menahan benda milik waqif di jalan Allah SWT untuk dimanfaatkan bagi kepentingan orang banyak.
2. Wakaf Menurut Istilah
Para ahli fiqih, terutama para pengikut imam empat mazhab memiliki perbedaan pandangan dalam menterjemah wakaf menurut istilah dan terletak pada
penekanan kelaziman yang berimplikasi kepada keharusan berwakaf atau bukan merupakan keharusan. Perbedaan itu juga dapat terjadi akibat persepsi tentang
ketentuan waktu yang membatasi dan tidak ada ketentuan waktunya, dalam pengertian berwakaf berarti melepas hak untuk selamanya.
Berkenaan dengan pengertian wakaf, para pengikut imam empat mazhab mendefinisikan sebagai berikut:
Menurut ulama’ Malikiyah
ﺟ ا
ﺔ ا
ْ كﻮ
و ﻮ
ﺎ ْﺟ
ﺮ ة
ﺔ ْ
ﺔ ﺪ
ة ﺎ
ﺮا ا
ْ
9
Artinya:”Menjadikan manfaat benda yang dimiliki baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak dengan ikrar yang
berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan”.
Tetapi “hak” kepemilikan pewaqif terletak pada benda yang diwakafkan
al-mauquf sedangkan tindakan atau perbuatan berwakaf berarti melepaskan kenikmatan atas hasil atau hak berbuat apa saja terhadap benda tersebut. Golongan
9
Muhammad Abu Zahra, Al-Waqf Beirut: Dar al-Fikr, 1971, Cet.2, h.5
Malikiyah memahami kalimat
كﻮ ا ﻮ و
ةﺮﺟﺄ
kepemilikan yang disewakan
10
, dengan ilustrasi menyewakan rumah hak milik atau sebidang tanah dengan
tenggang waktu tertentu dengan “mewakafkan” nilai yang dihasilkan darinya kepada orang lain selama kurun waktu tertentu itu.
Atas dasar pemikiran seperti ini tindakan berwakaf bagi waqif menyerupai kepemilikan benda bagi seseorang yang masih berada di bawah pengampuan al-
mahjur karena idiot. Kepemilikan “al-mahjur” seorang yang IQnya rendah atas
sebuah benda dapat difungsikan atau didayagunakan melalui sewa atau semacamnya
11
. Tindakan “menyewakan” bagi si idiot merupakan langkah preventif terjadinya kemusnahan.
Apabila ‘al-mahjur” si idiot melakukan penyewaan atas benda yang dimiliki, maka tindakan itu dapat dibenarkan dan dimaklumi. Akan tetapi, jika
tindakan tersebut mengarah kepada penjualan aset yang ada dan atau berkehendak untuk menghibahkannya, maka dalam kasus seperti ini tidak patut dibenarkan
12
. Ulama Hanafiyah mendefinisikan dengan ungkapan:
10
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf. Penterjemah Ahrul Sani Faturrahman, Dompet Dhuafa Republika Dan IIMAN, cet.1, 2004 h. 58.
11
Nor Naemah Rahman, Fatwa-fatwa Wakaf Di Malaysia:Analisis Khusus Di Negeri Kelantan Kuala Lumpur. Kovensyen Wakaf Kebengsaan. 2006
h. 12
12
Ibid. h 12
ا ﻮ
ْ ﺷ
ْﺮ ﺎ
ْا ْ
ﻰ ﻚ
ْا ﻮ
ا و
ا ْﺪ
ق ْ
ﻬ أ ﺎ
ْو ﺮ
ف أ
ى ْا
ْ ﻰ
ﻜ ْ
ﻬ ﻰ ﺎ
ْ أ و
ْﺪ ه
ﺎ ﻬ
ﻻ ﺎ ﻰ
ﻚ ﻰ ﺎ ﷲا
ﻚ ﻮ ا
ا و
ا ﺪ
ق ﺎ
ْ ﺔ
ﺟ ﻰ ﻬ
ﺔ ْا
ْﺮ
13
Artinya:“Wakaf menurut syara, adalah menahan benda yang menjadi hak milik pewakaf waqif dan menyedekahkan dari hasil-hasil dari benda
tersebut. Atau dengan ungkapan lain menyalurkan kemanfaatan hasil- hasilnya kepada siapa saja yang dikehendaki waqif dan keduanya waqif dan
nazhir berkewajiban menjaga barang tersebut untuk tujuan kebaikan.”
Definisi di atas memberi pengertian bahwa pemilikan benda wakaf tidak harus berpindah kepada orang lain kecuali berdasarkan keputuasan hakim. Kelompok ini
memandang wakaf sebagai perbuatan mubah yang tidak menuntut keharusan seperti halnya bentuk benda pinjaman al-ariyah.
Pengertian semacam ini memperjelas juga tentang kedudukan benda wakaf yang sewaktu-waktu dapat dipindahkan kembali kemanfaatnnya kepada waqif atau
ahli warisnya. Hal ini membuka peluang bebas bagi waqif untuk berbuat apa saja terhadap benda wakaf miliknya, sebagaimana barang pinjaman oleh pemiliknya bebas
dipinjamkan kemanfaatannya untuk apa saja terhadap benda wakaf al-mauquf bagi waqif
termasuk juga kebebasan terbatas dengan waktu yang diberikan, sehingga ia bisa menariknya kembali kapan saja ia berikan.
Ditemukan adanya golongan yang menyamakan kedudukan benda wakaf dengan barang yang dipinjamkan dari sisi kepemilikan dan kemanfaatan.
Kepemilikan menurut mereka tidak dapat dipindahkan pemilikan dari waqif
13
Sayyid al-Fikqri, Al-Mu’amalatu al-Madiyatu, juz 2 Mesir, Mustafa al-Bab, al-Halabi, 1938 h. 304
sebagaimana pemilik barang pinjaman sedang kemanfaatannya diperlukan kebaikan terutama mereka yang menghajatkannya. Adapun terhadap benda wakaf yang tidak
bergerak dalam bentuk khusus seperti wakaf sebagian tanah untuk mendirikan masjid dengan tujuan agar orang-orang dapat melakukan ibadah solat, maka bentuk wakaf
semacam ini menghendaki terlepasnya kepemilikan waqif. Lebih lanjut lagi Abu Hanifah memandang bahwa wakaf tidak mengikat,
dimana waqif bisa saja mencabut sewaktu-waktu termasuk memperjualkannya. Jadi, berwakaf tidak berarti meninggalkan hak milik secara mutlak. Menurutnya, aqad
wakaf yang bersifat mengikat oleh beberapa sebab antara lain
14
: a. Terjadi sengketa antara Waqif dan Nazhir dan Hakim memutuskan bahwa harta
wakaf itu mengikat, dalam arti pelepasan hak milik. b. Wakaf yang berupa masjid dan putusan Hakim terhadap benda wakaf tersebut
dikaitkan dengan kematian waqif. Para ahli fikih mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf dengan beragam definisi
yang dapat penulis ringkaskan sebagai berikut: “Menahan benda yang dimungkinkan dapat menghasilkan manfaat atau nilai
dengan tetap menjaga eksistensinya dengan tidak mengurangi substansi barang itu. Dan pengawasan berada di tangan Waqif serta dialokasikan kepada kegiatan yang
dibenarkan”
15
.
14
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, h. 32
15
Direktorat Pengembangan Zakat Dan Wakaf, Fiqih Wakaf, cet. 3 Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Dan Penyelenggaraan Haji 2005, h. 2
a. Imam Nawawi mendefinisikan wakaf dengan “Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada dan digunakan
manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT
16
. b. Al-Syarbini Al-Khatib dan Ramli Al-Kabir mendefinisikan wakaf dengan
“Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga keamanan benda tersebut dan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya untuk hal-
hal yang dibolehkan
17
. Dari paparan definisi di atas, penulis bisa mengasumsikan bahwa titik
persamaan dari masing-masing definisi Syaikh Al-Qalyubi yang mengatakan bahwa wakaf adalah “Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga bentuk
aslinya untuk disalurkan kepada jalan yang dibolehkan
18
. Ada pun menurut jumhur, termasuk di dalamnya adalah dua sahabat Imam Abu
Hanifah yakni Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, golongan Syafi’iyyah dan golongan Hanabilah wakaf adalah menahan harta yang memungkinkan diambil
manfaatnya, tetap ‘ainnya pokoknya dibelanjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
19
.
16
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, h. 40
17
Ibid, h. 44
18
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Jafari, Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbal: Penterjemah, Masykur A.B dk, cet-17 Jakarta: Lentera, 2006, h. 641
19
Sayyid Sabiq, h. 369, Lihat juga Ensiklopedi Hukum Islam, Cet, ke-1, 1997
Menurut istilah Perundang-undangan A 35285. Akta A585, wakaf terbagi kepada dua yakni Am dan Khas. Wakaf “am” ertinya wakaf yang berkekalan atas
modal dan pendapatan daripada harta bagi maksud-maksud agama atau khairat yang diiktiraf oleh Hukum Syarak dan heart yang diwakafkan sedemikian. Wakaf “khas”
ertinya wakaf yang berkekalan atau bagi suatu tempoh terhad atas modal harta bagi maksud-maksud agama atau khairat yang diiktiraf oleh Hukum Syarak, dan harta
yang diwakafkan sedemikian, yang berpendapatan daripadanya diberikan kepada orang-orang atau bagi maksud-maksud yang ditetapkan dalam wakaf itu.
20
Dengan diwakafkannya itu, harta keluar dari pemiliknya, yaitu si waqif. Jadilah harta wakaf tersebut secara hukum milik Allah SWT. Bagi waqif yang
terhalang untuk memanfaatkannya maka wajib mendermakan hasilnya sesuai dengan tujuan. Sebagaimana firman Allah S.W.T Al-Imran: 92
ا نﺈ ءْ ﺷ ْ اﻮ ْ ﺎ و نﻮ ﺎ اﻮ ْ ﻰ ﺮ ْا اﻮ ﺎ ْ
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna,
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Ayat di atas tidak memfokuskan tentang wakaf, akan tetapi kata-kata “al- Birra”
yang berarti kebajikan yang sempurna sudah menunjukkan bagaimana seseorang itu boleh melakukan kebajikan dalam pelbagai aspek termasuk juga
berwakaf.
20
Undang-undang Malaysia, Perlembagaan Persekutuan, 2003.
Dalam hal ini Jumhur Ulama’ memberikan dalil dengan hadits Ibn Umar yang diriwayatkan Imam Muslim:
ْ ﺎ ْ نْﻮ ْا ْ ﺮ ْ أ ْ ْ ﺎ ﺮ ْ أ ا ﻰ ْ ْ ﻰ ْ ﺎ ﺪ
لﺎ ﺮ ْا و ْ ا ﻰ
ا ﻰ ﺄ ﺮ ْ ﺎ ْرأ ﺮ بﺎ أ ﺮ ْﺄ ْ
يﺪْ ْأ ﻮه ﻂ ﺎ ﺎ ْ أ ْ ﺮ ْ ﺎ ْرأ ْ أ إ ا لﻮ ر ﺎ لﺎ ﺎﻬ ﺮ ﺎﻬ قﺪ
لﺎ ﺎﻬ ْ ﺪ و ﺎﻬ ْ أ ْ ْﺌﺷ ْنإ لﺎ ﺮ ْﺄ ﺎ ْ أ
و ءاﺮ ْا ﺮ قﺪ لﺎ هﻮ ﺎ و ثرﻮ ﺎ و عﺎ ْ ﺎ و ﺎﻬ ْ أ عﺎ ﺎ
ﺎﻬ و ْ ﻰ حﺎ ﺟ ﺎ ْ او ا ْاو ا
و بﺎ ﺮ ا و ﻰ ْﺮ ْا ْﺎ ﺎﻬْ آْﺄ ْنأ
لﻮ ﺮْ ﺎ ﺪ ْﻄ ْوأ فوﺮْ
21
. ﺴ مﺎ ا ﻩاور
Artinya:“Dari Ibnu Umar ra. Berkata bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk
memohon petunjuk. Umar berkata: “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu,
maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah menjawab: “Bila kamu suka, kamu tahan pokoknya tanah itu dan kamu sedekahkan
hasilnya.” Kemudian Umar melakukan sedekah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak juga diwariskan. Berkata Ibnu Umar: “Umar
menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi
yang menguasai tanah wakaf itu pengurusnya makan dari hasilnya dengan cara baik sepantasnya atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk
harta”
. Dari definisi-definisi yang sudah disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa sebagian besar ulama berpendapat bahwa dengan terjadinya wakaf, sifat kepemilikan benda yang diwakafkan menjadi lepas dari si waqif dan secara hukum
harta wakaf tersebut menjadi milik Allah SWT. Akan tetapi, ada di antara para ulama juga berpendapat bahwa kepemilikan
harta yang diwakafkan itu tidak harus lepas dari si waqif, karena mereka sebahagian
21
Shahih Muslim, Kitab Wasiat, Bab Wakaf hadits no. 1632, h. 1255.
golongan Hanafiyyah dan golongan Malikiyyah berpendapat bahwa yang diwakafkan itu manfaatnya, sedangkan pemilikan tetap ada pada si waqif. Hal yang
terputus bagi waqif hanyalah hak-hak untuk membelanjakannya. Sungguhpun demikian, tidak berarti bahwa waqif bebas memanfaatkan harta diwakafkan
22
. Menurut Kamus Ilmu Usul Fikih mendefinisikan wakaf adalah memberikan
harta kekayaan dengan ikhlas atau suatu pemberian yang berlaku abadi untuk kepentingan pemerintah Islam, kepentingan agama dan untuk kepentingan umum.
Dana tersebut digunakan untuk memelihara dan kepentingan masjid. Pemberian ini biasanya tidak dapat ditarik kembali oleh pihak yang memberikan wakaf. Ciri-ciri
pemberian wakaf adalah bahwa pemberian tersebut adalah untuk selama-lamanya
23
. Menurut Akta Pentadbiran Undang-Undang Islam Wilayah-Wilayah
Persekutuan 1993 Akta 505 mentafsirkan Wakaf “Am” dan “Khas” sebagai
24
: ‘‘Wakaf Am’’ ertinya wakaf harta modal dan pendapatan yang kekal
daripada mana-mana harta bagi maksud agama atau khairat yang diakui sah oleh hukum syarak dan harta yang diwakafkan sedemikian.
“Wakaf Khas” ertinya wakaf yang berkekalan atau bagi suatu tempoh terhad atas modal harta bagi maksud-maksud agama atau khairat yang diiktiraf oleh hukum
syarak dan harta yang diwakafkan sedemikian, yang berpendapatan daripadanya
22
Ahmad Sudirman Abbas, “Wakaf Perspektif Ulama Mazhab Dan Hukum Positif”. Cet.1, Yayasan Nuansa Cendikia, 2006. h 38
23
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fikih, cet-1 Jakarata: Amzah, 2005 h. 358.
24
Akta Pentadbiran Undang-Undang Islam Wilayah-Wilayah Persekutuan 1993 Akta 505 h. 58
diberikan kepada orang-orang atau maksud-maksud yang ditetapkan dalam wakaf itu.
Melihat kepada realitas dan perkembangan yang berlaku di Kedah ini, penulis berpandangan bahwa tafsiran bagi definisi wakaf hendaklah dibuat secara umum
tanpa mengunakan perkataan “kekal” atau “bertempoh”. Ini karena dapat memberi dorongan kepada masyarakat untuk berwakaf meskipun mereka tidak memiliki harta
yang tidak berbentuk kekal. Definisi wakaf menurut undang-undang di Indonesia seperti berikut:
1. Menurut Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang Pengertian Perwakafan Tanah Milik menurut pasal.1 1 .
“Wakaf adalah suatu perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya”.
2. Kompilasi Hukum Islam, buku III, Hukum Perwakafan, Bab I tentang ketentuan Umum, pasal 215, poin 1; berbunyi
25
: “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan lainnya sesuai dengan
ajaran Islam”
25
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hukum perwakafan Bandung: Homaniora Utama Press, 1991 h.1
3. Dan pengertian wakaf menurut Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Bab 1 Ketentuan Umum pasal 1 poin 1
26
. “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan danatau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah danatau kesejahteraan umum menurut syariah”. Dari tiga pengertian wakaf menurut undang-undang di Indonesia ada
persamaan pengertian yaitu jika menurut Peraturan
Pemerintah No.28 tahun 1977 dan
Kompilasi Hukum Islam “dilembagakan untuk selama-lamanya”, maka harta wakaf tersebut harus diwakafkan buat selama-lamanya yang telah ditentukan mengikut
hukun syarak. Sedangkan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Bab 1 Ketentuan Umum menyatakan “dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya”. Menurut undang-undang ini harta wakaf
boleh saja jangka waktu dan tidak semestinya untuk selamanya ini karena sesuai dengan kepentingannya Harta Wakaf guna keperluan ibadah danatau kesejahteraan
umum menurut syariah. Dari beberapa pengertian wakaf di atas dapat ditarik cakupan wakaf, meliputi:
1. Harta benda milik seseorang atau sekelompok orang. 2. Harta benda tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis apabila dipakai.
3. Harta tersebut dilepas kepemilikannya oleh pemilik.
26
Undang-undang No. 41 Tahun 2004., h 3.
4. Harta yang dilepas kepemilikannya tersebut tidak bisa dihibahkan, diwariskan atau diperjualbelikan.
5. Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran Islam
Namun, perbedaan yang ada hanya dalam hal-hal yang sekundar cabang bukan primer prinsip. Dalam hal-hal yang pokok, ada ukuran-ukuran yang
disepakati oleh sebagian besar ulama. Sah atau tidaknya wakaf, jelas erat kaitannya dengan syarat dan rukun wakaf
27
.
B. Rukun Dan Syarat-syarat Wakaf