33
4.1.2. Uji Mikrobiologi TPC
Sop daun Torbangun yang salah satu komposisinya adalah santan, merupakan produk dengan zat gizi yang dapat digunakan oleh mikroba sebagai
substrat pertumbuhannya. Komposisi santan kelapa sangat lengkap, karena selain mengandung lemak, santan juga memiliki kadar karbohidrat dan protein yang
cukup tinggi sebagai media tumbuh mikroba. Sop daun Torbangun yang digunakan
dalam penelitian ini tidak menggunakan bahan pengawet tambahan, melainkan hanya bumbu yang berfungsi sebagai antioksidan alami.
Tidak adanya bahan pengawet menyebabkan produk semakin rentan terhadap kerusakan selama penyimpanan yang diakibatkan oleh mikroorganisme.
Penerapan teknik kemasan yang baik dengan suhu yang sesuai diharapkan dapat mengurangi pertumbuhan mikroorganisme sehingga umur simpan produk dapat
diperpanjang. Pada penelitian ini jumlah mikroorganisme yang tumbuh selama penyimpanan produk diuji dengan metoda TPC. Metoda ini hanya menghitung
jumlah total koloni tanpa melihat jenis mikroba yang terdapat dalam produk tersebut.
Nilai TPC yang relatif tinggi terlihat pada kondisi suhu ruang selama 3
hari penyimpanan, yaitu pada kemasan gelas berkisar antara 51 × 10
1
kolonig produk sampai 43 × 10
6
kolonig produk, kemasan LDPE sebesar 51 × 10
1
kolonig produk hingga 81 × 10
6
kolonig produk dan kemasan microwavable sebesar 51 × 10
1
kolonig produk hingga 58 × 10
6
kolonig produk. Pada kondisi suhu penyimpanan 10-12
o
C, nilai TPC berkisar antara 51 × 10
1
kolonig produk hingga 44 × 10
6
kolonig produk untuk kemasan gelas, 51 × 10
1
kolonig produk hingga 79 × 10
6
kolonig produk untuk kemasan LDPE, dan sebesar 51 × 10
1
kolonig produk hingga 67 × 10
6
kolonig produk untuk kemasan microwavable
plastic CPET. Sementara itu, kondisi pada suhu dingin yaitu pada suhu 3-5
o
C cenderung menghasilkan nilai TPC lebih kecil yang berkisar antara 51 × 10
1
dan 31 × 10
6
untuk kemasan gelas, 51 × 10
1
hingga 52 × 10
6
untuk kemasan LDPE, dan antara 51 × 10
1
dan 53 × 10
6
untuk kemasan microwavable plastic CPET. Nilai TPC sop daun Torbangun ditunjukkan pada Gambar 9 dengan rincian data
terlampir Lampiran 4a, 4b, dan 4c.
34
10 20
30 40
50 60
70 80
90
1 2
3 4
5 6
7 8
Lama penyimpanan hari J
u m
la h
k o
loni g
produk 1
6
A1B1 A1B2
A1B3 A4B1
A4B2 A4B3
A3B1 A3B2
A3B3
Keterangan : A1 : Kemasan Gelas
B1 : suhu 3-5
o
C A2 : Kemasan LDPE
B2 : suhu 10-12
o
C A3 : Kemasan Microwavable Plastic
B3 : suhu 27-30
o
C
Gambar 9. Grafik hasil uji mikrobiologi Total Plate Count Dari grafik di atas, dapat terlihat bahwa pada penyimpanan dingin, setelah
hari kelima, pertumbuhan mikroba meningkat dengan cepat, sehingga diduga bahwa selama penyimpanan 5 hari tersebut merupakan fase adaptasi bagi
mikroba, sedangkan pada penyimpanan setelah hari kelima merupakan fase eksponensial. Hasil analisis ragam Lampiran 21-35 menujukkan bahwa faktor
kemasan memberikan pengaruh nyata pada taraf 5 terhadap nilai TPC di hari ketiga, keempat, ketujuh dan kedelapan. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa
dengan meningkatnya suhu maka pertumbuhan mikroorganisme semakin meningkat. Selain jenis kemasan, faktor suhu juga memberikan pengaruh yang
nyata untuk taraf 5 pada penyimpanan di hari pertama, kedua, ketiga, keempat, ketujuh, dan kedelapan. Selain itu pada hari ketiga, interaksi antara jenis kemasan
dan suhu penyimpanan juga memberikan pengaruh yang nyata pada taraf 5. Semakin lama penyimpanan, pertumbuhan mikroba cenderung terus
berlangsung sehingga menyebabkan nilai TPC yang meningkat. Perubahan yang timbul pada sop daun Torbangun karena kerusakan akibat mikroorganisme jika
dilihat dari penampakan fisiknya adalah terjadi pembentukan lendir dan perubahan aroma serta pelunakan daun Torbangun di dalam sop. Pembentukan
35 lendir menandakan bahwa adanya pertumbuhan bakteri dan diikuti dengan
timbulnya bau asam Hoseney, 1998. Pertumbuhan mikroba tersebut akan menyebabkan timbulnya pembusukan yang akan mengakibatkan munculnya
karakteristik sensori yang tidak diinginkan dan pada beberapa kasus dapat menyebabkan bahan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi Singh, 1994.
Selanjutnya dijelaskan oleh Muchtadi 1989, kerusakan sensori yang diakibatkan oleh mikroba dapat berupa pelunakan, terjadinya asam, terbentuknya gas, lendir,
busa dan lain-lain. Mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan antara lain
bakteri, kapang dan khamir. Menurut Muchtadi 1989, bakteri, kapang dan khamir menyukai keadaan hangat dan lembab. Suhu pertumbuhan untuk setiap
bakteri berbeda-beda. Kapang dan khamir mempunyai suhu optimum untuk pertumbuhannya pada suhu 25-30
o
C atau suhu kamar. Hal ini terlihat jelas pada data uji TPC yang diperoleh. Pada penyimpanan suhu kamar terlihat
pertumbuhan mikroba yang sangat pesat pada semua jenis kemasan. Gambar 10 menyajikan grafik interaksi antara suhu dan jenis kemasan yang digunakan.
0.5 1.0
1.5 2.0
2.5
3-5˚C 12-15˚C
27-30˚C
Suhu penyimpanan Ju
m la
h ko
lo n
i 1
7
gelas LDPE
CPET
Gambar 10. Grafik interaksi jenis kemasan dan suhu terhadap nilai TPC Selama penyimpanan dingin, pertumbuhan mikroba terhambat. Mikroba
yang dapat tumbuh pada suhu ini adalah dari kelompok psikrofilik yang memiliki suhu pertumbuhan optimum 10
o
C ataupun kelompok psikotrofik yang memiliki
36 suhu pertumbuhan optimum 25
o
C Buckle et al., 1987. Menurut Frazier dan Westhoff 1967, bahan pangan yang disimpan pada suhu refrigerator dengan
suhu sekitar 10
o
C 50
o
F dapat mencegah pertumbuhan bakteri patogen dan memperlambat pertumbuhan bakteri pembusuk.
Menurut Singh 1994, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba antara lain suhu, air, gas seperti oksigen dan karbondioksida, dan pH.
Beberapa bakteri dan semua kapang membutuhkan oksigen untuk tumbuh Muchtadi, 1989. Pertumbuhan mikroba akibat absorpsi dan kontaminasi dari
lingkungan dapat ditekan oleh penyimpanan pada suhu dingin. Penanganan produk selama pengolahan juga turut mempengaruhi mutu produk. Menurut
Muchtadi 1989 untuk menghilangkan atau mengurangi aktivitas biologis yang tidak diinginkan dalam bahan pangan, seperti aktivitas enzim dan mikrobiologis,
dapat digunakan pengolahan dalam suhu tinggi. Usaha meminimalkan pertumbuhan mikroorganisme pada suatu produk juga dapat dilakukan dengan
penerapan higienitas pada seluruh proses pengolahan dan pengemasan. Produk diolah dengan suhu tinggi, kemasan disterilisasi sebelum digunakan dan
pengemasan produk dilakukan dengan teknik hot filling. Pada produk sop daun Torbangun ini, nilai TPC juga dipengaruhi oleh
faktor jenis kemasan yang digunakan. Pada prinsipnya kemasan yang baik merupakan kemasan yang dapat mencegah atau meminimalisir kontak antara
produk dengan pengaruh lingkungan terutama udara dan uap air. Nilai TPC yang tinggi ditunjukkan oleh kemasan LDPE, kemudian diikuti oleh kemasan
microwavable plastic CPET. Sementara itu, kemasan gelas menunjukkan nilai
TPC yang lebih kecil. Kecenderungan nilai TPC yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemasan lain dikarenakan LDPE merupakan plastik yang memiliki sifat
penahan uap air dan penahan oksigen yang lebih buruk dibandingkan kemasan gelas dan CPET. Kemudahan keluar masuknya oksigen dan uap air dalam
kemasan akan menyebabkan kemudahan mikroba mengiluminasi produk. Selain itu, semakin tinggi permeabilitas suatu bahan kemasan, semakin
mudah udara keluar dan masuk melalui pori kemasan dan kondisi ini semakin menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme aerob. Dari hasil uji TPC
dapat disimpulkan bahwa suhu kamar dengan kemasan LDPE bukan kombinasi
37 perlakuan yang baik untuk penyimpanan produk sop daun Torbangun. Meskipun
demikian plastik LDPE banyak digunakan sebagai bahan pengemas dikarenakan kemudahannya untuk dikelim panas. Untuk memperbaiki sifat tersebut, maka
dalam penelitian ini digunakan plastik LDPE sebanyak dua lapis. Lapisan pertama dikelim menggunakan panas, dan lapisan kedua ditutup menggunakan cable tie
Lampiran 50. Walaupun perlakuan 2 lapisan LDPE tersebut telah diberikan untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme, namun kemampuan plastik ini
untuk memberikan perlindungan maksimal produk terhadap pengaruh lingkungan belum dapat menandingi kedua jenis kemasan lainnya.
Kemasan lain yaitu plastik microwavable CPET terlihat mampu memberikan perlindungan yang cukup baik terhadap produk, namun tidak sebaik
perlindungan yang diberikan oleh kemasan gelas. Kemasan CPET ini merupakan plastik dengan sifat penahan yang baik terhadap oksigen dan uap air, serta baik
untuk produk berlemak. Masuknya uap air dan oksigen ke dalam kemasan CPET diduga berasal dari plastik segel, karena dalam penelitian ini, CPET digunakan
sebagai wadah dan LDPE digunakan sebagai penutup segel. Kemasan gelas memberikan hasil terbaik dalam perlindungan produk. Hal
ini terlihat dari rendahnya pertumbuhan mikroba akibat sifat penghalangnya yang baik dibandingkan dengan kemasan lain yang digunakan dalam penelitian ini,
sehingga faktor-faktor yang diperlukan oleh mikroba untuk tumbuh tidak tersedia dalam jumlah yang cukup. Gelas merupakan kemasan dengan sifat permeabilitas
yang sangat baik terhadap gas dan uap air. Sifat ini juga didukung oleh tutup ulir kemasan gelas yang terbuat dari plastik HDPE ;yang merupakan jenis plastik
dengan sifat perlindungan oksigen yang baik; ditambah dengan segel berupa plastik shrinkable heat plastik yang dapat menyusut akibat perlakuan panas yang
terbuat dari plastik PET. Dari data uji TPC, mikroorganisme telah terdeteksi di awal penyimpanan
atau pada hari ke nol. Jumlah mikroba awal yang cukup besar ini diduga karena adanya mikroba yang mengkontaminasi sebelum proses pengolahan dan
pengemasan, baik berasal dari udara, kemasan maupun peralatan dan adanya mikroba yang tahan terhadap proses pengolahan yang menggunakan panas
38 mikroba termofilik. Menurut Frozier 1989 contoh bakteri termofilik adalah
Bacillus, Clostridium thermosaccharolyticum atau Lactobacillus thermophillus.
4.1.3. Derajat Asam pH