11
BAB II KAJIAN TEORI
A. Tinjauan tentang Resiliensi
1. Pengertian Resiliensi
Resiliensi daya lentur merupakan sebuah istilah yang relatif baru dalam khasanah psikologi, terutama psikologi perkembangan Desmita,
2005: 226. Dalam menghadapi berbagai macam perubahan saat ini, baik itu anak-anak, remaja, dan orang dewasa dipandang perlu memiliki
resiliensi. Berbagai penelitian yang dikemukakan oleh para ahli memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam mendefinisikan resiliensi.
Reivich Shatte 2002: 1, mengungkapkan bahwa “resilience is the ability to persevere and adapt when things go awry”. Resiliensi adalah
kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi ketika menghadapi kejadian- kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Dengan
resiliensi seorang individu dapat bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan mampu berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak
menyenangkan adversity atau trauma yang dialami dalam kehidupan. Setiap orang membutuhkan resiliensi, karena kesulitan adalah satu hal
yang pasti terjadi dalam kehidupan seseorang. Lebih dari lima puluh tahun penelitian, telah menunjukkan bahwa resiliensi adalah kunci
untuk keberhasilan dalam bekerja dan kepuasan dalam hidup Reivich Shatte, 2002: 1.
Orang yang paling resilien pada faktanya akan mencari pengalaman baru dan menantang. Dengan hal itu mereka belajar bahwa kesulitan dapat
mendorong diri mereka untuk berjuang lebih keras. Pembelajaran tersebut
12 bertujuan untuk mencapai batas yang belum mereka lampaui sebelumnya,
sehingga mereka dapat memperluas wawasan dengan pengalaman baru yang mereka dapatkan.
Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan
yang diperbuatnya
demi menjaga
self-esteem atau
membebaskan diri dari rasa bersalah Desmita, 2005: 227. Individu yang resilien akan memfokuskan dan memegang kendali penuh pada
pemecahan masalah. Perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, kemudian mengarahkan hidupnya, dan bangkit meraih kesuksesan.
Individu yang resilien mengerti bahwa kegagalan bukan merupakan titik akhir Reivich Shatte, 2002: 4. Mereka tidak merasa malu ketika
menemui sebuah kegagalan. Mereka mampu mengambil makna dari setiap kegagalan dan menjadikannya batu loncatan untuk melangkah lebih tinggi
dari yang seharusnya mereka lakukan. Individu yang resilien merasakan gelisah dan keragu-raguan
Reivich Shatte, 2002: 4. Hal tersebut juga sering dirasakan oleh orang- orang pada umumnya. Tetapi, mereka yang resilien dapat belajar
bagaimana caranya menghentikan kegelisahan dan keraguan yang membebani diri mereka.
Menurut Grotberg 1995: 7, “resilience is a universal capacity which allows a person, group or community to prevent, minimize or
overcome the damaging effects of adversity”. Resiliensi merupakan
kapasitas yang bersifat universal dan dengan kapasitas tersebut, individu,
13 kelompok ataupun komunitas mampu mencegah, meminimalisir ataupun
melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami kondisi- kondisi yang tidak menyenangkan.
Resiliensi daya lentur bukan hal magic, tidak hanya ditemui pada orang-orang tertentu saja dan bukan merupakan pemberian dari sumber
yang tidak diketahui Grotberg, 1999: 3. Setiap individudibekali kapasitas untuk mengatasi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan dalam
hidupnyaserta diperkuat oleh kondisi adversity tersebut. Individu dapat belajar untuk menghadapi kondisi-kondisi sulit yang tidak dapat
terhindarkan dalam hidupnya. Internasional Resilience Projectmelakukan riset dengan menanyakan
kepada anak-anak dan orang tua di seluruh penjuru dunia terkait dengan pengalaman-pengalaman akan kondisi-kondisi tidak menyenangkan. Riset
tersebut menghasilkan bahwa kondisitidak menyenangkan yang dialami mencakup dua hal. Pertama, pengalaman yang terjadi dalam keluarga.
Kedua, pengalaman yang terjadi di luar keluargaGrotberg, 1995: 22. Seorang anak melakukan tindakan yang kurang sesuai akan merasa
lebih baik apabila orang tuanya memberikan peringatan dengan cara yang halus. Anak akan dapat menerima hal tersebut dibandingkan dengan
diperingatkan menggunakan cara yang keras. Hal tersebut menunjukan bahwa yang dibutuhkan seorang anak adalah kata-kata yang membuat
hatinya tentram dan nyaman. Tugas orang tua sebagai orang dewasa adalah memberikan perlakuan pada anak sebaik mungkin sehingga
14 pengalamannya dalam keluarga membuatnya tangguh ketika menghadapi
kesulitan di luar. Luthar 2003: 131, menjelaskan resiliensi sebagai sebuah proses
yang dinamis, dengan jalan mana individu akan menunjukkan fungsi adaptif dalam menghadapi kesulitan yang berarti. Menurut Luthar,
seseorang yang memiliki resiliensi tidak hanya dapat bertahan terhadap situasi yang menyulitkan tetapi juga mampu merespon secara fleksibel
keadaan yang tidak menyenangkan.Ketika perubahan dan tekanan hidup berlangsung dengan cepat, maka seorang individu perlu mengembangkan
kemampuan dirinya untuk mampu melewati itu semua. Dalam menjaga kesinambungan hidup yang optimal, maka
kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resilien menjadi semakin tinggi. Individu yang memiliki resiliensi tinggi mampu mengelola emosi
mereka secara sehat. Mereka mempunyai hak untuk merasa sedih, marah, merasa kehilangan, sakit hati, dan tertekan. Namun, mereka tidak
membiarkan perasaan semacam itu menetap dalam waktu yang lama pada dirinya. Mereka akan cepat memutus perasaan-perasaan yang tidak sehat
tersebut, kemudian tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh para ahli diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan seorang individu untuk bertahan dan tidak menyerah pada kesulitan-kesulitan yang terjadi
dalam hidupnya serta berusaha merubah kondisi sulit tersebut menjadi sesuatu yang wajar untuk diatasi dan kemudian bangkit dari keadaan
15 tersebut untuk menjadi lebih baik. Dalam penelitian ini, peneliti merujuk
pada teori yang dikemukakan oleh Grotberg, bahwa resiliensi adalah kapasitas manusia untuk mengatasi, menjadi kuat, dan bahkan berubah
karena pengalaman adversitas. Kualitas resiliensi pada setiap orangtidak sama, antara satu orang
dan yang lainnya berbeda. Kualitas resiliensi seseorang sangat ditentukan oleh tingkat usia, taraf perkembangan individu, intensitas seseorang dalam
menghadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan, serta seberapa besar dukungan sosial yang diperoleh seseorang dalam pembentukan resiliensi
orang tersebut.
2. Sumber Resiliensi