52
pasar kapitalisme. Dalam hal ini, kepemilikan tanah lebih didasarkan pada struktur kekuasaan power.
Teori konflik yang dicetuskan oleh Dahrendorf 2011 dapat menjelaskan sengketa tanah dari aspek penggunaan otoritas yang bersifat dikotomis antara
otoritas negara berhadapan dengan masyarakat, otoritas perusahaan berhadapan dengan masyarakat, kemudian otoritas militer berhadapan dengan masyarakat.
Dan bila dilihat dalam hal ini otoritas negara berada dalam otoritas yang paling kuat, kemudian otoritas tersebut dapat terbagi ke perusahaan, militer, dan
masyarakat yang berada pada posisi terakhir. Dahrendorf juga mengatakan bahwa setiap asosiasi pada dasarnya berusaha mempertahankan atau memperkuat posisi
dominan. Dalam kasus yang terjadi antara Masyarakat Desa Penggalian dan PT. NPK, dapat dilihat bahwa masyarakat merasa pemerintah terlalu membela pihak
perusahaan. Hal ini tampak karena masyarakat mengatakan bahwa tuntutan mereka agar pendistribusian lahan dilakukan, tetapi tidak juga dilaksanakan
sehingga memicu konflik dan menimbulkan dugaan dari masyarakat bahwa pemerintah sengaja mengabaikan tuntutan mereka. Sehingga muncul inisiatif dari
masyarakat untuk menduduki lahan untuk mencuri perhatian pemerintah dan pihak perusahaan.
4.4.2 Faktor-Faktor Penyebab Konflik
Secara umum proses terjadinya konflik pertanahan di beberapa daerah di Indonesia hampir sama, dimana faktor utamanya adalah adanya perbedaan
kepentingan yang terjadi dalam masyarakat. Seperti yang diutarakan oleh Dahrendorf 2011 bahwa masyarakat terintegrasi karena adanya kelompok
kepentingan dominan yang menguasai masyarakat. Marx 2011 menyebutkan
Universitas Sumatera Utara
53
bahwa kelas-kelas dianggap sebagai kelompok sosial yang mempunyai kepentingan sendiri dan bertentangan satu sama lain.
Dalam kasus antara PT.NPK dengan masyarakat Desa Penggalian ini, yang menjadi faktor utama terjadinya konflik adalah adanya perbedaan
kepentingan. Perbedaan kepentingan yang dimaksud dalam hal ini adalah masyarakat yang menginginkan agar permasalahan mereka diselesaikan terlebih
dahulu, sementara pihak perusahaan tidak ingin aktifitas perusahaannya terganggu dan mengalami kerugian akibat tidak dapat memanen hasil perkebunan dari lahan
yang diduduki oleh masyarakat sampai masalah tersebut diselesaikan. Sehingga akibat dari adanya perbedaan kepentingan tersebut hampir terjadi bentrokan fisik
antara masyarakat dengan pihak perusahaan. Seperti yang diutarakan oleh Marx 2011 bahwa kelas-kelas sebagai
kelompok sosial memiliki kepentingan sendiri dan bertentangan satu sama lain, masyarakat dalam kasus tersebut bersikeras dengan bukti-bukti yang mereka
miliki untuk mendapatkan lahan di dalam areal perkebunan yang seharusnya dibagikan kepada masyarakat Desa Penggalian, sementara pihak perusahaan juga
bersikeras bahwa lahan yang dituntut oleh masyarakat tersebut bukanlah tanggung jawab dari PT.NPK karena mereka hanya menjalankan dalam tanah HGU Hak
Guna Usaha yang diberikan oleh pemerintah. Menurut analisa penulis, faktor lain yang menyebabkan masyarakat untuk
terus menuntut hak mereka tersebut adalah karena adanya faktor ekonomi. Tanahlahan dalam hal ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi mereka, mengingat nilai ekonomis tanah yang sangat tinggi
Universitas Sumatera Utara
54
sehingga memicu konflik bukan saja mengenai kepemilikan tanah tetapi juga menyangkut penguasaan areal untuk perkebunan. Masayarakat tetap bersikeras
untuk mendapatkan lahan tersebut karena mereka memiliki keinginan untuk memanfaatkan lahan untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Hal ini terlihat dari
hasil wawancara dengan masyarakat Desa Penggalian yang mengatakan : “Kalau saja pemerintah berbaik hati membantu kami membantu kami
mendapatkan lahan, dibagi-bagikan merata, pasti keadaan kami ga akan seperti ini dan pasti jadi lebih baik. Lahan yang dibagi bisa kami
manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan. Mbak lihat saja, jalan di desa kami ini yang paling parah dan bisa dibilang kami seperti desa
tertinggal.”
4.4.3 Kondisi Konflik Saat Ini