71
pemakaman, hal ini dikarenakan FKUB hanya menangani permasalahan terkait keagamaan dari umat beragama yang diakui oleh negara Indonesia yaitu Islam,
Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Konghuchu. Jika dilihat kondisi keserasian sosial antar umat beragama yang terdapat
pada masyarakat Kota Medan sebelum dan sesudah berdirinya FKUB Kota Medan di tengah-tengah masyarakat memiliki kontribusi yang positif bagi
masyarakat Kota Medan, diantaranya: Pertama, mereka lebih terbuka terhadap umat dari agama lain. Kedua, dengan mengikuti dialog-dialog yang diadakan
FKUB mereka jadi lebih memahami dan menghargai agama orang lain. Ketiga, sikap toleransi dan tenggangrasa yang semakin tinggi dibuktikan dengan
kerjasama atau gotongroyong yang dilakukan beberapa warga dalam melakukan kegiatan masak-memasak rewang di sebuah acara pesta.
Keberadaan FKUB Kota Medan memberikan dampak positif dalam memelihara dan menjaga kesatuan, kebersamaan, dan tingkat solidaritas antar
umat beragama. Oleh karena itu, kehadiran FKUB ini diharapkan dapat melahirkan kesadaran bersama collective consiousness dalam menjaga hubungan
baik antar etnis dan agama yang berbeda, sehinggakeharmonisan masayarakat Kota Medan dapat dijaga dari berbagai potensi konflik yang ada.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti mendapatkan beberapa masukan saran yang dapat bermanfaat kiranya bagi pihak-
pihak yang terkait, adapun beberapa saran tersebut adalah sebgi berikut:
72
Untuk para pembaca agar kiranya selalu terbuka terhadap perubahan yang telah dijalani didalam hidup kepada pihak keluarga, khususnya dalam hal
pergantian status agama yang dianut.Masih banyak orang yang takut berterus terang kepada seluruh anggota keluarga untuk berbicara mengenai status agama
dikarenakan takut dikeluarkan dari anggota keluarga dan dijauhi oleh masyarakat. Karena sikap tertutup dalam hal status agama akan menyulitkan seseorang pada
saat meninggal dunia di kemudian hari. Untuk FKUB Kota Medan agar lebih ditingkatkan lagi dialog-dialog yang
sudah dilaksanakan sebelumnya, khususnya dialog dengan para pelajar baik dari sekolah maupun perguruan tinggi.Saat ini dialog-dialog yang dilaksanakan sudah
sangat baik, tetapi lebih baik lagi apabila dialog tersebut lebih diarahkan kepada para pelajar.Karena masih ada sebagian pelajar yang tidak memahami makna dari
toleransi beragama dan juga ada sebagian pelajar yang tidak mengenal tentang kehadiran FKUB.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Civil society
Sebagai sebuah konsep, civil society datang dari pemikiran ilmuan eropa Barat. Proses demokratisasi yang lebih dulu berlangsung di Barat telah
menjadikan civil society bagian penting dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta kebudayaan mereka. Terutama dalam meretas peradaban yang
dibangunnya.Bagi mereka, kehidupan negara dan bangsa yang ideal itu terwujud dengan memberikan peran lewat pola bottom-upyang lebih kuat pada
masyarakat.Seiring dengan hembusan demokrasi yang kian menguat, konsep ini
terus berlanjut dan menguat di berbagai belahan bumi lainnya.
Pada dasarnya tujuan dari civil societyakan mengkerucut pada upaya pemberdayaan empowerment sekaligus revitalisasi enrichment kemerdekaan
masyarakat sipil, dalam melakukan kontrol terhadap negara secara sukarela, mandiri dan tetap terikat pada norma dan nilai hukum yang berlaku. Dalam
konteks Indonesia, urusan civil society tidak dapat dilepaskan dari faktor historis, kearifan budaya, serta tingkat “penetrasi” penguasa politik Negara ke
masyarakat.Faktor-faktor ini telah menyebabkan terjadi “pasang-surut”nya gerakan civil societydi Indonesia.
Dalam kehidupan kenegaraan, kita mengenal apa yang disebut dengan Empat Konsensus Dasar Bangsa yakni; Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal
Ika dan NKRI. Dalam perspektif ini, konsep civil society di Indonesia harus dipahami oleh negara, masyarakat dan warganya dalam konteks Konsensus Dasar
11
Bangsa Konsar Bangsa bagi terjaminnya pertahanan dan ketahanan negara itu sendiri. Masalahnya kemudian, bagaimana penguatan peran civil society yang
dikembangkan di Indonesia dapat dirumuskan melalui Empat Konsensus Dasar Bangsa guna kepentingan, kemajuan serta kedewasaan proses demokrasi yang
sedang terus berjalan di negeri ini. Secara teoritis, paling tidak ada tiga model konsep civil society yang
berbeda dalam tataran praksis, yakni; top-down of civil society, bottom-up of civil society, dan pararelism of civil society. Dalam budaya masyarakat Indonesia lebih
cocok menganut kepada konsep pararelism of civil society.Konsep pararelisme, dimaksud di sini adalah pemahaman bahwa antara posisi “negara” di satu pihak,
dengan warga-kelompok masyarakat di sisi lain, tidaklah berada dalam posisi yang saling berhadapan, melainkan dalam posisi kemitraan-kesejajaran dalam
membangun dan mengimplementasikan kesepakatan contract Keane, 2006. Konsep gotong royong adalah bukti bahwa civil society di Indonesia
menganut paham kesejajaran pararelism, bukan top-down sebagaimana yang dianut di negara totaliter-sosialis komunis, atau konsep bottom-up di negara yang
berpaham individualisme, liberalisme dan kapitalisme. Civil society mengalami penguatan pada pascarevolusi kemerdekaan ditahun 1950-an. Ketika itu
pemerintah memberi kebebasan yang luas kepada segenap rakyat Indonesia untuk mendirikan organisasi sosial maupun organisasi politik, seiring dengan komitmen
kuat untuk mempraktekkan sistem demokrasi parlementer. Civil society menciptakan relasi antara masyarakat sipil, masyarakat
politik dan pemerintah dalam posisi masyarakat sipil menjadi penyeimbang untuk
12
melakukan fungsi kontrol terhadap kekuatan negara. Contoh konkret, keberadaan Muhammadiyah, NU, tumbuhnya pesantren-pesantren, Taman Siswa serta
lahirnya LSM-LSM, dan FKUB sebagai kekuatan pengimbang sekaligus kekuatan yang memberdayakan masyarakat marjinal selain adanya pengintegrasian agama
ke dalam Negara. Memasuki era Orde Baru, civil society mengalami penurunan, dimana elit
penguasa kembali melanjutkan upaya memperkuat posisi negara di segala bidang.Akan tetapi saat yang bersamaan harus diakui, seiring dengan terjadinya
mobilitas ekonomi secara vertikal, terjadi pula mobilitas vertikal di dunia pendidikan.Mobilitas sosial vertikal tersebut, memungkinkan lahirnya “kelas
menengah” yang potensial mengambil peran di luar lingkaran kekuasaan. Kelompok ini kemudian melakukan apa yang dikenal dengan “gerakan kultural”,
melakukan pemberdayaan dan penyadaran sosial politik kepada warga masyarakat, melalui lembaga sosial masyarakat LSM.
Pasca Orde Baru kepemimpinan Soeharto civil society mengalami penguatan kembali dimana negara memberikan ruang yang luas bagi tumbuhnya
berbagai organisasi masyarakat. Ada beberapa istilah yang dilekatkan secara tumpang-tindih pada organisasi-organisasi semacam itu, seperti organisasi massa
ormas, NGO Non-Governmental Organization Ornop Organisasi Non- Pemerintahan, masyarakat madani, organisasi masyarakat sipil Civil society
Organization CSO, dan masyarakat kewargaan. Civil society memiliki azas ideologi, strategi, bentuk organisasi, isu,
kegiatan, jaringan, dan sumber dana dari organisasi-organisasi yang beragam.
13
Dari sisi azas, ada yang nasionalis, kerakyatan, liberal, sosialis-relijius, Islam, dan sebagainya.Strategi perjuangannya merentang dari advokasi, kampanye, lobi
hingga pemberdayaan masyarakat atau campuran dari berbagai strategi. LSM Lembaga Swadaya Masyarakat, yayasan, perkumpulan adalah beberapa bentuk
organisasi yang kerap mereka ambil. Isu yang mereka perjuangkan bermacam- macam, seperti pengembangan ekonomi rakyat, lingkungan, bantuan hukum,
kependudukan dan kesehatan, perlindungan konsumen, kesetaraan gender, resolusi konflik, good governance, pluralism Ali, 2008.
Civil society memiliki kegiatan yang beraneka rupa dan kerap bertumpang- tindih dengan strategi dan isu yang diperjuangkan.Jaringan mereka ada yang
lokal, nasional hingga internasional. Sumber dana organisasi-organisasi itu juga beragam. Dalam konteks LSM, sekitar 90 sumber dana berasal dari bantuan
asing Kompas 26 April 2007. Menurut Diamond dalam Wirutomo, 2012 Civil society didefinisikan
sebagai, “… the realm of organized social life that is open, voluntary, self- generating, at least partially self-generating, autonomous from the state, and
bond by a legal order or set of shared rules.” Dengan definisi tersebut, Diamond menyimpulkan bahwa civil society adalah fenomena penengah yang terletak
diantara ruang pribadi dan negara.Civil society mewujud dalam beragam organisasi, baik yang bersifat formal maupun informal, seperti ekonomi, budaya,
informasi dan pendidikan, kelompok kepentingan, lembaga-lembaga pembangunan, organisasi-organisasi berorientasi isu, dan kelompok-kelompok
yang berfokus pada isu kewargaan. Secara umum, organisasi-organisasi tersebut dikenal dengan CSO Civil society Organization.
14
Ada lima ciri yang membedakan antara organisasi masyarakat yang masuk ke dalam kategori civil society dan non-civil society Diamond 1999.
1. Civil society bukanlah masyarakat parokial sebab berfokus pada
tujuan-tujuan publik daripada privat. 2.
Civil society berhubungan dengan negara dalam beberapa hal, tetapi tidak berupaya untuk merebutnya atau menjadi bagian
darinya. 3.
Civil society melekat pluralisme dan keragaman. 4.
Civil society tidak berupaya untuk mempresentasikan seluruh kepentingan individu atau suatu komunitas.
5. Civil society berbeda dengan civic community.
Civil society mengandung dua aspek, yaitu horisontal dan vertikal Sujatmiko, 2001. Secara horisontal, ia berkaitan dengan budaya yang memuat
gagasan civility keberadaban, seperti pluralisme, toleransi dan sebagainya. Sedangkan secara vertikal, civil society berkaitan dengan politik yang
mengandung ide otonomi masyarakat terhadap negara.
2.2 Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB