiris telah digunakan oleh masyarakat untuk mengobati berbagai penyakit. Temulawak memliki kandungan yang disebut dengan kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, demetoksikurkumin, dan bis-demetoksikurkumin. Kurkumin merupakan komponen terbesar dari kurkuminoid dan memiliki banyak efek farmakologi, seperti antioksidan, antiinflamasi, antimikrobia, antikanker. Kurkumin memiliki permasalahan dalam hal kelarutannya yang sangat rendah dalam air, hal ini membuat kurkumin tidak terdisolusi dan terabsorbsi sempurna sehingga menurunkan bioavailabilitas oral senyawa tersebut. Untuk meningkatkan kelarutan senyawa tersebut maka dibuat dispersi padat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi drug load terhadap profil disolusi dispersi padat ekstrak temulawak. Dispersi padat dibuat dengan campuran fisik kurkumin dengan senyawa pembawa yaitu Polyvinyl Pyrolidon (PVP) menggunakan metode pengupan pelarut atau spray drying. Dalam pembuatannya digunakan 3 formula dimana Formula 1 yang terdiri dari ekstrak temulawak : PVP (1:1), Formula 2 yang terdiri dari ekstrak temulawak : PVP (1:2), dan Formula 3 yang terdiri dari ekstrak temulawak : PVP (1:4). Uji disolusi menggunakan alat disolusi dalam medium buffer phosphat, kemudian diukur kadarnya menggunakan KLT-Densitometri. Kadar kurkumin terlarut dinyatakan sebagai persentase terdisolusi, dan dilanjutkan dengan perhitungan Disolusi Efisiensi (DE) untuk setiap formula. Nilai-nilai DE diuji statistik menggunakan ANOVA dan uji t.

Hasil dari uji disolusi menunjukkan perbedaan DE antar formula, yaitu pada Formula 3 menunjukkan DE paling tinggi kemudian diikuti Formula 2, dan yang paling kecil adalah Formula 1.

Kata Kunci : Temulawak, kurkumin, disolusi, bioavailabilitas, dispersi padat, drug load, PVP, spray drying, KLT-Densitometri, Disolusi Efisiensi.


(6)

xvi

ABSTRACT

Curcuma (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) empirically has been used by people to treat various diseases. Curcuma has a content which is called curcuminoids; this content consists of curcumin, demetoxicurcumin, and bisdemetoxicurcumin. Curcumin is the largest component of curcuminoids and it has many pharmacological effects; such as antioxidant, anti-inflammatory, antimicrobial, anticancer. Curcumin has a problem in terms of its low solubility in the water, it makes the curcumin cannot be dissolved and absorbed perfectly, therefore, it reduces the oral bioavailability of the compound. As a result, solid dispersion is made to improve the solubility of the compound.

This study aimed to determine the effect of the variation on dissolution profiles of curcuma extract solid dispersions. Solid dispersion was made by physical mixture of curcumin with the carrier compounds, Polyvinyl Pyrolidon (PVP), using evaporating solvent method or spray drying method. There were three formulas which were used in spray drying making process; 1st Formula was consisted of Curcuma extract: PVP (1:1), 2nd Formula was consisted of Curcuma extract: PVP (1:2), and 3rd Formula was consisted of curcuma extract: PVP (1:4). The dissolution test was used in phosphate medium buffer; thus, the curcumin level was measured using TLC-densitometry. The dissolved-curcumin solute level was considered as a dissolute percentage, and it was continued using the Dissolution Efficiency calculation (DE) for each formula. DE values were statistically tested using ANOVA and t test.

The dissolution test result showed some differences in each DE formula, the 3rd formula shows the highest DE, followed by the 2nd Formula, and the smallest is the 1st Formula.

Keywords : Curcumin, dissolution, bioavailability, solid dispersions, drug load, PVP, spray drying, TLC-densitometry, Dissolution Efficiency.


Dokumen yang terkait

Pengaruh rasio polivinil pirolidon K30 / Kitosan dalam sistem dispersi padat ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap disolusi kurkumin.

2 7 60

Pengaruh rasio poloxamer 407/Kitosan dalam sistem dispersi padat ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) terhadap disolusi kurkumin.

0 2 64

Pengaruh proporsi Drug Load terhadap profil disolusi dispersi padat kurkumin ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dalam Hydroxypropyl Methycellulose (HPMC) dengan spray drying.

0 2 87

Pengaruh rasio polivinil pirolidon K30 Kitosan dalam sistem dispersi padat ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap disolusi kurkumin

1 2 58

Pengaruh rasio poloxamer 407 Kitosan dalam sistem dispersi padat ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) terhadap disolusi kurkumin

2 2 62

Pengaruh proporsi Drug Load terhadap profil disolusi dispersi padat kurkumin ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dalam polivinil pirolidon dengan vaccum rotary evaporator.

1 3 90

Pengaruh proporsi Drug Load terhadap profil disolusi dispersi padat kurkumin ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dalam Hydroxypropyl Methycellulose (HPMC) dengan spray drying

1 3 85

Pengaruh proporsi Drug Load terhadap profil disolusi dispersi padat kurkumin ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dalam Polyvinyl Pyrrolidone (PVP) dengan spray drying

0 2 94

Pengaruh proporsi drug load terhadap disolusi dispersi padat spray dried isolat ekstrak rimpang kunyit (Curcuma domestica C-95)-PVP K-25 - USD Repository

0 1 102

Pengaruh proporsi Drug Load terhadap profil disolusi dispersi padat kurkumin ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dalam polivinil pirolidon dengan vaccum rotary evaporator - USD Repository

0 0 88