24 Perhitungan kadar yang didapat secara manual berbeda dengan hasil yang
didapatkan di kromatogram. Hal ini disebabkan karena bobot hidrokortison asetat sebagai baku pembanding ditimbang sebanyak 25,02 mg, sedangkan bobot baku
pembanding yang ditetapkan atau yang tertera pada etiket 25 mg. Penimbangan bobot sampel dilakukan secara duplo yaitu 1000,63 mg dan 1000,45 mg yang
ditetapkan dalam 1 gram massa krim yaitu 1000 mg. Sehingga didapatkan hasil kadar rata-ratanya tidak jauh berbeda, karena sampel yang diuji hanya satu batch
saja. Dari satu batch krim Hidrokortison produksi PT. Kimia Farma Persero Tbk. Plant Medan yang dilakukan secara KCKT dinyatakan bahwa krim tersebut
memenuhi persyaratan kadar sesuai dengan yang tercantum pada persyaratan Farmakope Indonesia Ed. IV. krim Hidrokortison mengandung Hidrokortison
Asetat yaitu tidak kurang dari 90,0 dan tidak lebih dari 110,0 Dirjen POM, 1995.
Penetapan kadar secara kromatografi cair kinerja tinggi merupakan salah satu prosedur tetap yang digunakan sebagai penetapan kadar untuk produk krim
Hidrokortison pada industri farmasi PT. Kimia Farma Persero Tbk. Plant Medan. Sediaan krim Hidrokortison yang diproduksi PT Kimia Farma Persero
Tbk. Plant Medan perlu diperiksa kadarnya, karena merupakan salah satu bentuk pengujian dalam rangka pemastian mutu produk krim yang dikonsumsi oleh
masyarakat.
25
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.2 Kesimpulan
1. Metode yang digunakan untuk penetapan Kadar Hidrokortison Asetat
dalam sediaan krim yang diproduksi PT. Kimia Farma Persero Tbk. Plant Medan adalah Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
2. Kadar Hidrokortison Asetat di dalam sediaan krim yang diproduksi PT.
Kimia Farma Persero Tbk. Plant Medan dengan kadar rata-rata yaitu sebesar 102,0381 . Maka kadar yang diperoleh tersebut memenuhi
persyaratan sesuai Farmakope Indonesia Edisi IV yaitu tidak kurang dari 90,0 dan tidak lebih dari 110,0 dari jumlah yang tertera pada etiket.
5.2 Saran
1. Sebaiknya digunakan juga metode lain untuk melakukan penetapatan
kadar Hidrokortison Asetat dalam sediaaan krim, sehingga dapat dibandingkan hasilnya.
2. Sebaiknya dalam melakukan penetapan kadar Hidrokortison Asetat dalam
sediaan krim di uji sebanyak 3 batch, agar dapat dibandingkan kadar masing-masing batch.
26
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. 1984. Ilmu Farmasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal.48, 77. Anief, M. 1991. Apa yang Perlu Diketahui tentang Obat Cetakan kedua.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal.17-18, 39.
Anief, M. 1996.Penggolongan Obat Cetakan ke - 5. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Hal. 21. Anief, M. 1999. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. Hal. 71. Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Ke - 4. Jakarta:
Universitas Indonesia Press. Hal.489, 513. Dirjen, POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi ke – IV. Jakarta. Hal. 6, 435 –
437. Joenoes, N.Z. 1990. Ars Prescribendi Resep Yang Rasional. Surabaya:
Airlangga University Press. Hal. 73. Johnson, E.L., dan Stevenson, R. 1991. Dasar Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi. Bandung: ITB. Hal. 6, 9-10. Katzung, B.G. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC. Hal.537-
538. Katzung, B.G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 3. Jakarta: Salemba
Empat. Hal.524-525. Lachman, L. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta: Universitas
Indonesia. Hal.1092-1093. Munson, J.W. 1991. Analis Farmasi Metode Moderen Parwa B. Surabaya:
Airlangga University Press. Hal.14, 26-27, 30, 32, 43. Polano, M.K. 1987. Terapi Kulit Topikal Topical Skin Herapeutis. Jakarta:
EGC. Hal. 26. Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hal.378-379, 382. Sardjoko.1993. Rancangan Obat Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Hal.163-164.