Habitat Ikan Karang Kapal

pasaran adalah kerapu Serranidae, kakap Lutjanidae, kakatua Scaridae, napoleon Labridae,dan ekor kuning serta pisang-pisang Cesiodidae.

2.2 Habitat Ikan Karang

Nybakken 1986 menyatakan bahwa terumbu karang adalah endapan- endapan masif dari kalsium karbonat, terutama dihasilkan oleh karang dari ordo Scleractinia dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat . Wilayah terumbu karang terdiri atas karang, daerah berpasir dan daerah algae. Daerah perairan katulistiwa merupakan tempat spesifik tumbuhnya terumbu karang. Terumbu karang hanya dapat tumbuh di perairan dengan kedalaman kurang dari 50 m, memiliki suhu di atas 18°C, salinitas berkisar antara 30-50 ppt , laju pencemaran rendah, cukup peredaran air bebas pencemaran dan tersedianya substrat keras Romimohtarto dan Juwana 2000. Menurut Romimoharto dan Juwana 2000, terumbu karang umumnya dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu atol, terumbu penghalang barrier dan terumbu tepi fringing. Dari ketiga bentuk terumbu karang tersebut, terumbu tepi merupakan terumbu karang yang paling sering dijumpai di kawasan Asia Tenggara, di mana sebagian besar pulau-pulau dikelilingi oleh terumbu karang. Djamali dan Mubarak 1998 menyatakan bahwa sebaran karang di Indonesia banyak terdapat di sekitar Pulau Sulawesi, Laut Flores dan Laut Banda. Selain itu terdapat pula di Kepulauan Seribu, bagian barat Sumatera hingga ke Pulau Weh, Kepulauan Riau, Pulau Bangka-Belitung, Kepulauan Karimunjawa, Teluk Lampung, Bali, Lombok, Nusa Tenggara Timur, Teluk Cenderawasih dan Maluku. Terumbu karang merupakan ekosistem yang subur dan kaya akan makanan. Struktur fisik yang rumit, bercabang-cabang, bergua-gua dan berlorong-lorong membuat ekosistem ini menarik untuk dijadikan habitat bagi banyak jenis biota termasuk ikan dan tumbuhan. Terumbu karang berperan sebagai tempat mencari makan feeding ground, daerah asuhan nursery ground, dan tempat memijah spawnig ground ikan karang Murdianto 2003.

2.3 Tingkah Laku Ikan Karang

Tingkah laku ikan merupakan salah satu faktor yang penting untuk diketahui dalam kegiatan penangkapan ikan menggunakan bubu. Pengetahuan mengenai berbagai tingkah laku ikan karang seperti kebiasaan makan ikan, pola migrasi dan pola interaksi dengan terumbu karang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam menentukan metode penangkapan ikan yang tepat Gunarso 1985. 2.3.1 Kebiasaan makan ikan karang Kebiasaan makan ikan dan waktu pencarian makan ikan erat hubungannya dengan waktu pengoperasian alat tangkap bubu dan jenis umpan yang digunakan. Bubu akan dioperasikan sesuai dengan waktu ketika ikan mulai mencari makan. Lebih lanjut Gunarso 1985 menjelaskan bahwa pengetahuan tentang berbagai jenis makanan yang biasa dimakan ikan sangat berguna untuk usaha penangkapan ikan. Hal ini terkait dengan penggunaan jenis makanan yang dapat digunakan sebagai umpan bagi ikan yang menjadi target penangkapan. Menurut struktur trofik, ikan terumbu karang dapat dibedakan menjadi enam grup trofik, yaitu herbivora, omnivora, plankton feeders, pemakan crustacea, ikan piscivora dan pemakan lain-lain. Komposisi ikan pada terumbu karang berdasarkan tingkatan trofiknya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi ikan terumbu karang berdasarkan tingkatan trofik Grup trofik Jumlah famili Nama famili Herbivora 5 Scaridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Blennidae, dan Kyphosidae Omnivora 13 Labridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Mullidae, Ostraciontidae, Chaetodontidae, Monacanthidae, Gobiidae, Diodontidae, Sparidae, Carangidae, Gerridae, dan Pempheridae Plankton feeders 7 Apogonidae,Pomacentridae,Holocantridae, Grammidae,Pricanthidae, Sciaenidae, dan Pempheridae Pemakan krustacea dan ikan 9 Serranidae, Holocenrridae, Lutjanidae, Scorpaenidae, Sciaenidae, Acanthuridae, Muraenidae, Ophichthidae, dan Gramministidae Piscivora 9 Serranidae, Lutjanidae, Carangidae, Sphyrenidae, Muraenidae, Synodontidae, Fistulariidae, Aulostomidae, dan Bothidae Pemakan lain – lain 4 Pomacentridae, Balistidae, Acanthuridae, dan Gobiidae Sumber : Lowe and Mc Connel 1987 Ikan karang memiliki bentuk interaksi tertentu dengan lingkungan terumbu karang. Arami 2006 menyatakan bahwa ada tiga bentuk umum interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang, yaitu 1 interaksi langsung, sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan muda; 2 interaksi dalam mencari makan, meliputi hubungan antara ikan karang dengan biota yang hidup pada karang termasuk alga; 3 interaksi tak langsung akibat struktur karang dan kondisi hidrologi sedimen. Berdasarkan distribusi harian, ikan karang dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu ikan diurnal dan nokturnal. Kelompok ikan diurnal adalah kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada siang hari, seperti famili Pomacentridae, Labridae, Acanthuridae, Chaetodontidae, Serranidae, Lutjanidae, Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Bleenidae dan Gobiide. Ikan nokturnal adalah kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada malam hari. Pada siang hari, kelompok yang kedua menetap di gua dan celah- celah karang, antara lain famili Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Scorpaenidae, Serranidae dan Labridae Muzahar 2003.

2.3.2 Respon ikan karang terhadap alat tangkap

Menurut Furevik 1994, tingkah laku ikan dalam menghadapi bubu dapat digolongkan ke dalam beberapa fase berurutan, yaitu : 1 Fase arousal dan location Fase ini merupakan fase awal. Ikan akan tertarik untuk mendekati bubu. Penyebab utama ikan mendekati bubu yang diberi umpan adalah adanya penyebaran aroma umpan. Hampir seluruh jenis ikan menggunakan indra penciuman untuk mendeteksi keberadaan mangsa atau umpan. Penyebaran aroma umpan juga dipengaruhi oleh arus air. Penyebaran aroma umpan akan mengundang ikan untuk mendekati bubu. Ada pula penyebab lain ikan tertarik mendekati bubu, seperti sifat thigmothasis ikan atau sifat ketertarikan ikan pada benda asing, perilaku interspesies ikan, adaptasi bubu sebagai tempat tinggal dan stimulus feromon dari mangsa. 2 Fase nearfield dan ingress; Fase ini merupakan fase lanjutan dari arousal dan location. Dalam fase ini, ikan akan berusaha mendekati bubu dan mencoba masuk ke dalamnya. High dan Breadsley 1970 diacu dalam Furevik 1994 menyatakan beberapa jenis ikan karang memiliki cara yang berbeda dalam mendekati bubu. Famili Holocentridae dan Mullidae bergerombol memasuki bubu, sedangkan famili Scaridae dan Pricanthidae memasuki bubu secara individu. High dan Ellis 1973 diacu dalam Furevik 1994 menyatakan famili Chaetodontidae akan berenang menjauhi bubu apabila melihat ada ikan lain dari famili Chaetodontidae berada di dalam bubu. 3 Fase inside the pot atau aktivitas di dalam bubu; Berbagai penelitian mengenai aktivitas ikan di dalam bubu telah banyak dilakukan untuk mengetahui hubungannya dengan efektivitas penangkapan ikan menggunakan bubu. Ikan yang memasuki bubu karena tertarik aroma umpan akan langsung mendatangi posisi umpan di dalam bubu, namun setelah beberapa lama ikan akan kehilangan ketertarikannya terhadap umpan Furevik 1994. Spesies ikan yang berbeda akan memiliki perilaku yang berbeda pula di dalam bubu. High dan Breadsley 1970 diacu dalam Furevik 1994 menyatakan bahwa famili Chaetodontidae, Mullidae, Holocentridae dan Scaridae aktif berenang mengelilingi bubu, sedangkan famili Serranidae diam menunggu mangsa di dalam bubu. Aktivitas ikan di dalam bubu akan mengundang ikan lain untuk memasuki bubu. Famili Serranidae cenderung tertarik memasuki bubu dikarenakan aktivitas mangsa di dalam bubu. 4 Fase escape atau lolos menuju lingkungan. Setiap ikan yang tertangkap memiliki kemungkinan untuk lolos menuju lingkungan beberapa waktu setelah tertangkap di dalam bubu. Ikan akan menyusuri dinding bubu hingga menemukan celah untuk meloloskan diri, bahkan seringkali ikan dapat keluar melalui mulut bubu yang terlalu besar.

2.4. Alat Tangkap Bubu

Bubu merupakan alat tangkap pasif yang dipasang menetap di dalam air untuk jangka waktu tertentu. Alat ini memudahkan ikan untuk masuk, tetapi mempersulit ikan untuk keluar. Hal ini dikarenakan adanya halangan oleh pintu masuknya yang berbentuk corong von Brandt 1984. Bubu diklasifikasikan sebagai alat tangkap jebakan traps yang mampu menangkap ikan, tetapi tidak memungkinkan ikan untuk kembali ke habitatnya lagi non-return device. Bentuk bubu sangat beraneka ragam seperti berbentuk bujur sangkar, silinder, trapesium, setengah silinder, segi banyak, dan bulat setengah lingkaran Subani dan Barus 1989. Menurut Martasuganda 2003, secara umum bubu terdiri atas bagian-bagian rangka, badan dan mulut. Ada juga bubu yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan dan kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan. Penggunaan bubu memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan alat tangkap lain. Menurut Monintja dan Martasuganda 1991, beberapa kelebihan penggunaan bubu antara lain adalah 1 Mudah dalam pembuatan; 2 Mudah untuk dioperasikan; 3 Memiliki tingkat kesegaran hasil tangkapan yang tinggi; 4 Daya tangkapnya bisa diandalkan; dan 5 Dapat dioperasikan di tempat dimana alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan.

2.4.1 Hasil tangkapan bubu

Bubu dapat digunakan untuk menangkap berbagai hewan demersal, seperti lobster, kepiting, rajungan, keong macan dan ikan karang. Collins 1990 mengungkapkan bahwa bubu digunakan di perairan karang Teluk Atlantik Selatan, mulai perairan Tanjung Canaveral, Florida hingga perairan Teluk Carolina Selatan untuk menangkap ikan karang bernilai ekonomis tinggi. Bubu juga dapat digunakan untuk menangkap cumi-cumi, gurita, belut dan lele catfish Slack dan Smith 2001.

2.4.2 Metode pengoperasian

Subani dan Barus 1989 membagi bubu menjadi tiga golongan berdasarkan metode pengoperasiannya, yaitu bubu dasar ground fishpot, bubu apung floating fishpot dan bubu hanyut drifting fishpot. Bubu dasar dioperasikan di dasar perairan berkarang atau bebatuan. Bubu apung dilengkapi dengan pelampung untuk menjaga agar bubu tetap terapung di perairan. Biasanya bubu apung digunakan untuk menangkap ikan pelagis seperti kembung, selar, dan tembang. Bubu hanyut dioperasikan dengan cara dihanyutkan. Bubu hanyut biasanya digunakan untuk menangkap ikan terbang. Wudianto et al 1988 menyatakan bahwa bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara yaitu : 1 Dipasang secara terpisah menggunakan pelampung tanda untuk setiap bubu; dan 2 Dipasang secara bergandengan menggunakan tali utama. Cara ini biasa disebut longline trap. Jumlah bubu yang dioperasikan dapat mencapai ratusan, bergantung pada kemampuan nelayan. Bubu ikan karang dioperasikan di dasar perairan berkarang, lebih tepatnya di antara bebatuan karang dengan menggunakan sistem pemasangan tunggal single. Pengoperasian bubu ikan karang dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu persiapan, penurunan bubu ke dalam air dan pengangkatan. Masing–masing tahap dilakukan secara berkelanjutan Wudianto et al 1988.

2.4.3 Daerah pengoperasian bubu

Penentuan daerah penangkapan ikan didasarkan pada tempat yang diperkirakan banyak terdapat ikan karang, biasanya ditandai dengan banyaknya komunitas terumbu karang atau dari pengalaman nelayan Sudirman dan Mallawa 1998. Pengetahuan mengenai perilaku, pergerakan, wilayah ruaya dan habitat ikan juga akan sangat membantu dalam menentukan daerah pengoperasian bubu. 2.5 Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Pengoperasian Bubu Miller 1990 mengungkapkan ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan bubu, antara lain waktu perendaman, kecerahan perairan, habitat, konstruksi bubu, umpan dan tahapan siklus aktivitas dari target spesies. Dua yang terpenting di antaranya adalah konsruksi bubu dan umpan.

2.5.1 Konstruksi bubu

Konstruksi atau bentuk bangun bubu meliputi rancangan bentuk rangka bubu, badan bubu, posisi dan bentuk mulut bubu. Smolowitz 1978 menyatakan bahwa bentuk bubu penting karena tidak hanya untuk meningkatkan efisiensi, namun berperan penting dalam menahan pergerakan terhadap arus. Bentuk yang tidak sesuai dengan kondisi perairan dapat mengakibatkan bubu terbalik dan menggelinding di dasar perairan. Rangka bubu dapat terbuat dari besi masif, bambu atau kayu. Adapun dinding bubu dapat terbuat dari anyaman bambu, jaring maupun kawat. Kantong umpan umumnya terbuat dari kasa, jaring atau kawat. Muldiani 2007 menyatakan bahwa mulut bubu yang ideal adalah jika hewan target mudah masuk ke dalam perangkap dan sulit untuk meloloskan diri. Bentuk mulut pada bubu disesuaikan dengan target utama penangkapan. Mulut bubu berbentuk bulat sesuai untuk menangkap ikan dan lobster, sedangkan mulut bubu berbentuk celah lintasan sesuai untuk menangkap rajungan dan kepiting. 2.5.2 Umpan Umpan merupakan salah satu faktor penting yang menunjang keberhasilan alat tangkap pasif seperti bubu. Umpan dapat berperan sebagai pemikat agar ikan mau masuk ke dalam bubu. Jenis umpan yang digunakan sangat beraneka ragam. Ada yang memakai umpan hidup, ikan rucah, atau jenis umpan lainnya sesuai dengan kebiasaan nelayan. Kriteria umpan yang sesuai digunakan dalam penangkapan dengan menggunakan bubu antara lain mudah diperoleh, harganya murah dan mudah disimpan serta tahan lama Martasuganda 2003. Pada umumnya nelayan di Pulau Panggang menggunakan umpan berupa bintang laut bantal Culcita novaguineae dan bulu babi Diadema sp. yang sebelumnya telah dihancurkan terlebih dahulu Pramono 2006. Penempatan umpan di dalam bubu pada umumnya diletakkan di tengah- tengah bubu, baik di bagian bawah, tengah, ataupun di bagian atas bubu, dengan cara diikat atau digantung dengan atau tanpa pembungkus umpan Martasuganda 2003. Umpan juga dapat disimpan dalam kantong jaring, kantong kawat ataupun kotak yang dilubangi Furevik 1994. Nelayan di Pulau Panggang meletakkan umpan bulu babi yang sudah dihancurkan di depan bubu dan umpan bintang laut bantal di dalam bubu. Mulut bubu yang diberi umpan diletakkan menghadap arah arus. Hal ini ditujukan untuk mempermudah penyebaran aroma umpan di perairan.

2.6 Kapal

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009, kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitianeksplorasi perikanan. Perahu mempunyai arti penting dalam operasi penangkapan ikan. Perahu digunakan nelayan untuk mencapai daerah pengoperasian alat tangkap. Ukuran perahu yang digunakan untuk membantu pengoperasian bubu bervariasi sesuai dengan tipe dan jumlah bubu yang digunakan, kondisi lautan, jarak yang ditempuh menuju fishing ground dan jumlah nelayan yang ikut serta dalam operasi penangkapan ikan. Perahu yang digunakan oleh nelayan bubu di Kepulauan Seribu, khususnya di Pulau Panggang, memiliki ukuran yang beragam mulai 4 sampai 6 meter. Mesin yang digunakan adalah mesin diesel inboard dengan kekuatan 5-8 PK. Perahu yang digunakan umumnya terbuat dari kayu Pramono 2006.

2.7 Nelayan