Pengertian dan Dasar Pendidikan Akhlak

a. Al- Qur’an Secara etimologi al- Qur’an berarti “bacaan” atau “yang dibaca”. Sedangkan menurut istilah, Al- Qur’an berarti firman Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai rasul terakhir dengan perantaraan malaikat Jibril yang menulis dalam mushaf yang disampaikan kepada kita secara muttawatir yng diperintahkan membacanya, dimulai dengan Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas. 14 Al- Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah menjadi pedoman bagi umat Islam, dengan segala petunjuknya yang lengkap, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal. Diturunkan sedikit demi sedikit kepada Rasulullah saw dalam jangka waktu dua puluh tiga tahun. Terdiri dari 114 surat yang bervariasi panjang pendeknya, dari yang hanya beberapa baris sampai yang terdiri dari beberapa halaman. Al- Qur’an merupakan petunjuk yang lengkap bagi manusia meliputi seluruh aspek kehidupan serta bersifat universal. Al- Qur’an adalah kitab yang selalu terpelihara keaslian kata-kata dan maknanya serta kemurniannya dijamin Allah swt.         “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. ” Q.S. Al-Hijr:15:9 Al- Qur’an merupakan sumber pendidikan yang lengkap baik dalam pendidikan moral akhlak, spritual meliputi jasmani dan rohani, alam semesta maupun kemasyarakatan. Isi Al- Qur’an juga merupakan pengembangan kebudayaan umat Islam atau kemaslahatan umat. Isinya mencakup seluruh dimensi manusia dan mampu menyentuh seluruh potensi manusia, baik itu motivasi untuk mempergunakan panca 14 Rois Mahfud, Al-Islam Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Erlangga, 2011, H. 107 indera dalam menafsirkan alam semesta bagi kepentingan formulasi lanjut pendidikan manusia pendidikan Islam, motivasi manusia agar manusia mempergunakan akalnya, maupun motivasi manusia mempergunakan hatinya untuk menafsirkan nilai-nilai pendidikan ilahiyah, dan lain sebagainya. 15 Selain memiliki perhatian yang sangat besar dalam pendidikan dan kemasyarakatan, Al- Qur’an juga memiliki perhatian yang sangat besar dan sungguh-sungguh dalam pembinaan akhlak. Secara garis besar Al- Qur’an menyebutkan tentang berbagai macam perbuatan yang baik akhlak mahmudah dan yang buruk akhlak mazmumah. Sabar, ikhlas, jujur, pemaaf, bertakwa, beriman, hormat kepada orang tua dan membantu orang- orang yang berada di dalam kesusahan itu termasuk ke dalam perbuatan baik akhlak mahmudah. Sedangkan perbuatan sombong, khianat, durhaka, putus asa, riya, fitnah, serta pendendam termasuk ke dalam perbuatan buruk akhlak mazmumah. Ajaran tentang akhlak ini dengan mudah dapat kita jumpai dalam kandungan Al- Qur’an. Al- Qur’an merupakan pedoman untuk membimbing manusia agar dapat berakhlak baik dan menjauhi akhlak yang buruk, dan Al- Qur’an telah memberikan tata cara pelaksanaannya melalui sosok para Nabi dan Rasul serta orang-orang teladan yang terdapat di dalam Al- Qur’an. Di dalam Al- Qur’an, Allah memberikan ganjaran yang setimpal seperti kepada orang-orang yang melaksanakan perintahnya berupa pahala dan Allah menjanjikan siksaan yang amat pedih bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya. Menurut M. Quraish Shihab, al- Qur’an secara garis besar mempunyai tiga tujuan pokok, sebagai berikut: 15 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: GAYA Media Pratama, 2001, H. 96 1 Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan, dan kepastian akan adanya hari pembalasan 2 Petunjuk mengenai akhlak dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif. 3 Petunjuk mengenai syari’ah dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya, atau dengan kata lain yang lebih singkat al- qur’an adalah petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. 16 Adapun ayat-ayat Al- Qur’an yang mengandung nilai-nilai pendidikan akhlak adalah:                   “Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”Q.S Al-Luqman: 31: 14 Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa kita sebagai manusia harus selalu berbuat baik kepada sesama, saling menghormati dan berakhlak baik kepada kedua orang tua serta selalu tetap bersyukur kepada Allah swt. Al- Qur’an adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu menemukan nilai-nilai yang dijadikan pedoman berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadi rasa dan karsa yang mengarah pada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat. 16 M. Quraish Shihab, Membumikan al- Qur’an, Bandung: Mizan, 1997, H. 40 Al- Qur’an diperuntukkan bagi manusia untuk dijadikan pedoman hidupnya. Sebab pada dasarnya al- Qur’an banyak membahas tentang berbagai aspek kehidupan manusia, dan pendidikan merupakan tema terpenting yang dibahasnya. Setiap ayatnya merupakan bahan baku bangunan pendidikan yang dibutuhkan manusia. Hal ini tidak aneh mengingat al- Qur’an merupakan kitab hidayah, dan seorang bisa memperoleh hidayah tiada lain atas kehendak Allah, karena pendidikan yang benar serta ketaatannya. b. Sunnah Sumber ajaran akhlak yang kedua adalah sunnah. Menurut bahasa sunnah berarti “perjalanan atau sejarah, baik atau buruk masih bersifat umum”. Sedangkan menurut istilah, sunnah berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi atau kepada seorang sahabat atau seorang setelahnya tabi’ini, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat”. 17 Sunnah bisa diartikan sebagai jalan yang terpuji, jalan atau cara yang dibiasakan. Sunnah juga diartikan sebagai sabda, perbuatan dan persetujuan takrir yang berasal dari Rasulullah saw. 18 Dari beberapa penjelasan tentang dasar pendidikan akhlak di atas, dapat dipahami ajaran Islam serta pendidikan akhlak terpuji sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW. harus diteladani agar manusia dapat hidup sesuai dengan tuntunan syari’at, yang bertujuan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan umat manusia itu sendiri. Sesungguhnya Rasulullah saw. adalah contoh serta teladan yang sempurna bagi umat manusia serta menanamkan nilai-nilai akhlak terpuji kepada umatnya. 2. Tujuan Pendidikan Akhlak Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang berproses dan terencana sudah tentu mempunyai tujuan. Tujuan tersebut berfungsi sebagai titik pusat perhatian dalam melaksanakan kegiatan serta sebagai pedoman guna mencegah terjadinya penyimpangan dalam kegiatan. 17 Abdul Majid Khon, dkk, Ulumul Hadits, Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2005, H. 4-5 18 Rois Mahfud, op. cit., H. 112-113 Ahli didik dunia telah sepakat, bahwa pendidikan akhlak, amat penting untuk melahirkan masyarakat yang adil, aman dan makmur dan bahwa semata-mata ilmu pengetahuan saja tidak cukup untuk melahirkan masyarakat tersebut. Bahkan dapat membahayakan keamanan masyarakat dan kemakmuran negara. 19 Tujuan pendidikan akhlak, yaitu : a. Mendidik manusia, supaya berlaku sopan santun dan berakhlak mulia, sesuai dengan ajaran Islam dan masyarakat. b. Membentuk kepribadian manusia, sebagai seorang muslim sejati. c. Membiasakan sifat-sifat yang baik dan akhlak yang mulia, sopan santun, halus budi pekerti, adil, sabar, serta menjauhi sifat-sifat yang buruk. 20 Adapun tujuan pendidikan Islam membentuk kepribadian anak didik yang kuat jasmani, rohani dan dan nafsaninya jiwa yakni kepribadian muslim yang dewasa. Sesuai dengan pengertian pendidikan agama Islam itu sendiri, yaitu bimbingan atau pertolongan secara sadar yang dilakukan oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik ke arah kedewasaan menuju terbentuknya kepribadian muslim. 21 Melihat dari segi tujuan akhir setiap ibadah adalah pembinaan taqwa. Bertaqwa mengandung arti melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan segala larangan agama. Ini berarti menjauhi perbuatan-perbuatan jahat akhlakul madzmumah dan melakukan perbuatan-perbuatan baik akhlakul karimah orang bertaqwa berarti orang yang berakhlak mulia, berbuat baik dan berbudi luhur. Rumusan yang sederhana namun cukup mengena telah disampaikan oleh Zakiah Daradjat. Menurutnya, tujuan pendidikan akhlak adalah untuk membentuk karakter muslim yang memiliki sifat-sifat terpuji. Akhlak tidak dapat dipisahkan dari iman. Iman merupakan pengakuan hati, dan akhlak adalah pantulan iman 19 Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama,Jakarta: Hidakarya Agung, 1992, H. 32 20 Ibid, H. 74 21 Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, Jakarta: Kencana Prenada median Group, H.167 tersebut pada perilaku, ucapan dan sikap. Iman adalah maknawi, sedangkan akhlak adalah bukti keimanan dalam perbuatan, yang dilakukan dengan kesadaran dan karena Allah semata. 22 Sementara tujuan pendidikan akhlak pada dasarnya adalah agar manusia menjadi baik dan terbiasa melakukan perbuatan yang baik. Pendidikan akhlak dilaksanakan sejak masa kanak-kanak, karena yang terpenting dalam pendidikan akhlak adalah pengamalan di samping teori. Dengan adanya pendidikan dan pembinaan akhlak anak sejak dini, tentunya manusia akan menyerapnya dengan baik tanpa banyak pertentangan. Sehingga mereka akan terbiasa dan akrab dengan perbuatan baik tersebut. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah agar manusia mempunyai budi pekerti mulia dan jujur, bertingkah laku baik terhadap Tuhannya dan Rasulullah dan sesama sehingga tidak hanya mendapatkan kebahagiaan di dunia tetapi juga kebahagiaan di akhirat yang merupakan kehidupan yang sebenarnya. Kebahagiaan akhirat inilah yang menjadi tujuan utama orang yang beriman kepada Allah swt.

3. Metode Penyampaian Pendidikan Akhlak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode diartikan sebagai “cara yang teratur berdasarkan pemikiran yang matang untuk mencapai maksud”. 23 Secara sederhana, metode dapat diartikan sebagai cara untuk menyampaikan suatu nilai tertentu dari si pembawa pesan kepada si penerima pesan. Metode diartikan sebagai tindakan-tindakan pendidik dalam lingkup peristiwa pendidikan untuk mempengaruhi siswa kearah pencapaian hasil belajar yang maksimal sebagaimana terangkum dalam tujuan pendidikan. Metode juga dapat disebut sebagai alat yang digunakan untuk menciptakan proses pendidikan, 22 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: Ruhama, 1993, H. 67-70 23 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, Edisi IV, H. 1022 menumbuhkan kegiatan yang bersifat edukatif, dan meningkatkan mutu pendidikan. 24 Adapun metode pendidikan akhlak adalah sebagai berikut:

a. Metode Keteladanan

Yang dimaksud dengan metode keteladanan adalah suatu metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, baik di dalam ucapan maupun perbuatan. 25 Keteladanan merupakan salah satu metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah SAW dan paling banyak pengaruhnya terhadap keberhasilan menyampaikan misi dakwahnya. Ahli pendidikan banyak yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan merupakan metode yang paling berhasil. Abdullah Nasih Ulwan, sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly mengatakan bahwa “pendidikan akan merasa kesulitan mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun anak akan merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila pendidiknya tidak memberi contoh tentang pesan yang disampaikannya.” 26 Hal ini disebabkan karena secara psikologis anak adalah seorang peniru yang ulung. Murid-murid cenderung meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi dalam segala hal.

b. Metode Pembiasaan

Pembiasaan menurut M.D Dahlan, seperti dikutip oleh Hery Noer Aly merupakan proses penanaman kebiasaan. Sedang kebiasaan habit ialah cara- cara bertindak yang persistent, uniform dan hampir-hampir otomatis hampir tidak disadari oleh pelakunya. 27 Pembiasaan tersebut dapat dilakukan untuk membiasakan pada tingkah laku, keterampilan, kecakapan dan pola pikir. Pembiasaan ini bertujuan untuk mempermudah melakukannya. Karena seseorang yang telah mempunyai 24 Ahmad Izzan, Tafsir Pendidikan Studi Ayat-ayat Berdimensi Pendidikan, Tanggerang: Pustaka Aufa Media,2012, H.41-42 25 Syahidin, Metode Pendidikan Qurani: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Misaka Galiza, 1999, Cet. I, h.135 26 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, Cet.1, h.178 27 Ibid., H. 134 kebiasaan tertentu akan dapat melakukannya dengan mudah dan senang hati. Bahkan sesuatu yang telah dibiasakan dan akhirnya menjadi kebiasaan dalam usia muda itu sulit untuk dirubah dan tetap berlangsung sampai hari tua. Maka diperlukan terapi dan pengendalian diri yang sangat serius untuk dapat merubahnya. c. Metode Memberi Nasihat Abdurrahman al-Nahlawi, sebagaimana dikutip oleh Hery Noer Aly mengatakan bahwa yang dimaksud dengan nasihat adalah penjelasan kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang dinasihati dari bahaya serta menunjukkannya ke jalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat. 28 Dalam metode memberi nasihat ini pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan pesera didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan umat. Diantaranya dengan menggunakan kisah- kisah Qur’ani, baik kisah nabawi maupun umat terdahulu yang banyak mengandung pelajaran yang dapat dipetik. d. Metode Motivasi dan Intimidasi Metode motivasi dan intimidasi dalam bahasa Arab disebut dengan uslub at-targhib wa at- tarhib. “Targib berasal dari kata kerja raggaba yang berarti menyenangi, menyukai dan mencintai. Kemudian kata ini diubah menjadi kata benda targib yang bermakna suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan, dan kebahagiaan yang mendorong seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya”. 29 Metode ini akan sangat efektif apabila dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang menarik dan meyakinkan pihak yang mendengar, hendaknya pendidik bisa meyakinkan muridnya ketika menggunakan metode ini. Namun sebaliknya apabila bahasa yang digunakan kurang meyakinkan maka akan membuat murid tersebut malas memperhatikannya. 30 28 Ibid, H. 190 29 Syahidin, op.cit., H. 121 30 Ibid.

e. Metode ‘Ibrah

Secara sederhana, „ibrah berarti merenungkan dan memikirkan. Dalam arti umum biasanya diartikan dengan “mengambil pelajaran dari setiap peristiwa”. Abdrrahman an-Nahlawi mendefinisikan „ibrah sebagai “suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia untuk mengetahui intisari dari suatu peristiwa yang disaksikan, diperhatikan, diinduksikan, ditimang-timang, diukur dan diputuskan secara nalar, sehingga kesimpulannya dapat mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya, lalu mendorongnya kepada perilaku berpikir sosial yang sesuai”. 31

f. Metode Kisah

Metode kisah merupakan salah satu upaya untuk mendidik murid agar mengambil pelajaran dari kejadian dimasa lampau. Apabila kejadian tersebut merupakan kejadian yang baik, maka harus diikutinya. Sebaliknya, apabila kejadian tersebut kejadian yang bertentangan dengan agama Islam maka harus dihindari. Metode ini sangat digemari khususnya untuk anak kecil, bahkan sering kali digunakan oleh seorang ibu ketika anak tersebut akan tidur. Apalagi metode ini disampaikan oleh orang yang pandai bercerita, akan menjadi daya tarik tersendiri. Namun perlu diingat bahwa kemampuan setiap murid dalam menerima pesan yang disampaikan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesulitan bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, hendaknya setiap pendidik bisa memilih bahasa yang mudah dipahami oleh setiap anak.

B. Anak Jalanan

1. Pengertian Anak Jalanan dan Faktor-Faktor yang Menyebabkan

Tumbuhnya Anak Jalanan Anak jalanan, tekyan, arek kere, anak gelandangan, atau kadang disebut juga secara eufemistis sebagai anak mandiri, sesungguhnya mereka adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari perlakuan kasih sayang karena 31 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995 Cet. 2, hal.289 kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang keras, dan bahkan sangat tidak bersahabat. Di berbagai sudut kota, sering terjadi, anak jalanan harus bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima masyarakat umu- sekadar untuk menghilangkan rasa lapar dan keterpaksaan untuk membantu keluarganya. Tidak jarang pula mereka dicap sebagai penggaggu ketertiban dan membuat kota menjadi kotor, sehingga yang namanya razia atau penggarukan bukan lagi hal yang mengagetkan mereka. 32 Definisi anak jalanan yang disusun peserta Lokakarya Nasional Anak Jalanan DEPSOS bulan Oktober 1995, yang dimaksud anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Usia anak jalanan berkisar antara 6 smpai dengan 18 tahun. Rentang usia ini dianggap rawan karena mereka belum mampu berdiri sendiri, labil mudah terpengaruh dan belum mempunyai bekal pengetahuan dan ketrampilan yang cukup. Di jalanan memang ada anak usia 5 tahun ke bawah, tetapi mereka biasanya dibawa orang tua atau disewakan untuk mengemis. Memasuki usia 6 tahun biasanya dilepas atau mengikut temannya. Anak-anak yang berusia 18 sampai dengan 21 tahun dianggap sudah mampu bekerja atau mengontrak rumah sendiri bersama teman-temannya. 33 Marginal, rentan, dan eksploitatif adalah istilah-istilah yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi dan kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan jenis pekerjaan yang tidak jelas jenjang karirnya, kurang dihargai, dan umumnya juga tidak menjanjikan prospek apapun di masa depan. Rentan karena risiko yang harus ditanggung akibat jam kerja yang sangat panjang benar-benar dari segi kesehatan maupun sosial sangat rawan. Adapun disebut eksploitatif karena mereka biasanya memiliki posisi tawar-menawar bargaining position yang sangat lemah, tersubordinasi, dan cenderung menjadi objek 32 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, Cet. 1, H. 185 33 Departemen Sosial RI, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI, 2007, h. 24