166 maksimal,seperti halnya sekolah belum memasukkan indikator nilai
kejujuran ke dalam pengembangan kurikulum sekolah, sekolah belum mengintegrasikan pengembangan indikator nilai kejujuran ke dalam RPP
dan sistem evaluasi pembelajaran. Integrasi dalam kegiatan sekolah dan luar sekolah juga belum terlihat dari beberapa indikator keberhasilan nilai
kejujuran di sekolah.
2. Hambatan dalam Mengimplementasikan Nilai Kejujuran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua komponen SD Negeri Kotagede 5 Yogyakarta, antara lain kepala sekolah, guru, siswa, dan orang
tua sudah
melakukan perannya
masing-masing dalam
mengimplementasikan nilai kejujuran. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Peterson dan Deal Darmiyati Zuchdi, 2011:148, bahwa kepala
sekolah, tim pengawal budaya sekolah dan karakter, guru, karyawan, siswa, dan orang tuawali siswa mempunyai peran tersendiri dalam
pengembangan nilai-nilai karakter di sekolah. Namun, jika dilihat dari komponen yang disebutkan diatas, ada satu komponen yang tidak ada di
SD Negeri Kotagede 5 Yogyakarta. Komponen tersebut adalah tim pengawal budaya sekolah dan karakter. SD Negeri Kotagede 5 Yogyakarta
belum membentuk tim pengawal budaya sekolah dan karakter, karena sekolah belum mengetahui tentang adanya dan fungsi tim tersebut.
Dalam implementasinya, guru kelas belum maksimal di dalam mengimplementasikan nilai kejujuran. Guru masih secara spontanitas
dalam mengajak siswa untuk berbuat jujur. Guru belum menggunakan
167 metode penyampaian nilai kejujuran secara khusus. Hasil pengamatan,
guru sering hanya menegur dan menngingatkan secara lisan, guru belum menggunakan beberapa metode khusus untuk menanamkan nilai kejujuran
dalam proses pembelajaran. Hal tersebut belum sesuai dengan pendapat Lickona Muchlas Samani, 2011: 147 yang menyarankan agar pendidikan
karakter berlangsung efektif maka guru dapat mengimplementasikan dengan berbagai metode.
Adapun hambatan-hambatan guru dalam mengimplementasikan nilai kejujuran di sekolah antara lain:
a. Belum adanya indikator nilai kejujuran di dalam pengembangan
kurikulum sekolah yang membentuk budaya dan pembiasaan jujur terhadap komponen sekolah;
b. Belum adanya kontrol yang baik di antara komponen sekolah dalam
menanamkan nilai kejujuran baik di rumah, sekolah dan masyarakat; c.
Siswa SD Negeri Kotagede 5 belum menyadari pentingnya menanamkan nilai kejujuran;
d. Guru SD Negeri Kotagede 5 tidak dapat setiap hari mengontrol
kebiasaan siswa di luar sekolah; e.
Nilai kejujuran tidak dapat secara instan diterapkan, tetapi membutuhkan proses pembiasaan yang rutin melalui berbagai integrasi
kegiatan; f.
Tidak semua siswa peka dengan nilai kejujuran yang dicontohkan guru dalam kegiatan di sekolah;
168 g.
Beberapa guru SD Negeri Kotagede 5 belum secara rutin mengintegrasikan nilai kejujuran dalam kegiatan di sekolah;
h. Beberapa guru belum mencantumkan dan mengembangkan indikator
nilai kejujuran di dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran; i.
Guru SD Negeri Kotagede 5 belum melakukan tindak lanjut dan melakukan tindakan khusus dalam penanganan kepada siswa yang
diketahui bersikap tidak jujur.
D. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian yang berjudul “Implementasi Nilai Kejujuran di SD Negeri
Kotagede 5 Yogyakarta” ini masih terdapat kekurangan, karena pelaksanaan penelitian yang dilakukan pada saat akhir-akhir pergantian
tahun ajaran, maka pengamatan prosespembelajaran untuk kelas VI tidak dapat dilakukan dikarenakansiswa kelas VI sudah menempuh Ujian Akhir
Nasional, sehingga kegiatan-kegiatan implementasi nilai kejujuran yang sudah terlaksana oleh sekolah tidak dapat diamati secara langsung.
Beberapa guru kurang terbuka dalam mengemukakan pendapat. Oleh karena itu, peneliti masih terbatas untuk menyimpulkan lebih luas
implementasi nilai kejujuran di SD Negeri Kotagede 5 Yogyakarta.