Syuting: Kewaspadaan Aktor dan Pertaruhan Produksi

4.2. Syuting: Kewaspadaan Aktor dan Pertaruhan Produksi

Pengambilan gambar atau yang biasa disebut syuting merupakan tahapan penting dalam keseluruhan proses produksi tayangan. Dapat dikatakan proses ini merupakan

jantung dari produksi, karena ia memproduksi bahan dasar dari tayangan: gambar frame by frame yang nantinya menjadi jahitan utuh suatu tayangan yang tersiar. Dari sudut pandang seorang produser, proses pengambilan gambar (syuting) digolongkan menjadi dua: taping (rekaman) dan live (langsung). Kedua jenis syuting ini memiliki perbedaan di tingkat kesulitannya, yang berimplikasi pada tingkat kewaspadaan yang berbeda bagi tim produksi. Makanya saya santai aja kalau taping. Kan nanti diedit,” ujar Jafar, sang produser. Live tuh harus awas. (arus melek karena langsung.

P ROSES P RODUKSI T AYANGAN R ELIGI S EBAGAI L ITURGI

Gak bisa edit. Gak bisa cut. Kalau yaudah gitu, ya gitu, masuk, sambungnya.

Penulis mencoba mengikuti dari dekat proses syuting tersebut, baik taping maupun live. Pada setiap proses syuting, penulis mencoba memposisikan diri sebagai pengamat yang membatasi kegiatan wawancaranya karena dikhawatirkan apa yang dilakukan penulis dapat mengganggu proses pengambilan gambar dan hal tersebut tentu dapat merusak rapport yang telah dibangun oleh penulis.

Tahapan syuting ini, seperti halnya tahapan-tahapan lain dalam proses produksi, memiliki keajegan waktu dan proses. Proses syuting diadakan dari Senin hingga Jum’at di Studio 3 Indosiar. Dalam satu hari, syuting dilakukan sebanyak dua hingga tiga kali. Pada pukul 03:00 pagi syuting yang dilaksanakan adalah taping. Kemudian pada pukul 06.00 pagi, tim melakukan syuting live.

Setiap syuting, baik live maupun taping, senantiasa diawali dengan alunan lagu yang menjadi identitas tayangan ini. Alunan musik oleh kelompok musik Qosidah Sholawah An- Nabawy dari Perguruan Tinggi )lmu Alqur’an (PT)Q Jakarta, selalu mewarnai proses pembukaan acara. Lirik lagu yang diciptakan Ustadz Agus Muhaimin dari Majelis Ta’lim An- Nabawy, yang simpel dan mudah diingat, itu seolah hendak mengungkapkan inti dari tayangan religi diproduksi. Syairnya menggambarkan sifat dan karekterisktik ceramah Mamah Dedeh yang tidak keluar dari benang merah tema program siarannya. Program ini, sejak awal kemunculannya pada 2006 ditujukan untuk membahas masalah dalam keluarga dan masalah kehidupan sehari-hari yang membumi. Sejumlah persoalan keseharian seperti pembagian harta waris,

A NTROPOLOGI M EDIA

perceraian, nikah siri, adil dalam keluarga, hak dan kewajiban suami istri, kekerasan dalam rumah tangga, hukum perdagangan dalam Islam dan lain sebagainya selalu diangkat. Itu semua dieksplisitkan dalam lirik lagu seperti yang secara rutin dinyayikan di awal proses syuting seperti berikut:

Mamah dan Aa Theme Song

Di kala kau punya masalah Bingung dan harus bagaimana Bersabar dan jangan putus asa Bertanyalah pada Mamah-Aa

Masalah yang tak kunjung reda Jangan bingung dan jangan resah Tawakal dan terus berusaha Serahkan pada Allah Ta ala

REFF: Insya Allah, Insya Allah Insya Allah, ada solusinya Insya Allah, Insya Allah Insya Allah, Allah beri jalan

Moda interaksi antar aktor dalam syuting taping tentu berbeda dengan ketika dalam syuting live. Biasanya, proses taping dilaksanakan di studio 3, persis pada pukul 03:00 pagi. Sebelum dimulai, tim menyediakan sarapan pagi untuk seluruh kru dan audiensi. Yang menarik, tidak ada briefing terlebih dahulu terhadap tim produksi. Tampak kegiatan syuting sudah menjadi kegiatan sehari-hari yang dijalani oleh tim produksi. Setelah sarapan pagi, tim produksi memasuki studio tiga Indosiar. Setiap anggota tim produksi memiliki kesibukan masing-masing ketika proses syuting akan dimulai. Tampak

P ROSES P RODUKSI T AYANGAN R ELIGI S EBAGAI L ITURGI

bahwa masing-masing aktor bergerak dengan cara dan tafsirnya terhadap perannya masing-masing.

Untuk proses syuting taping, Dwi Ernawati, sebagai staf kreatif yunior, dan Denny Ramadhan, sebagai asisten produser, berbagi tugas yang berbeda. Dwi Ernawati bertugas menyiapkan majelis taklim dan pertanyaan yang akan diajukan serta berkoordinasi dengan staf kreatif. Sementara itu, Denny Ramadhan menyiapkan segala kebutuhan untuk syuting di ruang kontrol, mulai dari menyiapkan kaset-kaset untuk merekam, menyiapkan monitor kontrol hingga melakukan kordinasi dengan pihak studio untuk mengatur cahaya, suara, dan latar syuting.

Di sudut lain, Hendrik Worotikan, selaku pengarah acara, melakukan pengaturan terhadap tempat duduk jamaah dan berkordinasi dengan kameramen untuk melakukan uji coba pengambilan gambar. Dalam proses syuting taping, Taryatman sebagai produser eksekutif dan Jafar atau Danindra Nur selaku produser selalu memberikan arahan kepada tim. Namun, produser eksekutif dan produser tidak terlalu terlibat dalam pengambilan keputusan saat pengambilan gambar untuk taping. Ketika proses syuting taping dilakukan, Taryatman, Jafar dan Danindra Nur jarang terlihat. Mereka biasanya hanya berdiri di daerah pintu keluar studio sambil menikmati rokok dan kopi. Beberapa kali saat penulis menjumpai mereka di dekat pintu, mereka selalu mengatakan kepada penulis untuk santai sambil merokok dan minum kopi. Jafar juga pernah mengatakan kepada penulis untuk fokus pada syuting live saja,

Nanti aja, Mas, pas live kita ke atas, kalau gini doang biasa.” Terlihat di sini bahwa masing-masing aktor dalam proses produksi tayangan (taping) sudah mentradisi, secara

A NTROPOLOGI M EDIA

otomatis, konsep dan apa yang harus diperbuat telah menjadi matrik dalam tubuh para aktor yang ada dan keluar dengan sendirinya tanpa harus dikomando. Bahkan berkembang pola pikir bahwa dalam taping masih akan ada penselarasan suara dan visualisai gambar lagi. Pola pikir dan tindakan dalam proses produksi taping ini terus ada dan membentuk semacam doxa (Bourdieu, 1993) yang mewujud ke dalam tindakan di ruang studio. Proses-proses menyatunya konsep dan tindakan di tubuh para aktor ini terus hadir dan direproduksi kembali dalam proses produksi tayangan secara terus-menerus.

Gambar 4.3 Sejumlah Persiapan sebelum Syuting Taping Dimulai

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Syuting taping, bagi tim produksi, lebih merupakan proses untuk memenuhi stok program tayangan. Syuting taping ini nantinya akan melalui proses editing. Karena bersifat rekaman, maka tidak ada pertanyaan interaktif dari telepon ataupun skype. Karena itu, tim produksi menyiapkan sebanyak

P ROSES P RODUKSI T AYANGAN R ELIGI S EBAGAI L ITURGI

mungkin pertanyaan kepada jamaah. Kemudian, pada proses editing, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan disunting. Kalau yang nanya banyak, nggak apa-apa, kan nanti diedit juga, ujar Denny Ramadhan. Lagian, kita juga gak punya interaktifnya. Selain pertanyaan yang kita buat, di sesi ini jamaah bisa bertanya. Jadi emang di sini interaktifnya lebih ke jamaah, tapi nanti diedit, kita pilih yang nanya, lanjutnya.

Dalam syuting taping, masing-masing aktor memiliki peran penting dan tampaknya tidak ada yang mendominasi jalannya pengambilan gambar. Mereka semua menaruh rasa hidmat dan kepercayaan tinggi pada sesama aktor, termasuk Mamah sekalipun. Sebagai contoh, Mamah juga menerima dan mengikuti berbagai arahan dari Hendrik Worotikan selaku pengarah acara, ataupun kameramen supaya gambar yang dihasilkan bisa lebih baik. Dalam istilah Hatch (1997) untuk menjelaskan suatu peristiwa budaya yang berlangsung dalam praktek produksi pengambilan gambar berjenis taping di mana unsur peran dan fungsi dari para aktor yang tergabung dalam suatu hirarkhi struktur yang saling menaruh hormat, saling menjaga perasaan, dan struktur dalam sistem hirarkhi organisasi yang tidak terlalu seriu difungsikan peran pengendaliannya, ini yang disebut sebagai praktek kerja dengan menganut kredo high trust culture (kebudayaan berkepercayaan tinggi). Para aktor yang menduduki posisi dan peran penting sebagai pengendali (produser eksekutif dan produser) dalam struktur tim produksi sama-sama menaruh hormat dan kepercayaan tinggi toh di bagian akhir masih akan ada proses editing. Tradisi semacam ini hidup dalam suatu rutinitas kerja di studio di mana hasil kerja tidak mengenai langsung penonton. Masih ada kesempatan bagi tim produksi

A NTROPOLOGI M EDIA

untuk mengontrol dan mengendalikan kualitas gambar, audio, dan kontennya melalui proses editing.

Sementara itu, proses syuting live agak berbeda dan memperlihatkan cara interaksi antar aktor yang juga berbeda. Di sini, seluruh pengambilan gambar hasilnya ditayangkan secara langsung sehingga jika ada kesalahan tidak dapat diperbaiki. Tingkat kesulitan ini membuat produser eksekutif dan produser selaku penanggungjawab produksi selalu berjaga di ruang kontrol. Perbedaan suasana ketika taping dan live sangat terasa. Ketika taping, tim yang ada di ruang kontrol lebih santai dibandingkan saat mereka melakukan syuting live. Berbeda dengan ketika melakukan syuting taping, Denny Ramadhan sebagai asisten produser diwajibkan untuk melapor kepada pihak pengendali siaran yang terletak tidak jauh dari studio 3 sebelum proses syuting live dimulai. Denny harus melapor karena pengendali siaran yang akan mengatur jam tayang serta iklan yang akan ditayangkan. Setelah dia melapor dan pengendali siaran melakukan pendataan, maka proses syuting live dapat segera dimulai. Dalam syuting live, terbuka peluang bagi para penonton di rumah untuk bertanya melalui telepon ataupun skype. Selain pertanyaan interaktif, pada syuting live penonton di rumah juga memiliki kesempatan untuk mendapatkan hadiah dari kuis interaktif.

Terlihat di sini suasana bernas dan waspada berlangsung dalam proses syuting live. Semua aktor tertuju dan fokus pada peran dan job desk-nya masing-masing. Tidak boleh lengah, karena tayangan ditonton langsung oleh penonton di rumah. Kalau sampai lengah taruhannya adalah kinerja tim produksi, karena ada post-censorships yang dilakukan penonton dan lembaga pengawas Komisi Penyiaran Indonesia

P ROSES P RODUKSI T AYANGAN R ELIGI S EBAGAI L ITURGI

(KPI). Dalam istilah Hatch (1997), dalam situasi kerja dengan pola rutinitas semacam itu disebut sebagai praktek kerja dengan menganut kredo low trust culture (kebudayaan berkepercayaan rendah). Para aktor yang menduduki posisi dan peran penting sebagai pengendali (produser eksekutif dan produser) dalam struktur tim produksi turun langsung mengendalikan agar setiap aktor dipastikan dapat menjalankan peran

tepat, akurat, dan bertanggungjawab. Tradisi ini hidup dalam suatu rutinitas kerja di mana hasil kerja langsung mengenai penonton yang mendapatkan pengawasan (post-censorships) langsung dari masayarakat. Tidak lagi ada kesempatan bagi produser untuk mengontrol dan mengendalikan kualitas gambar, audio, maupun kontennya melalui proses editing.

dan fungsinya

secara