Sifat material komposit berpenguat serat pinang dengan fraksi berat 3%, 5%, 7% dan 9%

(1)

SIFAT MATERIAL KOMPOSIT BERPENGUAT SERAT

PINANG DENGAN FRAKSI BERAT 3%, 5%, 7% DAN 9%

SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai Sarjana Teknik Mesin

Oleh :

EDWARDO MCCAIN YUNFEI LAMALO NIM: 135214010

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

JURUSAN TEKNIK MESIN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2017


(2)

SIFAT MATERIAL KOMPOSIT BERPENGUAT SERAT

PINANG DENGAN FRAKSI BERAT 3%, 5%, 7% DAN 9%

SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai Sarjana Teknik Mesin

Oleh :

EDWARDO MCCAIN YUNFEI LAMALO NIM: 135214010

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

JURUSAN TEKNIK MESIN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2017


(3)

PROPERTIES OF BETEL NUT FIBER-REINFORCED

COMPOSITE WITH 3%, 5%, 7% AND 9% OF WEIGHT

FRACTION

FINAL PROJECT

As partial fulfillment of the requirement to obtain the Sarjana Teknik degree

in Mechanical Engineering

By :

EDWARDO MCCAIN YUNFEI LAMALO

Student Number: 135214010

MECHANICAL ENGINEERING STUDY PROGRAM

MECHANICAL ENGINEERING DEPARTMENT

FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY

SANATA DHARMA UNIVERSITY

YOGYAKARTA

2017


(4)

(5)

(6)

(7)

INTISARI

Indonesia merupakan negara yang cukup luas serta memiliki tumbuh-tumbuhan yang beranekaragam. Salah satunya adalah pohon pinang yang serat dari buahnya dapat dimanfaatkan sebagai penguat material komposit. Dalam penelitian ini dipaparkan sifat mekanik dan fisik dari material komposit dengan serat pinang sebagai penguatnya. Sedangkan variasi penelitian adalah fraksi berat serat yaitu 3%, 5%, 7% dan 9%. Fraksi berat tersebut berturut-turut setara dengan 9,06%, 15,10%, 21,15% dan 32,49% fraksi volume.

Metode pembuatan material komposit ini menggunakan teknik hand laminating (hand lay-up) dengan bantuan cetakan kaca berukuran 15 x 20 x 0,5 cm. Jenis matriks yang digunakan adalah polimer epoxy yang perbandingan epoxy resin dan

epoxyhardener sebesar 2:1. Serat pinang yang digunakan sebelumnya diberlakukan alkalisasi selama 2 jam dengan konsentrasi 5% NaOH dalam air mineral. Untuk mengetahui sifat mekanik dilakukan pengujian tarik dengan mengacu pada standar ASTM D638-14 namun dengan sedikit perbedaan pada tebal benda uji. Untuk mengetahui sifat fisik dilakukan eksperimen perhitungan densitas. Pengujian dilakukan sebanyak enam kali untuk tiap variasi.

Dari penelitian ini didapatkan bahwa material komposit serat pinang mengalami penurunan kekuatan dan nilai densitas seiring bertambahnya fraksi berat serat. Spesimen matriks memiliki kekuatan terbaik, sebesar 57,750 MPa dengan 3,611% regangan serta nilai densitas sebesar 1,119 g/cm3. Sedangkan, diantara variasi komposit, nilai kekuatan terbaik dimiliki oleh variasi 3% yaitu 33,125 MPa untuk kekuatan tarik dan 1,764% untuk nilai regangan serta nilai densitas sebesar 1,109 g/cm3. Untuk kekuatan dan densitas terkecil dimiliki oleh variasi 9% dengan kekuatan tarik sebesar 27,352 MPa, sedangkan nilai regangan 1,444% serta nilai densitas sebesar 1,082 g/cm3. Dengan melihat bentuk patahan yang cenderung patah getas dan terjadi fenomena fiber pull out menandakan material komposit serat pinang yang dibuat pada penelitian ini mengalami debonding.


(8)

ABSTRACT

Indonesia is a county appreciable and has a variety of plants. One of them is a betel nut whose fiber can be utilized as a reinforcement of composite material. In this research, presented the physical and mechanical properties of the composite material with betel nut fiber as the reinforcement. Meanwhile, the research variation is fiber fractions that are 3%, 5%, 7% and 9%. The weight fraction is equal to 9.06%, 15.10%, 21.15% and 32.49% of volume fraction.

The method, used hand lamination technique (hand lay-up) with measure of glass molds is 15 x 20 x 0.5 cm. The type of matrix used an epoxy polymer which is epoxy resin and epoxy hardener ratios of 2:1. The areca nut previously applied alkalization for 2 hours of a concentration of 5% NaOH in mineral water. To find out the mechanical properties, used tensile testing with reference to ASTM D638-14 standard but with little difference in thickness of specimen. To know the physical properties, author used a density determination experiments. Testing is done six times for each variation.

From this research it was found, composite material with betel nut reinforced decreased strength and density as the weight fraction increases. The matrix specimen has the best strength with 57,750 MPa for tensile strength, 3.611% strain and 1,119 g/cm3 of density value. Meanwhile, among the composite variations, the best strength value is owned by 3% variation with 33,125 MPa for tensile strength value, 1,764% for strain and 1,109 g/cm3 of density. For the lowest strength and density is owned by a variation on 9% with a tensile strength of 27.352 MPa, strain value of 1.444% and the density value of 1.082 g /cm3. By looking at the fracture, brittle fracture and fiber pull out phenomenon indicates on this composite. Can be concluded, this composite has interfacial debonding.


(9)

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat, berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi merupakan salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Teknik di Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma. Skripsi ini membahas tentang sifat material komposit berpenguat serat pinang dengan fraksi berat 3%, 5%, 7% dan 9%.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini melibatkan banyak pihak. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Sudi Mungkasi, S.Si., M.Math,Sc., Ph.D., Selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ir. Petrus Kanisius Purwadi, M.T., Ketua Program Studi Teknik Mesin Unversitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Budi Setyahandana, S.T., M.T., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi.

4. Raden Benedictus Dwiseno Wihadi, S.T, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing Akademik.

5. Jhony Stewardxy Lamalo dan Nova Donya Voerman selaku kedua orang tua saya, yang telah memberikan motivasi, kasih sayang dan dukungan baik berupa materi dan spiritual.

6. Novera Wisda Dewi Astuty yang selalu mendukung dalam doa dan semangat serta pengertiannya kepada penulis.

7. Eric Siagian, Emanuel Roberto, Junior Kamagi, Hendrike Sumaraw, selaku teman-teman seperjuangan dalam perkuliahan.

8. Seluruh staf pengajar dan laboran Program Studi Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.

9. Semua teman-teman Teknik Mesin angkatan 2013 yang telah berproses bersama dalam perkuliahan.


(11)

(12)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

TITLE PAGE ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN ... v

INTISARI ... vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Batasan Masalah ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II DASAR TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Dasar Teori ... 5

2.1.1 Komposit ... 5

2.1.1.1 Definisi Matrial Komposit ... 6

2.1.1.2 Komposisi dan Klasifikasi Material Komposit ... 6

2.1.1.3 Bahan Matriks Yang Digunakan ... 15

2.1.1.4 Teknik Pembuatan Material Komposit ... 18

2.1.1.5 Hal-Hal Yang Mempengaruhi ... Kekuatan Komposit ... 21


(13)

2.1.3 Perlakuan Alkalisasi (NaOH) Pada Serat ... 26

2.1.4 Pengujian Tarik ... 27

2.1.5 Rumus-Rumus Yang Digunakan ... 29

2.2 Tinjauan Pustaka ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

3.1 Skema Penelitian ... 34

3.2 Persiapan Penelitian ... 35

3.3 Alat-Alat yang Digunakan ... 35

3.4 Bahan-Bahan Yang Digunakan ... 37

3.5 Perhitungan Densitas Serat Pinang ... 39

3.6 Perhitungan Fraksi Komposit ... 41

3.7 Proses Pembuatan Komposit ... 41

3.8 Proses Perhitungan Densitas Komposit. ... 47

3.9 Standar Uji Dan Ukuran Benda Uji ... 50

3.10 Proses Pengujian Tarik ... 50

3.11 Proses Pengujian Tarik Serat Pinang... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

4.1Hasil Pengujian Pengujian Tarik... 53

4.1.1 Hasil Pengujian Tarik Penguat Atau Variasi... 54

0% Berat Serat 4.1.2 Hasil Pengujian Tarik Serat Pinang ... 57

4.1.3 Hasil Pengujian Tarik Komposit Dengan ... 58

Variasi 3%, 5%, 7% dan 9% 4.2 Hasil Pengukuran Densitas Komposit ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

5.1 Kesimpulan ... 73

5.2 Saran ... 74


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Matrix materials commonly used in advanced composite ... 8

(Composite Engginering Handbook.,1997) Tabel 2.2 Jenis-jenis penyusunan komposit serat ... 11

(Composite Engginering Handbook., 1997) Tabel 2.3 Komposisi Kimia Serat Pinang (Hassan et aI., 2010) ... 24

Tabel 4.1 Dimensi spesimen uji tarik dengan variasi 0% serat ... 55

Tabel 4.2 Tegangan teknis spesimen uji tarik dengan variasi ... 56

0% serat Tabel 4.3 Regangan teknis spesimen uji tarik dengan variasi ... 56

0% serat Tabel 4.4 Modulus elastisitas spesimen uji tarik dengan variasi ... 56

0% serat Tabel 4.5 Data hasil pengujian tarik serat pinang ... 57

Tabel 4.6 Dimensi spesimen uji tarik dengan variasi 3% ... 58

Tabel 4.7 Regangan teknis spesimen uji tarik dengan variasi 3% ... 59

Tabel 4.8 Tegangan teknis spesimen uji tarik dengan variasi 3% ... 59

Tabel 4.9 Modulus elastisitas spesimen uji tarik dengan ... 59

variasi 3%

Tabel 4.10 Dimensi spesimen uji tarik dengan variasi 5% ... 60

Tabel 4.11 Tegangan teknis spesimen uji tarik dengan variasi 5% ... 60

Tabel 4.12 Regangan teknis spesimen uji tarik dengan variasi 5% ... 60


(15)

5%

Tabel 4.14 Dimensi spesimen uji tarik dengan variasi 7% ... 61

Tabel 4.15 Tegangan teknis spesimen uji tarik dengan variasi 7% ... 61

Tabel 4.16 Regangan teknis spesimen uji tarik dengan variasi 7% ... 62

Tabel 4.17 Modulus elastisitas spesimen uji tarik dengan variasi ... 62

7% Tabel 4.18 Dimensi spesimen uji tarik dengan variasi 9% ... 62

Tabel 4.19 Tegangan teknis spesimen uji tarik dengan variasi 9% ... 63

Tabel 4.20 Regangan teknis spesimen uji tarik dengan variasi 9% ... 63

Tabel 4.21 Modulus elastisitas spesimen uji tarik dengan variasi ... 63

9% Tabel 4.22 Nilai sifat mekanis rata-rata dari spesimen uji tarik ... 64

komposit Tabel 4.23 Data pengujian densitas spesimen komposit variasi 0%... 69

Tabel 4.24 Data pengujian densitas spesimen komposit variasi 3%... 70

Tabel 4.25 Data pengujian densitas spesimen komposit variasi 5%... 70

Tabel 4.26 Data pengujian densitas spesimen kompoasit variasi 7% .... 71

Tabel 4.27 Data pengujian densitas spesimen komposit variasi 9%... 71


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Jenis-jenis penyusunan serat dua dimensi ... 12 Gambar 2.2 Particulate Reinforcement Composite ... 14

(Materials Science And Engineering., 2009)

Gambar 2.3 Flake Reinforcement Composite ... 15 (Materials Science And Engineering., 2009)

Gambar 2.4 Grafik contoh proses curing polimer epoxy dengan ... 16 suhu konstan (NM Epoxy Handbook., 2014)

Gambar 2.5 Grafik presentasi pengaplikasian plastik epoxy ... 18 (NM Epoxy Handbook., 2014)

Gambar 2.6 Metode Hand Laminating (Principles Of The ... 19

Manufacturing Of Composite Materials., 2009)

Gambar 2.7 Metode Filament winding (Principles Of The ... 20

Manufacturing Of Composite Materials., 2009)

Gambar 2.8 Metode Fiber Placement (Principles Of The ... 20

Manufacturing Of Composite Materials., 2009)

Gambar 2.9 Buah Pinang ... 23 Gambar 2.10 Struktur Buah Pinang (Jarimopas et aI., 2009) ... 24 Gambar 2.11 Grafik kadar air serat pinang dengan kondisi mentah ... 25

(ra w), matang (ripe) dan kering (dried) (Yusriah et al., 2012)


(17)

Gambar 2.12 Grafik kemampuan serap air serat pinang dengan ... 26

kondisi mentah (ra w), matang (ripe), dan kering (dried) (Yusriah et al., 2012) Gambar 2.13 Permukaan serat pinang (a) sebelum perlakuan alkali .... 27

(b) setelah perlakuan alkali (Nirmal et al., 2010) Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian ... 34

Gambar 3.2a-j Alat-alat yang digunakan ... 36

Gambar 3.3 Serat Pinang ... 38

Gambar 3.4 Epoxy Hardener (Kiri) dan Epoxy Resin (Kanan) ... 38

Gambar 3.5 Molding release (mirror glaze) ... 39

Gambar 3.6 NaOH Kristal ... 39

Gambar 3.7 Proses penimbangan serat beserta wadah ... 40

Gambar 3.8 Proses perhitungan densitas serat pinang ... 41

Gambar 3.9 Proses penataan serat dengan menggunakan bantuan ... 43

cetakan cebagai penentu ukuran Gambar 3.10 Proses pelapisan mirror glaze pada cetakan ... 43

Gambar 3.11 Proses pencampuran dengan cara mengaduk secara... 44

perlahan Gambar 3.12 Proses penimbangan epoxy resin dan epoxy ... 44

hardener dengan perbandingan 2:1 Gambar 3.13 Proses penuangan pertama campuran epoxy pada ... 44


(18)

Gambar 3.14 Proses peletakan serat keatas campuran epoxy ... 45

pertama Gambar 3.15 Proses penuangan campuran epoxy kedua ... 45

Gambar 3.16 Proses menghingkan void dan penekanan serat ... 46

Gambar 3.17 Proses penutupan... 46

Gambar 3.18 Bentuk komposit saat kering ... 47

Gambar 3.19 Proses pembentukan benda uji sesuai standar yang ... 47

telah ditentukan Gambar 3.20 Proses pengujian tarik ... 48

Gambar 3.21 Proses pembentukan spesimen uji densitas komposit ... 49

Gambar 3.22 Proses pengukuran dimensi spesimen uji densitas ... 49

komposit Gambar 3.23 Proses pengukuran massa spesimen uji densitas ... 50

komposit Gambar 3.24 Standar ASTM D638-14 ... 50

Gambar 3.25 Standar spesimen uji tarik komposit yang digunakan.... 51

Gambar 4.1 Grafik tegangan teknis rata-rata spesimen uji Tarik ... 64

Gambar 4.2 ..Grafik regangan teknis rata-tata spesimen uji Tarik ... 65

komposit Gambar 4.3 Grafik modulus elastisitas spesimen uji Tarik ... 65

Gambar 4.4 Contoh patahan getas (variasi 5%)... 67


(19)

Gambar 4.6 ..Grafik densitas spesimen uji meliputi serat, variasi ... 72 0% (matriks epoxy), 3%, 5%, 7% dan 9%


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas sekitar 9 juta km2 dan terletak diapit oleh dua samudera dan dua benua. Indonesia memiliki sekitar 17.500 buah pulau yang terbentang sepanjang 95.181 km garis pantai, oleh karena itu Indonesia menjadi negara megabiodiversitas walaupun hanya memiliki luas 1,3% dari luas bumi (Kusmana dan Hikmat, 2015).

Daratan Indonesia yang sangat luas menjadi tempat yang baik untuk bertumbuhnya flora yang beraneka ragam. Salah satu yang masuk pada daftar keanekaragaman flora Indonesia yaitu areca ceae atau yang biasa dikenal dengan pohon palem. Arecaceae memiliki beragam jenis, salah satunya adalah Areca Catechu L atau Areca Nut dan sering disebut pinang di Indonesia. Pohon pinang sering digunakan sebagai ornamen pada pekarangan rumah sedangkan biji dari buah pinang dapat menjadi obat yang berkhasiat mengurangi anemia, fits, lepra, serta cacingan (Orwa et al., 2009 : 3).

Untuk membuat buah pinang menjadi obat, yang digunakan hanya biji pinangnya saja. Biji pinang dikeringkan lalu diekspor ke berbagai negara seperti Thailand, Pakistan, Tiongkong dan India. Biji pinang kering menjadi komoditi ekspor yang menjanjikan. Diberitakan menurut web resmi Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bahwa komoditi ekspor biji pinang meningkat tiap tahunnya. Melalui data 2012 hingga 2014, ekspor biji pinang dari provinsi Sumatera


(21)

Utara melalui jasa peti kemas BICT tercatat mencapai 9.061 ton pada tahun 2014, naik dibandingkan tahun 2013 sebanyak 2.427 ton (“ekspor pinang”, 22 september, 2014).

Selain dapat diolah menjadi obat-obatan, bagian lain dari buah pinang yaitu serabut, mengandung beragam jenis senyawa kimia, diantaranya cellulose, hemi-cellulose, lignin, pectin dan protopectin. Sebagian senyawa tersebut merupakan bahan pembentuk serat yang baik dan memiliki peluang untuk digunakan sebagai bahan penyusun material komposit (Orwa et al., 2009 : 3).

Material komposit merupakan material yang tersusun dari dua atau lebih bahan dengan tanpa terlarut satu sama lain dan tanpa mengubah sifat–sifat mekaniknya. Dengan teknologi pencetakan tertentu, penggabungan bahan tersebut dapat menciptakan material komposit dengan sifat mekanik yang baru.

Pada teknologi pembuatan komposit, terdapat beragam jenis cara pembuatan atau pencetakan diantaranya adalah dengan metode-metode mutakhir seperti

vacuum bag, vacuum injection, oven curing, dan pressure molding. Kelebihan dari metode-metode tersebut adalah pada hasil cetakan yang minim cacat (contohnya

void), akan tetapi memiliki kekurangan pada biaya pembuatan alat yang masih terlampau mahal. Sehingga pada penelitian ini penulis mencoba menggunakan metode sederhana yang mudah serta murah untuk dilakukan yaitu teknik hand laminating (hand lay-up).

Melalui penelitian ini penulis berharap dapat memanfaatkan keanekaragaman flora Indonesia, khususnya buah pinang yang masih jarang diketahui potensinya


(22)

untuk dijadikan material komposit yang berkekuatan baik, densitas rendah, dan dengan biaya pembuatan rendah.

1.2 Rumusan Masalah

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi sifat material komposit adalah fraksi serat atau reinforcement yang digunakan. Sifat suatu material dapat berupa sifat mekanik dan sifat fisik. Salah satu indikator sifat mekanik yaitu kekuatan tarik, sedangkan sifat fisik adalah densitas. Dalam Penelitian kali ini akan diteliti, bagaimana sifat meterial komposit jika diperkuat serat pinang dan dibuat dengan menggunakan metode hand laminating (hand lay-up)?

1.3 Tujuan Penelitian

Berikut dipaparkan tujuan dari penelitian ini, antara lain :

a. Untuk mengetahui pengaruh fraksi berat serat terhadap kekuatan tarik rata-rata komposit berpenguat serat pinang dengan variasi 3%, 5%, 7% dan 9%.

b. Untuk mengetahui pengaruh fraksi berat serat terhadap regangan rata-rata komposit berpenguat serat pinang dengan variasi 3%, 5%, 7% dan 9%.

c. Untuk mengetahui nilai modulus elastisitas pada komposit berpenguat serat pinang dengan fraksi berat serat 3%, 5%, 7% dan 9%.

d. Untuk mengetahui pengaruh fraksi berat serat terhadap nilai densitas material komposit serat pinang dengan komposisi 3%, 5%, 7% dan 9%.

1.4 Batasan Masalah

Berikut dipaparkan batasan-batasan masalah pada penelitian ini :

a. Bahan pengikat (matrik) digunakan polymer berjenis epoxy dengan nama dagang


(23)

b. Perbandingan epoxy resin dan epoxy hardener adalah 2:1.

c. Bentuk Penguat (reinforcement) yang digunakan berbentuk serat pendek (discontinues fiber).

d. Serat yang digunakan adalah serat alam (organic) dan diambil dari serabut buah pinang.

e. Orientasi penyusunan serat adalah dengan bentuk acak (random discontinuoues).

f. Serat pinang diberi perlakuan alkalisasi (NaOH) selama 2 jam dengan konsentrasi sebanyak 5% dalam air mineral dan dengan pengeringan pada suhu ruangan.

g. Untuk mengetahui kekuatan material, dilakukan pengujian tarik.

h. Pengujian densitas serat dan komposit dilakukan dengan cara eksperimental sederhana dengan berdasar rumus densitas atau massa jenis.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Hasil penelitian dapat dipergunakan sebagai referensi ilmu pada penelitian-penelitian selanjutnya yang bersifat lebih komprehensif.

b. Menambah koleksi ilmu pengetahuan terlebih khusus pengetahuan akan material komposit serat pada perpustakaan.


(24)

BAB II

DASAR TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori 2.1.1 Komposit

Dalam subbab komposit ini akan dijelaskan secara singkat mulai dari definisi material komposit, komposisi dan klasifikasi, teknik pembuatan material komposit, hingga hal-hal yang mempengaruhi kekuatan material komposit.

Pengertian dari material komposit secara harafiah melalui arti katanya hingga pengertian menurut alhi dijelaskan secara singkat pada bagian 2.1.1.1. Sedangkan pada bagian 2.1.1.2 berisi pembahasan mengenai komposisi komposit dan klasifikasinya. Secara garis besar, komposit terdiri dari matriks dan reinforcement. Pada bagian 2.1.1.2 dijelaskan peran matriks dan reinforcement, serta dijelaskan juga klasifikasi komposit berdasarkan matriks penyusun dan juga bentuk

reinforcement.

Setelah pengertian, komposisi, serta klasifikasi material komposit telah disajikan pada bagian 2.1.1.1 hingga 2.1.1.2, maka pada bagian selanjutnya yaitu 2.1.1.3 dijabarkan tentang bahan matriks yang digunakan dalam penelitian kali ini.

Selanjutnya, teknik atau metode dasar pembuatan material komposit dijabarkan secara singkat dalam bagian 2.1.1.4. Terdapat dua jenis metode dasar yaitu hand laminating dan filament winding.


(25)

Bagian terakhir dalam subbab komposit ini yaitu 2.1.1.5 menjabarkan hal-hal yang dapat mempengaruhi kekuatan komposit mulai dari hal internal yaitu sifat material penyusunnya yang meliputi sifat mekanik maupun kimia, hingga hal-hal eksternal seperti bentuk orientasi serat, banyaknya void (rongga udara) dan bahkan pengaruh paparan sinar ultra violet.

2.1.1.1 Definisi Material Komposit

Dalam kamus besar bahasa indonesia, kata komposit memiliki arti “gabungan” sedangkan dalam bahasa inggris, komposit disebut dengan composite yang berasal dari kata dasar composition yang artinya komposisi. Dengan mengacu pada arti katanya maka material komposit secara harafiah dapat disebut sebagai material yang terdiri dari gabungan beberapa material penyusun.

Menurut Mallick (1997) dalam buku Composite Engginering Handbook, definisi dari material komposit ialah gabungan material yang terdiri atas kombinasi dua atau lebih material yang secara kimia serta bentuk permukaannya berbeda satu sama lain. Unsur-unsur penyusun tersebut tetap dipertahankan bentuknya agar sifat serta sifatnya tidak berubah dan tetap berbeda satu sama lain.

2.1.1.2 Komposisi Dan Klasifikasi Material Komposit

Sesuai dengan defisini diatas bahwa komposit adalah gabungan dari beberapa material. Disini akan dijabarkan material-material penyusun tersebut. Secara umum, material komposit tersusun dari dua fase material yang diklasifikasi sesuai dengan fungsinya yaitu matriks dan reinforcement (penguat). Keduanya dijelaskan secara singkat dibawah ini :


(26)

1. Matriks

Matriks merupakan bagian utama dari material komposit. Terdapat tiga peran penting matriks bagi komposit. Peran pertama adalah sebagai penahan material agar tetap pada tempatnya, kedua sebagai jalan untuk mentransfer tegangan yang diterima komposit pada penguat dan yang terakhir sebagai pelindung penguat dari faktor lingkungan yang dapat merugikan.

Dengan berdasar pada fase penyusunnya, material komposit dapat diklasifikasi sesuai jenis matriksnya ataupun reinforcement-nya. Sesuai jenis matriksnya, kalsifikasi komposit secara umum terbagi atas tiga bagian yaitu polymer matrix composite (PMC), metal matrix composite (MMC) dan cheramic matrix composite

(CMC). Ketiganya dijelaskan secara singkat dibawah :

a. Polymer Matrix Composite (PMC)

PMC merupakan komposit yang bahan matriksnya berjenis polimer resin. Polimer merupakan kata lain dari plastik dan diklasifikasi dalam dua jenis yaitu

Thermoplastic dan Thermosetting. Contoh-contohnya dapat dilihat pada Tabel 2.1. Secara umum, thermoplastic merupakan jenis polimer resin yang sifatnya dapat dilelehkan kembali setelah melalui proses curing (proses kimia resin, perubahan dari sifat cair ke padat), sedangkan thermosetting tidak. Thermosetting tidak dapat mengikuti perubahan suhu setelah melewati proses curing dan akan berubah bentuk serta terurai menjadi arang jika berada pada suhu yang tinggi. Contoh-contohnya dapat dilihat pada Tabel 2.1.


(27)

PMC merupakan material komposit yang telah dikembangkan dari tahun 1950 dan masih dipergunakan teknologinya hingga sekarang. Alasan untuk tetap mempertahankan PMC adalah kemudahan pembuatan yang cenderung tidak menggunakan temperatur tinggi dan tekanan tinggi saat pencetakan.

Terdapat kelebihan lain dari PMC menurut Mallick (1997). Dibanding jenis material lain, PMC merupakan material yang ringan dengan nilai densitas berkisar antara 1,2 hingga 2 (g/cm3), sedangkan densitas baja bahkan aluminium berada diatas PMC (baja 7,87 g/cm3 dan aluminium 2,7 g/cm3).

Selain kelebihan-kelebihan diatas, PMC juga punya beragam kelemahan dibanding material lain. Kelemahan utama dari PMC adalah sifat fisik maupun mekaniknya mudah terpengaruhi oleh faktor lingkungan, contohnya temperatur yang tinggi, kelembaban, paparan zat kimia, dan bahkan paparan sinar ultraviolet. Poin penting juga yang harus diperhatikan bahwa PMC merupakan material yang sensitif terhadap kerusakan mikroskopis. Pada beberapa kasus pengujian tarik

Tabel 2.1 Matrix materials commonly used in advanced composite


(28)

material komposit menghasilkan diagram tegangan-regangan yang tidak linear seperti halnya metal pada umumnya. Hal tersebut disebabkan oleh kerusakan microskopis seperti kerusakan serat penguat, kerusakan matriks (matrix cracking), kurangnya ikatan antara matriks dan serat penguat (interfacial debonding) dan terjadinya delaminasi (delamination).

Kerusakan mikroskopis pada PMC dapat terjadi pada tegangan yang rendah. Walaupun begitu, kegagalan material komposit tidak akan terjadi segera setelah PMC menerima tegangan, tapi dapat menyebabkan tingkat kekakuannya cepat menurun.

b. Metal Matrix Composite (MMC)

MMC merupakan jenis komposit yang menggunakan metal sebagai matriksnya. Komposit jenis ini menawarkan beragam kelebihan dibanding PMC. Salah satu kelebihan dari matriks berjenis metal dibanding polimer adalah dapat digunakan pada temperatur yang lebih tinggi, namun kelemahan utama MMC adalah pada biaya pembuatan yang relatif lebih mahal daripada PMC. Metal yang sering digunakan sebagai matriks pada MMC dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Terdapat dua contoh metal yang paling populer digunakan pada pembuatan MMC yaitu aluminium dan titanium. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Aluminium memiliki kelebihan pada biaya karena harga aluminium yang rendah, akan tetapi kekuatan aluminium masih kalah dibandingkan titanium. Kekuatan titanium terhitung berbanding lurus dengan beratnya dan juga lebih mampu menahan tegangan dari pada aluminium.


(29)

c. Ceramic Matrix Composite (CMC)

Komposit jenis ini adalah komposit yang material matriksnya berupa keramik. Jenis ini merupakan komposit yang peruntukannya lebih digunakan pada lingkungan yang bersuhu tinggi, karena material keramik memiliki ketahanan panas hingga suhu diatas 1500ºC. Jenis bahan keramik yang biasa digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.1.

CMC menjadi jenis komposit terbaik dalam hal ketahanan terhadap lingkungan karena material keramik memiliki titik leleh yang tinggi dan ketahanan korosi yang baik. Akan tetapi CMC memiliki kelemahan dalam menahan tegangan, oleh karena itu CMC harus didukung dengan material penguat yang memiliki modulus elastisitas yang rendah agar dapat menutupi kelemahan tersebut.

2. Reinforcement (penguat)

Seperti arti dari katanya, reinforcement merupakan material pendukung utama yang memiliki fungsi sebagai penguat komposit dengan cara menerima tegangan yang diterima oleh komposit, oleh karena itu, sifatnya harus lebih kuat menerima tegangan daripada matriks penyusunnya. Tegangan yang diterima material komposit akan diterima terlebih dahulu oleh matriks lalu disalurkan ke material penguat.

Jenis komposit selain dapat diklasifikasi berdasarkan matriks penyusunnya, dapat pula berdasarkan bentuk material penguatnya. Klasifikasinya terbagi menjadi tiga yaitu : Fiber Reinforcement Composite, Flake Reinforcement Composite dan


(30)

a. Fiber Reinforcement Composite

Fiber reinforcement composite merupakan material komposit yang penguatnya berupa serat (fiber) dan sering disingkat penyebutannya dengan nama komposit serat.

Berdasarkan jenis penyusunan, komposit serat dibagi menjadi tiga macam yaitu bentuk linear dengan continues fiber (serat panjang) dan discontinues/whisker s fiber (serat pendek), bentuk dua dimensi penyusunan (orientasi x, y) serta tiga dimensi penyusunan (orientasi x, y dan z). Jenis-jenis penyusunan ini dapat dilihat pembagiannya dalam Tabel 2.2.

Bentuk penyusunan serat dua dimensi dapat dibedakan menjadi 4 yaitu penyusunan searah (unidirectional), dua arah (bidirectional), banyak arah (multidirectional) dan acak (random). Keempat jenis penyusunan tersebut memiliki kelebihanya masing-masing. Skema penyusunan dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Tabel 2.2 Jenis-jenis penyusunan komposit serat


(31)

Komposit dengan bentuk penyusunan searah (unidirectional) menguntungkan jika tegangan yang diterima searah dengan arah seratnya. Hal ini berlaku juga pada bentuk penyusunan bidirectional, multidirectional dan random. Namun khusus pada penyusunan random, kekuatannya dapat menjadi lebih seimbang dari berbagai arah, tapi kekuatanya dalam menerima tegangan berkemungkinan menjadi lebih lemah dibandingkan dengan bentuk penyusunan unidirectional.

Salah satu parameter kontrol pada pembuatan komposit adalah fraksi serat terhadap matriksnya. Fraksi serat pada teorinya menggunakan nilai volume sebagai pembandingnya, akan tetapi pada praktiknya perhitungan serat tetap menggunkan nilai berat. Untuk alasan tersebut maka pada penelitian kali ini menggunakan nilai berat sebagai perhitungan fraksi seratnya.

Gambar 2.1 Jenis-jenis penyusunan serat dua dimensi


(32)

Untuk secara teoritik, mencari nilai fraksi serat dengan menggunakan nilai volume (fraksi volume serat �) dapat menggunakan persamaan (2.1)

�� = �⁄��

�⁄ + �� ⁄ .� Dengan adalah berat serat, � adalah densitas serat, adalah berat matriks dan

� adalah densitas matriks.

Untuk mencari nilai densitas kompositnya secara utuh � dapat menggunkan persamaan (2.2).

�� = ����+ � − �� . b. Particulate Reinforcement Composite

Komposit dengan bentuk penguat berupa particlate atau partikel dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu “la rge particel” dan “dispersion strengthened”. Jenis “la rge” menggunakan ukuran partikel lebih dari 0,1 mm. Sedangkan “dispersion strengthened” adalah jenis komposit partikel yang

menggunakan mekanisme penguatan melalui penyebaran (dispersi) partikel yang lebih terukur dan merata, dengan ukuran diameter partikel antara 0,02-0,05 mm. Penggunaan penguat berbentuk partikel dapat memberikan berbagai pengaruh pada material komposit.

Penggunaan partikel dengan sifat mekanik yang ulet pada matriks yang bersifat getas dapat menaikkan nilai kekerasan pada hasil kompositnya. Sedangkan jika partikel yang digunakan bersifat keras dan kaku serta digunakan pada matriks yang bersifat ulet dapat menaikkan kekuatan dan kekakuan. Akan tetapi, kekurangan


(33)

penggunaan partikel yang bersifat keras dapat menurunkan ketangguhan dari matriks yang ulet, sehingga jenis ini terbatas penggunannya hanya pada keadaan-keadaan tertentu. Contoh skema komposit partikel dapat dilihat pada Gambar 2.2.

c. Flake Reinforcement Composite

Komposit dengan jenis ini secara umum mirip dengan komposit berpenguat partikel, namun dengan bentuk yang menyerupai piringan (planar). Salah satu contoh bahan penguat yang paling sering digunakan dalam komposit flake adalah

mika.

Terlebih khusus komposit flake dengan penguat mika telah banyak menjadi bahan diskusi penelitian. Salah satu peneliti yaitu S.T. Peters Menurut buku “Handbook Of Compositesmenyebutkan bahwa kekuatan composit flake mika ditentukan oleh aspek rasio flake yang digunakan. Aspek rasio didapat dari perbandingan ukuran diameter dengan ketebalan. Aspek rasio flake yang besar akan semakin efektif dibandingkan aspek rasio yang kecil dalam menyalurkan tegangan yang diterima matriks. Contoh skema komposit flake dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.2 Particulate Reinforcement Composite


(34)

2.1.1.3 Bahan Matriks Yang Digunakan

Pada penelitian ini penulis menganalisis sifat komposit berpenguat serat pinang dengan fraksi berat 3%, 5%, 7% dan 9%. Komposit dibuat menggunakan matriks berjenis polimer. Polimer yang digunakan adalah epoxy resin. Dalam pembeliannya, epoxy resin dipaketkan dengan epoxy hardener.

Bentuk awal dari epoxy resin adalah cair dengan viskositas yang tinggi. Sedangkan, bentuk plastik sebagai matriks adalah padat. Maka, untuk mengkonversi dari bentuk cair ke padat (proses curing) memerlukan bahan tambahan yaitu epoxy hardener. Contoh zat kimia yang sering digunakan sebagai

epoxy hardener yaitu : amines, amides, acid anhydrides, imidazoles, boron trifluoride complexes, phenols, mercaptans dan metal oxides.

Proses konversi dari cair ke padat atau curing dapat berlangsung pada suhu tinggi yaitu diatas 150ºC ataupun pada suhu kamar +20 ºC. Terlebih khusus pada suhu kamar, dengan mengacu pada contoh diatas maka zat kimia epoxy hardener yang dapat digunakan adalah amines dan amides.

Menurut Curt Augustsson dalam bukunya NM Epoxy Handbook (2014) menyebutkan bahwa, secara umum campuran epoxy resin dengan epoxy hardener

Gambar 2.3 Flake Reinforcement Composite


(35)

memerlukan waktu 7 hari dengan suhu ruang diatas 20ºC untuk mencapai sifat padat yang sempurna, tapi dalam waktu 24 jam, perubahan sifat tersebut dapat mencapai 80 – 90% dari sempurna (final properties). Contoh grafik perubahannya dapat dilihat pada Gambar 2.4. Namun, pada grafik tersebut menunjukkan proses

curing pada temperatur yang konstan 20ºC.

Proses curing merupakan salah satu penentu sifat akhir plastik yang dibentuk. Sedangkan, jika dibentuk secara sempurna, plastik epoxy dapat memiliki sifat-sifat yang beragam. Adapun sifat-sifat plastik epoxy Menurut Curt Augustsson akan dijabarkan secara singat dibawah (a-f):

a. Kekuatan Mekanik

Jika dilakukan proses pencetakan hingga proses curing yang baik, tidak ada jenis plastik lain yang lebih kuat dari plastik epoxy. Kekuatan mekanik plastik epoxy

dapat melebihi 80 MPa.

Gambar 2.4 Grafik contoh proses curing polimer epoxy dengan suhu konstan


(36)

b. Daya Tahan Kimia

Sifat kimia dari epoxy dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan, oleh karena itu plastik jenis ini dapat dibentuk untuk tahan terhadap beberapa jenis zat kimia. Namun, secara umum plastik epoxy sangat tahan terhadap alkali.

c. Daya Tahan Air

Secara umum plastik epoxy dianggap sebagai material yang kedap air karena daya serap airnya sangat kecil, oleh karena itu plastik jenis ini sering digunakan sebagai zat pelapis untuk menahan air.

d. Kapasitas Isolasi Listrik

Plastik epoxy merupakan material yang sangat baik menahan listrik (isulator). Secara umum normalnya resistivitas plastik epoxy adalah 5 � . Kombinasi antara ketahanan kimia dan ketahanan listrik ini menyebabkan plastik epoxy

menjadi material yang sangat baik untuk keperluan elektronika. e. Penyusutan

Proses penyusutan biasanya terjadi pada saat curing. Akan tetapi, polimer epoxy

sangat sedikit mengalami penyusutan. Hal ini disebabkan karena molekul epoxy

sangat sedikit mengalami orientasi (perpindahan molekul). Berbeda dengan jenis polimer lain contohnya polyester.

f. Daya tahan panas

Daya tahan panas plastik epoxy yang melalui proses curing pada suhu kamar berbeda dengan yang melalui proses curing menggunakan panas tinggi. Daya tahan panas suatu material dapat dituliskan dengan standar nilai HDT (Heat Deflection Temperature) atau TG (Glass Transition Temperature). Dengan mengacu standar


(37)

HDT, plastik epoxy yang melalui proses curing pada suhu kamar jarang bisa melebihi HDT diatas 70ºC, sementara yang melalui proses curing menggunkaan panas tinggi dapat mencapai HDT 250ºC.

Dengan pertimbangan kelebihan serta kekurangan sifat-sifat plastik epoxy

diatas maka plastik jenis ini sering digunakan dalam berbagai pengaplikasian. Besar presentasi pengaplikasian plastik epoxy dapat dilihat pada Gambar 2.5.

2.1.1.4 Teknik Pembuatan Material Komposit

Terdapat beragam metode pembuatan komposit menurut Suong V. Hoa. dalam bukunya Principles Of The Manufacturing Of Composite Materials (2009). Metode pembuatan komposit adalah Hand Laminating (wet hand lay-up) dan Autoclave

(vacum bag), Filament winding dan Fiber Placement, Pultrusion, dan Liquid Composite Molding.

Gambar 2.5 Grafik presentasi pengaplikasian plastik epoxy


(38)

Walaupun terdapat beragam metode pembuatan komposit seperti yang dijabarkan diatas. Secara umum, metode dasarnya hanyalah Hand Laminating (wet hand lay-up) dan Autoclave (vacum bag) serta Filament winding dan Fiber Placement. Sedangkan, metode lainnya merupakan gabungan serta penyempurnaan dari metode dasar tersebut.

Pada metode hand laminating , prosesnya sangat konvensional dengan hanya menggunakan tangan dan alat bantu sederhana. Oleh karena itu, metode ini merupakan yang paling murah. Akan tetapi, metode ini memiliki kelemahan dalam mendapatkan kualitas material komposit yang sempurna tanpa adanya cacat seperti

void (rongga udara). Kualitas hasil akhir ditentukan seluruhnya dari keterampilan pembuat. Sedangkan metode Autoclave merupakan metode penyempurnaan dari

Hand Laminating dengan menggunakan bantuan va cum bag (kantong kedap udara), maka hasil akhir bisa menjadi lebih sempurna (minim void). Skema pembuatan

hand laminating tersaji pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Metode Hand Laminating


(39)

Metode Filament winding dan Fiber Placement merupakan metode pembuatan yang lebih kompleks dan biasanya digunakan untuk membuat material dengan bentuk tabung, salah satunya adalah tabung bertekanan (pressure vesel). Metode

filament winding menggunakan gerakan penggulungan dalam proses pencetakannya. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.7. Untuk Fiber Placement mirip dengan filament winding akan tetapi menggunakan perangkat tambahan dalam proses penggulungannya (Gambar 2.8).

Gambar 2.7 Metode Filament Winding

(Principles Of The Manufacturing Of Composite Materials., 2009)

Gambar 2.8 Metode Fiber Placement

(Principles Of The Manufacturing Of Composite Materials., 2009)


(40)

2.1.1.5 Hal-Hal Yang Mempengaruhi Kekuatan Komposit Polimer

Material komposit merupakan material yang sama dengan material-material lainnya (metal dan keramik), yaitu mempunyai kerentanan terhadap suatu keadaan yang dapat mempengaruhi sifat-sifat mekaniknya dan pada akhirnya berdampak pada penurunan kekuatan.

Hal penting yang dapat mempengaruhi kekuatan komposit adalah sifat material penyusunnya. Selain penyusunnya, hal-hal eksternal dapat juga mempengaruhi kekuatan komposit. Hal-hal tersebut diantaranya adalah : void (rongga udara),

interfacialdebonding, paparan sinar ultra violet dan orientasi penyusunan serat. Void atau rongga udara merupakan salah satu kecacatan komposit yang terbentuk oleh karena proses pembuatan yang kurang sempurna. Void ini dapat menggangu proses transfer tegangan. Tegangan yang diterima oleh komposit harusnya diterima terlebih dahulu oleh matriks lalu disalurkan pada material penguat. Namun oleh karena adanya void, tegangan itu tidak dapat disalurkan dan mengakibatkan kegagalan pada material komposit tersebut.

Selain void, kekuatan material komposit dapat dipengaruhi oleh adanya

interfacial debonding. Untuk mentransfer tegangan yang diterima matriks ke penguat diperlukan ikatan yang baik antar permukaan serat dengan matriks, hal ini disebut bonded. Sedangkan, debonding adalah keadaan saat ikatan tersebut tidak terjadi dengan baik. Faktor utama terjadinya debonding adalah sifat kimia serat, seperti lignin, fat maupun wax yang masih dimiliki serat hingga proses pencetakan dilakukan. Selain itu, penumpukkan serat juga dapat menjadi penyebab debonding.


(41)

Selain void dan debonding, orientasi penyusunan serat juga dapat menjadi faktor penentu kekuatan komposit. Namun, orientasi serat dapat diatur sesuai dengan kebutuhan dan fungsi benda yang dibuat. Oleh karena itu, faktor ini harus diperhitungkan sebelum dilakukan pencetakan.

Sedikit berbeda dengan void dan debonding, paparan sinar ultraviolet pada komposit polimer mengakibatkan degradasi pada matriksnya (tidak pada penguat). Menurut Mahmood M (2007), paparan sinar ultra violet (UV) pada polimer resin

polyester mengakibatkan penurunan kekuatan tarik rata-rata hingga 30% dan menurunkan hingga 18% modulus elastisitas dalam waktu 100 jam. Akan tetapi, pengaruh sinar UV dapat diatasi dengan penggunaan pelapis berupa ultraviolet absorber (UVA).

2.1.2 Serat Pinang

Serat pinang merupakan salah satu bagian yang terdapat pada buah dari pohon pinang, dengan presentase 60-80% dari seluruh bagian buahnya. Pinang memiliki nama latin Areca Palm (Areca catechu L), dan masih termasuk dalam spesies palem (palm).

Bentuk buah pinang cenderung oval dengan warna yang beragam sesuai dengan jenis dan tingkat kematangannya, namun secara umum warna dari buah pinang adalah hijau saat masih belum matang (mentah), kuning keemasan setelah matang dan akan menjadi kecoklatan setelah mulai memasuki proses pembusukan. Pada penelitian kali ini, serat yang digunakan sebagai penguat komposit diambil dari buah pinang yang masih berwarna hijau (mentah) dengan melalui berbagai


(42)

perlakuan agar serat pinang terhindar dari zat pengotor. Contoh bentuk buah pinang yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Tahap-tahap perlakuan pada serat pinang hingga siap digunakan adalah sebagai berikut:

1. Tahap pertama, pinang direndam pada air bersih selama 7 hari agar serat terlepas dari biji.

2. Tahap kedua, pencucian dengan air bersih dan pengeringan selama kurang lebih 14 hari.

3. Tahap ketiga, perlakuan alkalisasi dan pengeringan selama kurang lebih 2 hari pada suhu ruang (± 27ºC).

Serat pada buah pinang secara umum merupakan bagian terluar dari buah pinang akan tetapi secara khusus buah pinang dapat diklasfikasi menjadi tiga bagian. Bagian terluar adalah kutikula, lapisan kedua adalah serat, sedangkan bagian terdalam merupakan bagian biji. Struktur buah pinang tersaji pada Gambar 2.10.


(43)

Biji buah pinang mengandung 8-12% lemak yang karakteristiknya mirip dengan minyak kelapa terhidrogenasi. Kandungan minyak ini dapat mempengaruhi komposisi kimia bagian buah pinang yang lain. Sehingga terdapat pula minyak yang sama pada bagian seratnya, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.3. Namun selain lemak terdapat juga komposisi yang lainnya seperti a-cellulose, hemmicellulose, lignin, pectin, protopectin, ash serta material lainnya (Hassan et al., 2010 : 7). Kandungan-kandungan tersebut sangat berperan penting terhadap sifat fisik serta mekanik dari serat buah pinang itu sendiri.

Salah satu sifat fisik dari serat buah pinang yaitu densitas atau massa jenis dapat dihitung dengan cara sederhana mengikuti rumus dari massa jenis yang adalah

Gambar 2.10 Struktur Buah Pinang

(L Yusriah et aI., 2012)

Tabel 2.3 Komposisi Kimia Serat Pinang


(44)

massa dibagi dengan volume. Serat buah pinang pada penelitian kali ini diperoleh nilai densitasnya adalah 0,373 g/cm3. Massa jenis dapat dipengaruhi oleh beragam factor salah satunya adalah kandungan air.

Kandungan air serat dipengaruhi oleh kemampuan serat dalam menyerap air. Hal terebut dapat dihitung dengan rumus yang sama dengan perhitungan massa jenis namun dengan metode eksperimen yang sedikit berbeda. Kandungan air dan kemampuan serap air dari betel nut husk (BNH) dengan bentuk ra w (mentah/hijau),

ripe (matang/kuning), dried (kering) telah diteliti oleh Yusriah et al., (2012).

Ditunjukkan pada Gambar 2.11 dan 2.12.

Gambar 2.11 Grafik kadar air serat pinang dengan kondisi mentah (ra w), matang (ripe) dan kering (dried)


(45)

2.1.3 Perlakuan Alkalisasi (NaOH) Pada Serat

Perlakuan alkalisasi (NaOH) merupakan salah satu cara yang dilakukan pada serat terlebih khusus serat alam sebelum digunakan sebagai penguat untuk material komposit dengan fungsi agar serat terhidar dari zat-zat pengotor yang tidak perlu.

Fungsi alkalisasi pada serat adalah memutus ikatan kimia lignin dengan

cellulose, lignin merupakan kandungan kimia yang menyerupai lilin dan dapat menggangu ikatan serat dengan matriks pada material komposit, oleh sebab itu digunakannya NaOH sebagai pemutus ikatan tersebut.

Menurut Nirmal et al (2010) perlakuan alkali pada serat pinang mengakibatkan daya rekat permukaan atara serat dan matriks poliester menjadi lebih baik daripada serat yang tidak diberi perlakuan alkali. Perlakuan alkali yang tepat dapat mencegah terjadinya kerusakan fiber pull out pada komposit. Hasil dari perlakuan alkali dapat dilihat pada Gambar 2.13.

Gambar 2.12 Grafik kemampuan serap air serat pinang dengan kondisi mentah (ra w), matang (ripe), dan kering (dried)


(46)

Proses pengerjaan alkalisasi dilakukan dengan menggunakan air bersih sebagai media pelarut, lalu serat direndam dalam larutan terebut dalam waktu tertentu. Terlebih khusus pada penelitian kali ini, perlakuan alkalisasi serat pinang dilakukan dengan presentase sebesar 5% dalam waktu perendaman 2 jam dan proses pengeringan pada suhu kamar (± 27ºC) tanpa paparan sinar matahari langsung.

2.1.4 Pengujian Tarik

Pengujian tarik merupakan metode eksperimental dengan jenis destructive test

(pengujian yang merusak) untuk mengetahui sifat mekanik suatu bahan material. Proses pengujian tarik dilakukan dengan memberi pembebanan tarik pada material secara bertahap terus menerus hingga titik maksimum yang menyebabkan (bertambah panjang) benda hingga putus atau rusak.

Dalam proses pembebanan terus menerus yang diberikan pada spesimen uji, menghasilkan data pertambahan panjang benda uji dan pertambahan gaya

Gambar 2.13 Permukaan serat pinang (a) sebelum perlakuan alkali (b) setelah perlakuan alkali


(47)

pembebanan. Dengan menggunakan data tersebut ditambah data-data teknis spesimen, maka dapat dianalisa tegangan dan regangan teknis serta kekuatan tarik dari spesimen uji tesebut.

Untuk mendapatkan data uji tarik seperti tegangan, regangan dan kekuatan tarik, dibutuhkan spesimen uji yang dibentuk sesuai dengan standar yang ada. Bentuk spesmen uji berbeda sesuai dengan jenis material yang akan diuji. Standar yang digunakan dapat mengacu pada standar JIS, ASTM ataupun SNI. Walaupun standar-standar tersebut memiliki nama, ukuran dan bentuk yang beragam, namun standar-standar tesebut dapat diaplikasikan pada beragam jenis alat uji tarik.

Jenis alat uji tarik memiliki banyak ragam bentuk dan ukuran, namun pada umumnya jenis yang digunakan adalah alat uji tarik satu arah (uniaxial). Secara umum, bagian-bagian utama alat uji tarik terbagi sesuai dengan fungsinya yaitu rangka, mekanisme pencengkram spesimen, sistem penarik dan sistem pengukur. Prosedur pengujian tarik pun secara umum sama, hanya saja pada cara pengoperasian alat uji tarik yang mungkin sedikit berbeda.

Adapun prosedur pengambilan data pada pengujian tarik terbagi dalam berbagai tahap yaitu:

1. Tahap yang pertama adalah pembuatan benda uji, khusus pada penelitian ini digunakan mesin milling untuk membentuk spesimen sesuai dengan standar uji tarik yang digunakan (ASTM D638-14 sebagai acuan).

2. Tahap yang kedua adalah pengambilan data pada mesin uji tarik, dimulai dengan pengukuran panjang ukur (gage length) pada benda uji, pemasangan spesimen


(48)

pada mekanisme pencengkram, penentuan skala untuk diagram beban vs pertambahan panjang pada sistem pengukur, penentuan kecepatan penarik, selanjutnya pengambilan data siap dilakukan.

3. Tahap terakhir adalah tahap pengolahan data menggunakan persamaan-persamaan matematika yang ada.

2.1.5 Rumus-Rumus Yang Digunakan

Dalam proses awal pembuatan komposit hingga pengujian tarik terdapat beragam rumus kajian matematik yang digunakan. Rumus atau persamaan-persamaan tersebut akan dijabarkan dibawah ini:

1. Perhitungan Densitas Serat (�)

Perhitungan densitas merujuk pada persamaan (2.3). Persamaan tersebut menunjukkan pembagian massa terhadap volume. Volume serat didapat dengan mengisi serat kedalam wadah, lalu serat beserta wadah ditimbang menggunkan timbangan analitik.

� �⁄ = − .

Dengan adalah berat wadah, adalah berat serat beserta wadah, � adalah volume isi wadah.

Jika tidak menggunakan wadah, persamaan dapat disederhanakan menjadi seperti persamaan (2.4).

� �⁄ = � .


(49)

2. Perhitungan Tegangan Teknis

Tegangan teknis merupakan nilai rata-rata tegangan yang diberikan pada benda uji selama proses pengujian Tarik berlangsung. Tegangan teknis diperoleh dengan membagi beban maksimum dengan luas penampang awal specimen uji. Persamaan tegangan teknis tersaji pada persamaan (2.5).

� ⁄ = � .

Dengan adalah gaya yang diberikan pada benda uji, � adalah luas penampang awal benda uji.

3. Perhitungan Regangan Teknis

Regangan teknis merupakan nilai regangan linear rata-rata yang diterima oleh benda uji. Nilai tersebut diperoleh dari hasil pembagian antara perpanjangan benda uji dengan panjang awal dan sering dinyatakan dengan nilai persen. Perpanjangan benda uji (gage length) didapat dari pengurangan panjang akhir setelah putus dengan panjang awal sebelum dilakukan pengujian. Persamaan regangan teknis tersaji pada persamaan (2.6).

� =∆ = − % .

Dengan ∆ adalah perpanjangan benda uji, adalah panjang awal, adalah panjang akhir.

4. Perhitungan modulus elastisitas

Modulus elastisitas secara ekperimental dapat dihitung dengan membagi nilai tegangan dengan regangan. Persamaan modulus elastisitas tersaji pada persamaan (2.7).


(50)

� � � � = �� .

5. Standar Deviasi

Standar deviasi atau biasa disebut simpangan baku, dapat dijadikan sebagai ukuran keragaman suatu kelompok nilai. Terdapat 2 metode perhitungan standar deviasi, yang pertama adalah metode “n” dan yang kedua adalah “n-1”. Yang digunakan pada penelitian ini adalah metode “n”. Persamaan deviasi tersaji pada persamaan (2.8).

= √ Σ �−�̅ 2 (2.8) Dengan adalah nilai dari data pertama, ̅ nilai rata-rata data yang dihitung standar deviasinya dan adalah banyaknya data.

2.2 Tinjauan Pustaka

Yusriah Lazim et al., (2014) dalam jurnalnya “Effect of Alkali Treatment on the Physical, Mechanical, Morphological Properties of Waste Betel Nut (Areca

catechu) Husk Fibre” meneliti efek NaOH pada serat pinang tanpa matriks dan memperoleh bahwa perlakuan NaOH atau alkalisasi sebanyak 5% dalam waktu 30 menit menghasilkan penurunan kekuatan tarik dari 166,63±55,1 MPa sebelum perlakuan menjadi 44,73±9.5 MPa. Akan tetapi, gaya yang bisa diterima pada ikatan antara serat dengan matriks (debonding force) menjadi meningkat dari 5,22±0,06 N sebelum perlakuan menjadi 14,16±0.39 N. Hal ini menjadi keuntungan bagi material komposit agar bisa menyalurkan tegangan dari matriks ke serat dengan baik.


(51)

Sementara itu, A Keerthi et al., (2015) pada jurnalnya “Processing and Characterization of Epoxy Composite with Arecanut and Casuarina Fibers”

meneliti dua bentuk komposit, yang pertama dengan fraksi volume serat pinang 10% dan yang kedua yaitu komposit yang diperkuat fraksi volume serat pinang 5% ditambah 5% serat casuarina. Kedua serat terlebih dahulu diberlakukan alkalisasi dengan kadar NaOH 15% serta menggunakan resin epoxy sebagai matriksnya, penelitian tersebut memperoleh hasil sebagai berikut :

Spesimen epoxy memiliki kekuatan tarik sebesar 11,99348 MPa dengan pertambahan panjang (∆L) 1,02397 mm dan densitas 1,22 g/cm³. Spesimen komposit (serat pinang + epoxy) memiliki kekuatan tarik sebesar 17,57645 MPa dengan ∆L sebesar 1,3167 mm dan densitas 1,092 g/cm³. Sedangkan, kekuatan tarik komposit (serat pinang + serat casuarina + epoxy) sebesar 18,65802 MPa dengan ∆L sebesar 1,22377 mm dan densitas 1,196 g/cm³. Penambahan serat pinang menyebabkan penambahan kekuatan tarik sebesar 46% sedangkan penambahan serat pinang dan ca suarina menyebabkan penambahan kekuatan tarik sebesar 56%. Pengujian tarik dilakukan berdasar pada standar ASTM D3039 untuk uji tarik dan ASTM D792 untuk uji densitas.

Penelitian terbaru dilakukan oleh Mastur dan Azizul (2016) dengan judul jurnal “Pengaruh Fraksi Volume Serat Buah Pinang pada Komposit Terhadap Kekuatan Mekanik”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan komposit serat pinang dengan variasi fraksi volume 40%, 50% dan 60%. Hasil yang didapat menunjukkan kekuatan tarik sebesar 7,09 - 9,78 MPa dengan regangan tarik sebesar 2,0 – 4,0%. Sedangkan, kekuatan tarik terbesar terjadi pada variasi volume serat


(52)

60% yaitu 9,78 MPa. Namun, pada penelitian ini tidak disebutkan tentang perlakuan alkalisasi ataupun perlakuan yang lainnya. Pengujian tarik dilakukan berdasar pada standar JIS K 7113:1995.


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1

Skema Penelitian


(54)

3.2 Persiapan Penelitian

Tahap awal dalam memulai penelitian adalah persiapan alat dan bahan. Proses persiapan meliputi pembelian dan/atau pembuatan alat perkakas penunjang seperti media cetak komposit, spatula, sarung tangan karet sebagai pelindung, gelas ukur dan lain sebagainya.

Setelah alat dan bahan telah siap, selanjutnya adalah pemrosesan buah pinang hingga diperoleh serat yang siap digunakan. Pemrosesan dimulai dengan perendaman buah pinang kedalam air bersih selama ±4 minggu, dengan tujuan agar terlepasnya serat dari lapisan keras pada bagian inti buah, selanjutnya pinang dibelah, dicuci dan dikeringkan dengan estimasi waktu ±1 minggu, setelah pinang telah benar-benar kering maka selanjutnya dapat dilakukan alkalisasi.

Proses alkalisai dilakukan dengan konsentrasi NaOH sebanayak 5% dari volume air mineral. Setelah proses alkalisasi maka serat pinang dikeringkan pada ruangan tanpa terpapar sinar matahari langsung, proses pengeringan berlangsung ±3 hari.

3.3 Alat-Alat Yang Digunakan

Alat yang digunakan dalam penelitian kali ini meliputi cetakan yang terbuat dari kaca dengan ukuran area cetak adalah 15 cm x 20 cm dengan tebal 0,5 cm. Alat ukur berupa timbangan, penggaris, jangka sorong dan gelas ukur. Alat untuk membentuk spesimen uji berupa mesin milling serta alat uji tarik menggunakan


(55)

Universal Tensile Testing Machine . Serta alat-alat penunjang lain seperti suntikan dan spatula.

Alat-alat yang disebutkan diatas terlampir pada gambar 3.2 a-h dibawah ini :

d. Timbangan Analitik c. Sarung Tangan Karet


(56)

Gambar 3.2 a-j Alat-alat yang digunkan

h. Suntikan 50cc g. Vernier Caliper

i. Mesin Milling j. Mesin Uji Tarik


(57)

3.4 Bahan-Bahan Yang Digunakan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serat buah pinang, bahan polimer epoxy resin dan epoxyha rdener, dan menggunakan molding release

khusus yaitu miror glaze. Molding release ini berfungsi untuk mencegah terjadinya perekatan antara bahan komposit yang telah jadi dengan cetakan kaca.

Bahan-bahan yang disebutkan diatas terlampir dalam Gambar 3.3 – 3.6:

1. Serat Pinang

2. Epoxy resin + epoxy hardener

Gambar 3.3 Serat Pinang


(58)

3. Molding release (miror glaze)

4. NaOH

3.5 Perhitungan Densitas Serat Pinang

Salah satu faktor penting dalam pembuatan komposit adalah serat. Serat yang digunakan harus memiliki sifat fisik, sifat kimia maupun sifat mekanik yang baik. Pada penelitian tentang sifat komposit ini, tidak luput juga penulis melakukan perhitungan terhadap densitas serat pinang yang digunakan. Proses perhitungan

Gambar 3.6 NaOH Kristal


(59)

densitas berdasar pada persamaan (2.3). Perhitungan densitas serat pinang dilakukan menurut tahap-tahap berikut.

1. Serat yang digunakan terlebih dahulu telah melalui proses alkalisasi.

2. Dilakukan penimbangan wadah yang digunakan untuk menghitung volume serat. Wadah yang digunakan adalah suntikan 50cc.

3. Setelah massa suntikan didapatkan, selanjutnya serat dimasukkan ke dalam suntikan dengan keadaan yang padat hingga volume tertentu, khusus pada penelitian ini digunakan volume 20 mL. Foto terlampir pada Gambar 3.7.

4. Setelah massa serat beserta wadah telah didapat, selanjutnya dilakukan perhitungan dengan mangacu pada persamaan (3.2). Foto terlampir pada Gambar 3.8.


(60)

3.6 Perhitungan Fraksi Komposit

Fraksi dari komposit dibuat dengan menggunakan nilai berat serat sebagai variasinya yaitu 3%, 5%, 7% dan 9% sedangkan nilai berat resin mengikuti volume cetakan yang digunakan dengan ketetapan campuran antara epoxy resin dan epoxy hardener sebesar 2:1. Dibawah ini adalah tahap-tahap perhitungan yang dilakukan: a. Menghitung volume cetakan.

b. Menghitung massa resin (epoxy resin + epoxy hardener) berdasarkan volume cetakan (150 cm3).

c. Menghitung massa serat (tiap variasi : 3%, 5%, 7% dan 9%) berdasarkan massa resin untuk satu cetakan (epoxy resin + epoxy hardener).

Fraksi berat yang digunakan yaitu 3%, 5%, 7% dan 9% adalah setara berturut-turut dengan 9,06%, 15,10%, 21,15% dan 32,49% faraksi volume.


(61)

3.7 Proses Pembuatan Komposit

Proses awal pembuatan komposit ini adalah persiapan cetakan serta pemrosesan serat hingga perlakuaan NaOH. Setelah proses persiapan tersebut telah terlaksana maka dapat dilanjutkan pada proses pencetakan material komposit.

Pencetakan dilakukan dengan menggunakan metode hand laminating (hand lay-up). Setelah komposit jadi maka siap untuk diuji kekuatan mekaniknya. Pengujian dilakukan dengan mesin uji tarik universal dengan mengacu pada standar ASTM D638-14. Lokasi pengujian dilakukan pada Laboratorium Logam Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma. Untuk lebih jelas proses pembuatan komposit ini, berikut djabarkan langkah-langkah yang dilakukan:

1. Dilakukan percobaan untuk menentukan massa resin yang akan digunakan sebagai acuan perhitungan 100%. Dihitung massa resin (epoxy resin + epoxy hardener) dengan volume sesuai cetakan (15 x 20 x 0,5 cm = 150 cm3 ). Hasil perhitungan diperoleh massa resin 169 gr.

2. Dengan berdasar acuan massa 100% = 169 gr maka dilakukan perhitungan massa serat yang akan digunakan (3%, 5%, 7% dan 9%).

3. Serat yang sudah diproses dan telah siap digunakan lalu disusun berukuran 15 cm x 20 cm dengan berat sesuai variasi yang ditetapkan (3%, 5%, 7% dan 9%). Terlampir dalam Gambar 3.9.


(62)

4. Cetakan dibersihkan, lalu dilapisi mirror glaze sebagai molding release agar hasil benda uji tidak melekat pada cetakan. Proses ini terlampir dalam Gambar 3.10.

5. Diambil campuran 2:1 epoxy resin dan epoxy hardener dengan berdasar massa total 169 gr. Pencapuran dilakukan dengan mengaduk campuran epoxy dengan perlahan lahan. Proses ini terlampir dalam Gambar 3.11 dan 3.12.

Gambar 3.9 Proses penataan serat dengan menggunakan bantuan cetakan cebagai penentu ukuran


(63)

6. Campuran epoxy resin dan epoxy hardener dituang ke dalam cetakan. Penuangan dibagi menjadi dua bagian. Penuangan pertama dilakuakn sebelum meletakan serat dan yang kedua setelah diletakan serat. Proses ini terlampir dalam Gambar 3.13.

Gambar 3.13 Proses penuangan pertama campuran epoxy

pada cetakan

Gambar 3.11 Proses penimbangan epoxy resin dan epoxy hardener

dengan perbandingan 2:1


(64)

7. Setelah lapisan pertama resin dituang kedalam cetakan, selanjutnya lapisan serat diletakkan dan ditekan-tekan menggunakan spatula agar campuran resin dapat memenuhi seluruh bagian celah serat. Proses peletakan serat dan penuangan dapat dilihat masing-masing dalam Gambar 3.14 dan 3.16.

8. Kemudian, sisa campuran epoxy dapat dituang kedalam cetakan. Proses ini terlampir dalam Gambar 3.15.

9. Selanjutnya dilakukan pengamatan dan penataan serat menggunakan spatula agar void yang masih terperangkap dapat terlepas dari celah-celah serat dan

epoxy. Proses ini dapat dilihat dalam Gambar 3.16.

Gambar 3.14 Proses peletakan serat keatas campuran epoxy pertama


(65)

10.Dilakukan penutuppan dan penekanan pada permukaan komposit dengan menggunakan kaca agar diperoleh hasil akhir permukaan yang rata. Kaca yang digunakan berukuran 4 cm x 20 cm. Foto pengerjaan dapat dilihat pada Gambar 3.17.

11.Komposit dibiarkan mengalami proses curing hingga benar-benar kering. Estimasi waktu curing komposit ± 24 jam.

12.Setelah komposit kering dan berubah menjadi padat, lalu komposit dilepas dari cetakan. Foto komposit setelah kering dapat dilihat pada Gambar 3.18

Gambar 3.16 Proses menghilangkan void dan penekanan serat


(66)

13.Setelah komposit telah selesai dicetak menurut varasi yang telah ditentukan, lalu komposit siap diukur, dipotong, dan dibentuk menjadi spesimen uji tarik dengan menggunakan mesin milling. Proses ini terlampir dalam Gambar 3.19.

14.Setelah semua spesimen telah terbentuk dengan sempurna, lalu komposit diuji tarik. Pengujian dilakukan menggunakan mesin uji tarik universal di Laboratorium Logam Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Proses ini terlampir dalam Gambar 3.20.

Gambar 3.18 Bentuk komposit saat kering

Gambar 3.19 Proses pembentukan benda uji sesuai standar yang telah ditentukan


(67)

3.8 Proses Perhitungan Densitas Komposit

Tujuan penelitian tentang komposit ini adalah untuk mendapatkan sifat komposit yang dibuat. Sifat komposit yang menjadi fokus penelitian ini adalah sifat mekanik dan sifat fisik. Untuk mengetahui sifat mekanik, penulis memberlakukan pengujian tarik pada komposit yang dibuat dengan hasil akhir merupakan data kekuatan tarik dan regangan. Sedangkan untuk sifat fisik penulis hanya melakukan perhitungan densitas dengan metode eksperimen sederhana.

Perhitungan densitas dilakukan dengan mengambil nilai rata-rata spesimen. Banyak data yang digunakan adalah 6 spesimen tiap variasi. Perhitungan densitas dilakuakan dengan membagi nilai massa komposit dengan nilai volume komposit. Perhitungan ini berdasar pada persamaan (2.3).

Dibawah ini akan dijelaskan secara singkat proses perhitungan nilai densitas komposit serat pinang yang dilakukan.

1. Dilakukan proses pemotongan benda uji densitas dengan bentuk persegi panjang namun dengan ukuran yang beragam. Proses pengerjaan dilakukan dengan


(68)

menggunakan gerinda serta mesin milling. Foto pengerjaan terlampir pada Gambar 3.21.

2. Proses kedua, dilakukan perhitngan volume dengan menggunakan nilai dimensi panjang, lebar serta tebal. Nilai dimensi yang didapat lalu diolah menjadi nilai volme dengan persamaan matematika sederhana (volume bangun ruang persegi panjang). Volume void tidak diperhitungkan dalam perhitungan ini. Foto pengerjaan terlampir pada Gambar 3.22.

Gambar 3.21 Proses pembentukan spesimen uji densitas komposit

Gambar 3.22 Proses pengukuran dimensi spesimen uji densitas komposit


(69)

3. Proses selanjutnya dilakukan penimbangan spesimen uji untuk mengetahui nilai massa komposit. Foto pengerjaan terlampir pada Gambar 3.23.

4. Setelah diperoleh nilai volume serta massa dari komposit yang diteliti maka dilakukan perhitungan nilai densitas menggunakan persaman densitas. Persamaan densitas terlampir pada persamaan (2.3).

3.9 Standar Uji Dan Ukuran Benda Uji

Dibawah ini dilampirkan sketsa beserta dimensi spesimen uji tarik berdarkan standar ASTM D638-14. Sket dapat dilihat pada Gambar 3.24 dan 3.25.

Gambar 3.23 Proses pengukuran massa spesimen uji densitas komposit


(70)

3.10 Proses Pengujian Tarik

Dalam pengujian kali ini penulis menggunakan metode uji tarik untuk mengetahui sifat mekanik dari komposit yang dibuat.

Berikut langkah-langkah kerja pengujian tarik yang dilakukan:

1. Benda uji dipersiapkan, dan diberi tanda pada daerah perhitungan pertambahan panjang.

2. Dilakukan perhitungann dimensi benda uji yang meliputi tebal, lebar dan panjang awal. Semua perhitungan dilakukan pada daerah perhitungan pertambahan panjang.

3. Kertas millimeter blok diletakkan pada printer yang terdapat pada mesin uji tarik.

4. Mesin kemudian dinyalakan, lalu benda uji dipasang pada penahan (grip). 5. Penahan dikencangkan, namun kekencangan penahanan diatur dengan kekuatan

yang secukupnya agar tidak merusak benda uji.

6. Extensiometer dipasang pada benda uji lalu nilai pertambahan panjang dan nilai beban diatur ulang menjadi nol.


(71)

7. Kecepatan uji diatur menjadi 10 mm/menit dan tombol “area start” ditekan sebanyak dua kali kemudian tombol “down” ditekan untuk memulai proses uji. 8. Setelah data dari pengujian tarik didapatkan, proses pengujian tarik diulang

untuk benda uji komposit selanjutnya sampai selesai. 3.11 Proses Pengujian Tarik Serat Pinang

Serat yang digunakan untuk diuji tarik adalah yang sudah diberlakukan alkalisasi. Akan tetapi, pada pengujian tarik ini hanya diperoleh data kekuatan tariknya saja tanpa nilai regangan.

Berikut langkah-langkah kerja pengujian tarik serat pinang yang dilakukan:

1. Serat dipilih dan diambil satu helai

2. Serat diukur diameternya menggunakan mikroskop.

3. Pada kedua ujung serat diberi resin pengikat (hanya pada bagian ujungnya saja). 4. Pada ujung serat yang sudah diberi pengikat, dipasang pada grip mesin uji tarik. 5. Kecepatan penujian diatur menjadi 10 mm/menit.

6. Data beban maksimal pada mesin uji tarik dicatat setelah serat putus.

7. Proses pengambilan data kekuatan tarik serat dilakukan sebanyak enam kali.

Foto skema serta serat pinang yang digunakan pada pengujian tarik ini terlampor pada Gambar 3.26 dan 3.27.


(72)

Gambar 3.26 Skema bentuk spesimen uji tarik serat pinang Serat

Karton

Resin


(73)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah semua tahap pembuatan hingga pengujian telah dilakukan, selanjutnya adalah tahap akhir yaitu publikasi hasil serta pembahasan. Data pengujian yang didapat meliputi data uji tarik dan data pengujian densitas komposit. Hasil data uji tarik terbagi menjadi tegangan dan regangan sedangkan pengujian densitas komposit hanya diperoleh data akhir densitas atau kerapatan komposit. Semua data yang diperoleh merupakan data untuk tiap-tiap spesimen dan telah melalui proses perhitungan matematika yang berlaku.

4.1 Hasil Pengujian Tarik

Proses pengujian tarik dilakukan pada semua variasi spesimen yaitu 0%, 3%, 7%, 5%, 9% dan juga pada serat pinang yang telah melalui proses alkalisasi. Dari pengujian tarik diperoleh data beban maksimum, pertambahan panjang maksimum, serta print out diagram hubungan antara beban dan pertambahan panjang. Dari semua data tersebut, dapat kita olah menjadi nilai Kekuatan Tarik dan regangan teknis. Pengolahan data menggunakan persamaan matematika yang berlaku.

Adapun langkah-langkah perhitungan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Sebelum pengujian tarik dilakukan, terlebih dahulu dihitung dimensi benda uji. Dimensinya meliputi tebal, panjang awal, dan lebar. Semuanya dihitung pada area uji dan dilakukan beberapa kali pada posisi yang berbeda-beda hingga diproleh ukuran dimensi terkecil.


(74)

2. Setelah dimensi telah diperoleh, selanjutnya nilai dimensi diolah menjadi nilai luas. Contoh perhitungan luas spesimen uji tarik adalah sebagai berikut :

� = Panjang x Lebar = , x ,

= , mm2

� adalah luas penampang komposit yang diukur pada area uji spesimen. Contoh diatas merupakan perhitungan luas spesimen uji tarik matriks atau variasi 0%. 3. Nilai luas penampang dan beban yang telah diperoleh selanjutnya digunakan

untuk memperoleh nilai Kekuatan Tarik dari komposit yang diuji tarik. Contoh perhitungan adalah sebagai berikut :

� = Beban x Percepatan Grafitasi = , x , ,

= , kgf mm⁄ = , N mm⁄ = , MPa

� adalah nilai Kekuatan Tarik, yang juga merupakan nilai kekuatan tarik spesimen. Contoh diatas merupakan perhitungan Kekuatan Tarik spesimen uji tarik variasi 0%.

4. Sama halnya dengan Kekuatan Tarik, nilai regangan teknis dapat dihitung dengan bantuan data dari dimensi spesimen dan hasil uji tarik. Salah satu contoh perhitungan regangan teknis yang diambil dari data variasi 0% adalah sebagai berikut :


(75)

ε = pertambahan panjangpanjang awal = , x %

= , %

5. Untuk mengetahui besar area elastis yang dapat terjadi pada suatu material, dapat menggunakan perbandingan antara tegangan dan regangan. Nilai perbandingan itu disebut dengan modulus elastisitas (E). Dibawah ini dipaparkan contoh perhitungan yang diambil dari data hasil spesimen 0%.

E = � = ,,

= , MPa

Seluruh data hasil pengujian mulai dari spesimen uji tarik matriks atau variasi 0%, serat tanpa matrik, hingga komposit dengan variasi 3%, 5%, 7% dan 9% tersaji berturut-turut pada subbab 4.1.1 – 4.1.3.

4.1.1 Hasil Pengujian Tarik Penguat Atau 0% Berat Serat

Berikut disajikan data dimensi, Kekuatan Tarik serta regangan teknis dari spesimen uji tarik dengan fraksi serat 0%. Data tersaji berturut-turut pada Tabel 4.1 - 4.3.

Tabel 4.1 Dimensi spesimen uji tarik dengan 0% serat

Kode Spesimen Lebar (mm) Tebal (mm) L0 (mm)

0I 12 5,3 90

0II 12,5 5,4 90

0III 14,3 4,12 90


(76)

Pada pengujian tarik spesimen dengan presentase berat serat 0% menunjukkan Kekuatan Tarik rata-rata sebesar 57,740 MPa serta regangan teknis sebesar 3,611%. Jika dilihat pada Tabel 4.2 dan 4.3, Kekuatan Tarik yang dapat diterima oleh matriks berbanding lurus dengan regangan yang terjadi. Akan tetapi hasil regangan yang tidak besar dan bentuk patahan yang cenderung tegak lurus dengan arah pembebanan serta tidak ada pengecilan penampang pada bekas patahan maka matriks ini adalah matrik yang bersifat cukup kaku.

Tabel 4.2 Kekuatan Tarik spesimen uji tarik dengan 0% serat

Kode Spesimen Luas Penampang (mm2) Beban Max (kg) Kekuatan Tarik (N/mm2) = (MPa)

0I 63,60 381,6 58,860

0II 67,50 396,4 57,610

0III 58,92 341,0 56,779

57,750 KEKUATAN TARIK

Rata-rata

Tabel 4.3 Regangan teknis spesimen uji tarik dengan 0% serat

Kode Spesimen ΔL (mm) L0 (mm) Regangan (%)

0I 3,40 90 3,778

0II 3,25 90 3,611

0III 3,10 90 3,444

3,611 REGANGAN

Rata-rata

Tabel 4.4 Modulus elastisitas spesimen uji tarik dengan 0% serat Kode Spesimen Modulus Elastisitas (MPa)

0I 15,581

0II 15,954

0III 16,484


(77)

4.1.2 Hasil Pengujian Tarik Serat Pinang

Pengujian tarik ini menggunakan serat yang telah melalui proses alkalisasi. Proses pengujian yang dilakukan hanya mengandalkan mesin uji tarik universal

yang bertempat di Lab Logam kampus 3 Unversitas Sanata Dharma. Mesin uji tarik yang digunakan tidak begitu cocok untuk menguji spesimen dengan bentuk serat maka data yang didapatkan hanya meliputi beban maksimal yang dapat diterima serat tanpa diperoleh hasil pertambahan panjang serat ketika diberi baban.

Untuk perhitungan dimensi serat, dilakukan dengan menggunakan mikroskop. Dilakukan pengukuran dengan asumsi serat berbentuk tabung maka data dimensi yang diperoleh merupakan diameter.

Adapaun tahap-tahap pengujiannya adalah sebagai berikut:

1. Serat diambil satu helai lalu dibentuk sesuai Gambar 3.26.

2. Dilakukan pengujian tarik pada serat yang telah diukur diameternya menggunakan mikroskop.

3. Setelah data pengujian diperoleh, selanjutnya diolah menggunakan persamaan Kekuatan Tarik (2.3) untuk mengetahui kekuatan tarik. Data hasil pengujian tarik serat pinang tersaji pada Tabel 4.4.

Tabel 4.5 Data hasil pengujian tarik serat pinang Spesimen Diameter (mm) D2 Luas Penampang

(A) (mm2) Beban (kg)

Kekuatan Tarik (kg/mm2)

Kekuatan Tarik (MPa)

ANF-1 0,34 0,1156 0,091 1,7 18,717 183,610

ANF-2 0,58 0,3364 0,264 2,7 10,215 100,210

ANF-3 0,36 0,1296 0,102 2,0 19,641 192,677

ANF-4 0,44 0,1936 0,152 1,9 12,491 122,533

0,152 2,075 15,266 149,757 Rata-rata


(78)

Hasil pengujian tarik serat pinang dengan diameter serat uji rata-rata 0,43 mm menunjukkan nilai Kekuatan Tarik yang dapat diterima serat rata-rata mencapai 149,757 MPa.

4.1.3 Hasil Pengujian Tarik Komposit Dengan Variasi 3%, 5%, 7% dan 9% Langkah-langkah perhitungan hasil pengujian spesimen komposit sama persis dengan pengujian yang dilakukan terhadap matriks atau variasi berat serat 0%. Berikut disajikan data dimensi, Kekuatan Tarik, regangan teknis dan modulus elastisitas dari spesimen uji tarik dengan variasi 3%, 5%, 7% serta 9%. Hasil data tersaji pada poin 1 -4.

1. Pengujian tarik komposit dengan variasi berat serat 3%

Berikut disajikan data dimensi, tegangan serta regangan teknis dari spesimen uji tarik dengan variasi 3%. Data tersaji berturut-turut pada Tabel 4.3 – 4.6.

Kode Spesimen Lebar (mm) Tebal (mm) L0 (mm)

3I 14,80 5,2 90,0

3II 15,80 5,2 90,0

3III 14,00 5,0 90,0

3IV 14,05 4,6 90,0

3V 14,90 5,2 90,0

3VI 15,00 5,0 90,0

DIMENSI


(79)

Tabel 4.7 Kekuatan Tarik spesimen uji tarik dengan variasi 3%

Kode Spesimen

Luas Penampang (mm

2

)

Beban Max (kg) Kekuatan Tarik (N/mm2) = (MPa)

3I 76,960 276,5 35,245

3II 82,160 264,8 31,617

3III 70,000 189,8 26,599

3IV 64,630 240,7 36,535

3V 77,480 281,4 35,629

3VI 75,000 169,7 22,197

31,304 KEKUATAN TARIK

Rata-rata

Tabel 4.8 Regangan teknis spesimen uji tarik dengan variasi 3%

Kode Spesimen ΔL (mm) L0 (mm) Regangan (%)

3I 1,50 90 1,667

3II 1,30 90 1,444

3III 1,70 90 1,889

3IV 1,95 90 2,167

3V 1,75 90 1,944

3VI 1,40 90 1,556

1,778 REGANGAN

Rata-rata

Tabel 4.9 Modulus elastisitas spesimen uji tarik dengan variasi 3% Kode Spesimen Modulus Elastisitas (MPa)

3I 21,147 3II 21,889 3III 14,082 3IV 16,862 3V 18,323 3VI 14,269 Rata-rata 17,762


(80)

2. Pengujian tarik komposit dengan variasi berat serat 5%

Berikut disajikan data dimensi, tegangan serta regangan teknis dari spesimen uji tarik dengan variasi 5%. Data tersaji berturut-turut pada Tabel 4.7 - 4.9.

Tabel 4.10 Dimensi spesimen uji tarik dengan variasi 5%

Kode Spesimen Lebar (mm) Tebal (mm) L0 (mm)

5I 14,4 4,7 90,00

5II 13,7 4,6 90,00

5III 14,1 4,9 90,00

5IV 14,2 4,9 90,00

5V 14,8 4,9 90,00

5VI 14,2 4,9 90,00

DIMENSI

Tabel 4.12 Regangan teknis spesimen uji tarik dengan variasi 5% serat

Tabel 4.11 Kekuatan Tarik spesimen uji tarik dengan variasi 5%

Kode Spesimen Luas Penampang (mm2) Beban Max (kg) Kekuatan Tarik (N/mm2) = (MPa)

5I 67,680 216,3 31,352

5II 65,320 231,1 34,707

5III 72,000 221,7 30,207

5IV 69,580 196,2 27,662

5V 66,240 122,3 18,112

5VI 69,580 104,6 14,747

26,131 7,230 29,740 KEKUATAN TARIK

Standar Deviasi

Rata-rata Setelah Diberlakukan Standar Deviasi (Rata-rata 2) Rata-rata

Kode Spesimen ΔL (mm) L0 (mm) Regangan (%)

5I 1,50 90,00 1,667

5II 1,65 90,00 1,833

5III 1,55 90,00 1,722

5IV 1,45 90,00 1,611

5V 0,85 90,00 0,944

5VI 0,60 90,00 0,667

1,667 REGANGAN


(81)

Keterangan : kolom yang berwarna abu-abu adalah data yang tereliminasi standar deviasi.

3. Pengujian tarik komposit dengan variasi berat serat 7%

Berikut disajikan data dimensi, tegangan serta regangan teknis dari spesimen uji tarik dengan vaiasi 7%. Data tersaji berturut-turut pada Tabel 4.10 - 4.12.

Tabel 4.13 Modulus Elastisitas spesimen uji tarik dengan variasi 5% Kode Spesimen Modulus Elastisitas (MPa)

5I 18,811 5II 18,931 5III 17,539 5IV 17,170 5V 19,178 5VI 22,121

Rata-rata 2 17,840

Kode Spesimen Lebar (mm) Tebal (mm) L0 (mm)

7I 14,8 5,2 90

7II 14,9 5,0 90

7III 14,3 5,4 90

7IV 14,3 4,7 90

7V 14,3 5,0 90

7VI 14,2 4,9 90

DIMENSI

Tabel 4.14 Dimensi spesimen uji tarik dengan variasi 7%

Tabel 4.15 Kekuatan Tarik spesimen uji tarik dengan variasi 7%

Kode Spesimen Luas Penampang (mm2

) Beban Max (kg) Kekuatan Tarik (N/mm2) = (MPa)

7I 76,960 208,9 26,628

7II 82,160 218,8 28,811

7III 70,000 225,0 28,584

7IV 64,630 211,9 30,929

7V 77,480 210,3 28,854

7VI 75,000 215,7 30,411

29,036 KEKUATAN TARIK


(82)

4. Pengujian tarik komposit dengan variasi berat serat 9%

Berikut disajikan data dimensi, tegangan serta regangan teknis dari spesimen uji tarik dengan variasi 9%. Data tersaji berturut-turut pada Tabel 4.13 - 4.15.

Kode Spesimen Lebar (mm) Tebal (mm) L0 (mm)

9I 14,7 5,9 90

9II 14,1 5,4 90

9III 14,6 5,4 90

9IV 14,7 5,0 90

9V 13,9 5,3 90

9VI 14,4 5,0 90

DIMENSI

Tabel 4.18 Dimensi spesimen uji tarik dengan variasi 9%

Tabel 4.16 Regangan teknis spesimen uji tarik dengan variasi 7%

Tabel 4.17 Modulus elastisitas spesimen uji tarik dengan variasi 7%

Kode Spesimen ΔL (mm) L0 (mm) Regangan (%)

7I 1,10 90 1,222

7II 1,50 90 1,667

7III 1,85 90 2,056

7IV 1,70 90 1,889

7V 1,40 90 1,556

7VI 1,15 90 1,278

1,611 REGANGAN

Rata-rata

Kode Spesimen Modulus Elastisitas (MPa)

3I 21,787 3II 17,287 3III 13,906 3IV 16,374 3V 18,549 3VI 23,800 Rata-rata 18,617


(83)

Seluruh hasil penelitian uji tarik yang diperoleh lalu dilakukan perhitungan rata-ratanya untuk lebih mempermudah memahami hasil penelitian. Data rata-rata tersaji pada Tabel 4.17, dan agar lebih mudah lagi, data tegangan dan regangan disajikan kedalam grafik kolom. Grakif terlampir pada Gambar 4.1 dan 4.2

Tabel 4.19 Kekuatan Tarik spesimen uji tarik dengan variasi 9%

Tabel 4.20 Regangan teknis spesimen uji tarik dengan variasi 9%

Tabel 4.21 Modulus elastisitas spesimen uji tarik dengan variasi 9%

Kode Spesimen Luas Penampang (mm2

) Beban Max (kg) Kekuatan Tarik (N/mm2) = (MPa)

9I 86,730 204,6 23,142

9II 76,140 242,6 31,257

9III 78,840 233,2 29,017

9IV 73,500 221,8 29,604

9V 73,670 196,3 26,140

9VI 72,000 180,9 24,648

27,301 KEKUATAN TARIK

Rata-rata

Kode Spesimen ΔL (mm) L0 (mm) Regangan (%)

9I 1,20 90 1,333

9II 1,70 90 1,889

9III 1,60 90 1,778

9IV 1,75 90 1,944

9V 1,20 90 1,333

9VI 1,20 90 1,333

1,602 REGANGAN

Rata-rata

Kode Spesimen Modulus Elastisitas (MPa)

9I 17,357 9II 16,548 9III 16,322 9IV 15,225 9V 19,605 9VI 18,486 Rata-rata 17,257


(84)

Dari pengujian tarik spesimen matriks (variasi 0%), hingga material komposit dengan variasi berat serat 3%, 5%, 7%, dan 9% telah diperoleh dua sifat mekanik yaitu tegangan dan regangan untuk tiap-tiap variasi tersebut. Dengan melihat dari Tabel 4.17 serta Gambar 4.1 dan 4.2, penurunan sifat mekanis tegangan maupun regangan terjadi seiring bertambahnya persenan fraksi berat serat pada matriks

epoxy.

Tabel 4.22 Nilai sifat mekanis rata-rata dari spesimen uji tarik komposit

No Variasi Kekuatan Tarik (N/mm2) = (MPa) Regangan (%) Modulus Elastisitas

1 0% 57,750 3,611 16,006

2 3% 31,304 1,778 17,762

3 5% 29,740 1,667 17,840

4 7% 29,036 1,611 18,617

5 9% 27,301 1,602 17,257

6 serat 22,540 -

-Nilai Rata-Rata

Gambar 4.1 Grafik Kekuatan Tarik rata-rata spesimen uji tarik

57,7

31,3 29,7 29,0 27,3

149,8 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 120,0 140,0 160,0

0% 3% 5% 7% 9% serat

K e k u a ta n T ar ik ( MP a) Spesimen


(85)

Nilai kekuatan tarik dan regangan terbaik dimiliki oleh spesimen matriks epoxy

atau variasi 0% serat yaitu 57,750 MPa dan 3,611%. Sedangkan variasi 9% menjadi spesimen dengan kekuatan tarik dan regangan terkecil yaitu 27,301 MPa dan 1,602%. Kemungkinan terbesar terjadinya penurunan kekuatan pada komposit

Gambar 4.2 Grafik regangan teknis rata-tata spesimen uji tarik komposit

3,6 1,8 1,7 1,6 1,6 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0

0% 3% 5% 7% 9%

R e g an g an ( % ) Spesimen

Gambar 4.3 Grafik modulus elastisitas spesimen uji tarik

16,0

17,8 17,8 18,6

17,3 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0 14,0 16,0 18,0 20,0

0% 3% 5% 7% 9%

Mo d u lu s E las ti si ta s (MP a)


(1)

Lampiran 2

Hasil scan grafik beban vs pertambahan panjang 1. Spesimen matriks (0% serat)


(2)

(3)

2. Spesimen dengan variasi berat serat 3%


(4)

3. Spesimen dengan variasi berat serat 5%


(5)

4. Spesimen dengan variasi berat serat 7%


(6)

5. Spesimen dengan variasi berat serat 9%