Penetasan Telur Pemeliharaan Larva Udang Windu

dibilas dengan air laut yang bersih kemudian didiamkan beberapa menit. Setelah agak mengering, bak diisi dengan air laut bersih yang memiliki salinitas 28 ppt – 30 ppt dan temperatur 28 o C – 29 o C. Jika temperatur dan salinitas sudah stabil, aerasi diaktifkan agar air dalam bak jenuh dengan oksigen terlarut Induk Udang Windu yang masih ditampung dalam bak penampungan, dikontrol dan diamati satu per satu, tiga hari setelah dilakukan ablasi. Apabila perkembangan ovarium pada bagian kepala sudah terlihat jelas, berarti kematangan puncak telur telah tercapai. Setelah kematangan telur tercapai, induk dapat dipindahkan ke dalam bak perkawinan. Induk udang jantan dipindahkan terlebih dahulu baru kemudian induk udang betina yang telah mencapai tingkat kematangan gonad dipindahkan ke dalam bak perkawinan. Apabila pada malam pertama induk udang belum juga bertelur, maka pada hari kedua air dalam bak perkawinan harus diganti. Apabila telur telah dikeluarkan secara sempurna maka induk udang harus segera dikembalikan ke bak penampungan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah agar telur yang sudah dikeluarkan tidak dimakan lagi oleh induk udang.

5.2.3.3 Penetasan Telur

Seperti pada proses pemijahan, sebelum digunakan bak penetasan juga harus dicuci bersih seperti pada cara membersihkan bak pemijahan. Induk Udang Windu yang sudah bertelur dapat diketahui melalui sisa-sisa jaringan berwarna jingga yang mengapung di permukaan air bak perkawinan. Di dalam sisa-sisa jaringan ini tercampur telur hasil pemijahan. Untuk mengambil telur hasil pemijahan digunakan serok bermata 500 mikron. Telur hasil pemijahan harus dikumpulkan dengan hati-hati, dengan menggunakan saringan bermata 20 mikron. Selanjutnya, telur ditempatkan dalam waskom yang berisi air laut bersih. Semua telur yang telah terkumpul dalam saringan dibilas dengan air laut yang bersih dan segar. Setelah itu, telur dipindahkan ke bak penetasan yang telah disiapkan. Telur yang baik akan menetas dalam waktu 10-12 jam sejak dipijahkan. Untuk mempercepat proses penetasan dapat dilakukan pengadukan.

5.2.3.4 Pemeliharaan Larva Udang Windu

Setelah telur Udang Windu menetas menjadi larva, maka dibutuhkan berbagai proses pemeliharaan larva udang. Pemeliharaan larva udang dimulai dari tingkat larva nauplius kedua N 2 sampai dengan tingkat post-larva ke tujuh PL- 12. Pemeliharaan dilakukan di dalam bak dengan ruang tersendiri, yakni ruang pemeliharan larva Udang Windu. Oleh karena itu kebersihan sarana dan prasarana yang digunakan akan menjamin keberhasilan benur udang yang akan dihasilkan. Sehari sebelum larva nauplius dipindahkan ke bak pemeliharaan, air dalam bak diberi EDTA ethylene dinitrilotetra acetic sebanyak 2 ppm atau 2 gramton. Tujuan pemberian EDTA adalah untuk mengurangi daya lekat sesuatu terhadap zat lainnya dan mengendapkan logam berat. Pemindahan harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Cara yang dilakukan sangat sederhana namun menjamin keamanan yaitu dengan menyerok menggunakan gayung plastik. Pada stadium larva nauplius, larva udang windu tidak perlu diberi makanan. Pemeliharaan larva Udang Windu berkaitan dengan dua proses utama, yaitu : a. Pemberian pakan Pemberian pakan dimulai dari stadium zoea atau setelah larva nauplius berusia 6 hari N 6 . Jenis makanan alami yang digunakan untuk satadium zoea berupa plankton biasanya dari genus Skeletonema sp. Stadium zoea berlangsung 4 hari. Plankton diberikan pada saat larva sudah mencapai zoea pertama Z 1 sampai zoea ketiga Z 3 . Untuk stadium zoea , makanan yang diberikan berupa plankton sebagai makanan alami. Pemberian makanan alami untuk zoea dilakukan 2 kali sehari, yakni pada pukul 12.00 dan 20.00. Selain pakan alami, diberikan pula pakan buatan yang diberikan 4 jam sekali. Setelah mencapai hari keempat, zoea biasanya hampir seluruhnya telah berubah menjadi misis. Stadium misis selalu dicirikan dengan posisi renang selalu terbalik. Stadium misis berlangsung mulai dari misis pertama M 1 sampai misis ketiga M 3 . Pakan alami yang diberikan berupa Artemia sp. Artemia sp ini dikultur sendiri dari telur atau kista yang dibeli di toko perikanan. Sementara itu, untuk pakan buatan yang diberikan sebaiknya berupa butiran halus yang agak melayang di dalam air. Setelah melewati stadium nauplius, zoea dan misis pada hari ketujuh larva udang sudah berubah menjadi stadium post larva. Stadium ini dicirikan dengan bentuk tubuh yang lurus atau tidak berenang dengan kaki terbalik. Pakan alami yang diberikan berupa Artemia sp 100 grhari. Pemberian pakan dilakukan pada pukul 08.00 dan 20.00. Sementara itu makanan buatan diberikan sebanyak 2 grhari dengan saringan makanan yang berukuran 200 mikron. Takaran pemberian pakan alami berbagai stadium larva Udang Windu dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Takaran Pakan Alami dari Berbagai Stadium Larva Udang Windu Stadium Larva Kepadatan selcc Zoea pertama Z 1 5000 – 10.000 Zoea kedua Z 2 10.000 – 15.000 Zoea ketiga Z 3 15.000 – 30.000 Misis pertama M 1 20.000 Misis kedua M 2 20.000 Misis ketiga M 3 20.000 Post larva 100 grhari Sumber : Bambang AM , 2000 b. Penanggulangan penyakit Berdasarkan penyebabnya, penyakit udang dapat dibedakan menjadi dua yaitu penyakit infeksi protozoa,bakteri,virus dan cacing serta penyakit non- infeksi lingkungan,bahan beracun, nutrisi. Sementara itu pada usaha pembenihan Udang Windu ada dua jenis penyakit berdasarkan objek yang diserang yaitu, penyakit induk Udang Windu serta penyakit pada telur dan larva Udang Windu. Pencegahan terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Adapun cara yang dilakukan antara lain adalah perbaikan kualitas air, mengurangi kepadatan, mengurangi stres cekaman, dan pemberian obat-obatan secara terkontrol seperti terramicin, eritromicin,choramphericol, dan furanace. Tabel 2 memperlihatkan lebih jelas penggunaan obat-obatan terhadap berbagai penyakit larva Udang Windu. Tabel 2. Penggunaan Obat-Obatan Terhadap Penyakit Larva Udang Windu Obat-Obatan Penyakit Terramicin Bakteri non-filamen bakteri menyala Eritromicin Bakteri non-filamen bakteri menyala Choramphericol Bakteri non-filamen bakteri menyala Furanace Bakteri filamen Leuconthrix mucor dan bakteri non- filamen bakteri menyala Sumber : Bambang AM, 2003 Oleh karena itu, pendekatan pengelolaan sistem pemeliharaan yang baik dan benar akan menentukan keberhasilan dalam upaya melakukan pencegahan terhadap penyakit.

5.2.3.5 Pemanenan benur