15
lainnya yaitu dimensi kualitas, kerja sama tim dari Miner 1988 dan dimensi dari Parasuraman 1985 yakni kehandalan, daya tanggap,
kompetensi, kesopanan, komunikasi, kejujuran, dan pengetahuan terhadap pelanggan. Ke enam dimensi diatas lah yang akan digunakan dalam
penelitian ini.
4. Evaluasi Kinerja Wibowo 2008 menyatakan bahwa evaluasi kinerja dilakukan
untuk memberikan penilaian terhadap hasil kerja atau prestasi kerja yang diperoleh organisasi, tim atau individu. Menurut Wirawan 2009, tinggi
rendahnya hasil evaluasi kinerja ternilai secara teori menentukan tinggi rendahnya kinerja organisasi.
Sementara itu, Riggio 2008 memandang evaluasi kinerja sebagai alat resmi untuk mengukur kinerja pegawai dibandingkan dengan standar
organisasi yang telah ditetapkan. Pendapat lain mengemukakan sebagai pendekatan penilaian kinerja berdasarkan perilaku menilai atau mengukur
dimensi-dimensi kompetensi yang telah ditetapkan Grote dalam Sudarmanto, 2009.
Menurut Sudarmanto 2009, evaluasi kinerja akan menjadi sarana efektif yang diharapkan akan membawa manfaat kedua belah pihak, baik
karyawan maupun organisasi. Manfaat dari evaluasi kinerja antara lain: a. Mengukur hasil dan kemajuan yang dicapai dengan membandingkan
target, sasaran atau standar kinerja yang ditetapkan sebelumnya.
16
b. Memberi umpan balik kepada karyawan, sejauh mana kinerja selama ini yang sudah dicapai apabila kurang dapat ditingkatkan.
c. Menjadi informasi yang berharga bagi pihak organisasi dalam mengambil keputusan yang bisa berupa promosi, pelatihan kompetensi
yang kurang, pengembangan kompetensi yang diatas rata-rata. Setiap organisasi memiliki karakter dan budaya masing-masing,
model sistem evaluasi kinerja organisasi bisa berbeda satu sama lain. Survei yang dilakukan oleh Brien N. Smith, Jeffrey S. Hornsby, dan
Roslyn Shirmeyer pada tahun 1996 terhadap 250 manager perusahaan di Negara-negara bagian barat-tengah Amerika Serikat menyatakan bahwa
33,91 menggunakan model evaluasi esai, 31,76 menggunakan model Management by Objectives MBO, 24,03 menggunakan Graphic Rating
Scales, dan 10,30 menggunakan model lainnya dalam Wirawan, 2009. Model Graphic Rating Scales merupakan metode evaluasi kinerja
yang menggunakan skala untuk menilai pekerja berdasarkan dimensi pekerjaannya Riggio, 2008. Ciri dari model ini adalah dimensi kinerja
karyawan dikemukakan beserta indikator-indikatornya. Dalam model ini penilai mengobservasi indikator kinerja karyawan ternilai dan memberi
tanda centang v atau silang x pada skala. Keunggulan dari model ini adalah nilai kinerja setiap karyawan dapat dibandingkan dengan rata-rata
nilai seluruh karyawan. Selain itu model ini mudah dipahami oleh penilai dan ternilai, serta mudah dilaksanakan Wirawan, 2009.
17
Dari penjelasan yang sudah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa evaluasi kinerja merupakan proses mengukur kinerja berdasarkan tolak
ukur tertentu yang dinilai dan memberikan umpan balik kepada ternilai atas kinerja. Evaluasi kinerja individu sangat bermanfaat bagi dinamika
pertumbuhan organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan suatu model untuk mengukur kinerja yakni model Graphic Rating Scales
yang mana mengevaluasi kinerja adalah pemimpin bukan bawahan demi menghindari penilaian diri yang berlebihan atau tidak subjektif dan atas
pertimbangan dari manfaat yang diperoleh dari evaluasi kinerja.
5. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Kinerja Menurut Wirawan 2009, kinerja pegawai merupakan hasil sinergi
dari sejumlah faktor. Faktor-faktor tersebut adalah: a. Faktor internal pegawai yaitu faktor-faktor dari dalam diri pegawai
yang merupakan faktor bawaan dari lahir dan faktor yang diperoleh ketika ia berkembang. Faktor-faktor bawaan, misalnya bakat, sifat
pribadi, serta keadaan fisik dan psikologi. Sementara itu, faktor-faktor yang diperoleh, misalnya: pengetahuan, keterampilan, pengalaman
kerja, dan motivasi kerja. b. Faktor lingkungan eksternal organisasi adalah keadaan, kejadian, atau
situasi yang terjadi di lingkungan eksternal organisasi yang mempengaruhi kinerja pegawai. Misalnya, krisis ekonomi dan
keuangan yang terjadi di Indonesia tahun 1997 meningkatkan inflasi,
18
menurunkan nilai nominal upah dan gaji pegawai, dan selanjutnya menurunkan daya beli pegawai. Jika inflasi tidak diikuti dengan
kenaikan upah atau gaji pegawai yang sepadan dengan tingkat inflasi, maka kinerja mereka akan menurun.
c. Faktor yang terakhir adalah faktor lingkungan internal organisasi. Dalam melaksanakan tugas, pegawai memerlukan dukungan organisasi
tempat ia bekerja. Dukungan tersebut, misalnya penggunaan teknologi oleh organisasi, strategi organisasi, sistem manajemen, budaya
organisasi dan kepemimpinan.
Hasil sinergi dari ketiga faktor tersebut akan mempengaruhi perilaku kerja karyawan yang kemudian mempengaruhi kinerja mereka.
Namun dari ketiga jenis faktor tersebut, salah satu faktor yang menarik untuk dikaji dalam penelitian ini adalah faktor kepemimpinan dari
lingkungan internal organisasi. Hal ini disebabkan karena kepemimpinan menjadi salah satu dimensi kompetensi yang sangat menentukan kinerja
Sudarmanto, 2009.
19
B. Kepemimpinan Situasional
1. Definisi Kepemimpinan Menurut Hughes, Ginnet, dan Curphy 2002 kepemimpinan
adalah tugas pemimpin untuk menciptakan suatu kondisi yang efektif untuk bawahan. Sementara itu, Roach and Behling memandang
kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kelompok kerja untuk mencapai beberapa tujuan yang diinginkan dalam Hughes et al, 2002.
Koontz dan O’Donnelle dalam Soekarso, Sosro, Putung, dan Hidayat, 2010 mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi
bawahan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan mereka dengan semangat keyakinan. Hersey dan Blanchard dalam Soekarso et al, 2010
mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan
dalam situasi tertentu. Dengan demikian, keberadaan kepemimpinan menjadi bagian terpenting dalam pengembangan organisasi di masa depan.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka kepemimpinan dapat diartikan sebagai sikap pemimpin dalam menciptakan kondisi dan
mempengaruhi individu atau kelompok. Kondisi yang efektif dapat membantu pemimpin mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok
untuk menyelesaikan pekerjaan mereka demi pencapaian tujuan yang diinginkan.
20
2. Definisi Kepemimpinan Situasional
Hersey dan Blanchard 1986 menyatakan bahwa adanya kebutuhan akan model situasional yang signifikan dalam bidang
kepemimpinan telah diakui dalam literatur untuk beberapa waktu lamanya. Menurut mereka, kepemimpinan situasional didasarkan atas hubungan
antara kadar bimbingan dan arahan perilaku tugas yang diberikan pemimpin; kadar dukungan sosioemosional perilaku hubungan yang
disediakan pemimpin; dan level kesiapan atau kematangan maturity yang diperlihatkan pengikut dalam pelaksanaan tugas, fungsi atau tujuan
tertentu. Konsep ini dikembangkan untuk membantu orang-orang yang melakukan proses kepemimpinan, tanpa mempersoalkan peranan mereka,
agar lebih efektif dalam hubungan mereka sehari-hari dengan orang lain. Konsep ini menjelaskan hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif
dengan level kematangan para bawahan, bagi para pemimpin.
3. Efektivitas Kepemimpinan Situasional Pemimpin yang dapat menyesuaikan perilakunya dengan tingkat
kematangan bawahan akan mengarah pada pemimpin yang efektif. Hersey dan Blanchard 1986 mengemukakan gaya kepemimpinan yang paling
efektif bervariasi sesuai dengan tingkat kematangan bawahan sebagai berikut:
21
Tabel. 1 Efektivitas Kepemimpinan Situasional
Sumber Hersey and Blanchard, 1986
Gaya Pemimpin
Gaya Kepemimpinan Situasional Delegating:
- Tugas rendah - Hub. rendah
Participating: - Tugas rendah
- Hub. Tinggi Selling:
- Tugas tinggi - Hub. Tinggi
Telling: - Tugas tinggi
- Hub. rendah
S4 S3
S2 S1
Kematangan kesiapan
Bawahan M4
M3 M2
M1 - Mampu
- Mau yakin - Mampu
- Tidak mau tidak yakin
- Tidak mampu
- Mau yakin - Tidak mampu
- Tidak mau tidak yakin
Tinggi Sedang
Rendah Karakter Situasional Bawahan
Berdasarkan tabel. 1, efektivitas kepemimpinan seseorang
tergantung pada kemampuannya melihat kematangan bawahan sehingga ia dapat menyesuaikan hal tersebut dengan perilaku memimpinnya. Perilaku
memimpin berupa perilaku tugas dan hubungan. Sedangkan kematangan berupa kematangan pekerjaan dan psikologis. Bila kematangan bawahan
berada pada kategori rendah yakni M1 maka perilaku memimpin yang sesuai adalah perilaku Telling S1. Bilamana kematangan bawahan berada
pada kategori sedang yakni M2 maka perilaku memimpin yang sesuai adalah Selling S2. Bilamana kematangan bawahan berada pada kategori
sedang yakni M3 maka perilaku memimpin yang sesuai adalah Participating S3. Bilamana kematangan bawahan berada pada kategori
tinggi yakni M4 maka perilaku memimpin yang sesuai adalah Delegating S4.
22
Efektivitas kepemimpinan situasional dalam penelitian ini adalah kesesuaian perilaku pemimpin dengan tingkat kematangan bawahan. Pada
proses pelaksanaan, pemimpin harus mampu menyesuaikan perilaku tugas dan hubungannya dengan kematangan pekerjaan dan psikologis bawahan.
Menurut Hersey dan Blanchard 1986 kematangan bawahan dan perilaku pemimpin terdiri dari beberapa dimensi antara lain:
a. Kematangan bawahan Kematangan bawahan terdiri dari kematangan pekerjaan dan
kematangan psikologis. Kematangan pekerjaan adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu. Kematangan ini terdiri dari tiga dimensi
yakni pengalaman kerja memiliki pengalaman kerja yang relevan, pengetahuan kerja memiliki pengetahuan kerja yang diperlukan, dan
pemahaman akan syarat pekerjaan paham yang perlu dilakukan. Sedangkan kematangan psikologis adalah kesiapan untuk melakukan
sesuatu. Kematangan ini terdiri dari tiga dimensi yakni kemauan memikul tanggung jawab, motivasi berprestasi, dan komitmen.
b. Perilaku pemimpin Perilaku pemimpin terdiri dari perilaku tugas dan perilaku hubungan.
Perilaku tugas adalah sejauhmana pemimpin menyediakan arahan kepada bawahan. Perilaku ini terdiri dari lima dimensi yakni
penyusunan tujuan sejauh mana pemimpin menetapkan tujuan yang perlu bawahan capai, pengorganisasian sejauh mana pemimpin
23
mengorganisasikan situasi kerja bagi bawahan, menetapkan batas waktu sejauh mana pemimpin menetapkan batas waktu bagi
bawahan, pengarahan sejauh mana pemimpin mengarahkan tugas secara spesifik pada bawahan dan pengendalian sejauh mana
pemimpin meminta laporan regular tentang kemajuan pelaksanaan kerja. Sedangkan perilaku hubungan adalah sejauhmana pemimpin
melakukan hubungan dua arah dengan bawahan. Perilaku ini terdiri dari lima dimensi yakni memberikan dukungan sejauh mana
pemimpin memberikan dukungan dan dorongan kepada bawahan, mengkomunikasikan sejauh mana pemimpin memberikan penjelasan
kepada bawahan mengenai keputusan yang diambil, memudahkan interaksi sejauh mana pemimpin memberikan kemudahan interaksi
atau diskusi, aktif menyimak sejauh mana pemimpina menyimak pendapat dan kesusahan bawahan dan memberikan balikan sejauh
mana pemimpin memberikan penilaian prestasi kepada bawahan.
24
C. Dinamika Perbedaan Kinerja Karyawan Berdasarkan Efektivitas
Kepemimpinan Situasional
Soekarso et al, 2010 memahami bahwa pada dasarnya kepemimpinan menggerakkan, memberdayakan, dan mengarahkan sumber daya secara efektif
dan efisien kearah pencapaian tujuan. Keberadaan kepemimpinan menjadi bagian terpenting dalam pengembangan organisasi di masa depan.
Hersey and Blanchard 1986 menyatakan bahwa adanya kebutuhan akan model situasional yang signifikan dalam bidang kepemimpinan telah
diakui dalam literatur untuk beberapa waktu lamanya. Menurut mereka, kepemimpinan situasional didasarkan atas hubungan antara kadar bimbingan
dan arahan perilaku tugas yang diberikan pemimpin; kadar dukungan sosioemosional perilaku hubungan yang disediakan pemimpin; dan level
kesiapan atau kematangan maturity yang diperlihatkan pengikut dalam pelaksanaan tugas, fungsi atau tujuan tertentu.
Pemimpin yang dapat menyesuaikan perilakunya dengan tingkat kematangan bawahan akan mengarah pada pemimpin yang efektif. Efektivitas
kepemimpinan seseorang
tergantung pada kemampuannya
melihat kematangan pekerjaan dan psikologis anggota sehingga ia dapat
menyesuaikan hal tersebut dengan perilaku tugas dan hubungan nya Hersey and Blanchard, 1986.
Gaya kepemimpinan yang tidak efektif berdampak negatif bagi pemimpin dan bawahan. Pemimpin merasa tidak berhasil mempengaruhi
bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Bawahan merasa tidak menjadi