Televisi dan Ekspresi Religi di Era Monopoli: Layar Kaca sebagai Cermin Tugas Negara

3.1.1. Televisi dan Ekspresi Religi di Era Monopoli: Layar Kaca sebagai Cermin Tugas Negara

Kemunculan televisi di Indonesia dimulai sebagai agenda pembentukan nasionalisme (nation building) pada era Soekarno. Televisi Republik Indonesia (TVRI) dibentuk oleh pemerintah sebagai sarana membangun kebudayaan nasional. TVRI mengudara pertama kali pada Agustus 1962, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan ke-17. Setelah siaran percobaan dan siaran langsung Asian Games dari 24 Agustus 1962 sampai 12 September 1962, TVRI sempat berhenti siaran. Baru pada 11 Oktober 1962, TVRI bersiaran secara rutin di bawah kendali Menteri Penerangan (Kitley 2000: 21-23).

Di masa-masa awal, tayangan religi diprogram secara langsung oleh pemerintah. Sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 215 Tahun 1963, cakupan program TVRI berkisar di tujuh kategori, yaitu (1) penerangan/informasi, (2) pendidikan ilmu pengetahuan, (3) keagamaan, (4) keolahragaan, (5) kesenian/kebudayaan, (6) hubungan kebudayaan antara-Negara dan (7) isu-isu politik, sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Seperti tampak dalam tabel 2.1 berikut ini, tayangan religi ketika itu menempati porsi sekitar 40%. Seluruh siaran TVRI di masa-masa awal itu diarahkan untuk pembangunan mental/spiritual dan fisik bangsa negara Indonesia (Kitley 2000: 39; Keppres 215/1963).

A NTROPOLOGI M EDIA

Tabel 3.1 Persentase Jam Tayang menurut Kategori Program Siaran di Stasiun TVRI 1962 – 1972

Kategori Program Tahun TVRI

1962 2963 1964- 1969 1970 1971 1972

Berita/Informasi

Pendidikan/Religi

Hiburan, Budaya

Sumber: Direktorat Televisi Departemen Penerangan Republik Indonesia 1972, 223-24

Pada masa 1960-an dan 1970-an, siaran agama di TVRI mengambil bentuk yang sederhana, yakni ceramah monolog dan pembacaan ayat-ayat suci. Pada malam Jumat pukul 20.00, setelah siaran berita, TVRI biasanya menayangkan acara Pengajian Alquran selama 10 menit yang dilanjutkan Mimbar

Agama Islam selama 30 menit. 1 Dalam proses produksi, TVRI yang ketika itu di bawah

Departemen Penerangan membuka kerjasama dengan departemen-departemen lainnya dalam memberikan informasi, pendidikan, dan hiburan. Program Aku Cinta )ndonesia , misalnya, merupakan program kerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Program tersebut berisikan

Agustus 1973, http://hurek.blogspot.co.id/2013/09/tvri-tahun-1970an-tutup-jam-2300.html

1 Tabloid Monitor

TVRI,

Edisi

T ELEVISI D AN T AYANGAN R ELIGI

drama yang menceritakan kehidupan siswa-siswi SMA dan dinamikanya. Begitupun untuk kepentingan pendidikan pluralisme agama, TVRI bekerjasama dengan Departemen Agama membuat program acara religi Mimbar . Program acara

Mimbar menayangkan ceramah agama-agama di Indonesia yakni agama Hindu, Budha, Islam, Katholik dan Protestan. Program acara ini menjadi program religi pertama yang memiliki

tujuan mendidik pluralisme agama dan mengendalikan gerakan-gerakan kelompok agama yang dapat menghancurkan stabilitas politik Pemerintahan Presiden Soeharto. Pemerintah melalui TVRI mengendalikan siaran dan menciptakan tayangan religi dengan tujuan untuk mengontrol agar masyarakat agama mengikuti selera kestabilan pemerintahan pada masa itu.

Gambaran tayangan religi di TVRI dapat dipahami sebagai bentuk ekspresi religi di ranah publik, yang merupakan manifestasi dari keadaan sosial, ekonomi dan politik ketika itu. Ekspresi religi lebih merupakan agenda negara, bukanlah wujud dari tuntutan konsumen atau pasar. Hefner (2000) mengatakan bahwa bentuk-bentuk ekspresi Islam di masa Orde Baru awal tidaklah terlalu menonjol. Pada dasarnya pemerintahan Orde Baru lebih dikenal dalam membesarkan kalangan abangan dibandingkan kalangan santri. Pemerintah Orde Baru tampak cenderung memusuhi atau dengan kata lain memarginalisasi kelompok Islam (kaum santri) dengan membatasi pengaruh-pengaruh dari partai-partai politik Islam. Hal ini dapat dilihat ketika pada tahun 1968 pemerintah menolak mengakui Piagam Jakarta sebagai pembukaan UUD, padahal ini dapat membuka harapan kaum muslim untuk menjalankan hukum Islam di Indonesia (Hefner, 2000:100).

A NTROPOLOGI M EDIA

Pemerintah Orde Baru juga menolak untuk merehabilitasi Masyumi serta melarang sejumlah tokoh muslim untuk berpartisipasi dalam Partai Muslimin Indonesia (PMI).

Pembatasan terhadap gerakan politk Islam terlihat pula ketika pada 1971 pemerintah melakukan reorganisasi partai- partai menjadi dua partai saja. Berbagai peristiwa terus terjadi pada masa Orde Baru yang terlihat memojokkan politik Islam di Indonesia. Walaupun secara politik, partai Islam tidak terlalu

terdapat perkumpulan- perkumpulan yang dapat menjadi harapan kaum Muslim pada masa itu. Dua perkumpulan itu adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII). Keduanya menjadi kelompok yang berusaha memasuki politik dan organisasi-organisasi sosial non-pemerintahan.

berkembang

namun

Tidak hanya soal gerak-gerik organisasi, ekspresi Islam di ranah publik pun sangat dibatasi. Contoh paling menonjol adalah keluarnya Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D.82 pada 1982 yang mengatur institusi pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) milik negara dalam hal penggunaan seragam sekolah. SK tersebut membuat seorang siswa dan siswi Islam tidak dapat menggunakan atribut Islam seperti kerudung dan sebagainya (Hefner, 2000:186).

Dengan kata lain, di awal-awal munculnya televisi di Indonesia, bentuk-bentuk ekspresi religi di ruang publik, tak terkecuali di televisi, dibatasi dan dikawal ketat oleh negara. Televisi hanya menyediakan ruang ekspresi agama yang resmi diproduksi oleh negara melalui kementerian-kementerian dan lembaga-lembaganya.

T ELEVISI D AN T AYANGAN R ELIGI